- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
HORROR - RARASUKMA (AUL)


TS
jurigciwidey
HORROR - RARASUKMA (AUL)

Ini adalah lanjutan dari cerita RARASUKMA DESA KOLONG MAYIT yang ada disini
Quote:
Sebuah Desa kini sedang berduka, karena mereka kini kehilangan sesosok orang yang mereka hormati seumur hidup mereka.
Seorang anak yang tumbuh besar di desa itu, dan meniti karir di kota besar hingga akhirnya sukses disana.
Anak itu tidak lupa dengan desanya, bahkan setelah dia meninggal dia ingin di makamkan di desa tersebut sebagai peristirahatan terakhirnya.
Namun, ada sebuah ritual pemakaman disana yang membuat istrinya tercengang, karena dia baru mengetahui bahwa ada misteri besar yang bisa membuat mereka terkena petaka apabila dirinya tidak dimakamkan sebagaimana mestinya.
Seorang anak yang tumbuh besar di desa itu, dan meniti karir di kota besar hingga akhirnya sukses disana.
Anak itu tidak lupa dengan desanya, bahkan setelah dia meninggal dia ingin di makamkan di desa tersebut sebagai peristirahatan terakhirnya.
Namun, ada sebuah ritual pemakaman disana yang membuat istrinya tercengang, karena dia baru mengetahui bahwa ada misteri besar yang bisa membuat mereka terkena petaka apabila dirinya tidak dimakamkan sebagaimana mestinya.
Quote:
PROLOG
Di pagi itu, ada sebuah pemandangan berbeda yang terlihat di salah satu desa di salah satu gunung yang ada di selatan Jawa Barat.
Tidak seperti biasanya, terdengar suara orang-orang berjalan begitu terlihat tergesa-gesa tanpa ada satu orang pun yang berbicara.
Mereka semua hening, hanya suara langkah mereka yang melangkah ke tujuan yang sama, suasana pun mendadak ramai di salah satu rumah warga.
Rumah warga itu adalah rumah yang paling besar di desa tersebut, rumah itu memang jarang di huni sehingga seringkali nampak kosong, namun para pemilik dari rumah itu sangatlah dihormati oleh mereka semua, sehingga ketika kejadian ini terdengar oleh seluruh warga, mereka berbondong-bondong untuk datang ke rumah itu dan meninggalkan pekerjaan mereka sebagai petani dan pencari madu di hutan pagi itu.
Nampaknya, mereka sedang berduka. Karena salah seorang penghuni rumah itu meninggal di hari ini. Sudah menjadi salah satu tradisi di desa, apabila ada yang meninggal, mereka ikut membantu untuk proses pemakamanya.
Para warga sengaja menghentikan aktivitasnya hari itu untuk membantu proses pemakamanya. Terlihat pula isak tangis dari para ibu-ibu yang datang di hari itu.
Mereka tahu, orang yang ditinggalkan adalah orang yang membantu mereka di desa, meskipun dia jarang sekali pulang dan tinggal di kota besar, namun dia tidak lupa dengan para warga desa, sehingga para warga pun menghormatinya karena mau bagaimanapun dia adalah orang yang lahir dan besar di desa ini.
Banyak sekali warga desa yang turut membantu, sebagian dari mereka membantu memandikan jenazah, dan sebagian lagi pergi ke pemakaman umum di ujung desa untuk menggali makam tepat di samping makam keluarganya.
Dia datang dengan mobil jenazah dari kota besar, di susul dengan istrinya yang memakai mobil mewah di belakangnya, sang istri dengan wajah yang sedih sedang sibuk untuk menelepon anaknya yang kini entah dimana, dengan kondisi desa yang sedikit terpencil dan jauh dari perkotaan, membuat dirinya kesusahan ketika sedang menghubungi anaknya itu.
“Bu?, si bapak apakah bisa kita mandikan bu, karena disini ada sebuah adat istiadat bahwa ada dua kali proses memandikan jenazah, yaitu di rumah dan nanti di pemakaman,” kata salah satu sesepuh desa yang nampak sangat menghormatinya.
Dia berbicara sangat pelan, bahkan dia tampak tidak mau mengganggu dirinya yang terlihat bersedih dengan HP yang dia pegang untuk menghubungi anaknya.
Sang istri yang tidak tahu budaya dari desa tempat halaman sang suami hanya bisa mengangguk, dia sudah mempercayakan semuanya dengan warga desa yang membantunya untuk proses pemakaman suaminya.
“Silahkan Mang Uum, mohon di bantu aja untuk pemakaman suamiku,” jawab istrinya sambil sedikit tersenyum.
Mang Uum hanya mengangguk, ketika istrinya berkata seperti itu, raut wajahnya yang nampak sedih masih terlihat jelas, sehingga Mang Uum seketika langsung mundur dari hadapannya dan memberi instruksi kepada para warga yang ingin memandikan jasadnya.
Proses memandikan dan memakaikan kain kafan kepadanya tidak berlangsung lama, jasad yang nampak sedikit gemuk dengan umurnya yang tidak muda lagi langsung di bersihkan, semua kotorannya dibuang dengan air yang mengalir dari pegunungan yang letaknya tak jauh dari desa tersebut.
Semua orang menunduk ketika melihat jasad itu untuk terakhir kalinya. Bagaimana tidak, dia adalah satu-satunya orang yang sukses meniti karir di perkotaan, dia juga tak lupa dengan para warga sehingga seringkali membantu mereka yang sedang kesusahan.
Jasad yang sudah dimandikan itu seketika langsung di balut dengan kain kafan putih, kepalanya kini di tutup secara perlahan, bahkan kini ujung kepalanya diikat bersamaan dengan kedua kaki dan tubuhnya.
Para warga yang berkumpul di dekat rumahnya saling mengangkat jasadnya satu sama lain untuk langsung dimasukkan ke keranda, lalu tak lama mereka bergantian untuk menggotong jasadnya ke arah pemakaman yang sudah disiapkan.
Terlihat beberapa rombongan yang saling beriringan menuju ke salah satu pemakaman umum yang ada di desa itu.
Sang istri yang ditinggalkan hanya bisa berjalan di dekatnya sambil menangis, kehilangan sosok orang yang dicintainya adalah suatu hal yang berat baginya.
Apalagi, mungkin dia akan hidup sendirian sekarang, karena anaknya jarang pulang dan berkumpul bersamanya setelah ada kejadian yang menimpanya.
Keranda mayat itu terlihat penuh dengan kalungan bunga berwarna-warni, Para warga desa yang menghormatinya kini mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya sehingga jalanan di desa nampak penuh oleh seluruh warga yang tinggal disana.
Tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak kecil yang seharusnya sekolah kini ikut untuk mengantarkan dirinya ke tempat terakhirnya.
Orang-orang tampak begitu terpukul, suasana begitu duka sehingga di setiap langkah rombongan pengantar jenazah hanya terdengar suara tangis.
Tentu saja begitu berat bagi semua orang melepas kepergian orang yang begitu banyak berjasa, orang yang selalu menyapa dengan riang ketika pulang ke desa, dan selalu siap membantu kapanpun waktu nya jika warga membutuhkan, membuat mereka semua kehilangan sosok yang mereka hormati semasa hidupnya.
Pemakaman umum letaknya di ujung desa, yang bersebelahan dengan sungai yang melewati jalanan desa di sebelah utara.
Pemakaman itu awalnya adalah tanah kosong yang hanya rumput-rumputan saja yang tumbuh disana, akhirnya dipakai oleh pemakaman oleh masyarakat desa karena lokasinya pun tidak begitu jauh dari pemukiman warga.
Pemakaman tersebut dipakai dari jaman dulu hingga sekarang,makam itu akan sangat ramai di waktu-waktu tertentu seperti ketika di hari raya, atau sebelum melaksanakan pernikahan.
Mereka berziarah kesana mengunjungi makam orang tuanya, juga ke makam kakek nenek hingga leluhurnya. Karena dari jaman dahulu semua masyarakat desa yang meninggal pasti dimakamkan di sana.
Rombongan itu berjalan menyusuri melewati beberapa rumah warga hingga ke ujung desa. lalu kemudian rombongan itu masuk ke salah satu jalan setapak, dengan jalan dengan kontur tanah yang apabila berjalan di jalan itu di malam hari akan terasa becek dan bercampur lumpur.
Jalan setapak itu nampak terjal karena menurun dan kontur tanahnya tidak rata. Di kanan kirinya tumbuh pohon liar yang dibiarkan begitu saja oleh warga desa, dan dedaunanya menghalangi sinar matahari sehingga suasananya terlihat sangat sejuk, terlihat juga beberapa daun yang berjatuhan diterpa angin dan suara-suara serangga yang ada di dahan pohon yang menemani rombongan itu berjalan.
Setelah hampir sepuluh menit berjalan menyusuri desa dan jalanan setapak yang rimbun dengan pepohonan, akhirnya mereka sampai ke tempat yang sudah dituju disana.
Yaitu.
PEMAKAMAN DESA BABAKAN
Tiang-tiang gapura itu sudah terlihat usang tiang-tiangnya sudah berkarat, dan tulisan di atasnya sudah tidak jelas terlihat karena cat yang luntur, dan warna putih di atasnya pun sudah terlihat menguning.
Namun, sang istri terlihat heran karena ada suatu tulisan yang terlihat tertutup di gapura tersebut, sebuah nama yang nampaknya asing yang tertulis di sana.
“Desa babakan, A, a, aul?” gumamnya dengan nada yang pelan.
Dia berhenti sejenak ketika membaca tulisan itu, lalu tak lama dia merasakan seperti ada hawa yang dingin berhembus ke arahnya, hawa sejuk yang terasa mendadak dingin ketika dia membaca tulisan yang tertutup cat yang sudah usang di gapura pemakaman.
Tubuhnya seketika bergidik kedinginan, dan tak lama kemudian, dia nampak tersadarkan karena dirinya sudah ditinggalkan oleh rombongan suaminya yang masuk ke tengah-tengah pemakaman.
Tak lama kemudian, dia langsung mengejarnya, dan berlari pelan untuk menyusul rombongan itu sambil memikirkan kata-kata Aul yang dia ucapkan di dekat gapura pemakaman.
Tanah pemakaman itu membentang luas, disana terlihat banyak makam dari beberapa generasi yang dimakamkan di sana.
Sang istri melihat makam-makam itu yang memakai yang memakai batu sebagai dinding makam, hingga makam yang sudah dilapisi oleh keramik di sekeliling makamnya.
Hawa dingin yang dia rasakan di gapura secara perlahan berubah kembali, dirinya kini merasakan rasa takut di sekujur tubuh. Apalagi di tengah-tengah pemakaman itu terdapat satu pohon beringin yang besar yang berdiri kokoh.
Saking rindangnya, ranting-rantingnya menutupi sinar matahari yang masuk menutupi makam-makam di sekitarnya sehingga tidak tersinari oleh matahari.
Rombongan itu kemudian belok ke salah satu sudut pemakaman itu. Disana terdapat salah beberapa dengan dinding batu dan pohon yang tumbuh di atas makamnya. Terlihat tulisan dengan tanggal lahir dan tanggal meninggal yang terlihat usang dan sedikit muncul lumut di ujungnya. Di sebelahnya ada makam kosong yang sudah digali, dan itu adalah tempat peristirahatan suaminya yang terakhir.
Semua keluarganya dimakamkan disana, dari mulai nenek, kakek, hingga buyut dan keturunannya, sehingga dirinya pun harus dimakamkan di sana.
“Bu?” kata Mang Uum yang kini mendekatinya lagi setelah sampai di pemakaman itu.
“Ibu mungkin tidak akan melihat hal ini di tempat lain, aku mohon ibu bisa menjaga rahasia ini diluar desa kita, seharusnya orang luar desa seperti ibu tidak bisa menyaksikan proses pemakaman ini, namun karena bapak berjasa bagi kita semua, sehingga kita sepakat untuk membiarkan ibu mengantarkan bapak ke tempat yang terakhir kalinya.”
Mang Uum berkata seperti itu dengan nada yang sangat pelan, istrinya yang masih belum mengerti atas apa yang diucapkan oleh Mang Uum hanya bisa mengangguk.
Memang, pemakaman ini nampaknya ada sebuah perbedaan, terlihat ada beberapa orang yang berdiri di salah satu tempat yang ditutup oleh kain jarik di sekelilingnya, terlihat pula beberapa gedebog pisang dengan air yang mengalir dengan selang kecil di atasnya.
Tempat itu seperti pemandian mayat yang dibuat secara mendadak disana, lalu di sebelahnya ada beberapa orang yang sibuk untuk mengasah golok dengan kedua tangannya.
Dia tidak tahu ada sebuah ritual adat apa di pemakaman ini, namun dia hanya bisa mengangguk karena ini mungkin sudah tradisi turun-temurun di tempat ini sekarang.
Mang Uum yang awalnya berdiri di dekatnya, seketika berjalan kembali ke arah para warga yang ingin menurunkan jasad tersebut, sedangkan istrinya nampaknya kembali sibuk dengan HP nya yang ingin menelepon anaknya yang kini entah dimana.
Pemakaman itu begitu cepat, tidak ada kendala ketika proses pemakaman itu terjadi, bahkan ketika jasad itu diturunkan dan di tutup kembali oleh tanah yang ada di atasnya.
Namun, ketika tanah itu selesai diturunkan, orang-orang tidak menancapkan batu nisan di sana, mereka malah terdiam dan melirik ke sekitar pepohonan yang ada di pemakaman.
Semuanya hening, tidak ada satupun yang berbicara atau bergerak dari tempatnya, hal itu tentu saja membuat istrinya merasa aneh dengan mereka semua, bahkan ketika dirinya ingin mendekati Mang Uum untuk bertanya atas apa yang terjadi disana, salah satu warganya tiba-tiba mengangkat tangannya seperti melarang dirinya untuk berjalan di pemakaman itu.
Bahkan, dia mengangkat salah satu tangannya dan mendekatkannya ke arah mulutnya.
“Ssst, jangan bergerak dulu,” katanya dengan nada pelan.
Para warga desa, terus terdiam, mata dan pandangannya terlihat melihat ke sekeliling pemakaman itu dengan perasaan yang was-was.
Lalu, tak lama kemudian.
Wusssshhhh
Terlihat hembusan angin besar yang berhembus tepat dari arah pohon beringin yang letaknya di tengah hutan.
Angin tersebut benar-benar bergemuruh, sehingga membuat dirinya langsung membalikan badannya.
Entah apa yang terjadi di proses pemakaman ini, namun sepertinya para warga sudah sering mengalami hal tersebut sehingga mereka nampak terdiam dan tidak bergerak.
Angin besar itu seperti memutar di area pemakaman, dedaunan yang ada di sekitarnya seketika berjatuhan dan mengotori pemakaman yang luas itu.
Angin itu berhembus selama beberapa menit, lalu tak lama kemudian angin itu menghilang secara perlahan-lahan disana hingga angin itu menghilang sepenuhnya.
Tiba-tiba.
Haaaaahhhh
Semua warga menghembuskan nafas lega, Mang Uum juga para warga yang tadi terdiam kini mengangguk pelan dan kembali tersenyum, bahkan salah satu warga yang menahannya kini menurunkan kembali tangannya dan mempersilahkan istrinya untuk mendekati Mang Uum.
Namun, sesuatu terjadi ketika dia baru saja ingin melangkahkan kakinya. karena tepat ketika dia baru saja melangkah, tiba-tiba dia dikejutkan dengan beberapa orang yang kembali menggali makam suaminya.
Mereka kembali menggali makam itu hingga jasad suaminya kembali terlihat, lalu tak lama kemudian jasad itu kembali diangkat, bahkan ikat kepalanya di buka kembali ketika jasadnya di letakan di gedebog pisang yang sudah dipersiapkan.
Tentu saja, hal itu menjadi pertanyaan bagi istrinya, bahkan dia langsung mendekati Mang Uum yang memimpin proses itu.
“Mang, punten (maaf), kenapa makam suamiku di gali lagi?” tanyanya dengan nada heran.
Mang Uum sedikit tersenyum, dia hanya berkata bahwa ini adalah tradisi yang ada di tempat ini, dan hal ini memang sudah terjadi ratusan tahun lamanya sehingga hal ini sudah biasa dilakukan ketika ada warga yang sudah meninggal.
Dia hanya bisa mengangguk dengan banyak pertanyaan di dalam pikirannya, apalagi dia melihat seseorang yang terlihat fokus mengasah goloknya di salah satu pemakaman yang ada di ujung sana.
Entah apa yang akan dilakukan terhadap suaminya, namun dia merasakan hal yang aneh atas hal tersebut sehingga dia kembali bertanya tentang ritual yang akan dilakukan sekarang.
“Memangnya mang, apa yang akan dilakukan terhadap jasad suamiku sehingga harus di gali lagi, apalagi katanya jasad itu harus dimandikan lagi sekarang?” tanyanya dengan nada penasaran.
Mang Uum kembali menangguk, awalnya dia nampak enggan untuk menjelaskannya, namun di hadapannya kini adalah seorang istri yang dihormati oleh semua warga desa, sehingga dia mau tidak mau harus menjelaskan apa yang terjadi disana.
“Jadi gini bu, jasad si bapak harus dimandikan lagi karena nanti ada darah yang keluar, sehingga ketika dimakamkan kembali akan bersih kembali.”
“Mungkin, ibu tidak akan menemukan adat seperti ini di tempat lain.”
“Namun…..”
Mang Uum tiba-tiba terdiam, dia mencoba mencari kata-kata yang bisa dimengerti olehnya sebelum akhirnya dia berbicara kembali.
“Jasad si bapak harus mengikuti aturan yang ada di desa ini, bapak mungkin tahu akan aturan ini bu, karena bapak dan kakek serta leluhurnya pun melakukan hal yang sama di desa ini.” katanya dengan nada yang pelan.
“E, emangnya, jasad bapak mau di gimanain?” tanyanya dengan nada yang semakin penasaran.
Mang Uum kembali terdiam, bahkan dia menatap jasad itu sebentar sambil menarik nafas panjang.
“Semua jasad yang dimakamkan disini, harus di potong kepalanya dan hanya dimakamkan tanpa kepala bu, karena kalau tidak, maka desa ini akan dilanda malapetaka.”
Di pagi itu, ada sebuah pemandangan berbeda yang terlihat di salah satu desa di salah satu gunung yang ada di selatan Jawa Barat.
Tidak seperti biasanya, terdengar suara orang-orang berjalan begitu terlihat tergesa-gesa tanpa ada satu orang pun yang berbicara.
Mereka semua hening, hanya suara langkah mereka yang melangkah ke tujuan yang sama, suasana pun mendadak ramai di salah satu rumah warga.
Rumah warga itu adalah rumah yang paling besar di desa tersebut, rumah itu memang jarang di huni sehingga seringkali nampak kosong, namun para pemilik dari rumah itu sangatlah dihormati oleh mereka semua, sehingga ketika kejadian ini terdengar oleh seluruh warga, mereka berbondong-bondong untuk datang ke rumah itu dan meninggalkan pekerjaan mereka sebagai petani dan pencari madu di hutan pagi itu.
Nampaknya, mereka sedang berduka. Karena salah seorang penghuni rumah itu meninggal di hari ini. Sudah menjadi salah satu tradisi di desa, apabila ada yang meninggal, mereka ikut membantu untuk proses pemakamanya.
Para warga sengaja menghentikan aktivitasnya hari itu untuk membantu proses pemakamanya. Terlihat pula isak tangis dari para ibu-ibu yang datang di hari itu.
Mereka tahu, orang yang ditinggalkan adalah orang yang membantu mereka di desa, meskipun dia jarang sekali pulang dan tinggal di kota besar, namun dia tidak lupa dengan para warga desa, sehingga para warga pun menghormatinya karena mau bagaimanapun dia adalah orang yang lahir dan besar di desa ini.
Banyak sekali warga desa yang turut membantu, sebagian dari mereka membantu memandikan jenazah, dan sebagian lagi pergi ke pemakaman umum di ujung desa untuk menggali makam tepat di samping makam keluarganya.
Dia datang dengan mobil jenazah dari kota besar, di susul dengan istrinya yang memakai mobil mewah di belakangnya, sang istri dengan wajah yang sedih sedang sibuk untuk menelepon anaknya yang kini entah dimana, dengan kondisi desa yang sedikit terpencil dan jauh dari perkotaan, membuat dirinya kesusahan ketika sedang menghubungi anaknya itu.
“Bu?, si bapak apakah bisa kita mandikan bu, karena disini ada sebuah adat istiadat bahwa ada dua kali proses memandikan jenazah, yaitu di rumah dan nanti di pemakaman,” kata salah satu sesepuh desa yang nampak sangat menghormatinya.
Dia berbicara sangat pelan, bahkan dia tampak tidak mau mengganggu dirinya yang terlihat bersedih dengan HP yang dia pegang untuk menghubungi anaknya.
Sang istri yang tidak tahu budaya dari desa tempat halaman sang suami hanya bisa mengangguk, dia sudah mempercayakan semuanya dengan warga desa yang membantunya untuk proses pemakaman suaminya.
“Silahkan Mang Uum, mohon di bantu aja untuk pemakaman suamiku,” jawab istrinya sambil sedikit tersenyum.
Mang Uum hanya mengangguk, ketika istrinya berkata seperti itu, raut wajahnya yang nampak sedih masih terlihat jelas, sehingga Mang Uum seketika langsung mundur dari hadapannya dan memberi instruksi kepada para warga yang ingin memandikan jasadnya.
Proses memandikan dan memakaikan kain kafan kepadanya tidak berlangsung lama, jasad yang nampak sedikit gemuk dengan umurnya yang tidak muda lagi langsung di bersihkan, semua kotorannya dibuang dengan air yang mengalir dari pegunungan yang letaknya tak jauh dari desa tersebut.
Semua orang menunduk ketika melihat jasad itu untuk terakhir kalinya. Bagaimana tidak, dia adalah satu-satunya orang yang sukses meniti karir di perkotaan, dia juga tak lupa dengan para warga sehingga seringkali membantu mereka yang sedang kesusahan.
Jasad yang sudah dimandikan itu seketika langsung di balut dengan kain kafan putih, kepalanya kini di tutup secara perlahan, bahkan kini ujung kepalanya diikat bersamaan dengan kedua kaki dan tubuhnya.
Para warga yang berkumpul di dekat rumahnya saling mengangkat jasadnya satu sama lain untuk langsung dimasukkan ke keranda, lalu tak lama mereka bergantian untuk menggotong jasadnya ke arah pemakaman yang sudah disiapkan.
Terlihat beberapa rombongan yang saling beriringan menuju ke salah satu pemakaman umum yang ada di desa itu.
Sang istri yang ditinggalkan hanya bisa berjalan di dekatnya sambil menangis, kehilangan sosok orang yang dicintainya adalah suatu hal yang berat baginya.
Apalagi, mungkin dia akan hidup sendirian sekarang, karena anaknya jarang pulang dan berkumpul bersamanya setelah ada kejadian yang menimpanya.
Keranda mayat itu terlihat penuh dengan kalungan bunga berwarna-warni, Para warga desa yang menghormatinya kini mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya sehingga jalanan di desa nampak penuh oleh seluruh warga yang tinggal disana.
Tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak kecil yang seharusnya sekolah kini ikut untuk mengantarkan dirinya ke tempat terakhirnya.
Orang-orang tampak begitu terpukul, suasana begitu duka sehingga di setiap langkah rombongan pengantar jenazah hanya terdengar suara tangis.
Tentu saja begitu berat bagi semua orang melepas kepergian orang yang begitu banyak berjasa, orang yang selalu menyapa dengan riang ketika pulang ke desa, dan selalu siap membantu kapanpun waktu nya jika warga membutuhkan, membuat mereka semua kehilangan sosok yang mereka hormati semasa hidupnya.
Pemakaman umum letaknya di ujung desa, yang bersebelahan dengan sungai yang melewati jalanan desa di sebelah utara.
Pemakaman itu awalnya adalah tanah kosong yang hanya rumput-rumputan saja yang tumbuh disana, akhirnya dipakai oleh pemakaman oleh masyarakat desa karena lokasinya pun tidak begitu jauh dari pemukiman warga.
Pemakaman tersebut dipakai dari jaman dulu hingga sekarang,makam itu akan sangat ramai di waktu-waktu tertentu seperti ketika di hari raya, atau sebelum melaksanakan pernikahan.
Mereka berziarah kesana mengunjungi makam orang tuanya, juga ke makam kakek nenek hingga leluhurnya. Karena dari jaman dahulu semua masyarakat desa yang meninggal pasti dimakamkan di sana.
Rombongan itu berjalan menyusuri melewati beberapa rumah warga hingga ke ujung desa. lalu kemudian rombongan itu masuk ke salah satu jalan setapak, dengan jalan dengan kontur tanah yang apabila berjalan di jalan itu di malam hari akan terasa becek dan bercampur lumpur.
Jalan setapak itu nampak terjal karena menurun dan kontur tanahnya tidak rata. Di kanan kirinya tumbuh pohon liar yang dibiarkan begitu saja oleh warga desa, dan dedaunanya menghalangi sinar matahari sehingga suasananya terlihat sangat sejuk, terlihat juga beberapa daun yang berjatuhan diterpa angin dan suara-suara serangga yang ada di dahan pohon yang menemani rombongan itu berjalan.
Setelah hampir sepuluh menit berjalan menyusuri desa dan jalanan setapak yang rimbun dengan pepohonan, akhirnya mereka sampai ke tempat yang sudah dituju disana.
Yaitu.
PEMAKAMAN DESA BABAKAN
Tiang-tiang gapura itu sudah terlihat usang tiang-tiangnya sudah berkarat, dan tulisan di atasnya sudah tidak jelas terlihat karena cat yang luntur, dan warna putih di atasnya pun sudah terlihat menguning.
Namun, sang istri terlihat heran karena ada suatu tulisan yang terlihat tertutup di gapura tersebut, sebuah nama yang nampaknya asing yang tertulis di sana.
“Desa babakan, A, a, aul?” gumamnya dengan nada yang pelan.
Dia berhenti sejenak ketika membaca tulisan itu, lalu tak lama dia merasakan seperti ada hawa yang dingin berhembus ke arahnya, hawa sejuk yang terasa mendadak dingin ketika dia membaca tulisan yang tertutup cat yang sudah usang di gapura pemakaman.
Tubuhnya seketika bergidik kedinginan, dan tak lama kemudian, dia nampak tersadarkan karena dirinya sudah ditinggalkan oleh rombongan suaminya yang masuk ke tengah-tengah pemakaman.
Tak lama kemudian, dia langsung mengejarnya, dan berlari pelan untuk menyusul rombongan itu sambil memikirkan kata-kata Aul yang dia ucapkan di dekat gapura pemakaman.
Tanah pemakaman itu membentang luas, disana terlihat banyak makam dari beberapa generasi yang dimakamkan di sana.
Sang istri melihat makam-makam itu yang memakai yang memakai batu sebagai dinding makam, hingga makam yang sudah dilapisi oleh keramik di sekeliling makamnya.
Hawa dingin yang dia rasakan di gapura secara perlahan berubah kembali, dirinya kini merasakan rasa takut di sekujur tubuh. Apalagi di tengah-tengah pemakaman itu terdapat satu pohon beringin yang besar yang berdiri kokoh.
Saking rindangnya, ranting-rantingnya menutupi sinar matahari yang masuk menutupi makam-makam di sekitarnya sehingga tidak tersinari oleh matahari.
Rombongan itu kemudian belok ke salah satu sudut pemakaman itu. Disana terdapat salah beberapa dengan dinding batu dan pohon yang tumbuh di atas makamnya. Terlihat tulisan dengan tanggal lahir dan tanggal meninggal yang terlihat usang dan sedikit muncul lumut di ujungnya. Di sebelahnya ada makam kosong yang sudah digali, dan itu adalah tempat peristirahatan suaminya yang terakhir.
Semua keluarganya dimakamkan disana, dari mulai nenek, kakek, hingga buyut dan keturunannya, sehingga dirinya pun harus dimakamkan di sana.
“Bu?” kata Mang Uum yang kini mendekatinya lagi setelah sampai di pemakaman itu.
“Ibu mungkin tidak akan melihat hal ini di tempat lain, aku mohon ibu bisa menjaga rahasia ini diluar desa kita, seharusnya orang luar desa seperti ibu tidak bisa menyaksikan proses pemakaman ini, namun karena bapak berjasa bagi kita semua, sehingga kita sepakat untuk membiarkan ibu mengantarkan bapak ke tempat yang terakhir kalinya.”
Mang Uum berkata seperti itu dengan nada yang sangat pelan, istrinya yang masih belum mengerti atas apa yang diucapkan oleh Mang Uum hanya bisa mengangguk.
Memang, pemakaman ini nampaknya ada sebuah perbedaan, terlihat ada beberapa orang yang berdiri di salah satu tempat yang ditutup oleh kain jarik di sekelilingnya, terlihat pula beberapa gedebog pisang dengan air yang mengalir dengan selang kecil di atasnya.
Tempat itu seperti pemandian mayat yang dibuat secara mendadak disana, lalu di sebelahnya ada beberapa orang yang sibuk untuk mengasah golok dengan kedua tangannya.
Dia tidak tahu ada sebuah ritual adat apa di pemakaman ini, namun dia hanya bisa mengangguk karena ini mungkin sudah tradisi turun-temurun di tempat ini sekarang.
Mang Uum yang awalnya berdiri di dekatnya, seketika berjalan kembali ke arah para warga yang ingin menurunkan jasad tersebut, sedangkan istrinya nampaknya kembali sibuk dengan HP nya yang ingin menelepon anaknya yang kini entah dimana.
Pemakaman itu begitu cepat, tidak ada kendala ketika proses pemakaman itu terjadi, bahkan ketika jasad itu diturunkan dan di tutup kembali oleh tanah yang ada di atasnya.
Namun, ketika tanah itu selesai diturunkan, orang-orang tidak menancapkan batu nisan di sana, mereka malah terdiam dan melirik ke sekitar pepohonan yang ada di pemakaman.
Semuanya hening, tidak ada satupun yang berbicara atau bergerak dari tempatnya, hal itu tentu saja membuat istrinya merasa aneh dengan mereka semua, bahkan ketika dirinya ingin mendekati Mang Uum untuk bertanya atas apa yang terjadi disana, salah satu warganya tiba-tiba mengangkat tangannya seperti melarang dirinya untuk berjalan di pemakaman itu.
Bahkan, dia mengangkat salah satu tangannya dan mendekatkannya ke arah mulutnya.
“Ssst, jangan bergerak dulu,” katanya dengan nada pelan.
Para warga desa, terus terdiam, mata dan pandangannya terlihat melihat ke sekeliling pemakaman itu dengan perasaan yang was-was.
Lalu, tak lama kemudian.
Wusssshhhh
Terlihat hembusan angin besar yang berhembus tepat dari arah pohon beringin yang letaknya di tengah hutan.
Angin tersebut benar-benar bergemuruh, sehingga membuat dirinya langsung membalikan badannya.
Entah apa yang terjadi di proses pemakaman ini, namun sepertinya para warga sudah sering mengalami hal tersebut sehingga mereka nampak terdiam dan tidak bergerak.
Angin besar itu seperti memutar di area pemakaman, dedaunan yang ada di sekitarnya seketika berjatuhan dan mengotori pemakaman yang luas itu.
Angin itu berhembus selama beberapa menit, lalu tak lama kemudian angin itu menghilang secara perlahan-lahan disana hingga angin itu menghilang sepenuhnya.
Tiba-tiba.
Haaaaahhhh
Semua warga menghembuskan nafas lega, Mang Uum juga para warga yang tadi terdiam kini mengangguk pelan dan kembali tersenyum, bahkan salah satu warga yang menahannya kini menurunkan kembali tangannya dan mempersilahkan istrinya untuk mendekati Mang Uum.
Namun, sesuatu terjadi ketika dia baru saja ingin melangkahkan kakinya. karena tepat ketika dia baru saja melangkah, tiba-tiba dia dikejutkan dengan beberapa orang yang kembali menggali makam suaminya.
Mereka kembali menggali makam itu hingga jasad suaminya kembali terlihat, lalu tak lama kemudian jasad itu kembali diangkat, bahkan ikat kepalanya di buka kembali ketika jasadnya di letakan di gedebog pisang yang sudah dipersiapkan.
Tentu saja, hal itu menjadi pertanyaan bagi istrinya, bahkan dia langsung mendekati Mang Uum yang memimpin proses itu.
“Mang, punten (maaf), kenapa makam suamiku di gali lagi?” tanyanya dengan nada heran.
Mang Uum sedikit tersenyum, dia hanya berkata bahwa ini adalah tradisi yang ada di tempat ini, dan hal ini memang sudah terjadi ratusan tahun lamanya sehingga hal ini sudah biasa dilakukan ketika ada warga yang sudah meninggal.
Dia hanya bisa mengangguk dengan banyak pertanyaan di dalam pikirannya, apalagi dia melihat seseorang yang terlihat fokus mengasah goloknya di salah satu pemakaman yang ada di ujung sana.
Entah apa yang akan dilakukan terhadap suaminya, namun dia merasakan hal yang aneh atas hal tersebut sehingga dia kembali bertanya tentang ritual yang akan dilakukan sekarang.
“Memangnya mang, apa yang akan dilakukan terhadap jasad suamiku sehingga harus di gali lagi, apalagi katanya jasad itu harus dimandikan lagi sekarang?” tanyanya dengan nada penasaran.
Mang Uum kembali menangguk, awalnya dia nampak enggan untuk menjelaskannya, namun di hadapannya kini adalah seorang istri yang dihormati oleh semua warga desa, sehingga dia mau tidak mau harus menjelaskan apa yang terjadi disana.
“Jadi gini bu, jasad si bapak harus dimandikan lagi karena nanti ada darah yang keluar, sehingga ketika dimakamkan kembali akan bersih kembali.”
“Mungkin, ibu tidak akan menemukan adat seperti ini di tempat lain.”
“Namun…..”
Mang Uum tiba-tiba terdiam, dia mencoba mencari kata-kata yang bisa dimengerti olehnya sebelum akhirnya dia berbicara kembali.
“Jasad si bapak harus mengikuti aturan yang ada di desa ini, bapak mungkin tahu akan aturan ini bu, karena bapak dan kakek serta leluhurnya pun melakukan hal yang sama di desa ini.” katanya dengan nada yang pelan.
“E, emangnya, jasad bapak mau di gimanain?” tanyanya dengan nada yang semakin penasaran.
Mang Uum kembali terdiam, bahkan dia menatap jasad itu sebentar sambil menarik nafas panjang.
“Semua jasad yang dimakamkan disini, harus di potong kepalanya dan hanya dimakamkan tanpa kepala bu, karena kalau tidak, maka desa ini akan dilanda malapetaka.”






habibhiev dan 20 lainnya memberi reputasi
21
1.8K
Kutip
36
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan