Quote:
Quote:
Partai Oposisi Pemenang Pemilu Move Forward Dibubarkan Pengadilan Thailand
Oleh
M Dindien Ridhotulloh
Rabu, 7 Agustus 2024 - 21:31 WIB
Mahkamah Konstitusi Thailand Rabu (7/8/2024) memerintahkan pembubaran partai oposisi anti-kemapanan yang populer, Partai Move Forward (MFP).Pengadilan juga telah melarang beberapa anggota partai tersebut, termasuk mantan pemimpin Pita Limjaroenrat, berkecimpung di dunia politik selama 10 tahun.
Pembubaran partai pemenang pemilu 2023 merupakan kemunduran terbaru bagi partai-partai politik utama Thailand, yang masih terlibat dalam pertempuran sengit selama dua dekade untuk memperebutkan kekuasaan dengan kelompok berpengaruh antara kaum konservatif, keluarga kaya lama, dan jenderal royalis.
Mengutip Channel News Asia (CNA), keputusan itu diambil enam bulan setelah pengadilan yang sama memerintahkan Partai Move Forward membatalkan rencananya mereformasi undang-undang tentang penghinaan terhadap Kerajaan. Reformasi undang-undang ini dinilai tidak konstitusional dan berisiko merusak sistem pemerintahan Thailand dengan raja sebagai kepala negara. Move Forward membantahnya.
Meskipun pembubaran itu kemungkinan akan membuat marah jutaan pemilih muda dan perkotaan yang mendukung Move Forward dan agenda progresifnya, dampak keputusan itu diperkirakan akan terbatas. Ini karena hanya 11 eksekutif partai, baik yang saat ini maupun yang sebelumnya, yang dilarang berpolitik selama 10 tahun.
Pita Limjaroenrat Dilarang Berpolitik
Di antara orang-orang yang terkena dampak putusan ini adalah mantan pemimpin Partai Bergerak Maju, Pita Limjaroenrat, politisi paling populer di Thailand. Pita, 43, yang memimpin partai reformis ini dalam pemilihan umum tahun lalu, akan dilarang mengambil peran apa pun dalam politik selama dekade berikutnya.
Popularitas Pita melonjak menjelang pemilu saat ia menyentuh hati para pemilih muda dan perkotaan dengan janjinya untuk mereformasi undang-undang pencemaran nama baik kerajaan Thailand yang ketat, yang menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia telah disalahgunakan untuk membungkam kelompok-kelompok pro-demokrasi.
Pita, yang memimpin MFP meraih kemenangan dalam pemilihan umum 2023 namun gagal menjadi perdana menteri setelah dihalangi oleh kekuatan konservatif di Senat. Karier politiknya semakin terguncang awal tahun ini ketika Komisi Pemilihan Umum meminta pengadilan tinggi negara itu untuk membubarkan MFP.
Sebanyak 143 anggota parlemen lainnya akan mempertahankan kursi mereka dan diperkirakan akan melakukan reorganisasi di bawah partai baru, seperti yang mereka lakukan pada tahun 2020 ketika pendahulunya Future Forward dibubarkan karena pelanggaran pendanaan kampanye.
Jika semua bergabung dalam partai yang sama, partai itu akan menjadi yang terbesar di parlemen dan diharapkan akan melanjutkan agenda progresif yang mencakup reformasi militer dan penghapusan monopoli bisnis besar, di antara kebijakan-kebijakan yang membuat para pesaingnya bersatu untuk menghalanginya membentuk pemerintahan tahun lalu.
Sekitar pukul 4 sore waktu setempat, sejumlah pendukung bermunculan di markas partai, menyampaikan ketidakpuasan terhadap keputusan tersebut. Seorang reporter CNA di tempat kejadian mencatat bahwa emosi para pendukungnya sedang tinggi.
Keputusan ini muncul pada saat yang krusial dalam politik Thailand, dengan keretakan juga muncul dalam gencatan senjata yang tidak nyaman antara kelompok royalis dan pesaing lama lainnya, partai penguasa populis, Pheu Thai.
Mahkamah Konstitusi minggu depan akan memutuskan kasus yang diajukan oleh 40 mantan senator konservatif yang berupaya memberhentikan Perdana Menteri Srettha Thavisin atas pengangkatan seorang pengacara yang pernah menjalani hukuman penjara ke dalam kabinet. Ia membantah melakukan kesalahan dan mengatakan pengangkatan tersebut dilakukan secara sah.
Kasus taipan Srettha merupakan salah satu faktor yang meningkatkan ketidakpastian politik dan mengguncang pasar keuangan, dengan prospek pergolakan politik jika ia disingkirkan.
Perdana menteri baru perlu dipilih oleh parlemen, yang berpotensi mengadu Pheu Thai dengan mitra koalisi dan menyebabkan perombakan aliansi pemerintahan serta penataan ulang kabinet dan kebijakan.
https://www.inilah.com/partai-oposis...dilan-thailand
Quote:
Thai court dissolves reformist party that won election
17 hours ago
Jonathan Head
Southeast Asia correspondent, in Bangkok
A Thai court has ordered the dissolution of the reformist party which won the most seats and votes in last year’s election - but was blocked from forming a government.
The ruling also banned Move Forward's charismatic, young former leader Pita Limjaroenrat and 10 other senior figures from politics for 10 years.
The verdict from the Constitutional Court was expected, after its ruling in January that Move Forward’s campaign promise to change royal defamation laws was unconstitutional.
The court had said changes to the notoriously harsh lese majeste law was tantamount to calling for the destruction of the constitutional monarchy.
Wednesday's verdict again serves as a stark reminder of how far unelected institutions are willing to go to preserve the power and status of the monarchy.
But the ruling does not mean an end to the reformist movement in Thai politics.
The surviving 142 Move Forward MPs are expected to transfer to another registered party and continue their role as the main opposition in parliament.
"A new journey has begun. Let’s keep walking together, people," the party said in a message accompanied by a video on its social media platforms.
Chaithawat Tulathon, the leader of the opposition and one of the MPs barred from politics, stood up in the chamber and bid farewell to his colleagues, saying it was an "honor" to work with them.
This verdict "may raise the question whether Thailand is a constitutional monarchy or an absolute monarchy", said Thitinan Pongsudhirak, professor of political science at Chulalongkorn University.
He said it was "deja vu on one hand, and uncharted territory, on the other".
This is more or less a repeat of what happened in 2020 when the then Future Forward Party, which had also done unexpectedly well in an election, was also dissolved, and transformed itself into the Move Forward Party.
That verdict four years ago ignited huge street protests, led by a new generation of student activists, which lasted for six months and voiced unprecedented demands for the monarchy to be made more accountable.
The authorities have since made extensive use of the lese majeste law to prosecute hundreds of protest leaders, including some Move Forward MPs.
The law has been widely criticised as stifling freedom of expression in Thailand, and in its manifesto Move Forward had proposed less severe punishments – jail sentences have been as high as 50 years – and a more rigorous process for filing charges.
Fears among reformists that Move Forward would not do as well in last year’s election as Future Forward had in 2019 proved unfounded.
The party defied expectations to outperform every other party and become the largest in parliament, revealing a strong yearning for change among Thai voters.
However, the military-appointed senate blocked Move Forward from forming a government over its lese majeste proposals, allowing a 11-party coalition of more conservative parties to take power instead.
With so many activists in jail, in exile or fighting criminal charges the large-scale protests seen back in 2020 are much less likely today.
Even Move Forward’s very mild proposals for a less severe lese majeste law have led to the party being stripped of its top leaders, just as its previous incarnation Future Forward was four years ago.
And anyone thinking of organising protests similar to those four years ago will know that they too will be subjected to the tough penalties of lese majeste and several other sweeping laws in the Thai criminal code.
Thailand’s constitutional court, which has dissolved 34 parties since 2006, has long been the principle guardian of the conservative status quo - at its heart is the monarchy, protected by a politically-assertive military. Beyond that, unaccountable power is wielded by palace officials, senior judges, business tycoons, and military and police officers.
Under the military-drafted constitution the senate has a decisive role in the appointment of constitutional court judges, and over the composition of other influential extra-parliamentary bodies like the Election Commission and the National Anti-Corruption Commission.
The previous senate was appointed by the military junta which ruled Thailand from 2014 to 2019, and rewrote the political landscape in which parties have to operate today. It played the central role in blocking Move Forward from forming a government.
It was unclear what to expect from the new senate this year - but the peculiar election system allows only those seeking a seat in the senate to vote for the candidates in several rounds. That, and some murky backroom dealing, have produced a new 200-seat senate, most of whom appear to be linked to a party known for its uncompromising loyalty to the monarchy.
Additonal reporting by Thanyarat Doksone in Bangkok
https://www.bbc.com/news/articles/crkmdd4vevxo
Move Forward Party adalah jelmaan dari Future Forward Party yang didirikan oleh Thanathorn Jaroongruangkit yang kemudian dibubarkan karena dugaan aliran dana ilegal ke partai ini oleh pemerintah, yang diyakini merupakan tuduhan palsu oleh pemerintah saat itu yang dikuasai oleh militer
Mungkin perbandingannya kurang pas, tapi Move Forward Party ini kurang lebih kayak PSI di Indonesia, atau DAP di Malaysia... partai reformis, modernis, progresif, dan peminatnya banyak anak muda... termasuk salah satu isunya adalah Move Forward Party ini anti kerajaan, ya taulah banyak orang yang kecewa dengan raja yang sekarang katanya kelakuannya gak beres, tapi gak berani bersuara karena ada aturan "lese majeste" yang memberikan imunitas kepada raja dan keluarganya
Tapi bedanya, Move Forward Party ini cukup sukses... pada pemilu terakhir tahun 2023, Move Forward meraih kursi terbanyak, yaitu 151 dari 500 kursi DPR mereka... tapi karena bukan mayoritas mutlak (kurang dari 50%) maka partai2 harus berkoalisi untuk menentukan siapa yang jadi penguasa dan siapa yang jadi oposisi... langkah awalnya adalah pemilihan Perdana Menteri dari partai peraih suara terbanyak, yaitu Pita Limjaroenrat pemimpin partai ini, lalu mencari dukungan dari partai2 lain di DPR... supaya si Pita bisa jadi PM, dia harus meraih suara dari minimal 375 kursi gabungan DPR + MPR
Ternyata, orang2 MPR yang isinya adalah orang2 militer, pada gak mau sama si Pita, menolak dia... si Pita gagal jadi PM, dan koalisi si Move Forward gagal terbentuk, dan dia tetap jadi oposisi... partai lainnya yang berpeluang jadi penguasa adalah Pheu Thai, yaitu partai keluarganya eks-PM Thaksin Sinawatra... gabungan koalisi yang mereka pimpin lah sekarang jadi pemerintah, dan PMnya adalah anak buah Thaksin yaitu Srettha Thavisin
si partai Move Forward ini terus digoyang baik oleh penguasa maupun oleh junta militer yang gak mau kehilangan pengaruh, dan puncaknya adalah partai ini kemarin dibubarkan oleh pengadilan karena menggugat aturan terkait Raja di DPR