Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #96 : Menikah Lagi
Short Story #96 : Menikah Lagi

Terkadang aku heran betapa cepatnya manusia bisa beralih cinta. Belum 40 hari sejak kematian istriku, aku sudah merasa seperti remaja yang baru pertama kali merasakan cinta. Perasaan itu datang begitu saja. Pemicunya cuma hal kecil, gelembung sabun.

Nadia adalah pegawai baru di restoran milikku. Layaknya pegawai baru, dia cuma disuruh melakukan pekerjaan kasar seperti mengepel dan mencuci piring. Di suatu malam saat aku hendak menaruh panci dan mangkok-mangkok yang harus dicuci di sebelahnya, salah satu sendok penggorengan terjatuh dari tumpukan dan masuk ke air sabun.

Percikannya menimbulkan beberapa buih meluap dan membentuk gelembung sabun kecil yang melayang. Kilauannya menarik perhatian kedua mataku dan tak membiarkannya lepas. Warna pelangi yang menyelimuti permukaannya mengingatkanku pada senja setelah hujan lebat. Momen penuh kenangan itu menguasaiku, membawaku ke masa lalu.

Namun, jari telunjuk kecil terangkat dan menusuk gelembung itu hingga pecah menjadi serpihan embun lembut yang menyebar ke segala arah. Sontak perhatianku pada gelembung itu beralih fokus pada wajah Nadia yang tersenyum dengan mata berbinar-binar layaknya anak kecil yang kegirangan.

Dan bersamaan dengan gelembung itu, kesedihanku pun pecah tak berbekas.
Sejak itu kami jadi dekat secara alami. Saling bertanya kabar, bertukar cerita, sampai akhirnya tumbuhlah rasa. Saat aku menyadari diriku sudah melewati batas, semua sudah terlambat. Aku sudah jatuh cinta padanya.

Jika aku masih punya istri aku akan tahu kalau aku salah dan mundur seketika, tapi statusku sebagai duda yang ditinggal mati istri membuatku tak tahu harus melangkah ke mana. Di satu sisi, aku benar-benar menyukainya. Di sisi lain, istriku baru meninggal sebulan yang lalu. Tak pantas rasanya aku mendekati wanita lain saat kedua keluarga masih berduka.

Gejolak batin ini jauh lebih berat dari sekedar kesedihan. Rasanya seperti selingkuh, tapi tak ada yang diselingkuhi. Rasanya seperti jatuh cinta, tapi terhalang jaring keselamatan. Belum pernah rasanya cinta menyiksaku seberat ini. Tak ada pilihan yang benar-benar bisa membuatku bahagia.

***


“Papa papa!”

Dion, putraku yang masih berumur empat tahun, berlari mendatangiku yang baru saja pulang kerja. Untuk sejenak aku mampu menyingkitkan pergolakan batin dari hatiku dan memberi ruang untuk buah hati semata wayanngku.

“Iya, kenapa anakku?”

“Tadi Om Gilang dateng, terus ngasih Dion robot ultraman!”

Dia mengayun-ayunkan mainan ultraman tiga warna di tangan kanannya dengan antusiasme berlebihan. Ultraman itu mengeluarkan cahaya dari kristal di dadanya sembari mengeluarkan suara-suara asing berbahasa Jepang yang tidak kumengerti. Dion memang suka mainan yang bisa bergerak, mungkin turunan dari ibunya yang suka pemrograman robot.

“Widiihh, keren banget robotnya. Udah bilang makasih belum sama Om Gilang?”

“Belum,” Dion menggeleng cemberut, “tadi Om Gilang datang terus pergi.”

Gilang adalah kakak dari Donna, istriku. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat pemakaman Donna. Katanya sih dia food vlogger yang berkeliling Nusantara untuk mencicipi semua jenis makanan yang pernah dimasak di negeri ini.

Orangnya agak aneh, tapi benar-benar periang dan enak diajak ngobrol. Kalau sudah bahas makanan, semalaman penuh pun dia bisa tahan begadang. Aku kenal dia karena dulu dia sering makan di restoranku dan dari dia jugalah aku akhirnya berkenalan dengan Donna.

“Tadi Gilang dateng ya, Ma?” tanyaku pada ibuku. Selama aku bekerja Dion memang kutitipkan di rumah ibuku.

“Iya, tapi langsung pergi. Katanya sih mau bikin acara makan besar di kota. Tapi katanya besok dia ke sini lagi.”

Besok hari minggu, tapi yang namanya restoran harus selalu buka kapan pun ada yang merasa lapar. Awalnya aku hendak menelepon Gilang, tapi memilih menunggu hingga esok hari tiba.

Betul dugaanku. Keesokan harinya Gilang datang setelah lewat jam makan siang. Kulihat rambutnya yang kribo sudah semakin panjang dan badannya jadi lebih gempal. Kulitnya yang memang agak gelap jadi semakin gelap karna sering terpapar matahari. Sekilas dia mirip almarhum Babe Cabita.

“Apa kabar, Wan? Kau makin kurus ya? Jangan sampai lupa makan lo. Gini ya, di Papua kemarin aku nemu masakan aneh, tapi enak banget. Kecoa digulai. Bayangin, kecoa … digulai! Hitam dibalut kuning, penyakit dibalut kolestrol!”

Aku cuma tertawa kecil mendengarnya yang langsung bicara panjang lebar. Aku benar-benar tak bisa membayangkannya sedih atau depresi. Bahkan saat Donna meninggal dia tidak menangis. Dia cuma diam dan menerima semua sebagai bagian dari kehidupan.

Kuminta pegawaiku menghidangkan beberapa makanan dan kami makan sambil menceritakan cerita kami masing-masing. Kebanyakan cuma aku mendengar sementara Gilang menceritakan kisah-kisah ajaib dan makanan aneh yang dia temui.

“Jadi gini, Wan.”

Aku merasa Gilang akhirnya sampai ke inti cerita saat piring-piring sudah dibawa pergi. Dulu dia pernah bilang padaku bahwa topik berat harus dibicarakan saat perut sudah kenyang agar suasana hati lebih riang.

“Aku mau nikah lagi.”

Aku menarik napas dalam-dalam saat mendengar itu. Gilang pernah menikah, tapi bercerai kurang dari setahun karena alasan yang aku sendiri pun tak tahu kenapa. Itu sudah lebih dari lima tahun yang lalu. kurasa lima tahun sudah terhitung cukup panjang untuk akhirnya menikah lagi.

“Selamat ya. Sama siapa?” tanyaku.

“Sama mantan istriku. Kami rujuk lagi.”

Itu benar-benar membuatku terkejut. Aku kenal beberapa orang yang menikah berkali-kali, tapi kurasa tak ada satu pun kenalanku yang pernah rujuk kembali dengan mantan istri atau suaminya.

“Kalian rujuk lagi?” tanyaku. “Kalo boleh tahu, kenapa dulu kalian bisa sampai cerai?”

Gilang memasang ekspresi rumit yang tidak cocok dengan dirinya. jika orang periang tiba-tiba jadi diam, percayalah itu bukan pertanda baik.

“Dia … jatuh cinta sama orang lain,” bisiknya nyaris tak terdengar. Aku tak bisa mempercayai apa yang kudengar, tapi aku yakin aku tak salah dengar. Aku menunggu beberapa saat, siapa tahu Gilang tiba-tiba akan berteriak ‘April Mop!’ tapi ternyata dia benar-benar serius dengan apa yang dia katakan.

“Istrimu … selingkuh?”

Gilang menggeleng.

“Dia jujur,” ucap Gilang masih dengan berbisik. “Suatu hari tiba-tiba dia bilang kalau dia jatuh cinta sama orang lain. Aku nggak bisa marah. Aku marah, jelas, tapi aku nggak bisa marah ke dia. Dia jujur, dia nggak selingkuh, tapi hatinya diambil oleh orang lain. Kami bisa aja lanjutkan pernikahan kami, tapi kalau hatinya bukan untukku terus apa gunanya?”

Awalnya aku merasa itu alasan yang menggelikan, tapi kemudian aku sadar kalau Gilang tersiksa dengan perasaan yang bertolak belakang. Sama seperti dirinya.

“Terus, sekarang dia mau rujuk samamu lagi?” tanyaku. Gilang mengangguk.

“Laki-laki yang dia suka meninggal tahun lalu,” jawab Gilang, masih berbisik. “Kami cuma chat kecil-kecilan, tapi ternyata rasa itu tumbuh lagi. Aneh memang, tapi kadang begitulah hidup. Aku tetap cinta sama dia padahal dia bisa aja jatuh cinta sama orang lain. Aku masih ingin menikahinya padahal belum tentu dia akan mencintaiku selamanya. Mungkin kami bakalan nikah-cerai seumur hidup, tapi aku tetap ingin memilih jalan ini.”

Gilang menyesap tetes terakhir es tehnya. Aku meminta salah satu pegawai untuk mengisi ulang minuman kami. Nadia datang dan membawakan dua gelas es teh manis lain. Aku sengaja mengalihkan pandanganku darinya. Perasaan tak etis yang sudah lama kurasakan menjadi berlipat ganda karena Gilang ada di sini.

“Aku nggak bakal menasehati apa-apa sih,” ucapku pelan setelah Nadia pergi, “aku cuma ngingatin, kau harus siap kecewa kapan aja. Selalu siap sakit hati. Karena … masa depan memang nggak ada yang tahu. Kita bisa aja punya rencana penisun bersama, tapi ternyata setengah pensiun pun kita tak sampai.”

Gilang menepuk pundakku agak keras. sedikit kesedihan yang menjelma menjadi air mata di pipiku ternyata menyadarkanku akan pilihan-pilihan yang harus kuambil. Tak peduli pilihan apa yang kuambil, tak ada yang bisa menjamin aku tak akan menyesal.

“Aku siap sakit hati lagi,” ucap Gilang sembari meremas-remas pundakku. “Anggap aja semua sebagai pelajaran hidup, Wan. Kita masih muda, belum kepala tiga, hidup yang sebenarnya baru mulai di umur 40. Kalau masih muda, wajar aja membuat pilihan-pilihan bodoh.”

Ada banyak salah logika di perkataannya, tapi aku cuma tersenyum dan mengharapkan yang terbaik. Mungkin saja Gilang bisa mempertahankan rumah tangganya sampai tua. Mungkin dia sudah belajar cukup banyak dari kegagalannya dan siap mencoba lagi. Kalau tidak dicoba, bagaimana bisa tahu?

“Terus, kau sendiri gimana Wan? Udah ada rencana nikah lagi?”

Nyaris aku tersedak. Jika orang lain yang mengatakan itu aku mungkin takkan sekaget ini, tapi ini Gilang, kakak kandung dari Donna.

“Kau ngomong apa sih? Baru sebulan lo ….”

“Sikapmu kayak kita baru kenal aja. Itu kan orangnya, yang tadi ngantar minum?”

Aku tercengang. Segala kepura-puraanku benar-benar tak ada artinya di hadapan Gilang. Aku tak mau mengakuinya, tapi berbohong hanya akan menambah panjang permasalahan. Ini adalah gejolak emosi yang sudah menghantuiku sejak lama, tapi belum pernah kuungkapkan dalam bentuk apa pun atau ke siapa pun.

Meski demikian, di depan Gilang, aku mengangguk tanpa berani menatap wajahnya.

“Jatuh cinta itu normal-normal aja, Wan.” Dengan santai Gilang menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya menerawang ke luar pintu, mengamati mobil-mobil berlalu-lalang tanpa memperdulikan siapa menyukai siapa.

“Kehilangan memang menyakitkan, tapi hati akan sembuh dan belajar mencintai lagi. Mungkin kau nganggap perasaanmu nggak etis, tapi yang namanya cinta nggak pernah peduli sama situasi kita. Kalau kau memang bahagia kejar aja, Wan. Tapi tanya dulu dirimu sendiri. Tanya terus hatimu.”

Sembari meninggalkan pesan itu, Gilang pun pergi. Aku tak yakin apakah dia baru saja memberiku restu, tapi aku malah jadi semaking bingung dengan perasaanku sendiri. Apa sebenarnya yang membuatku bahagia?

***


“Papa papa, kita jadi ke Tamrek kan?”

“Iya, jadi. Yuk naik.”

Kubukakan pintu mobil untuknya dan Dion naik dengan bersemangat. Langit agak gelap, tapi aku tak bisa menahan kegembiraan Dion yang pasti bosan di rumah terus. Rasanya sudah lama kami tidak pergi berdua. Biasanya … selalu bertiga.

Benar saja, bahkan sebelum kami mencapai taman rekreasi, hujan deras sudah turun mengguyur penjuru kota. Sempat kutawarkan pada Dion untuk berbalik ke rumah, tapi dia mengambek sembari memukuli kaca depan dengan robot ultraman-nya. Akhirnya aku pun tetap mengendarai mobil hingga mencapai tamrek. Kuparkirkan mobilku di tempat parkir lalu mematikan mobil.

Sekarang, apa?

“Pa … pengen makan siomay.”

Dion merengek. Di mana aku bisa mendapat siomay dalam situasi seperti ini? Siomay yang dia mau juga pasti bukan siomay sembarangan. Itu harus siomay ikan dengan saus kacang yang diblender sampai halus. Persis seperti yang selalu ibunya buat saat kami pergi liburan.

Aku masih tak yakin apakah Dion benar-benar mengerti bahwa ibunya telah tiada. Orang dewasa dengan otak yang bisa membedakan baik dan buruk pastilah merasa sedih, tapi anak kecil yang masih harus dipaksa untuk menyikat gigi tidak akan paham.

“Permen aja mau nggak?” tawarku sembari merogoh beberapa butir permen yang terselip di antara kursi mobil.

“Mau siomaaayyyy ….”

Butuh waktu cukup lama sampai aku bisa membujuknya agar tenang. Setelah dijanjikan ini dan itu, akhirnya Dion pun kembali diam. awalnya aku takut dia akan menemukan alasan untuk menangis lagi, untungnya hujan perlahan mereda. Cukup reda bagi kami untuk bisa memasuki taman.

Tak ada setitik pun kemurungan yang tersisa di wajah Dion saat pemandangan taman tersaji di depan matanya. Aku cuma bisa setengah hati melarangnya berlarian melintasi tanah yang becek. Aroma tanah yang baru saja diguyur hujan membuatku rileks. Sinar matahari yang kembali bisa menembus awan memberikan pemandangan yang indah.

Ada alasannya mengapa taman ini begitu spesial bagi kami. Ini adalah tempat di mana aku pertama kali menembak Donna. Saat itu kami masih Sma, masih belum tahu bahwa taman ini akan tetap buka sepuluh tahun kemudian.

Kalau diingat-ingat, kisah cintaku dan Donna terkesan cukup unik. Saat itu dia sebenarnya sedang pacaran dengan seseorang, tapi tetap menyatakan cintaku padanya. Aku yakin dia mengalami gejolak emosi yang cukup luar biasa atas pengakuanku yang mendadak, tapi seminggu kemudian dia putus dengan pacarnya dan kami pun pacaran diam-diam.

Aku cuma nyengir saat mengingat kembali masa-masa itu. Sejak saat itu kami jadi sering mampir ke taman ini. Bahkan ulang tahun ketiga Dion pun kami rayakan di sini.

Saat itu juga sore, hujan baru saja reda. Kilauan cahaya jingga memantul di permukaan air dan embun dedaunan. Saat Dion tengah bermain dengan girangnya, aku bertanya pada Donna; ‘apakah kau bahagia?’

“Tentu,” jawabnya tanpa ragu. “Aku sekarang lebih peduli sama Dion. Asalkan dia bahagia, aku juga bahagia.”

Kira-kira kenapa aku mengingat itu lagi?
Apakah karena aku tengah mencari tahu apa yang sebenarnya membuatku bahagia? Untuk sekarang aku tak tahu, tapi dulu apa pun yang membuat Donna bahagia akan membuatku bahagia. Baru setelah dia tiada aku menyadari betapa hampa sebenarnya hidupku.

“Papa Papa, kok Papa nangis sih?”

“Nggak apa-apa sayang, nggak apa-apa.”

“Jangan nangis Pa. Kalau Papa nangis nanti aku ikut sedih.”

“Iya, Papa nggak akan nangis lagi.”

Kurasa aku sebenarnya tahu apa yang membuatku bahagia. Aku ingin Dion bahagia, dan Dion ingin agar aku bahagia. Kurasa kebahagiaan sederhana seperti itu sudah cukup untuk saat ini. Aku ingin Dion tumbuh lebih dewasa untuk paham mengenai kebahagiaan sebelum mengambil keputusan besar yang dapat merubah hidup kami.

Aku pun teringat Nadia. Aku … suka dia. Kuyakin begitu. Namun belum saatnya. Ini masih terlalu cepat.

“Lo? Pak Bos?”

Awalnya kukira itu cuma halusinasi karena aku tengah memikirkannya, tapi ternyata Nadia benar-benar memanggilku dari belakang. Tadinya melihat Nadia seperti itu akan membuat emosiku bergejolak, tapi kali ini rasanya hatiku lebih tenang. Jantungku berdebar lebih kencang dari normal, tapi semua sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

“Nadia? Kamu ngapain di sini?”

“Lagi … pacaran!”

“Hmm?”

“Ahh, kenalin Pak Bos. Ini pacarku Dio, kami bakal nikah bulan depan. Tunggu undangannya ya.”

Aku terdiam, berdiri mematung sementara otakku mencoba mencari sinyal yang mendadak hilang. Saat sudah connect, aku pun tertawa.

“Iya iya, pasti aku datang.”

Lega rasanya. Benar-benar lega. Mungkin yang dikatakan Gilang memang benar. Segala hal, entah buruk maupun indah, semua hanyalah bagian dari kehidupan. Suatu saat, hati ini akan sembuh dan aku akan siap mencintai seseorang sekali lagi.

Sampai saat itu tiba, kurasa aku akan setia dengan cincin di jariku sedikit lebih lama.

***
itkgidAvatar border
regmekujoAvatar border
si.matamalaikatAvatar border
si.matamalaikat dan 18 lainnya memberi reputasi
19
774
15
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan