- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Takdirku yang Penuh Zig-zag


TS
muyasy
Takdirku yang Penuh Zig-zag

Part 1
.
.
"Bu, kata Bapak aku akan melanjutkan sekolah menengah atas," kataku menghiba.
Wajah wanita yang telah melahirkanku itu berubah kesal saat aku menjawab ucapan beliau sebelumnya. Aku cukup di rumah saja. Tidak usah melanjutkan sekolah lagi. Cukup sekolah menengah pertama saja katanya.
Bagaimana bisa aku selalu diam? Aku menjawab karena seingatku Bapak pernah berkata seperti itu.
"Bapak tidak punya uang banyak. Musim hujan tiba, tidak banyak orang menyuruh Bapak untuk memperbaiki atau membangun rumah mereka. Banyak perempuan hanya lulusan SMP saja. Karena nantinya perempuan hanya di dapur," jawab Ibu amat panjang.
Aku menghela napas, "Kata Bapak lagi, kalo tidak meneruskan sekolah menengah atas, aku akan dipondokkan ke Pesantren."
Kali ini aku menatap wajah Ibu sekilas. Takut dengan tatapan Ibu yang sangat nyalang. Apalagi kemarahannya nanti akan meledak seperti gunung meletus.
"Aduuh ... mondok ke Pesantren malah keluar uang banyak, Sar. Di sana bukan mondok saja, nanti di sana sekolah juga. Apalagi bangun tengah malam disuruh salat dan ngaji sampai subuh. Kamu mau begitu!" sentak Ibu padaku.
"Aku mau, Bu. Di sana, kan, belajar dan mengaji serta nanti aku mempunyai teman banyak," jawabku sekenanya.
Aku masih menunduk. Suasana di ruang tengah terasa mencekam. Bapak duduk di kursi paling sudut hanya diam sambil mengisap rokok. Ah, Bapak hanya nurut saja apa kata Ibu. Kalau tidak, pasti akan ada perang dunia ketiga.
"Kamu itu ngeyel kalo dibilangin. Ibu tidak setuju kalo kamu mondok. Nanti Ibu sama siapa? Ibu tidak tega meninggalkanmu di pondok itu. Pokoknya kamu di rumah saja!"
Ibu melenggang pergi entah ke mana. Tetiba, terdengar pintu depan rumah ditutup dengan keras. Sama saja pintu tadi dibanting. Sepertinya kelakuan Ibu tadi. Yang kutahu kalau Ibu marah, barang-barang di rumah pasti semua salah. Saat memasak, menghaluskan bawang merah dicobek saja Ibu akan marah-marah, karena membuat matanya pedih. Akan tetapi, bukan karena itu. Pokoknya suasana hati Ibu gampang berubah. Kadang menjadi ibu peri dan aku senang saat itu. Namun, kadang menjadi monster sampai membuat Bapak dan aku bungkam seharian.
Jika aku mondok, Ibu tidak akan sendirian di rumah. Kan, ada adik dan Bapak? Apa itu hanya alasan Ibu saja agar aku kasihan padanya?
Aku masih duduk kaku di kursi ruang tengah. Mataku tidak berani melirik Bapak yang tadi masih merokok. Aku juga takut kalau Bapak hanya diam saja tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Maafkan Bapak, ya, Sarah. Bapak juga tidak bisa berbuat banyak. Turuti saja apa kata Ibumu," lontar Bapak sembari berdiri dan melangkah pelan menuju kamarnya.
Aku menatap Bapakku yang ternyata badannya mulai ringkih. Kulitnya berubah gelap karena pekerjaannya sering terkena sinar mentari. Kerja sebagai kuli bangunan memang tidak tentu. Entah kenapa di saat aku lulus sekolah menengah pertama dan ingin melanjutkan sekolah menengah atas malah pekerjaan beliau sepi.
Aku hanya menurut perkataan orang tuaku. Memangnya aku bisa apa?
Mataku buram dan terasa aliran darah mengalir ke hidung sampai alis, lalu ke kepala. Aku menangis hanya sekejap. Air mataku langsung kuhapus detik itu juga. Tangis ini percuma aku tumpahkan. Dadaku sesak menahan marah. Iya, aku marah. Siapa juga yang tidak marah akan hal ini?
Bersambung
Sumber gambar by pinterest dan edit by picsArt
Diubah oleh muyasy 25-07-2024 01:07


bukhorigan memberi reputasi
1
105
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan