Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #99 : Hujan di Bawah Payung
Short Story #99 : Hujan di Bawah Payung

“Eh lihat! Si Gila lewat lagi.”

Adinda merasa penasaran dengan arah yang ditunjuk oleh anak yang sedang duduk di depan minimarket. Saat melihat ke seberang jalan yang ditunjuk, dia melihat seorang pria tinggi berpakaian kantoran tengah berjalan ke arah yang berlawanan. Sekilas tak ada yang aneh, tapi kemudian Adinda sadar pria itu mengenakan payung di tengah cuaca yang tidak panas maupun hujan.

Memang aneh, tapi kenapa sampai disebut gila? Adinda tidak mengerti. Akhirnya dia pun memutuskan terus berjalan sembari mencari alamat yang tertulis di kertas catatannya. Butuh lima langkah saat akhirnya Adinda sadar dan berbalik mengejar pria berpayung itu.

“OM! OM BRAM?!”

Pria itu menoleh dan menatapnya. Benar firasat Adinda, orang itu adalah pamannya, Bram, yang tengah dia cari.

“Adinda? Wah, udah besar ya kamu sekarang!”

Sudah sepuluh tahun mereka tak bertemu, jadi wajar mereka tak saling mengenali dalam sekali lihat. Kebetulan Adinda sedang PKL di dekat situ dan dia memilih menginap di rumah pamannya.

Adinda mengikuti pamannya ke rumah. Rumah itu masih sama seperti yang Adinda ingat. Ingatannya saat masih berumur 10 tahun memang samar, tapi Adinda ingat ayunan dari ban bekas yang masih menggantung kuat pada pohon jambu di halaman.

Tak ada yang menyambut mereka di rumah. Adinda tak dengar banyak kabar tentang pamannya selama sepuluh tahun ini, tapi tampaknya pamannya tidak pernah menikah lagi sejak kematian istrinya sepuluh tahun yang lalu.

Adinda melihat pamannya menutup payung yang tadi dia pakai dan menaruhnya dengan hati-hati di balik pintu. Adinda penasaran kenapa pamannya mengenakan payung, tapi lelah dan lapar membuatnya melupakan pertanyaan itu.

Pertanyaan itu muncul kembali keesokan paginya.

“Om, kan nggak hujan, ngapain pakai payung?” tanyanya saat melihat Bram membuka payung dan siap berangkat kerja.
“Memangnya kalau nggak hujan nggak boleh pakai payung?” tanya Bram dengan suara tenang.

“Ya … nggak juga sih. Tapi buat apa?”

“Lagi pengen aja,” jawab Bram sambil tersenyum sebelum melangkah meninggalkan rumah. Adinda melihatnya menyapa para tetangga dan tak ada satu pun yang mempertanyakan tentang payung itu. Apa memakai payung di hari yang penuh awan adalah hal biasa di kampung ini?

Hal itu terjadi lagi dan lagi. Tak hanya berangkat kerja, kapan pun Bram meninggalkan rumah, dia selalu memakai payung biru muda bermotif bunga matahari itu. Siang maupun malam, dia tak pernah menunjukkan kepalanya pada langit.

Mungkin dia mengira ada alien yang akan menculiknya jika mereka melihatnya dari luar angkasa. Atau jangan-jangan payung itu bisa menangkal segala macam malapetaka? Entahlah. Bram selalu menghindar saat ditanya.

Gara-gara itu banyak orang menganggapnya gila. Adinda tak ingin berburuk sangka, tapi mungkin memang ada yang salah dengan otak pamannya. Mungkin stress karena kehilangan anak dan istrinya membuatnya tak bisa berpikir lurus.

Karena pagi itu dia tak ada kegiatan, Adinda memutuskan beres-beres rumah. Dia mulai menyapu dari belakang hingga ke teras. Dia agak ragu-ragu untuk masuk ke kamar pamannya, tapi akhirnya memutuskan untuk masuk juga. Untungnya tak ada apa-apa di sana yang bisa membuat Adinda merasa bersalah maupun menyesal.

Tak sengaja Adinda melihat sebuah pigura foto yang diletakkan di meja kesil di sebelah tempat tidur. Pigura itu berkilap, pertanda dirawat dengan baik. Adinda mengenali foto di dalamnya sebagai foto istri dan anak Bram.

Ingatan Adinda sedikit kabur. Dia masih mengingat Amira, sepupunya. Dia meninggal karena sakit. Sebulan kemudian, ibu Amira pun menyusul putrinya. Kehilangan dua anggota keluarga dalam waktu berdekatan pasti bisa membuat siapa pun terguncang, tapi sakit apa yang sebenarnya diderita Amira dulu?

Nada dering ponsel membuyarkan lamunan Adinda. Ternyata ayahnya menelepon.

“Halo, Nak? Nggak ada masalah kan di situ?”

“Nggak ada kok, Yah. Om Bram baik kok orangnya. Cuma agak ….”

“Agak apa? Agak aneh?”

Adinda terdiam. Mungkin ayahnya menganggap diam itu sebagai iya.

“Dia masih suka pakai payung ke mana-mana ya?”

“Ayah tahu alasannya?”

“Nggak, Ayah nggak tahu.”

Adinda merasa ayahnya tengah berbohong, tapi Adinda tidak mendesak lebih jauh. Sebagai seorang kakak, tak mungkin dia tak tahu keadaan adiknya.

Sekali lagi Adinda melirik ke arah pigura foto keluarga di tangannya.

“Yah, dulu … Amira sakit apa ya?” tanyanya tiba-tiba.

“Amira? Kenapa tiba-tiba kamu nanya begitu?”

“Cuma penasaran aja.”

Adinda meletakkan kembali pigura itu dengan hati-hati lalu berjalan keluar kamar. Pamannya cuma punya sedikit barang pribadi, jadi rumah itu terasa luas dan kosong. Selain foto tadi, tak ada lagi barang yang terasa seperti milik keluarga. Adinda bertanya-tanya, mungkin keadaan hati pamannya sama seperti keadaan rumah ini.

“Amira dulu kena demam tinggi,” jawab ayahnya dari ujung sana. “Umurnya dulu masih lima tahun, kalau nggak salah. Masih gampang sakit. Sedih memang, apalagi buat istrinya ….”

Gemuruh guntur terdengar dari luar. Adinda harus segera mengangkat jemuran jadi dia berpamitan pada ayahnya.

“Mumpung kau di situ, tolong bantu pamanmu ya,” pesan ayahnya di akhir panggilan. “Walaupun pakai payung, dia terus kehujanan.”

Adinda tak mengerti apa maksudnya, tapi dia menyanggupinya.

Hujan turus dengan deras dan lama. Tak ada yang tahu kapan siang berganti malam, awan gelap menutup semuanya. Adinda terus menunggu, tapi pamannya tak kunjung pulang. Adinda sudah berniat menelpon pamannya saat pintu depan terbuka dan pamannya masuk dengan tubuh basah kuyup.

Air yang menetes dari pakaiannya membasahi lantai. Buru-buru Adinda mengambil handuk untuk pamannya. Saat dia mendekat, di situ dia baru sadar payung biru muda bermotif bunga matahari yang selalu dibawa oleh pamannya sudah patah menjadi dua.

Wajah Bram tertunduk, tapi Adinda sadar bahwa dia menangis. Apakah hujan yang terlalu deras sudah merusak payung itu? Payung itu sudah berumur 10 tahun, belum pernah Adinda melihat payung yang lebih tua dari itu. Tapi bagi Bram itu bukan sekedar payung rusak. Ada sesuatu yang lebih besar ikut rusak bersama payung itu.

Adinda mendesak pamannya pergi mandi sementara dia memasak air panas dan menyiapkan secangkir kopi. Adinda tak tahu harus apa dengan patahan payung yang kini cuma tergeletak di lantai. Bahkan saat Bram selesai mandi pun dia tak ingin melihat payung itu.

Tak ada yang berusaha memulai pembicaraan. Bram hanya menatap cangkir kopi di tangannya sementara Adinda tak tahu harus berkata apa. butiran hujan yang terus menerpa atap dengan derasnya tak menunjukkan tanda akan surut.

“Arima … suka main hujan,” bisik Bram pelan di tengah gemuruh hujan. “Dulu waktu aku jemput dia pulang sekolah, aku lupa bawa payung. Dengan semangat dia bilang ‘kita lari aja Pa!’ Anak itu suka sensasi butir-butir air itu menekan wajahnya. Seperti dipijat, katanya.”

Adinda hanya diam mendengarkan. Kira-kira sudah berapa lama Bram memendam cerita itu untuk dirinya sendiri?

“Tapi gara-gara hujan dia jadi sakit, demam tinggi. Akhirnya dia pun meninggal. istriku menyalahkanku, aku juga menyalahkan diriku sendiri. Berminggu-minggu aku menangis, tapi aku tahu aku masih punya istri yang perlu kupertanggungjawabkan meski dia membenciku. Akhirnya aku pun kembali bekerja. Aku … melarikan diri ke pekerjaan.”

Suaranya seiring memberat seiring dengan hujan yang semakin deras. Adinda merasa ini pertama kalinya dia benar-benar melihat sosok yang selama ini berlindung di bawah payung itu. Tanpa adanya payung, dia kehujanan. Air matanya terus mengalir layaknya tetesan hujan tanpa henti.

“Istriku tak mau bicara denganku, dan aku tak berani mengajaknya bicara. Aku mengira dia selamanya akan membenciku, tapi suatu sore saat hujan dia mengirimiku pesan. ‘Jangan terobos hujan. Biar kujemput pakai payung.’ Tak bisa kulupakan betapa senangnya aku saat membaca pesan itu. Aku menunggunya dengan senyuman yang tak mau hilang, tapi … dia tidak datang. Dia tak pernah datang.”

Adinda tahu kelanjutan cerita itu. Dia mendengarnya dari ayahnya. Dalam perjalanan membawa payung, istrinya terlibat kecelakaan dan meninggal di tempat.

“Dia cuma ingin memberikan payung itu padaku, memberitahuku untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, tapi hal yang sama malah membuatku kehilangan semuanya. Sejak saat itu, aku terus memakai payung itu. Aku memakainya dengan harapan dia bisa melihatku menepati janjiku dari atas sana. Cuma saat memakai payung itu, aku bisa berhenti merasa bersalah.”

Hujan turun lagi, turun lebih deras. Adinda tak tahu bagaimana harus menghentikan hujan ini. Mungkin, dia juga membutuhkan payung untuk berlindung.

***


Sejak saat itu, Adinda tak pernah lagi melihat pamannya menggunakan payung. Banyak yang bertanya-tanya, sebagian malah menganggapnya sakit karena tak memakai payung. Adinda sendiri merasa cemas.

Apakah ini yang terbaik bagi pamannya?

Namun suatu hari, hujan pun turun. Adinda melihat pamannya menatap hujan cukup lama. Dia hendak berangkat kerja, tapi dia tak menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan payung.

Akhirnya, sebelum pamannya bisa melangkah menerobos hujan, Adinda berdiri di sebelahnya dengan payung yang terbuka melindungi mereka berdua. Bram berhenti bergerak, kepalanya terangkat menatap bagian bawah payung bermotif bunga matahari yang baru Adinda beli.

“Jangan sampai kehujanan,” ucap Adinda pada pamannya. Pamannya diam beberapa saat, lalu tersenyum dengan begitu bahagia.

Adinda tak tahu ke mana orang akan pergi setelah mati, tapi dia yakin istri dan anak pamannya sudah memaafkannya. Sudah sepuluh tahun, ini waktunya bagi Bram untuk memaafkan dirinya sendiri. Dengan atau tanpa payung, hatinya tak akan pernah kehujanan lagi.

***TAMAT***
Diubah oleh ih.sul 03-10-2024 02:08
viensiAvatar border
spaghettimiAvatar border
si.matamalaikatAvatar border
si.matamalaikat dan 19 lainnya memberi reputasi
20
507
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan