- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tolak RPMK Kemasan Rokok Polos, Petani Tembakau dan Cengkeh Merasa Diabaikan Kemenkes


TS
Novena.Lizi
Tolak RPMK Kemasan Rokok Polos, Petani Tembakau dan Cengkeh Merasa Diabaikan Kemenkes
Tolak RPMK Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek, Petani Tembakau dan Cengkeh Merasa Diabaikan Kemenkes
Kamis, 10 Oktober 2024 03:07 WIB

Petani menyortir tembakau di Gudang Tembakau Empatlima, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (27/12/2023). Pemerintah berencana menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 10 persen mulai 1 Januari 2024 yang akan berdampak terhadap harga jual eceran rokok di masyarakat. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
TRIBUNNEWS.COM - Petani tembakau dan cengkeh di Yogyakarta serta Solo Raya menolak rencana penerapan kemasan rokok polos tanpa merek yang sedang dibahas dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Aturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Sebelum RPMK ini muncul, PP 28/2024 sendiri telah mendapat banyak protes.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DIY, Sutriyanto, mengatakan sejak April 2024 pihaknya telah konsisten menolak pasal-pasal terkait pengamanan zat adiktif dalam PP Kesehatan.
Namun, hingga saat ini, pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), belum merespons aspirasi jutaan petani tembakau.
"Sejak masih berbentuk RPP, kami sudah menolak. Kami telah membuat petisi, tetapi tidak dihiraukan oleh pemerintah. Sekarang, muncul RPMK dengan aturan rokok kemasan polos tanpa merek dan berbagai aturan lain yang sangat menekan industri tembakau. Padahal, aturan ini jelas-jelas akan menghancurkan mata pencaharian petani tembakau," ujar Sutriyanto awal pekan ini.
Ia juga menyayangkan sikap Kemenkes yang dinilai arogan dan tidak mempedulikan nasib petani.
Petani berharap dapat berkomunikasi dan memberikan masukan kepada Kemenkes, yang saat ini sedang mengejar penyusunan RPMK. Aturan ini dikhawatirkan akan membahayakan keberlanjutan penghidupan petani tembakau.
"Kami tidak ingin hak ekonomi kami dipotong begitu saja. Kami hanya ingin aspirasi kami didengar dan diakomodasi. Jangan hanya mementingkan kepentingan Kemenkes saja," tegasnya dalam keterangan kepada Tribunnews.
Tembakau sendiri merupakan salah satu komoditas penting di Yogyakarta, terutama jenis tembakau grompol yang telah dikembangkan untuk bahan baku cerutu.
Data APTI, luas lahan tembakau di Bantul, mengalami peningkatan dari 40 hektar pada 2022 menjadi 60 hektar pada 2023.
"Tembakau kini menjadi komoditas unggulan yang mampu memberikan kontribusi positif bagi perekonomian masyarakat," tambah Sutriyanto.
Sejalan dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) Solo, Broto Suseno, juga menolak pengesahan RPMK yang dinilai terburu-buru tanpa melibatkan petani dalam proses penyusunannya.
Sebanyak 98 persen produksi cengkeh diserap oleh industri rokok kretek, sehingga aturan ini akan berdampak langsung pada petani cengkeh.
"Yang sangat ditekan dalam RPMK ini kan industri rokok. Nah, industri rokok, termasuk kretek, erat kaitannya dengan keberadaan bahan baku cengkeh. Tentu ini ujungnya akan berdampak pada kami, para petani cengkeh," kata Broto Suseno.
"Kami petani cengkeh, tegas menolak. Semua pasal-pasal pengaturan tembakau di RPMK ini jelas akan mematikan mata pencaharian kami."
"Sejak awal kami pun sudah menolak pasal-pasal pertembakauan di PP Kesehatan, yang juga sangat memberatkan. Kami berharap pemerintah punya empati dalam memperjuangkan sumber penghidupan kami," tambahnya.
Saat ini, luas lahan kebun cengkeh di Indonesia mencapai 582,56 ribu hektar dengan peningkatan rata-rata 1,50 persen per tahun selama sepuluh tahun terakhir.
Perkebunan cengkeh tersebar di berbagai provinsi, dengan produksi terbesar berasal dari Maluku, Sulawesi, Jawa, dan Sumatra.
Komoditas ini menjadi salah satu penggerak ekonomi pedesaan, menyerap tenaga kerja hingga 1,5 juta orang, baik petani maupun pekerja pemetik cengkeh. (*)
https://www.tribunnews.com/bisnis/20...aikan-kemenkes
Kamis, 10 Oktober 2024 03:07 WIB

Petani menyortir tembakau di Gudang Tembakau Empatlima, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (27/12/2023). Pemerintah berencana menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 10 persen mulai 1 Januari 2024 yang akan berdampak terhadap harga jual eceran rokok di masyarakat. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
TRIBUNNEWS.COM - Petani tembakau dan cengkeh di Yogyakarta serta Solo Raya menolak rencana penerapan kemasan rokok polos tanpa merek yang sedang dibahas dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Aturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Sebelum RPMK ini muncul, PP 28/2024 sendiri telah mendapat banyak protes.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DIY, Sutriyanto, mengatakan sejak April 2024 pihaknya telah konsisten menolak pasal-pasal terkait pengamanan zat adiktif dalam PP Kesehatan.
Namun, hingga saat ini, pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes), belum merespons aspirasi jutaan petani tembakau.
"Sejak masih berbentuk RPP, kami sudah menolak. Kami telah membuat petisi, tetapi tidak dihiraukan oleh pemerintah. Sekarang, muncul RPMK dengan aturan rokok kemasan polos tanpa merek dan berbagai aturan lain yang sangat menekan industri tembakau. Padahal, aturan ini jelas-jelas akan menghancurkan mata pencaharian petani tembakau," ujar Sutriyanto awal pekan ini.
Ia juga menyayangkan sikap Kemenkes yang dinilai arogan dan tidak mempedulikan nasib petani.
Petani berharap dapat berkomunikasi dan memberikan masukan kepada Kemenkes, yang saat ini sedang mengejar penyusunan RPMK. Aturan ini dikhawatirkan akan membahayakan keberlanjutan penghidupan petani tembakau.
"Kami tidak ingin hak ekonomi kami dipotong begitu saja. Kami hanya ingin aspirasi kami didengar dan diakomodasi. Jangan hanya mementingkan kepentingan Kemenkes saja," tegasnya dalam keterangan kepada Tribunnews.
Tembakau sendiri merupakan salah satu komoditas penting di Yogyakarta, terutama jenis tembakau grompol yang telah dikembangkan untuk bahan baku cerutu.
Data APTI, luas lahan tembakau di Bantul, mengalami peningkatan dari 40 hektar pada 2022 menjadi 60 hektar pada 2023.
"Tembakau kini menjadi komoditas unggulan yang mampu memberikan kontribusi positif bagi perekonomian masyarakat," tambah Sutriyanto.
Sejalan dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) Solo, Broto Suseno, juga menolak pengesahan RPMK yang dinilai terburu-buru tanpa melibatkan petani dalam proses penyusunannya.
Sebanyak 98 persen produksi cengkeh diserap oleh industri rokok kretek, sehingga aturan ini akan berdampak langsung pada petani cengkeh.
"Yang sangat ditekan dalam RPMK ini kan industri rokok. Nah, industri rokok, termasuk kretek, erat kaitannya dengan keberadaan bahan baku cengkeh. Tentu ini ujungnya akan berdampak pada kami, para petani cengkeh," kata Broto Suseno.
"Kami petani cengkeh, tegas menolak. Semua pasal-pasal pengaturan tembakau di RPMK ini jelas akan mematikan mata pencaharian kami."
"Sejak awal kami pun sudah menolak pasal-pasal pertembakauan di PP Kesehatan, yang juga sangat memberatkan. Kami berharap pemerintah punya empati dalam memperjuangkan sumber penghidupan kami," tambahnya.
Saat ini, luas lahan kebun cengkeh di Indonesia mencapai 582,56 ribu hektar dengan peningkatan rata-rata 1,50 persen per tahun selama sepuluh tahun terakhir.
Perkebunan cengkeh tersebar di berbagai provinsi, dengan produksi terbesar berasal dari Maluku, Sulawesi, Jawa, dan Sumatra.
Komoditas ini menjadi salah satu penggerak ekonomi pedesaan, menyerap tenaga kerja hingga 1,5 juta orang, baik petani maupun pekerja pemetik cengkeh. (*)
https://www.tribunnews.com/bisnis/20...aikan-kemenkes
0
274
13


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan