Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #97 : Kembar Empat
Short Story #97 : Kembar Empat

Matahari bahkan belum terbit saat suara nada dering ponselku membangunkanku. Dengan malas-malasan aku mengangkatnya. Segera saja kantukku hilang saat mendengar kabar yang terpancarkan dari ujung sana.

“Serius? Anak kembar?”

“Iya, nggak nyangka kan? Dua-duanya lo dapat anak kembar."

Kelahiran anak kembar sebenarnya sudah biasa, tapi apa yang tengah terjadi pada keluargaku di ujung pulau sana terlalu unik untuk tidak diceritakan.

Aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara yang kini tengah merantau untuk kerja di ibukota. Aku punya dua orang kakak dan mereka adalah anak kembar identik. Saking identiknya, sampai sekarang aku masih tidak bisa membedakan keduanya.

Lara dan Rala, keduanya benar-benar seperti pinang dibelah dua. Mungkin yang bisa membedakan mereka cuma diri mereka sendiri. Jika mereka bertukar tempat duduk di kelas tak akan ada yang tahu bedanya.

Keduanya juga punya sifat dan kebiasaan yang sama persis. Ditambah lagi mereka sepertinya punya koneksi spesial yang membuat mereka bisa berbagi pikiran satu sama lain sehingga mereka seperti satu jiwa dengan dua tubuh.

Mereka selalu bersama, melakukan hal yang sama, dan bahkan punya selera yang sama. Musik, buku, pakaian, dan bahkan laki-laki. Pernah saat Sma mereka jatuh cinta pada laki-laki yang sama, dan entah bagaimana ceritanya mereka sepakat memacari pria itu bersama-sama. Kukira pria itu akan senang punya dua pacar sekaligus, tapi ternyata dia kabur karena tak sanggup menangani keduanya.

Pacar berikutnya dan pacar berikutnya lagi juga seperti itu. Tak ada satu laki-laki yang bisa tahan untuk dibagi dua oleh mereka. Akhirnya aku pun mengenalkan mereka pada dua temanku yang juga kembar identik.

Aku cuma melakukan itu karena iseng, tapi mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Dido menikahi Rala dan Dodi menikahi Lara, atau seperti itulah yang tertulis di atas kertas. Kenyataannya, jika mereka saling bertukar tak akan ada di antara kami yang tahu.

Kisah itu saja sudah sangat aneh, tapi ternyata kedua kakakku hamil di saat yang bersamaan dan melahirkan di saat yang bersamaan pula. Terlebih lagi, keduanya melahirkan anak kembar yang aku yakin sembilan puluh sembilan persen pasti sangat mirip satu sama lain.

Kujamin Guinnes Book of Recoldbersedia memberi mereka title keluarga paling aneh. Setelah menghabiskan seumur hidup dengan dua kakak yang tak bisa kubedakan, kini aku punya empat kenponakan yang juga tak bisa dibedakan.

“Sebentar sebentar, kakak kembarmu nikah sama teman kembarmu, terus dua-duanya punya anak kembar?”

Pacarku, Cecile, cuma bisa garuk-garuk kepala saat mendengar ceritaku. Sop buntut yang dia pesan untuk makan siang nyaris dingin gara-gara dia terlalu asyik mendengar cerita yang benar-benar seperti fiksi ini.

“Sebentar sebentar,” ucapnya lagi dengan pose heran yang sama persis seperti sebelumnya, “kembar nikah sama kembar, berarti anak mereka … saudara dong?”

“Maksudnya?”

“Mereka kan dua pasangan kembar, berarti genetik mereka sama. Itu artinya genetik empat anak kembar itu sama persis. Dengan kata lain, secara biologis mereka itu saudara, bukan sepupu.”

“Oh my Holy God!”

Kalau empat anak itu menikah dengan saudara kembar empat, kira-kira apa yang akan terjadi? Ahh, kepalaku terasa gatal memikirkan itu.

Benar saja, saat aku pulang ke kampung halaman, aku sama sekali tak bisa membedakan mereka. Bahkan saat mereka sudah lima tahun pun, aku masih belum tahu mana yang Lani, Lina, Luna, dan Leni. Apalagi karena mereka berempat tinggal serumah (kedua kakakku menolak terpisah meski sudah menikah). Keempatnya benar-benar seperti satu jiwa dalam empat tubuh.

Meski demikian aku menyayangi mereka. Setiap tahun aku selalu menyempatkan diri untuk pulang dan membawa hadiah berupa empat buah baju yang serupa, tapi dengan corak khusus di masing-masing baju agar aku bisa membedakan mereka.

Dan kemudian, Dodi dan Dido meninggal dalam kecelakaan. Saat itu si kembar masih delapan tahun. Aku benar-benar shock saat Kak Rala menyampaikan kabar itu padaku. Sayangnya aku sedang ditugaskan ke luar negeri dan benar-benar tidak bisa kembali untuk pemakaman.

Sejak saat itu aku semakin sering mengunjungi mereka.

Saat mereka berumur sepuluh tahun, aku menikah dengan Cecile. Dia benar-benar tertarik dengan mereka yang dia sebut si Kembar Empat. Dia selalu ikut setiap kali aku mengunjungi mereka, dan Cecile jugalah yang akhirnya membuatku sadar sesuatu yang mungkin sebaiknya tidak kuketahui.

“Kakak-kakakmu … agak aneh belakangan ini.”

Aku menoleh saat Cecile mengucapkan itu dengan mata lurus menatap langit-langit.
“Aneh gimana?” tanyaku sembari menarik selimut agar menutupi dada.

“Gimana ya bilangnya? Kau pernah lihat nggak kedua kakakmu bermusuhan?”

“Musuhan? Ya nggaklah. Kalau cuma ada satu permen buat mereka berdua, mereka lebih milih buang permen itu jauh-jauh daripada berantem gara-gara itu.”

“Hmm … terus kalau permennya nggak bisa dibuang atau nggak bisa dibagi, terus gimana?”

“Maksudmu apa sih?”

Cecile tidak menjawab. Karena aku juga sudah mengantuk, aku tertidur tanpa menunggu jawaban darinya. Keesokan paginya aku sudah sama sekali lupa apa yang Cecile katakan dan Cecile pun tak pernah mengungkitnya lagi.

Namun satu tahun kemudian, saat kami kembali mengunjungi si kembar, aku teringat kembali apa yang Cecile katakan.

“Kak!”

“Iya?” “Iya?”

“Ehh … Kak Lara. Luna mana Kak? Ini baju buat dia.”

“Ohh, lagi beli beras. Bentar lagi juga balik.”

Lani dan Lina adalah anak Kak Rala, sementara Leni dan Luna adalah anak Kak Lara. Meski tak bisa membedakan mereka tapi aku harus ingat nama-nama itu.
Salah satu si kembar keluar kamar dengan baju baru yang kubawa. Dari corak segitiga di lengan, dia adalah Lani.

“Makasih ya, Om.”

Dia kembali masuk kamar dan detik berikutnya keluar lagi si kembar yang lain. Itu Lina yang lengannya bercorak lingkaran. Berikutnya keluarlah Leni bersamaan dengan Luna yang baru pulang beli beras.
Aku bisa merasakan atmosfer rumah jadi agak berubah setelah kematian Dodi dan Dido. Mereka tak lagi terbiasa makan bersama. Bahkan si kembar yang biasanya duduk beriringan menonton tv kini lebih sibuk dengan ponsel masing-masing.

Aku tak yakin bagaimana harus mendidik anak perempuan, tapi Kak Lara dan Rala menyibukkan kami dengan percakapan sampai-sampai aku tak sempat menghabiskan waktu banyak bersama mereka.

“Aneh,” bisik Cecile saat kami sudah berbaring berdua di dalam kamar.

“Apanya yang aneh? Gulai kambingnya keras, iya, tapi normal aja kok.”

“Bukan itu. Ahh, gimana bilangnya ya? Masa kamu nggak sadar sih?”

Cecile menurunkan suaranya seolah tak ingin suaranya tembus ke kamar sebelah. Entah kenapa, aku merasa takut dengan apa yang ingin Cecile katakan. Setengah bagian dari telingaku tak ingin mendengarnya.

“Si kembar empat … apa memang ada empat?”

Pertanyaannya membuatku terjaga sepanjang malam.

Keesokan paginya aku langsung mengecek kamar si kembar. Kosong. Rupanya mereka sudah pergi sekolah pagi-pagi sekali. Kuperiksa keempat tempat tidur, tak ada yang aneh. Barang-barang mereka tersusun rapi di atas meja dan mereka juga merapikan tempat tidur dengan sangat baik.
Tak ada yang aneh … iya kan?

Saat siang tiba, Lina dan Leni pulang terlebih dulu. Katanya Luna dan Lani ada kegiatan di sekolah. Kulihat mereka langsung memeluk ibu mereka masing-masing. Aku menunggu dan menunggu. Tak lama kemudian, Lani dan Luna akhirnya kembali ke rumah. Sama seperti dua yang lain, mereka langsung memeluk ibu mereka masing-masing.
Tidak ada yang aneh. Tidak ada. Tapi … perasaan apa ini?

Seharian aku menghabiskan waktu mengamati mereka. Semakin lama aku melihat semakin kecurigaanku tumbuh besar.

Tak peduli berapa lama aku mengawasi, keempat anak itu tak pernah lagi terlihat bersama.

***


“Makanya aku bilang aneh, mereka cuma ada tiga, bukan empat.”

Aku mengemudi secepat dan sehati-hati yang kubisa sementara Cecile terus mengoceh jauh lebih cepat dari laju mobil. Dia sudah berkali-kali mengintip ke dalam kamar si kembar dan melihat dengan mata kepalanya sendiri cuma ada kembar tiga di dalam ruangan. Tak pernah ada empat.

“Kok bisa?” aku bertanya-tanya. “Aku yakin dulu mereka berempat. Ke mana satu lagi? Siapa yang hilang?”

Kuputar roda kemudi ke kanan dan akhirnya melihat rumah ibuku, rumah tempatku dan kedua kakakku tumbuh. Kuparkir mobil sembarangan dan langsung mengetuk dengan brutal. Ibuku membuka pintu dengan marah-marah, tapi aku terlalu marah untuk takut dengan kemarahannya.

“Ke mana dia?” tanyaku tanpa basa-basi. “Ke mana si kembar yang satu lagi? Kakak-kakakku kayak orang linglung. Ada apa, Ma? Apa yang terjadi?”

Akhirnya Ibu pun menceritakan semuanya. Saat Dodi dan Dido meninggal dalam kecelakaan, salah seorang si kembar ikut bersama mereka. Di kecelakaan itu, tiga orang meninggal. Dua pria dewasa, dan satu anak perempuan berumur delapan tahun.

“Siapa?” tanyaku, “Yang mana?”

Namun Ibu cuma menggeleng.

“Sudah kutanya pada ketiga anak itu, tapi jawaban mereka selalu berubah. Tadinya mereka bilang Lina yang meninggal, lalu kemudian Luna, lalu Leni. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan. Seolah-olah mereka merasa masih berempat.

“Kakak-kakakmu juga jadi gila. Mereka tak bisa membedakan anak-anak mereka dan tak tahu siapa yang sudah kehilangan anak. Anak-anak itu pun mulai berakting, seolah-olah tiga orang bisa jadi empat. Akhirnya kakak-kakakmu pun percaya kalau tak ada yang mati. Apa? Apa yang harus kulakukan kalau begitu?”

Aku dan Cecile saling bertukar pandang, tapi tak ada di antara kami yang mengatakan apa pun. Akhirnya kami pun kembali dan mencoba bicara pada mereka bertiga. Namun, persis seperti yang Ibu katakan, jawaban mereka selalu berubah-ubah.
Meski begitu, saat kutanya mengapa mereka melakukan ini, mereka dengan serempak menjawab.

“Kami tak mau Ibu bermusuhan.”

Sejak salah satu dari mereka meninggal, mereka terus bergantian mengisi posisi anak keempat. Saat dua orang pulang, salah satu akan menyusup keluar untuk pulang bersama yang lain. Mereka makan bergantian, bahkan selalu berganti baju agar tak ada yang curiga. Begitulah caranya mereka mengubah tiga menjadi empat.

Aku bertanya-tanya sampai kapan mereka akan melakukan itu. Sampai mereka dewasa? Sampai Ibu mereka meninggal? Entahlah. Mungkin bahkan selamanya. Mereka akan selalu berempat. Empat tubuh, dengan satu jiwa.

***TAMAT***
senjaperenunganAvatar border
kafeincAvatar border
viensiAvatar border
viensi dan 14 lainnya memberi reputasi
15
595
72
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan