- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ibu Susu Untuk BOSKU


TS
thinkfast
Ibu Susu Untuk BOSKU

Platform: Karyakarsa.
Judul: Ibu Susu Untuk BOSKU
Penulis: kodav
Genre: CEO - Romansa - Drama
Link: https://karyakarsa.com/kodav/series/...su-untuk-bosku
Udara di kantor besar dan megah itu terasa tegang saat aku duduk dengan gugup di seberang Mr. Wei, CEO yang mengesankan. Ruangan itu sunyi, kecuali suara jari-jari Mr. Wei yang mengetuk meja, dan setiap ketukan membuatku merinding.
Tatapannya tertuju pada payudaraku seakan menebak-nebak ukurannya. Ya, payudaraku memang besar, dan saat ini, aku sedang menyusui anak pertamaku, yang membuat payudaraku semakin membengkak. Aku merasa tidak nyaman akan tatapan itu, membuatku malu. Rasanya seperti ada yang merobek privasiku, dan aku berharap dapat menyembunyikan kondisi ini dari pandangan Mr. Wei.
"Jadi, Sonia," Mr. Wei mulai, suaranya dalam dan tegas, "Kamu paham kan dengan syarat-syarat posisi ini?"
Aku mengangguk, merasa tenggorokanku kering. "Iya, Mr. Saya sekarang sedang menyusui anak saya."
Mr. Wei bersandar santai, senyum licik mengembang di bibirnya. "Bagus sekali! Dan kamu tahu kan tentang... tugas tambahan yang perlu dilakukan di posisi ini?"
Dengan hati-hati, aku berusaha untuk merasa nyaman di kursiku, berupaya menjaga kontak mata meskipun terasa canggung.
"Saya... saya baru saja diberitahu tentang adanya tugas tambahan untuk menyusui, tetapi saya tidak tahu harus menyusui siapa," jawabku dengan suara bergetar, mencerminkan keraguan dalam kata-kataku. Aku merasakan keringat dingin mulai mengalir di pelipisku saat Mr. Wei menatapku dengan tajam.
Mr. Wei mengangkat alisnya, dan wajahnya langsung jadi serius. "Sonia, apa itu masalah buat kamu?"
"Mr, ini benar-benar sulit buat saya," kataku, suaraku hampir bergetar.
"Ceritakanlah apa kesulitanmu, Sonia," tanyanya dengan nada datar.
Aku menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbagi beban berat yang kutanggung. "Anak saya mengidap Thalassemia dan membutuhkan perawatan medis yang sangat mahal dan berkelanjutan. Setiap bulan, biaya pengobatan membuat saya terjebak dalam hutang yang semakin menumpuk. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa," aku mengatakannya dengan nada putus asa, merasakan air mata menggenang di pelupuk mataku.
Mr. Wei tersenyum tipis, matanya tetap tajam menatapku. "Untuk biaya pengobatan yang berkelanjutan anakmu, saya bisa memberikan gaji empat kali lipat dari posisi serupa di perusahaan lain dengan tugas tambahan. Tapi untuk melunasi hutang pengobatan anakmu, saya memerlukan yang lebih darimu dari sekedar tugas tambahan itu," jawabnya dengan nada penuh makna.
Aku merasa darah mengalir cepat ke wajahku, campuran antara ketakutan dan harapan yang terdesak. "Apa yang Anda maksud, Mr. Wei?" tanyaku, meskipun dalam hati aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Kamu tahu apa yang saya maksud, Sonia," katanya, suaranya berubah menjadi bisikan yang dingin. "Itu tergantung pada seberapa baik kamu memenuhi kebutuhan saya," jawabnya dengan nada yang penuh arti. "Jika kamu mau, saya akan memastikan hutang pengobatan anakmu lunas dalam waktu kurang dari satu tahun."
Kecemasan dan rasa malu merasuki diriku, seolah-olah aku sedang menjual diriku sendiri. "Apakah ini benar-benar satu-satunya cara?" pertanyaan itu terus berputar dalam pikiranku. Aku merasa terjebak, tanpa ada jalan keluar yang tampak.
Menarik napas dalam-dalam, aku berusaha menenangkan detak jantungku yang semakin cepat. "Baiklah," aku akhirnya berkata dengan suara yang penuh keyakinan, "Saya akan melakukannya.
Mr. Wei tersenyum puas, seolah-olah dia baru saja memenangkan sebuah permainan besar. "Baiklah, Sonia. Namun, kamu harus melewati beberapa ujian," katanya dengan nada yang dingin.
Ujian? Maksud Anda?" tanyaku dengan suara yang hampir berbisik, mencoba menyembunyikan rasa takut yang mulai merasuki setiap pikiranku.
Mr. Wei mengangguk perlahan, senyum licik masih terpampang di wajahnya. "Ya, ujian. Aku ingin memastikan bahwa kamu memang pantas mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan," ujarnya dengan nada yang penuh arti, menekankan setiap kata dengan intensitas yang membuat bulu kudukku merinding.
Mata kami bertemu, dan aku bisa merasakan tekanan yang semakin berat. "Apa yang harus saya lakukan untuk lulus ujian ini, Mr. Wei?" tanyaku, berusaha menjaga suaraku tetap stabil meskipun ada getaran halus yang tak bisa kusamarkan.
Dia berjalan mengitari meja, berhenti hanya beberapa inci dari wajahku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat dan sedikit beraroma mint. "Berdirilah," perintahnya.
Sedikit ragu, aku perlahan-lahan berdiri. Mr. Wei mengulurkan tangannya dan dengan lembut menyentuh payudaraku di balik blusku. Aku tertegun, tubuhku tiba-tiba menegang tanpa kusadari.
"Kamu tahu, Sonia, ini bukan hanya soal pekerjaan. Ini tentang keintiman dan kepercayaan," bisik Mr. Wei dengan nada menggoda. "Kamu bisa memberikan itu, bukan?"
Pikiranku campur aduk antara rasa takut dan kebingungan. "Eh, saya... saya rasa begitu," jawabku ragu-ragu.
Mr. Wei tersenyum, melepaskan tangannya dan melangkah mundur. "Baiklah. Kalau begitu, ayo kita lanjutkan."
Dia menunjuk ke sebuah pintu di belakang kantor yang sebelumnya tidak kuperhatikan. "Di sana," katanya, "itu tempat kita bisa mengadakan pertemuan yang lebih... pribadi."
Aku merasa ragu, jantungku berdegup kencang. Ini adalah momen yang menentukan bagi diriku. Menarik napas dalam-dalam, aku melangkah menuju pintu, tanganku bergetar saat mendorongnya terbuka.
Di dalam, ruangan itu remang-remang dengan musik lembut yang mengalun di latar belakang. Sebuah sofa besar dan nyaman menjadi pusat perhatian, dikelilingi oleh berbagai benda dan perangkat yang tidak bisa aku lihat dengan jelas dalam kegelapan.
Mr. Wei mengikuti masuk dan menutup pintu di belakang kami. “Relax, Sonia,” katanya dengan suara yang menenangkan. “Ini baru permulaan.”
Bersambung di Karyakarsa 🥰🥰🥰




bukhorigan dan caritbs memberi reputasi
0
307
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan