- Beranda
- Komunitas
- [Komunitas] Berita dan Poltik
Linglung di Kedalaman Semesta dan Penyesalan Tak Termaafkan


TS
centralspring
Linglung di Kedalaman Semesta dan Penyesalan Tak Termaafkan
Aku bergerak tanpa arah di kedalaman semesta, menyusuri galaksi demi galaksi dengan kapal sihir yang kutumpangi. Langit di luar jendela kapal berubah dari hitam pekat menjadi warna-warna aneh yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Ruang hampa ini begitu sunyi, namun pikiranku semakin bising. Setiap detik yang berlalu, ingatanku tentang Bapak dan Ibu kian buram, seakan mereka terjebak di celah-celah dimensi yang tak bisa kuraih.
Di perjalanan itu, aku mulai merasa ada yang salah. Sesuatu... di luar sana, lebih dari sekadar bintang-bintang atau planet-planet, sesuatu yang kasat mata, menembus tubuhku. Radiasi dari batuan kosmos entah bagaimana merasuk ke dalam diriku, bukan merusak tubuhku secara fisik, tapi pikiranku. Aku jadi linglung, tapi bukan karena obat-obatan terlarang, ini linglung yang berbeda. Ini bukan sembarang linglung, pikiranku diputar balik, dibelokkan ke dalam jurang ilusi kosmik yang nyaris membuatku kehilangan akal.
Kurasakan alam semesta berusaha memainkanku, mencoba menenggelamkanku dalam keputusasaan. Suara-suara aneh terdengar di telingaku, bintang-bintang seakan berbicara dan membentuk pola yang tak kumengerti. Aku hampir menyerah pada kegilaan itu, namun ada satu hal yang terus membuatku bertahan: motivasi. Perjalanan ini belum berakhir, aku belum menemukan Bapak dan Ibu, dan aku tak boleh berhenti di sini. Aku menata pikiranku dengan susah payah, mengusir ilusi yang datang mengaburkan tujuanku. Aku memegang erat tujuan yang ada dalam hati—ada sesuatu yang harus kutempuh.
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa seperti berabad-abad, aku tiba di planet alien penculik itu. Planet besar berwarna keunguan, mengambang sunyi di tengah ruang hampa, dipenuhi dengan makhluk-makhluk yang pernah merenggut keluargaku. Tidak ada rasa takut atau ragu yang tersisa di dadaku, hanya amarah. Tanpa berpikir panjang, aku lepaskan seluruh kekuatan yang telah kupelajari—sihr, jin, dan energi dari Batu Filsuf—semua kuberikan untuk satu tujuan: menghancurkan planet itu beserta seluruh isinya.
Planet itu meledak dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Pecahan-pecahan batu, puing-puing dari bangunan alien, bahkan bintang di dekatnya seakan merespons ledakan yang begitu dahsyat. Alien kecil, alien besar—mereka semua musnah dalam sekejap, tidak meninggalkan apa pun kecuali debu kosmik yang tersebar di angkasa.
Namun, di balik kepuasan sejenak yang kurasakan, tiba-tiba kenyataan menghantamku. Aku berdiri di sana, melayang di antara sisa-sisa kehancuran yang baru saja kuciptakan, lalu sebuah pikiran mengiris masuk ke dalam benakku seperti pisau tajam: Bapak dan Ibu masih ada di planet itu. Mereka... mereka ikut hancur bersamaan dengan alien-alien itu.
Darahku mendadak berhenti mengalir. Lututku terasa lemas, namun bukan karena kopongnya lutut ini, melainkan karena beban kesadaran yang tiba-tiba menghantamku, menindih tubuhku lebih berat daripada gravitasi semesta itu sendiri. "Apa yang sudah kulakukan?" bisikku kepada diriku sendiri, sambil memandang kekosongan di luar sana. Tidak ada yang tersisa. Aku, dalam amarah butaku, telah membunuh orangtuaku sendiri. Tubuhku gemetar, dan mataku terasa perih karena air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Penyesalan ini menenggelamkanku lebih dalam daripada ruang hampa yang ada di luar sana. Aku tak peduli pada alien-alien itu, bagiku mereka hanyalah sekumpulan hewan pintar, tapi Bapak dan Ibu? Mereka tidak pantas mati. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa dalam upayaku menyelamatkan mereka, akulah yang justru mengakhiri hidup mereka.
Namun, di tengah keputusasaan itu, terlintas satu harapan samar di benakku. Tongkat Pembalik Waktu—sebuah artefak legendaris yang bisa mengembalikan kejadian di masa lalu. Konon, tongkat itu tersembunyi di tempat yang tak bisa dijangkau oleh manusia biasa, tetapi dengan kekuatanku sekarang, mungkin aku bisa menemukannya.
Dengan air mata yang belum kering, aku mulai pencarian baru, kali ini bukan hanya untuk menyelamatkan, tapi untuk membetulkan kesalahan terbesarku. Aku takkan berhenti sebelum menemukan tongkat itu, dan jika harus, aku akan kembali ke masa lalu, ke saat aku pertama kali marah tentang motor Aerox itu, dan mungkin... mengubah segalanya sebelum semuanya hancur.
Perjalanan ini belum berakhir. Tapi kali ini, aku tahu apa yang harus kutebus, meski darah, luka, dan air mata harus terus mengalir hingga aku menemukan jalan kembali.
Di perjalanan itu, aku mulai merasa ada yang salah. Sesuatu... di luar sana, lebih dari sekadar bintang-bintang atau planet-planet, sesuatu yang kasat mata, menembus tubuhku. Radiasi dari batuan kosmos entah bagaimana merasuk ke dalam diriku, bukan merusak tubuhku secara fisik, tapi pikiranku. Aku jadi linglung, tapi bukan karena obat-obatan terlarang, ini linglung yang berbeda. Ini bukan sembarang linglung, pikiranku diputar balik, dibelokkan ke dalam jurang ilusi kosmik yang nyaris membuatku kehilangan akal.
Kurasakan alam semesta berusaha memainkanku, mencoba menenggelamkanku dalam keputusasaan. Suara-suara aneh terdengar di telingaku, bintang-bintang seakan berbicara dan membentuk pola yang tak kumengerti. Aku hampir menyerah pada kegilaan itu, namun ada satu hal yang terus membuatku bertahan: motivasi. Perjalanan ini belum berakhir, aku belum menemukan Bapak dan Ibu, dan aku tak boleh berhenti di sini. Aku menata pikiranku dengan susah payah, mengusir ilusi yang datang mengaburkan tujuanku. Aku memegang erat tujuan yang ada dalam hati—ada sesuatu yang harus kutempuh.
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa seperti berabad-abad, aku tiba di planet alien penculik itu. Planet besar berwarna keunguan, mengambang sunyi di tengah ruang hampa, dipenuhi dengan makhluk-makhluk yang pernah merenggut keluargaku. Tidak ada rasa takut atau ragu yang tersisa di dadaku, hanya amarah. Tanpa berpikir panjang, aku lepaskan seluruh kekuatan yang telah kupelajari—sihr, jin, dan energi dari Batu Filsuf—semua kuberikan untuk satu tujuan: menghancurkan planet itu beserta seluruh isinya.
Planet itu meledak dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Pecahan-pecahan batu, puing-puing dari bangunan alien, bahkan bintang di dekatnya seakan merespons ledakan yang begitu dahsyat. Alien kecil, alien besar—mereka semua musnah dalam sekejap, tidak meninggalkan apa pun kecuali debu kosmik yang tersebar di angkasa.
Namun, di balik kepuasan sejenak yang kurasakan, tiba-tiba kenyataan menghantamku. Aku berdiri di sana, melayang di antara sisa-sisa kehancuran yang baru saja kuciptakan, lalu sebuah pikiran mengiris masuk ke dalam benakku seperti pisau tajam: Bapak dan Ibu masih ada di planet itu. Mereka... mereka ikut hancur bersamaan dengan alien-alien itu.
Darahku mendadak berhenti mengalir. Lututku terasa lemas, namun bukan karena kopongnya lutut ini, melainkan karena beban kesadaran yang tiba-tiba menghantamku, menindih tubuhku lebih berat daripada gravitasi semesta itu sendiri. "Apa yang sudah kulakukan?" bisikku kepada diriku sendiri, sambil memandang kekosongan di luar sana. Tidak ada yang tersisa. Aku, dalam amarah butaku, telah membunuh orangtuaku sendiri. Tubuhku gemetar, dan mataku terasa perih karena air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Penyesalan ini menenggelamkanku lebih dalam daripada ruang hampa yang ada di luar sana. Aku tak peduli pada alien-alien itu, bagiku mereka hanyalah sekumpulan hewan pintar, tapi Bapak dan Ibu? Mereka tidak pantas mati. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa dalam upayaku menyelamatkan mereka, akulah yang justru mengakhiri hidup mereka.
Namun, di tengah keputusasaan itu, terlintas satu harapan samar di benakku. Tongkat Pembalik Waktu—sebuah artefak legendaris yang bisa mengembalikan kejadian di masa lalu. Konon, tongkat itu tersembunyi di tempat yang tak bisa dijangkau oleh manusia biasa, tetapi dengan kekuatanku sekarang, mungkin aku bisa menemukannya.
Dengan air mata yang belum kering, aku mulai pencarian baru, kali ini bukan hanya untuk menyelamatkan, tapi untuk membetulkan kesalahan terbesarku. Aku takkan berhenti sebelum menemukan tongkat itu, dan jika harus, aku akan kembali ke masa lalu, ke saat aku pertama kali marah tentang motor Aerox itu, dan mungkin... mengubah segalanya sebelum semuanya hancur.
Perjalanan ini belum berakhir. Tapi kali ini, aku tahu apa yang harus kutebus, meski darah, luka, dan air mata harus terus mengalir hingga aku menemukan jalan kembali.
0
15
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan