- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Short Story #94 : Wayang Kulit


TS
ih.sul
Short Story #94 : Wayang Kulit
Setiap tahun, tepat pada tangga 16 Agustus, Eyang Mozakin akan menggelar pertunjukan wayang kulit spesialnya. Ada banyak acara yang memeriahkan malam hari kemerdekaan. Kembang api, parade, bahkan konser artis, tapi kebanyakan orang tetap memilih menonton pertunjukan Eyang Mozakin.
Jadul memang, tapi kemampuan Eyang Mozakin dalam mengolah wayang-wayangnya tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Aku cuma pernah menonton pertunjukannya satu kali, tapi aku tahu tak ada pertunjukan lain yang sehebat dan semistis wayang kulit Eyang Mozakin. Rasanya wayang-wayang itu seperti hidup dan membawa kami kembali ke masa lalu.
Tahun ini aku mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara singkat dengan Eyang Mozakin. Meski terkenal, tapi tak banyak orang yang tahu orang seperti apa sebenarnya dia. Orangnya tertutup dan jarang sekali tampil di muka umum.
Ada yang bilang dia menghabiskan seluruh waktunya berlatih wayang. Ada juga yang bilang kalau dia tidak muncul di area publik demi menjaga aura mistisnya. Misteri demi misteri yang menyelimuti Eyang Mozakin membuat jiwa jurnalisku berkobar.
Aku sedikit kecewa karena pertanyaan yang boleh kutanyakan cuma seputar dunia perwayangan dan itu pun cuma dijawab dengan jawaban standar, tapi melihat Eyang Mozakin dari dekat membuatku agak … bergidik. Suara dan postur tubuhnya mengingatkanku pada tetua kampung tempatku dulu tinggal.
Aroma tubuhnya yang samar-samar tercium juga agak aneh. Bau kemenyan? Entah kenapa pikiran itu membuatku merinding.
“Pertanyaan terakhir, Eyang. Wayang-wayang Eyang itu dipesan dari mana ya? Terus bahannya apa? katanya wayang Eyang beda dari wayang biasa.”
Sembari mengelus janggut putih tipisnya, aku bisa melihat Eyang Mozakin tersenyum tipis. Anehnya, bukannya memberi kesan menenangkan senyum itu malah membuatnya … tidak manusiawi.
“Memang khusus,” jawabnya singkat. “Tekniknya sudah diwariskan turun temurun.”
“Teknik? Teknik wayang?”
“Oke, sudah cukup!” seru seorang wanita yang sedari tadi menemani Eyang Mozakin dalam wawancara. Aku tak tahu siapa dia, tapi dari rumor yang beredar katanya dia adalah istri Eyang. Entah pelet macam apa yang sudah dipakai Eyang Mozakin untuk dapat istri semuda itu.
Dengan agak memaksa dia berdiri di belakangku dan menyuruhku segera keluar. Mau tak mau aku pun bangkit dan berjalan ke arah pintu dengan wanita itu mengekor dekat sekali di belakangku. Sebelum keluar tak sengaja mataku melirik ke sebuah pintu yang agak terbuka. Sekilas bisa kulihat sebuah wayang yang tampaknya baru setengah jadi.
Wayang itu … berwarna hitam.
***
“Istri? Istrinya udah meninggal. Udah lama banget.”
Dua hari sejak wawancaraku dengan Eyang Mozakin, aku jadi semakin penasaran dan mencari tahu lebih banyak tentangnya. Dia lahir di daerah terpencil di Jawa Timur. Dengan uang tabunganku, aku bersikeras datang ke sana dan mencari siapa pun yang masih mengingat beliau. Untungnya ada satu orang yang dulu merupakan tetangganya.
“Bapaknya juga pemain wayang kulit, tapi nggak laku. Habis bapaknya meninggal dia lanjut ngurusin wayang, nggak laku juga. Habis istrinya meninggal dia pindah ke kota. Nggak nyangka dia sukses di sana.”
Eyang Mozakin nggak laku? Kok bisa? Tampaknya ada sesuatu yang berubah sejak dia meninggalkan kampung ini.
“Tapi dulu kakeknya juga main wayang,” ucap narasumberku tiba-tiba. “Aku masih kecil dulu, jadi nggak terlalu ingat, tapi kakek itu jago banget. Kok bisa ya anak cucunya nggak jago? Apa ilmunya nggak diturunin?”
Itu juga pertanyaan yang ingin kutahu. Jiwa penasaranku ingin mencari tahu lebih banyak. Tidak, kurasa ini bukan sekedar rasa penasaran. Ada sensasi aneh yang membuatku gusar, dan jika tidak dicari tahu maka akan terus membuatku tak tenang.
***
Malam itu, ada sesuatu yang tak beres di kediaman Eyang Mozakin. Seluruh pintu dan jendela ditutup, gorden-gorden pun dibentangkan agar tak ada yang bisa melihat ke dalam. Instingku lagi-lagi berkata apa yang ingin kuketahui bisa kudapatkan di sana.
Aku yang memata-matai rumah Eyang Mozakin bukan lagi bagian dari pekerjaan, melainkan obsesi pribadi. Aku benar-benar ingin tahu dan aku tak akan bisa tidur tenang jika tak mendapat jawaban. Ini memang kebiasaan buruk. Ayahku sering berkata keingintahuan yang berlebihan bisa membuat celaka.
Agak lewat tengah malam, ada sebuah mobil hitam yang datang dan berhenti di pintu gerbang. Sembari bersembunyi di balik semak-semak, aku bisa melihat seseorang yang mengenakan gaun hitam pekat turun dari mobil. Mobil itu langsung pergi, dan orang itu memasuki gerbang yang otomatis terbuka sendiri.
Siapa orang itu?
Aku mencoba mendekat untuk melihat lebih jelas, tapi tak sengaja menggoyangkan ranting yang menimbulkan suara gemerisik yang membuat orang itu menolah. Aku langsung diam membatu, berharap agar dia tidak melhatku. Saat dia menoleh, aku bisa mengenali wajah itu.
Itu kan istri si Eyang.
Tampaknya aku beruntung. Dia masuk begitu saja tanpa menghiraukan bunyi sesaat tadi. Bergegas aku mendekat dan mencoba mencari jalan memasuki rumah. rumah besar dengan halaman luas itu benar-benar terasa dingin dan mencekam. Entah kenapa, tak ada lampu yang menyala. Namun, cahaya merah terpancar dari salah satu jendela bagian belakang. Tampaknya ada yang menyalakan lilin.
Beruntung sekali aku. Jendela itu terbuka. Pelan-pelan aku masuk ke dalam dan mendapati puluhan lilin berjejeran di lantai. Bau kemenyan dan bulu terbakar sangat kuat menusuk hidung. Baunya benar-benar memuakkan. Langsung aku berbalik dan berniat untuk keluar, tetapi sosok hitam yang sedari tadi bersembunyi di balik gorden menghantam kepalaku begitu keras dan merubah semuanya menjadi hitam.
***
Saat terbangun, aku bisa merasakan lantai yang keras di wajahku. Aku tak berani bergerak, bahkan tak berani membuka mata. Yang kulakukan hanyalah mendengarkan suara-suara aneh mirip lantunan mantra yang dari suaranya kukenali sebagai Eyang Mozakin.
Kucoba membuka mataku segaris. Apa yang kulihat membuatku berharap terus menutup mata. Ada sebuah kuali besar yang menyala di atas tungku perapian. Eyang Mozakin tengah mengaduk entah apa pun yang ada di dalam kuali itu.
Namun, yang paling mengerikan adalah apa yang ada di atas kuali. Di sana, tampak istri Eyang Mozakin yang tergantung layaknya boneka tali. Dia menutup mata, entah masih hidup atau sudah mati. Dia tergantung di sana, terpapar oleh uap yang pastilah amat panas.
Mendadak saja Eyang Mozakin berhenti membaca mantra. Dia pergi dan kembali membawa wayang hitam yang kulihat beberapa hari lalu. Entah cuma perasaanku, tapi wayang itu tampak mirip dengan sosok si istri yang juga berpakaian serba hitam dari atas sampai bawah.
Eyang Mozakin memasukkan wayang itu ke dalam kuali lalu kembali membaca mantra. Perlahan-lahan bisa kulihat tali yang mengikat si istri mulai meregang turun. Bukannya dia akan benar-benar masuk ke dalam kuali jika seperti itu?
Kutatap wajah cantiknya. Meski jauh tapi bisa kulihat matanya terbuka. Entah dorongan dari mana, mungkin karena tak tega, aku merasa kekuatan mengaliri kaki dan tanganku. Dengan gerakan mendadak yang tak pernah kutahu bisa kulakukan, aku bangkit dan langsung menendang kuali sekeras yang kubisa.
Isinya langsung tumpah ruah membasahi lantai. Tanpa memberi kesempatan untuk mereka terkejut, aku langsung berlari, kabur secepat yang kubisa. Sungguh beruntung, aku melihat jendela yang tadi kumasuki. Aku pun bergegas keluar dan lari secepat kedua kakiku bisa membawaku.
Aku tak lagi penasaran, tak lagi ingin mencari tahu. Yang kutahu adalah, aku harus lari atau akulah yang akan berakhir di dalam kuali itu.
***
Keesokan harinya, pertunjukan Eyang Mozakin pun dimulai. Dengan memakai jaket hoodie dan masker, aku berbaur bersama penonton lainnya. Seharian penuh aku ketakutan bahwa mereka akan menemukanku, tapi tak ada siapa pun yang datang. Akhirnya, aku malah mendatangi mereka.
Pertunjukan itu dihadiri nyaris sepuluh ribu penonton, tapi yang bertahan hingga akhir tak sampai ratusan. Semua orang bisa merasakan ada yang kurang dari penampilan Eyang. Mungkin karena wayang baru yang katanya akan dia tunjukkan di sini sama sekali tidak terasa spesial. Cuma wayang biasa. Satu kekurangan itu merusak seluruh ceritanya.
Di pintu keluar aku tak sengaja bertatapan dengan istri Eyang. Dia menatapku seolah memang mengharapkan kehadiranku. Tak sempat aku kabur, dia sudah menggenggam tanganku dan berkata, “Terima kasih.”
Kami berjalan menjauhi orang-orang. Dia sekali lagi berterima kasih. Jika bukan karena aku, dia pasti sudah jadi wayang di pertunjukan.
“Kakeknya Eyang Mozakin punya ajian tertentu. Dia bisa masukin jiwa manusia ke dalam wayang. Dengan tumbal satu manusia, wayang bisa jadi hidup. Semua wayang-wayang Eyang seperti itu. Aku juga harusnya bernasib sama, tapi ternyata aku takut. Padahal ayah, ibu, kakakku, semua sudah jadi tumbal.”
Tampaknya dia ingin berkumpul kembali bersama keluarganya meski sebagai wayang, tapi ternyata dia masih takut untuk mati. Karena ritualnya sudah keburu gagal, dia harus menunggu sampai tahun depan.
Atau … apa dia benar-benar akan menunggu?
Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Mungkin tahun depan aku harus mengunjungi rumah itu lagi, dan menendang kuali itu lebih keras lagi.
***TAMAT***






riodgarp dan 12 lainnya memberi reputasi
13
420
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan