Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #85 : Boneka Keenam
Short Story #85 : Boneka Keenam

“Pusing … oh pusing. Ini apaan lagi sih?”

Ingin pecah rasanya kepalaku saat membaca laporan dari tempat kejadian. Kukira ini negara damai, kukira ini negara normal, kok bisa sih ada kasus macam ini?

“Bagaimana, Pak? Apa yang harus kita lakukan?”

“Gimana apanya? Tutup TKP rapat-rapat, jangan sampai ada yang mendekat. Pokoknya kasus ini harus selesai sebelum libur tahun baru.”

Kugaruk kepalaku yang belakangan ini memang mulai berketombe. Kasus-kasus macam inilah yang paling sulit untuk ditutupi. Sudah bisa kucium kasus ini akan ramai di mana-mana.

Kugelengkan kepala keras-keras untuk mengusir pusing yang tiba-tiba saja datang. Kulihat foto seorang anak berumur 5 tahun yang memang sengaja kupajang di atas meja. Betul juga, Andini minta dibelikan boneka untuk ulang tahunnya. Sejak boneka kesayangannya rusak digigit anjing, dia jadi gampang murung.

“Yosh! Mari selesaikan!”

Berpikir saja tak akan menyelesaikan masalah. Hadapi saja, siapa tahu jalan keluar muncul tiba-tiba.

***


“Jadi, waktu kau datang mereka sudah begini?”

“Iya, Pak. Saya nggak bohong! Bukan saya pelakunya!”

Saksi satu, Jui, menangis karena mengira dia akan masuk penjara. Pikiran isengku sempat ingin mengerjainya, tapi kutahan demi kebaikan kami berdua.

“Tenang, cuma penjahat yang masuk penjara. Jadi kamu langganan nganter galon ke sini?”

“Iya, Pak. Tiap Senin, Kamis, Sabtu. Kami temenan jadi saya biasanya langsung masuk aja.”

“Okay …. Terus waktu kamu nemuin mereka, apa yang kamu lakukan?”

“Saya teriak, terus warga sekitar langsung datang.”

Reaksi yang sangat masuk akal, tak ada yang mencurigakan.

“Kalau kalian teman, terus kamu pernah dengar nggak kalau mereka … punya musuh?”

Jui menunduk lalu menggeleng.

“Seingat saya nggak ada sih,” jawabnya pelan, “tapi mereka kadang-kadang memang suka berantem. Biasanya langsung baikan sih, tapi mereka pernah berantem sampai masuk rumah sakit.”

Biasanya itu bisa langsung jadi petunjuk untuk mengerucutkan pelaku, tapi kasus ini bukanlah pembunuhan biasa. Satu pembunuhan saja sudah bikin pusing, tapi ini 5 sekaligus.

Dan bukan cuma sekedar pembunuhan, ini kasus mutilasi.

“Korban 1, Elo, tangan kanannya hilang. Korban 2, Bam, tangan kirinya hilang. Korban 3, Jeki, kaki kanannya hilang. Korban 4, Tio, kaki kirinya hilang. Terakhir, Abed, kepalanya tak dapat ditemukan.”

Saat mendengar kembali laporan keadaan korban aku bertanya-tanya psikopat macam apa yang melakukan hal semacam ini. Dan untuk apa?

Tampaknya hari ini aku terpaksa lembur.

***


Saksi 2, Ibu Jelita, tetangga.

“Jujur aja saya nggak terlalu suka sih sama mereka. Suka bikin ribut kalo malam, diingetin juga pura-pura budeg. Makanya saya nggak terlalu dekat. …. Hah? Semalam … nggak sih, nggak ribut. Kayaknya mereka pergi entah ke mana waktu maghrib. Waktu saya mau tidur tengah malam saya masih dengar suara mereka ngobrol.”

Tetangga yang lain juga memberi kesaksian serupa, mereka pergi saat maghrib, tapi tak ada yang melihat mereka pulang. Mungkin karena hari ini hari libur mereka keluar bersenang-senang.

Saksi 3, Bu Wulan, penjaga warung.

“Mereka sering ngutang di sini,” jawabnya dengan wajah kesal, “kadang bisa sampe sebulan nggak dibayar. Kalau udah gini siapa yang bakal bayar kasbon mereka?”

Tatapan matanya yang menuntut membuatku pura-pura sibuk dengan buku catatan.

“Mereka sering taruhan,” jawabnya lagi, “yang kalah harus bayar makan atau yang sejenis itu. kadang juga taruhan jahil. Yang kalah harus ngeprank ini, yang kalah harus nembak si ini. Nggak, kemarin mereka nggak mampir jadi aku nggak tau.”

Aku berterima kasih dan pergi sebelum dia mempertanyakan kembali hutang-hutang korban.

Tampaknya para korban memang tak terlalu disukai di lingkungan ini. Pantas saja tak ada yang terlihat terlalu sedih. Tapi dari semua kesaksian masih tak ada satu pun yang menjelaskan siapa pelakunya. Malah, pertanyaan lain terbuka. Ke mana mereka pergi semalam?

***


Karena tak ada titik terang, jenazah para korban pun akhirnya diberikan pada orangtua mereka. Kasusnya masih dibuka, tapi tak ada yang menaruh harapan untuk menemukan titik terang. Bahkan setelah libur tahun baru kasus ini sudah mulai dilupakan.

“Selesai kasus pembunuhan, muncul kasus orang hilang. Kenapa negara ini nggak bisa tenang aja?”

Sekali lagi kutatap foto putriku untuk menenangkan hati. Hari ini ulang tahunnya dan aku sudah membeli boneka kelinci yang pasti dia suka.

“Jelek!”

Komentar kejamnya benar-benar menusuk hatiku yang rapuh. Padahal itu boneka paling mahal dan paling imut di toko.

“Nggak mau ini, mau Bucchi!”

Dengan raungan dan amarah dia mencabik-cabik si kelinci malang sambil terus meneriakkan nama boneka lamanya. Aku tak tahu kalau boneka itu sangat berharga sampai-sampai bisa membuatnya menangis.

Setelah Andini pergi menangis ke ibunya aku pun memungut apa yang tersisa dari boneka yang harusnya menemani tidur putri kecilku malam ini. Sekarang boneka itu sudah termutilasi jadi enam bagian. Kurasa aku tak bisa dapat refund jika kondisinya begini.
Akhirnya boneka itu pun harus berakhir di tempat sampah.

“….”

“Huh?”

Bucchi, boneka kesayangan Andini yang dicabik-cabik anjing, ternyata ada di dasar tempat sampah. Kukira putriku masih menyimpan cabikannya, tapi istriku pasti diam-diam membuangnya. Bucchi memang tak mungkin diperbaiki, tapi kepalanya masih utuh. Saat aku membuang potongan-potongan boneka baru ke sisi Bucchi, aku menyadari sesuatu yang luar biasa. Luar biasa menakutkan.

***


“Hubungi keluarga Abed, bongkar makamnya dan lakukan otopsi.”

Perintah yang kuberikan pada bawahanku sungguh tak masuk akal, tapi dengan sedikit ancaman kekuasaan pihak keluarga pun akhirnya setuju. Mayat tanpa kepala itu pun akhirnya diperiksa dan ternyata benar dugaanku.

“Cocok, ini memang mayat dari Aldi, orang yang dilaporkan hilang bersamaan dengan terjadinya kasus ini. Singkat cerita, ini bukan mayat Abed. Abed … mungkin sudah kabur setelah membunuh mereka semua.”

Singkat cerita, kami berhasil menemukan Abed yang melarikan diri ke luar pulau. Setelah interogasi panjang dia mengakui semua perbuatannya.

Malam itu dia dan teman-temannya bertaruh siapa yang bisa melempar batu paling jauh. Mereka agak mabuk dan tidak berpikir bahwa lemparan mereka bisa saja mengenai seseorang. Dan benar saja, salah satu batu yang mereka lempar melayang tepat menghantam kepala Aldi, membunuhnya seketika.

Tak jelas siapa yang melempar, tapi mereka semua sepakat untuk menutupi kejadian itu. Mereka membawa mayat Aldi ke kontrakan dan berdiskusi tentang apa yang harus mereka lakukan. Semua tampak takut dan Abed tahu jika hal ini dibiarkan maka kejahatan mereka pasti akan terbongkar.

Akhirnya pikiran lisiknya pun mengambil alih. Saat semua temannya tertidur dia pun menyuntik mereka dengan zat kimia sehingga mereka mati dalam tidur. Bagaimanapun, orang mati tak akan bisa bercerita.

Namun dia harus menyingkirkan bukti. Abed tahu dia tak mungkin bisa lepas dari semua ini jika dia teap hidup, dia pasti akan dicurigai, karena itulah dia memalsukan kematiannya.

Dia memenggal kepala Aldi dan menyamarkan mayat itu sebagai dirinya. Satu mayat yang kehilangan kepala pasti menjadi pertanyaan, tapi Abed sukses menutupinya dengan memotong satu bagian dari teman-temannya yang lain. Dengan begitu dia membuat seolah mereka berlima mati dalam suatu pola.

Rencana yang benar-benar jahat. Aku yakin Abed punya sisi psikopat sampai bisa terpikirkan rencana semacam itu. Dia beruntung tubuhnya dan Aldi begitu mirip dan orangtuanya juga menolak otopsi. Untungnya dia tertangkap, kalau dibiarkan bebas entah jadi apa dia di masa depan nanti.

Di jalan pulang aku mengingat kembali kepala Bucchi dan potongan boneka kelinci baru yang kubeli. Kira-kira kalau aku menjahit semuanya tapi mengganti kepala kelinci dengan kepala Bucchi, apakah Andini akan sadar itu bukan bonekanya?

***TAMAT***
jembloengjavaAvatar border
viensiAvatar border
riodgarpAvatar border
riodgarp dan 25 lainnya memberi reputasi
26
803
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan