Kaskus

News

the.commandosAvatar border
TS
the.commandos
Penjual Angkringan di Solo Jateng Ngeluh Pajak Rp12 Juta/ Bulan, Bantah Matikan Usaha
Penjual Angkringan di Solo Jateng Ngeluh Pajak Rp12 Juta/ Bulan, Bantah Matikan Usaha


TRIBUNSOLO.COM, SOLO - Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Solo, Tulus Widajat, buka suara soal keluhan salah satu pemilik usaha angkringan di Kota Solo mengeluh karena usaha orang tuanya dikenai wajib pajak mencapai Rp 12 juta perbulan.

Diketahui, keluhan warganet itu viral setelah diunggah oleh akun Facebook @Hantozmurtadha melalui grup Info Cegatan Solo dan Sekitarnya pada 7 Agustus 2024 lalu.

Dalam unggahan yang disertai dengan video pendek (short) yang memperlihatkan situasi angkringan tersebut, pengunggah juga menuliskan keterangan jika angkringan milik ayahnya itu sebelumnya dikenai wajib pajak Rp 3 juta per bulan.

Tetapi, akhir-akhir ini wajib pajaknya dinaikkan mencapai Rp 12 juta.

"Niki wedangan bapak kulo (re: ini wedangan bapak saya) ..... Sebelumnya ditariki pajak 3 juta / bulan. Sekarang minta naik jadi 12 juta sebulan..... Monngo sami komentar pripun tangepanipun .... Kota solo," tulis pengunggah dalam keterangan unggahan.

Menanggapi kabar viral tersebut, Kepala Bapenda Solo, Tulus Widajat, menyebut adanya perubahan penarikan pada objek wajib pajak berupa usaha angkringan tersebut sesuai aturan yang berlaku.

Penarikan pajak yang dilakukan oleh Bapenda Kota Solo itu dikatakan oleh Tulus tak lain karena usaha angkringan tersebut masuk dalam kategori wajib pajak.


"Jadi ya ini termasuk mereka sudah masuk dalam kategori wajib pajak karena sebelumnya kami menugaskan petugas korwil setempat untuk melakukan pengamatan. Jadi mereka melakukan pengamatan dan hasil pengamatan itu disimulasikan dan ternyata memenuhi kriteria wajib pajak," terang Tulus saat dikonfirmasi TribunSolo.com, Selasa (27/8/2024).

Tulus pun juga menegaskan terkait perubahan wajib pajak yang dikenakan oleh Bapenda Solo kepada pengusaha angkringan tersebut sebenarnya sudah dikomunikasikan sebelumnya.

Tetapi, dari pihak pemilik usaha masih belum menyetujui perubahan wajib pajak.

"Jadi kami juga sudah mengkomunikasikan dengan yang bersangkutan. Jadi yang bersangkutan juga sudah kita undang ke kantor untuk melakukan klarifikasi tentang data yang sudah kami sampaikan," kata Tulus.

Dia juga memastikan tidak ada unsur pemaksaan terkait pajak.

"Jadi tidak langsung kita memaksakan harus membayar wajib pajak sekian juta. Itu sudah dikomunikasikan, hanya mereka belum setuju," sambung Tulus.

Terkait perubahan objek wajib pajak yang dikeluhkan dari Rp 3 juta per bulan menjadi Rp 12 juta per bulan, Tulus memberi penjelasan.

Hal itu kata dia, sudah melalui proses penghitungan sesuai aturan yang berlaku.

Sebagai informasi, dalam ketentuan yang tertuang di UU Nomor 1 Tahun 2022 dan Perda Nomor 14 Tahun 2023, pelaku usaha restoran termasuk PKL kuliner diharuskan membayar pajak sebesar 10 persen jika omzet per bulannya mencapai Rp 7,5 juta.

"Jadi kami menugaskan petugas untuk mengamati, berapa pembeli yang datang pada hari itu ke sana. Kemudian dikomparasikan dengan data harga rata-rata makanan dan minuman di sana."

"Jadi kalau ada sekian orang berkunjung per hari dengan harga rata-rata sekian itu berarti pendapatan kotor perhari bisa diketahui. Jadi kita rata-rata jumlah pengunjung dikali rata-rata harga makanannya saja," urai Tulus.

Tulus juga mengaku, sudah menjelaskan secara langsung cara menghitung wajib pajak kepada pelaku usaha.

"Jadi sebenarnya juga sudah kita sampaikan cara kami menghitung wajib pajak kepada yang bersangkutan. Cuma mereka mengatakan butuh waktu karena kita juga butuh persetujuan dari pemilik usaha," ungkapnya,.

Dia membantah anggapan apabila pajak tersebut bisa mematikan bisnis para pelaku usaha.

"Karena kita melakukan optimalisasi penyerapan wajib pajak itu bukan untuk mematikan usaha mereka. Hanya kami memastikan haknya negara harus dipenuhi, cuma itu saja. Kan sesuai undang-undang kan ada hak negara yang harus dibayarkan melalui pedagang yang dipungut dari pembeli," tambahnya.

Dengan wajib pajak sebesar Rp 12 juta tersebut, diperkirakan omzet dari angkringan mencapai Rp 120 juta per bulan.

"Iya omzet perbulan dari mereka. Mungkin bisa jadi (omzet sekitar Rp 120 juta per bulan)," kata dia.

Lebih lanjut, Tulus menegaskan bahwa ada mekanisme penyanggahan maupun permohonan keringanan wajib pajak bagi pelaku usaha yang omzetnya lebih dari Rp 7,5 juta per bulan.

Lebih dari itu, Tulus juga menjelaskan bahwa sebenarnya mekanisme wajib pajak bagi PKL beromzet lebih dari Rp 7,5 juta per bulan menggunakan sistem self assessment atau penghitungan mandiri.

"Ada, jadi mekanisme keringanan itu ada dan itu hak pemilik usaha. Jadi silahkan saja itu dimanfaatkan dan sudah diatur di dalam regulasi. Cuma sebetulnya itu omzet yang dihitung per bulan. Jadi kalau omzet per bulan tidak memenuhi itu (Rp 7,5 juta), ya tidak usah bayar pajak," sebut Tulus.

Sehingga dalam perjalanannya apabila PKL Kuliner tersebut pendapatan perbulannya turun menjadi kurang Rp 7,5 juta maka tidak dikenakan wajib pajak pada bulan berikutnya.


https://solo.tribunnews.com/amp/2024...-matikan-usaha

Oke,. Oke gas.. Jogetkan saja
neopoliteAvatar border
indo.emasAvatar border
aldonisticAvatar border
aldonistic dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.1K
77
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan