Kaskus

Story

spaghettimiAvatar border
TS
spaghettimi
Saksi Kematian Ayah || Cerpen Drama Thriller
emoticon-exclamationemoticon-exclamation
PERINGATAN! : Cerita Ini Mengandung Unsur Yang Tidak Pantas Dicontoh

Saksi Kematian Ayah || Cerpen Drama Thriller
Sumur Foto : 1


Dahulu, keluargaku hidup bersama-sama di sebuah rumah yang kecil. Pada saat itu, kami membuktikan bahwa menjadi bahagia tidak harus dengan cara menghambur-hamburkan uang. Kami terikat satu sama lain dan hidup dengan sederhana. Namun, kami selalu bahagia setiap kali bersama. Hanya aku, Ayah, Ibu, Nenek, Paman, dan satu Adik perempuanku.

Aku hanya mengingat kebahagiaan di masa-masa tersebut. Dunia terasa sempurna. Walaupun teman-temanku memiliki keluarga yang lebih kaya raya, aku tidak pernah iri dengan mereka sekali pun.

Sayangnya, semuanya berubah saat aku berumur 10 tahun. Diriku yang pada saat itu tidak memahami kejamnya dunia, dipaksa untuk melihat Ayah yang meninggal babak belur dan penuh dengan darah. Pada saat itu, ia ditemukan meninggal di jalanan akibat perkelahian dengan satu orang pria lain. Aku tahu Ayahku bukanlah orang yang senang mencari masalah. Orang yang membunuh Ayahku pasti yang mencari gara-gara terlebih dahulu.

Sejak kepergiannya, duniaku dengan cepat berubah menjadi gelap. Aku mulai merasa depresi. Suasana rumah tidak lagi seperti dulu. Nenek juga mulai sakit-sakitan semenjak kematian putra satu-satunya tersebut. Sementara itu, Paman menjadi tulang punggung keluarga kami, dan Ibu selalu sibuk merawat Nenek yang sakit. Keseharianku hanya merawat Adikku yang masih tidak tahu apa-apa di tengah kekacauan keluarga ini.

Tanpa sadar, aku menjadi lebih agresif dan sering berkelahi dengan teman-temanku di sekolah. Aku sama sekali tidak membenci temanku. Namun di lubuk hatiku yang terdalam, aku iri karena mereka memiliki keluarga yang lebih bahagia dariku.

Sejak saat itu juga, aku mulai membolos, membully anak yang lain, merokok, dan bahkan bergaul dengan orang-orang yang umurnya 2 sampai 3 kali lipat umurku sendiri. Hingga pada suatu hari, mataku terbuka kembali.

Saat aku berumur 13 tahun, terdapat sebuah kabar yang mengguncang pikiranku.

Quote:


Namun, hidup tidak semulus yang aku harapkan. Hanya dalam beberapa tahun, di hadapanku sudah terdapat rintangan yang lainnya. Nenek meninggal saat aku berumur 15 tahun. Selama beberapa tahun terakhir, ia mulai kesulitan untuk berjalan. Lalu di saat-saat terakhirnya, ia semakin sering menangis mengingat kematian Ayah. Di satu sisi, sekarang kami lega karena Nenek tidak perlu lagi menderita karena sakitnya yang berkepanjangan.

Namun bagaimana pun juga, aku tidak bisa menghilangkan pikiran bahwa Nenek meninggal dikarenakan Ayah dibunuh. Andaikan saja Ayah masih hidup, Nenek pasti akan lebih sehat tanpa harus menanggung beban psikologis. Secara tidak langsung, Markus Maurin juga lah yang telah membunuh Nenekku.

Kematian Nenek membuatku depresiku kembali lagi, begitu juga dengan kebencianku pada Maurin. Namun dengan pikiranku yang sudah lebih matang, aku memikirkan cara untuk menghadapinya dengan lebih baik daripada beberapa tahun yang lalu.

Sejak saat itu, aku terinspirasi untuk menjadi seorang polisi. Aku menganggap polisi merupakan sosok pembela keadilan yang seharusnya bisa menyelamatkan nyawa Ayahku dan Nenekku.


𓈜𓈜𓈜


Selama beberapa tahun, aku berlatih demi mengejar cita-citaku menjadi polisi. Dan pada akhirnya, aku berhasil mencapainya di umurku yang keduapuluh tahun.

Aku sangat bahagia. Di waktu yang bersamaan, aku juga bisa mulai bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Aku bisa membantu Pamanku yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga kami, Ibuku yang semakin hari semakin tua, dan juga Adikku dalam menempuh pendidikannya.

Bulan demi bulan, aku menjalani pekerjaanku dengan baik. Selain itu, perekonomian kami juga membaik. Kualitas hidup kami perlahan naik kembali. Mungkin dengan ini, kami bisa menghidupkan kembali kebahagiaan kami yang dulu.


𓈜𓈜𓈜

== 2 Tahun Kemudian ==


"Inspektur Kiram," seorang senior memanggilku dari belakang.

"Ada apa?"

"Ayo masuk ke dalam mobil. Kita ditugaskan untuk memeriksa Jalan Hamurujunem Nomor 7."

"A.. Ada apa yang terjadi di jalan itu?"

"Dilaporkan terjadi perkelahian jalanan."

"Bagaimana mungkin?!"

"Memangnya kenapa?"

"Markus. Orang yang berkelahi pasti Markus Maurin!"

"Markus Maurin? Siapa orang itu?"

Kami berdua segera memasuki mobil, dan bergegas menuju tempat perkelahian itu dilaporkan. Dengan rasa khawatir, aku menyetir dengan cepat menempuh jalanan yang terasa lebih jauh daripada biasanya. Sementara itu, senior hanya duduk di sampingku dengan kebingungan.

Akhirnya, kami sampai di tempat tujuan. Di lokasi kejadian, orang-orang sudah mengerumuni satu sudut di jalanan. Suasananya sudah sangat kacau. Semua orang berjalan kebingungan sambil diiringi suara tangisan anak-anak. Perasaanku tidak salah. Di tengah kerumunan itu, seorang pria sudah terbunuh dengan cara yang sama seperti Ayahku.

Aku sudah dua kali menyaksikan pemandangan ini. Bangunan di sekitaran tempat ini sudah banyak berubah, tapi aku masih mengingat dengan jelas pemandangan ini. Pemandangan ini sama persis seperti hari kematian Ayahku 12 tahun yang lalu.

"Inspektur Kiram, siapa Markus yang kau sebut tadi? Apa kau tau siapa dalang dari pembunuhan ini?"

"Iya. Aku tau dengan jelas siapa orang yang melakukan ini."

Aku langsung berlari menjauhi tempat kejadian yang kacau ini, dan mengabaikan suara senior yang memanggilku. Dengan cepat, kakiku melangkah. Langkah demi langkah, aku semakin menjauh dari kerumunan itu. Aku mengingatnya! Markus Maurin tinggal di dekat sini. Aku sudah dekat! Sama seperti 12 tahun yang lalu, dia pasti pulang melalui gang ini tanpa rasa malu. Aku hanya perlu belok ke kanan dan menemui bajingan itu.

Aku pun berbelok, dan langsung melihat pria tinggi itu yang berdiri tepat di depan rumahnya. Langkah kakiku berhenti seketika melihatnya.

Aku pernah melihatnya secara langsung di pengadilan sebelum dia dipenjara, tapi tidak sedekat ini. Penampilannya masih sama seperti dulu. Kepalanya botak, badannya tinggi dan berisi. Ia hanya mengenakan celana pendek dan tank top yang menunjukkan lengan kanannya yang ditato. Di ujung lengan itu, terdapat kepalan tangannya terkena bekas darah. Aku yakin dia baru saja berkelahi menewaskan pria yang tadi.

"Pak Polisi, apa ada yang bisa saya bantu?"

"Markus Maurin.."

"Bagaimana kau bisa tau namaku?"

"Biar kulepas topi ini supaya kau bisa melihat wajahku dengan jelas," ucapku sambil melempar topi polisiku.

"Si.. Siapa kau? Sepertinya aku tidak mengenalmu. Kenapa kau datang ke rumahku?"

"Jangan pura-pura tidak tau. Kenapa tanganmu berdarah? Kau barusan membunuh pria di tengah jalanan sana kan?"

"Ini ... hanya tergores saja kok. Jangan asal menyimpulkan tanpa ada bukti."

"Kau masih saja sama bodohnya seperti 12 tahun yang lalu. Mengaku saja, dasar sampah!"

"Apa yang kau bicarakan?" dia perlahan berjalan mendekatiku.

"Mundur!"

"Apa maumu?! Jangan berlagak hanya karena kau polisi. Apa kau tau siapa Kakak iparku? Dia seorang perwira. Asal kau tau saja. Kalau kau macam-macam denganku, aku bisa menghancurkan hidupmu dan keluargamu."

"Tidak perlu repot-repot. Kau sudah pernah melakukannya," aku menarik lalu menodongkan pistolku ke arahnya.

"Apa-apaan kau? Kau akan terkena masalah yang besar. Dasar bajingan!"

"Aku ingatkan. 12 tahun yang lalu, kau membunuh seorang pria. Pria itu adalah anak dari Nenekku, suami dari Ibuku, dan Ayah bagiku. Kau lah yang selama ini menghancurkan hidup kami!"




DOR!




Dalam sekejap, badannya yang besar jatuh ke tanah. Darah mulai mengucur. Ia berguling dan merintih kesakitan.

"Tenang saja. Kau tidak akan mati hanya karena aku menembak telingamu."

"Sialan! Kau tidak akan bisa lari dari masalah ini! Dasar bajingan!"

"Kau salah. Kau lah yang tidak akan bisa lari, karena aku akan menghancurkan kakimu."




DOR!




"ADUH!! KAKIKU!"

"Apa kau tidak bisa diam? Aku bisa mencoba memutus pita suaramu kalau kau memaksa, tapi kau mungkin akan mati jika terkena organ yang lain."

"Sudah! Sudah! Aku ingat sekarang! Kau pasti anak dari pria itu! Aku ingat dengan wajahmu sekarang! Maafkan aku! Aku menyesal!"

"Lalu, kenapa tadi kau membunuh orang lain lagi?"




DOR!




"ADUH! SIAL!"

"Akan kuhancurkan kedua lenganmu juga, supaya kau tidak bisa mengulanginya lagi."




DOR!




"AAH! KENAPA KAU MELAKUKAN INI?"

"Apakah masih kurang jelas? Aku tidak terima Ayahku harus mati di tanganmu."

Dengan nafasnya yang terengah-engah, ia berkata, "Aku paham. Kalau aku di posisimu, aku juga akan membalas dendam. Tapi, kenapa kau tidak langsung membunuhku saja?"

"Kau sudah tidak ingin hidup lagi? Kemana perginya lagakmu yang tadi?"

"Be.. Berapa isi peluru pistolmu?"

"Itu bukan urusanmu."

"Revolver seperti itu biasanya bisa mengisi 5 peluru. Kau sudah menembakkan 4 peluru, berarti sekarang tinggal satu. Tolong gunakan peluru terakhir itu untuk menembak kepala atau jantungku."

"Hentikan omong kosongmu. Tentu aku masih menyimpan peluru yang lainnya. Aku hanya perlu mengisi ulang."

"Tolong ... Bunuh aku sekarang juga dan bawa pergi mayatku secepat mungkin," ucapnya sembari mengeluarkan air mata.

"Apa-apaan kau ini?"

Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu yang ada di dalam rumah Maurin. Selama ini, terdapat orang-orang menyaksikan kami berdua. Tiga anak kecil dan satu orang wanita dewasa yang mengintip dari balik tirai rumah itu. Apakah mereka Istri dan Anak-anak dari pria ini?

"Jadi ... kau tidak ingin mereka melihat dirimu tersiksa?"

Dengan sisa tenaganya, Maurin berusaha untuk menganggukkan kepalanya.





DOR!





"Jadi begitu ya.. Sampah sepertimu pun juga memiliki keluarga yang menyayangimu."

Aku menatap kedua bola mata wanita itu, lalu berbalik arah dan pergi meninggalkan mereka berempat di hadapan mayat Markus Maurin.


𓈜𓈜𓈜

𓈜𓈜𓈜


Tidak lama setelah aku membunuhnya, beberapa warga langsung melapor setelah mendengar suara tembakan yang kuberikan pada Maurin. Perumahan itu pun diselidiki, hingga akhirnya ditemukan jasadnya dengan kepalanya yang sudah berlubang. Sementara itu, Istri dan ketiga anaknya masih bersembunyi ketakutan di rumah, dan mengabaikan adanya jasad Suami dan Ayah mereka yang ada di luar rumah.

Semua tuduhan langsung mengarah kepadaku. Dari banyaknya saksi dan bukti peluru yang aku tinggalkan di dekat jasadnya, diputuskan bahwa akulah pembunuhnya. Namun usai kejadian itu, aku sudah kabur dari kota. Aku pergi meninggalkan keluargaku yang kini menanggung beban atas perbuatanku. Aku hanya bisa berharap agar mereka bisa hidup bahagia tanpa kehadiranku.

Berita pembunuhan yang kulakukan menarik banyak perhatian. Wajar saja. Aku adalah seorang polisi menembak seorang pria di hadapan keluarganya. Entah kenapa aku tidak menyadarinya. Walaupun Markus Maurin adalah pembunuh yang menghancurkan keluargaku, dia juga memiliki keluarga yang menyayanginya. Bahkan ia sendiri tidak tega melihat keluarganya melihat dirinya tersiksa. Ia hanya ingin aku membunuhnya dengan cepat agar mereka berhenti menyaksikan Ayah mereka disiksa.

Karena kini aku sudah membunuh Markus Maurin, aku menjadi tidak berbeda sama sekali dengan dirinya yang membunuh Ayahku. Ia menghancurkan keluargaku, namun aku menghancurkan keluarganya. Anaknya bisa saja tumbuh dengan keinginan untuk membalas dendam kepadaku. Namun, apakah aku menyesal telah membunuhnya? Aku tidak tahu. Hanya saja, kematiannya memberiku kedamaian hati walau hanya sementara.

Sudah terlambat untuk menyesali perbuatanku. Sekarang dan seterusnya, aku memilih untuk hidup aman sebagai seorang pengemis. Sisa hidupku mungkin akan membosankan. Aku akan menghabisakannya untuk merenungi perbuatanku.


𓈜𓈜𓈜
indrag057Avatar border
namakuveAvatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
159
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan