Kaskus

Story

kiyazmAvatar border
TS
kiyazm
Takdir Cinta di pesantren
Takdir Cinta di Pesantren

Bab 1

“Setiap perjalanan dimulai dengan sebuah langkah, namun tak semua langkah membawa kita ke tempat yang diinginkan. Pertemuan yang manis kadang kali mengantarkan kita pada jalan yang penuh lika-liku, sementara perkenalan terburuk pun bisa jadi awal dari sebuah cerita yang luar biasa.”

Just writer

❤❤❤❤

“Aku enggak mau di sini, Bu,” ujarku sambil menarik-narik gamis ungu muda milik wanita di depanku. Suaraku sedikit bergetar, hampir tidak terdengar.

Ibu meletakkan tas besar yang sedari tadi dijinjingnya, kemudian berjongkok dan menyejajarkan dirinya denganku. “Ini demi kebaikanmu, Sayang,” jawabnya lembut dengan senyum hangat yang biasanya menenangkanku. Namun, kali ini, senyuman itu tak cukup.

“T-tapi aku enggak mau, Bu. Aku mau pulang.” Suaraku semakin lirih, tetapi air mataku justru turun deras. Aku tidak ingin berada di sini. Aku tidak ingin ditinggalkan.

Ibu mengusap pipiku yang basah. “Sayang, percaya sama Ibu. Apa Ibu pernah bohong?” tanyanya, menatapku penuh keyakinan.

Aku menggelengkan kepala, meskipun hatiku masih bergejolak. “Nah, kalau begitu kamu harus mau berada di sini. Kamu mau memberikan mahkota buat Ibu dan Bapak di surga, 'kan?” Kalimat itu keluar dari mulutnya seperti racun yang manis. Aku tahu maksudnya baik, tapi rasanya seperti paksaan yang tak bisa kutolak.

Dengan lunglai, aku mengangguk, mengingat ucapan Bu Halimah, guruku mengaji beberapa waktu lalu. Seolah-olah tak ada pilihan lain. “Terima kasih, Sayang,” Ibu mencium keningku.

Aku bisa merasakan napasnya yang berat, seakan dia pun ragu, tetapi tak pernah ada ruang untuk protes. Ia meraih kembali tas besar itu, sementara tangan kecilku menggenggam erat tangan besarnya. Kami melangkah bersama. Namun, di dalam hatiku, setiap langkah terasa seperti meninggalkan bagian dari diriku.

Kami menyusuri pelataran yang luas, dikelilingi gedung-gedung tinggi berwarna hijau. Beberapa orang berbaju putih dengan sarung batik berjalan di sekitar kami, membawa buku. Dari wajah dan postur tubuh mereka, kutebak usianya sedikit di atasku.

Aku mendekatkan diri pada ibu, merasa semakin terasing di tempat yang terasa begitu besar dan asing.

“Assalamu’alaikum, Ustadzah. Saya Mirna yang kemarin menelepon,” salam Ibu ketika kami tiba di sebuah ruangan kecil. Aku teralihkan sejenak oleh kaligrafi indah di dinding dan deretan kitab yang mengisi lemari kaca.

“Wa’alaikumussalam, Bu Mirna. Silakan duduk,” jawab seorang wanita berkerudung cokelat susu. Senyumnya ramah, namun tak mampu mengusir rasa takut yang masih menggumpal di dadaku.

“Ini Ustadzah Hasna,” kata Ibu sambil mengenalkanku. "Beliau yang akan membimbingmu di sini."

“Hai, Hafiyya. Selamat datang. Semoga kamu betah, ya,” sapa Ustadzah Hasna dengan suara lembutnya sembari berjongkok di depanku. Lesung pipinya terlihat jelas saat ia tersenyum. Namun, mataku tetap tertuju pada ibu, mencari kepastian.

“Ibu pulang dulu, Sayang. Bulan depan ibu dan bapak akan datang lagi,” ucap Ibu tiba-tiba. Jantungku seketika mencelos.

“Kenapa harus aku, Bu?” Suaraku bergetar. Air mata mulai tergenang lagi di mataku.

“Kenapa enggak Mas Heru atau Mbak Nadia saja?” Isakanku pecah. Aku tak mampu menahan emosi yang sudah sejak tadi kupendam.

“Kenapa harus aku yang dikirim jauh ke sini? Kenapa mereka tetap bisa di rumah?” racauku dengan air mata berlinangan.

“Sayang, dengerin Ibu.” Ibu menunduk, menyentuh pipiku dengan lembut. “Ibu sayang banget sama kamu dan ingin yang terbaik buat kamu. Ini demi kebaikanmu,” ujarnya, tetapi tak menghentikan isakanku. Semua kata-katanya terdengar hampa.

“Ibu jahat! Ibu enggak sayang sama aku!” Aku berteriak sekuat tenaga, merangkul erat kaki Ibu. Aku tak ingin dia pergi, tak ingin ditinggalkan sendirian di tempat yang asing ini.

“Ibu harus pergi, Zahwa. Percaya sama Ibu, kamu akan betah di sini.” Ibu mulai melepaskan pelukanku dengan hati-hati, sementara aku masih memeluk erat kakinya.

Aku akhirnya berlari, tak tahan dengan rasa sakit yang mengalir di dada. Tak peduli meskipun orang-orang menatapku aneh. Kata-kata Aliya, teman sebangkuku, berputar-putar di kepala. “Jangan-jangan ibumu memang mau membuangmu, Ya.”

Air mataku semakin deras. Benarkah Ibu hanya ingin menyingkirkan aku? Aku terus berlari hingga tanpa sadar tiba di sebuah tempat sepi, di belakang tumpukan batu dan rumput tinggi.

“kenapa harus aku?” isakku seraya menundukkan kepala di antara lutut. Rasanya seolah-olah dunia menelanku.

"Karena kamu orang yang terpilih.”

Aku mendongak dengan cepat, menatap seorang lelaki berkaus hitam dan sarung kotak-kotak yang tiba-tiba duduk di sampingku. Suaranya lembut, tetapi penuh keyakinan. Matanya yang gelap menatapku lekat. Dadaku seketika menghangat.

“Kamu istimewa. Allah memilihmu untuk ada di sini. Ada rencana besar yang Dia persiapkan buat kamu," katanya lagi, seolah tahu persis apa yang ada di pikiranku.

“Tapi … kenapa harus aku? Kenapa harus di sini?” Suaraku gemetar tak peduli pada wajahku yang mungkin sudah basah kuyup.

“Percayalah. Mungkin ini terasa sulit sekarang, tapi kadang yang terlihat buruk di mata kita bisa jadi adalah yang terbaik menurut Allah. Semua ini adalah bagian dari rencana-Nya,” jawabnya tenang, memunculkan sedikit harapan dan keyakinan.

“Mungkin ada rencana indah yang Allah persiapkan untukmu.” Lagi, lelaki itu meyakinkanku. Rambutnya yang sedikit panjang melambai ditiup angin.

Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Sebuah suara dari dalam diriku mengiyakan, meskipun hati kecilku masih berontak. Dengan lunglai, aku mengangguk, merasakan harapan baru. Seorang guru agamaku juga pernah mengatakan hal serupa.

“Lalu, apa yang harus kulakukan?” tanyaku penuh harap.

Lelaki itu diam sejenak, menghela napas panjang. “Kamu harus yakin! Percaya padaku, kamu akan betah di sini.”

Kata-katanya menghentakku. Kutatap kedua kakinya yang terbalut sandal putih, beralih meneliti wajahnya yang tegas, mencari kejujuran di dalamnya.

Apakah ini memang jalanku, ya Allah? Menghabiskan masa kecil dan remajaku di sini. Bisakah aku? Mataku berkaca-kaca, senyuman Ibu dan Bapak menghantui pikiran. Bayangan mahkota yang kujanjikan pun menari-nari di benakku.

Aku menggeleng, berusaha mengusir pikiran buruk yang menyerang. Kutarik napas panjang, menghembuskannya perlahan, dan tersenyum hangat menatap lelaki berkaus hitam itu.

“Ma ... Ka ....” Belum sempat terselesaikan, seseorang memanggilnya.

“Kafa, kamu dipanggil Abah. Cepetan ke sini!” teriak seseorang yang tak kutahu siapa. Lelaki bersarung kotak-kotak itu beranjak dengan cepat, meninggalkanku.

“Nama yang indah, Semoga kita bisa bertemu lagi.” Suaraku hampir tenggelam oleh angin yang berhembus. Saat aku berbalik, tidak ada siapa pun di sana, hanya sunyi.

Rasa sepi kembali menyelimuti hatiku. Satu pertanyaan terus mengganggu pikiranku: Apa yang sebenarnya menunggu di balik tembok pesantren ini? Adakah makna di balik setiap langkahku yang baru saja dimulai?

Saat langkahku kembali ke dalam pesantren, sebuah suara samar berbisik di telingaku, "Jangan ragu, Hafiyya. Jalanmu baru saja dimulai, dan takdir menantimu."

Dengan hati yang berdebar, aku bertekad untuk menemukan jawabannya.

Langkahku terasa berat saat memasuki area dalam pesantren. Aroma kayu dan rempah-rempah bercampur dengan aroma bunga melati yang ditanam di halaman. Suasana sunyi di sore hari membuatku semakin merasa asing. Temanku, Aliya, yang biasa mengisi hari-hariku dengan tawa dan cerita, kini terasa jauh. Kurasakan kesepian ini mengalir deras, menambah beban di hati.

Kursi-kursi panjang menghadap ke arah taman yang di kelilingi pagar tinggi. Beberapa santri terlihat asyik mengobrol di sudut-sudut, menyusun rencana belajar mereka. Namun, mataku tak kunjung menemukan sosok yang familiar.

Keberadaan mereka seakan menekankan betapa sendirinya aku di tempat ini. Makin langkahku terayun, sorotan mata santri lain makin menatapku. Beberapa berbisik, mengira aku tak mendengar. Perasaan canggung menyelimuti dan aku berusaha untuk tidak peduli. Namun, saat seorang gadis berbaju putih dengan sarung biru melangkah mendekat, rasa takut itu kembali muncul.

"Yang namanya Hafiyya, berdiri!"

Lanjut enggak?
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
35
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan