- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Short Story #93 : Kampung Halaman


TS
ih.sul
Short Story #93 : Kampung Halaman
Sudah lama aku tak kembali ke kampung halaman. Tempat ini tak banyak berubah, masih panas dan bau kotoran sapi. Akses yang sangat terbatas membuatku harus berdesak-desakan dengan banyak penumpang. Maklum, cuma ada satu bus yang menuju kampung setiap harinya.
Sudah sore saat aku sampai di rumah tempatku lahir dan dibesarkan. Saat aku masuk, dapat kulihat banyak orang sudah berkumpul mengerumuni seseorang yang berbaring di ruang keluarga. saat melihatku datang, buru-buru mereka memberi jalan agar aku bisa duduk tepat di sebelah Ayah.
“Bapak,” aku menyapa. Beliau membuka matanya dan mata yang dulunya berkilau seperti mutiara kini tampak kering seolah tak lagi ada air yang tersisa di sana.
“Tio,” jawabnya lirih. Kugenggam kedua tangannya yang kasar dan berkeriput. Aku tak tahu kalau tangannya sudah seperti ini. Seingatku, kedua tangan Bapak sangatlah kuat sampai bisa mencangkul seharian.
“Bapak sehat?” tanyaku basa-basi.
“Sehat kok.”
“Udah ke dokter?”
“Di sini mana ada dokter.”
Tanpa sadar kugigit bagian dalam bibirku. Dua kali ganti presiden tapi rumah sakit pun tak ada yang bisa djangkau dari tempat ini.
“Besok teman dokter Tio bakal ke sini kok. Bapak istirahat aja ya.”
Mungkin karena memang lelah, Bapak tertidur dengan mudah. Sudah cukup lama Bapak sakit. Awalnya cuma sakit ringan, tapi karena tak diobati sakitnya semakin parah sampai-sampai adikku Tika menganggap umur Bapak tak akan lama lagi. setelah melihat keadaan Bapak, aku tak bisa menyingkirkan kemungkinan itu dari kepalaku.
“Andai aja Bapak mau diajak ke kota.”
Aku bergumam pelan saat duduk di teras belakang. Aku cuma ingin menyendiri, tapi ternyata Tika mendengar gumamanku dari jendela dapur yang memang terbuka.
“Abang kan tau sendiri Bapak paling nggak tahan sama polusi kota. Terakhir ke kota aja baru dua jam langsung batuk-batuk.”
“Iya, tapi di sini kalau ada apa-apa pasti susah, Tik. Mau ke Indomaret aja harus naik motor satu jam. Rumah sakit nggak ada, puskesmas nggak ada. Cuma ada obat warung. Kalau di kota walau sakit bisa langsung berobat. Kalau di sini sakit langsung mati.”
Lidahku terasa gatal ingin memuntahkan semua uneg-uneg itu. Sebenarnya sudah lama aku ingin mengajak Bapak dan Tika tinggal di kota. Sejak Ibu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit akibat kecelakaan, aku jadi paham mengapa orang-orang berlomba merantau ke kota.
Bukan cuma aku yang berpikir begitu. Di antara teman-teman masa kecilku, sudah tak ada lagi yang tinggal di kampung ini. Mereka mencari peruntungan di tempat yang lebih besar. Tak semuanya sukses, tapi tak ada yang kembali kemari. Sekarang kampung ini isinya cuma orang-orang tua. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari tempat ini.
“Bapak itu udah nggak takut mati, Bang,” Tika berkata dengan nada sedih yang tak sanggup disembunyikan. “Bapak lahir di kampung ini, di rumah ini, jadi dia mau mati di sini juga. Kemarin aku dengar Bapak udah mesan tanah di sebelah kuburan Ibu. Bapak nelpon Abang bukan buat diajak ke dokter. Bapak cuma mau lihat Abang sebelum meninggal.”
Mendengar itu membuat kemarahanku padam seketika. Aku tahu Bapak begitu egois, tapi aku benar-benar tak bisa marah padanya. Saat masih kecil beliau sering mendudukkanku di pundaknya dan membawaku keliling kampung. Padi yang menguning, jejak kaki kerbau di tanah yang berlumpur, layang-layang yang menghiasi langit dengan ekor yang berwarna-warni, itu keindahan yang tak pernah kutemukan penggantinya.
Bapak mencintai kampung ini dan tak keberatan meski kampung ini membunuhnya. Bapak sudah merelakan hidupnya, kami saja yang tak rela dengan keputusannya itu.
Aku tak menyangka kepulanganku akan memiliki makna sedalam ini. Rencanaku untuk bernostalgia harus kutunda untuk mengurus Bapak yang mulai batuk parah. Bapak terus bilang kalau dia baik-baik saja, tapi saat malam tiba dia harus disuapi karena tangannya bahkan tak kuat menggenggam sendok.
“Tio, kerjaanmu di sana gimana?” tanya Bapak saat kami duduk berdua di ruang depan. Hanya kopi dan ubi rebus di atas meja yang menghalangi kami.
“Baik kok Pak. Kayaknya bentar lagi aku bisa mulai angsur rumah.”
“Wah, bagus itu. Terus gimana si Nita? Kapan mau dihalalin?”
Aku cuma tersenyum kecil saat mendengar nama itu dari mulut Bapak. Aku yakin cuma satu kali aku menyebut nama Nita ke Bapak. Itu pun melalui telpon.
“Udah putus Pak, kayaknya kami emang nggak cocok.”
“Waduh! Yasudahlah, nggak perlu buru-buru nikah juga. Kalau kamu udah benar-benar yakin dan udah benar-benar cocok, Bapak pasti ngerestuin kok.”
Bapak yang tiba-tiba membahas restu memberiku perasaan yang tidak enak. Namun, aku cuma menyeruput kopi dan tidak membahasnya lebih jauh.
“Kopi buatan Tika enak,” ucapku. “Mirip buatan Ibu.”
“Ya kan dia belajar dari Ibumu.” Bapak tertawa. “Ibumu itu paling jago masak ikan asam manis. Apalagi kalau ikannya dipancing langsung dari empang. Sekarang sih empangnya udah tutup. Mau ikan harus beli ke pasar.”
Aku masih ingat rasa ikan asam manis buatan Ibu. Rasanya memang tiada dua. Bahkan restoran termewah di kota pun tak bisa menandingi rasanya. Entah apa resep rahasianya, aku tak tahu.
“Tapi masakan kota nggak kalah enak kok,” ucapku tak tahu mengapa, “di dekat kosku ada restoran ayam bakar enak banget. Bapak harus coba.”
Bapak cuma tersenyum. “Kalau ada waktu,” balasnya. “Dulu ada orang namanya si Adul, suka pelihara ayam. Ayamnya kabur terus, tainya berserakan di mana-mana.”
Rasanya aku pernah dengar cerita itu, tapi di kampung ini tak ada yang namanya si Adul. Mungkin orangnya sudah pergi entah ke mana.
“Dulu Bapak lagi nunggangi kerbau pulang dari ladang, nggak sengaja ayam si Adul kena injak sampai mati. Untungnya cuma satu orang yang lihat jadi kami sepakat nggak cerita ke siapa-siapa. Itu ceritanya Bapak ketemu Ibumu.”
Mata Bapak yang semula kering tampak berbinar-binar mengingat kisahnya dengan Ibu.
“Ayam si Adul dia goreng terus kami makan berdua. Kalau bukan gara-gara ayam si Adul yang lepas nggak mungkin kami bertemu. Cerita macam itu cuma bisa ada di kampung ini.”
Kalau di kota besar, sangat jarang aku melihat orang memelihara ayam jadi tak mungkin ada ayam yang berkeliaran di jalan. Bapak dan Ibu bisa bertemu karena mereka berdua tinggal di kampung ini.
“Kampung ini sempurna buat Bapak, tapi mungkin nggak buat kamu. Nggak apa-apa kok, asalkan kamu nyaman.”
Di situ aku bisa melihat sosok Bapak yang sudah benar-benar tua. Rambutnya tak lagi hitam, kulitnya yang kendur menggantung pada lengannya yang kurus. Penampilannya memang persis orang-orang tua yang duduk diam menikmati pensiun mereka di kampung halaman. Di kota besar, orang-orang seperti Bapak lebih banyak dilihat di panti jompo atau rumah sakit. Dari yang kulihat, tak ada di antara mereka yang punya wajah secerah Bapak.
“Bapak beneran nggak mau ke kota? Banyak kok tempat di kota yang masih segar, banyak pohon besar juga di sana. Banyak orang lahir dan besar di kota, mereka nggak pernah nggak nyaman di sana.”
“Karena itulah namanya kampung halaman. Mau kota besar atau kampung kecil, asal kamu nyaman maka di situlah tempatmu. Bapak nyaman di sini, kamu nyaman di sana. Nggak ada masalah. Beberapa hal memang nggak bisa dipaksa. Justru karena nggak ada mobil dan gedung bertingkat makanya Bapak nyaman. Nggak masalah Bapak hidup singkat, yang penting nyaman dan bahagia.”
Mendengar itu membuatku mengingat kembali ekor layang-layang yang sering kukejar semasa kecil dulu. Memang nyaman, memang bahagia, tapi sekarang aku tak lagi merasa seperti itu. Mungkin karena teman-teman yang membuatku mencintai tempat ini sudah tak lagi ada di sini.
“Oke,” ucapku. “Aku nggak akan maksa Bapak ke kota. Tapi besok kawanku bakal datang ke sini buat ngecek Bapak. Aku nggak mau balik ke kota sebelum Bapak sembuh.”
Mendengar itu Bapak cuma tertawa kecil. Entah apa maksud dari tawanya. Mungkin dia sudah tahu kalau malam itu dia akan meninggal dalam tidurnya.
***
Setelah pemakaman Bapak, aku memutuskan kembali ke kota. Kali ini aku membawa Tika bersamaku. Tempat ini memang kampung halaman kami, tapi kampung halaman ini pun sudah banyak berubah tanpa kami bisa merasa nyaman di dalamnya.
Jaman berubah, tiap generasi punya cara hidupnya masing-masing. Yang jelas, setiap kali kami ada masalah, ke sinilah kami akan kembali. bukan untuk menetap, tapi sekedar mengingat kembali apa yang membuat kami memilih pergi.
***TAMAT***






riodgarp dan 13 lainnya memberi reputasi
14
479
13


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan