Kaskus

Story

bangrobby1372Avatar border
TS
bangrobby1372
FALABISAHAYA. Chapter #4 : PERJALANAN
FALABISAHAYA. Chapter #4 : PERJALANAN
Sebelumnya   : FALABISAHAYA Chapter #3 : 1993

Suasana hiruk pikuk pelabuhan Manado sangat terasa, apalagi malam ini akan berangkat 2 buah kapal kayu. Waktu sudah jam setengah enam sore ketika kami sampai di pelabuhan, dengan memperlihatkan tiket yang sudah ku beli kemarin sore kepada petugas kapal aku bisa menaiki di iringi ibu dan mbak Is.

Saat menaiki kapal aku mendongak ke atas dan terpampang dengan jelas di atas dek nama kapal tersebut KM. Nusa Teratai. Jurusannya adalah manado-Ternate-Mangole-Sanana-Ambon. Kapal yang terbuat dari kayu tapi bisa menampung penumpang sampai lebih dari 200 orang. Ada banyak kapal sejenis di pelabuhan Manado, biasanya kapal bertujuan ke daerah Sangir dan Talaut. Para Anak buah kapalnya pun banyak yang berasal dari daerah sana, dan mereka memang pelaut yang hebat setara dengan pelaut bugis dan buton.

Pelabuhan telah penuh sesak dengan orang-orang yang akan melakukan perjalanan dan diantar oleh sanak keluarganya. Selain para penumpang dan pengantarnya banyak juga yang mengais rejeki di tempat ini. Mulai dari yang berjualan makanan dan minuman ringan sampai para buruh bagasi yang menjajakan tenaganya untuk mengangkut barang penumpang.

Segera ku cari tempat tidurku sesuai dengan nomor yang ada dalam tiket. Ibu membelikan beberapa makanan ringan dan minuman botol sebagai bekal dalam perjalanan. Manado ke mangole di tempuh dengan waktu sehari dua malam.

Tak berlama-lama ibu dan Mba Is mengantarku. Setelah aku mendapat tempat tidur mereka berpamitan. Saat itulah air mata ku tak dapat ku bendung, ibu pun menangis. Aku minta ibu mendoakan aku agar aku selamat sampai tujuan. Ibu memelukku dan membisikkan agar aku hati-hati dalam perjalanan.
Aku tak sanggup untuk melihat ketika ibu benar-benar meninggalkan aku untuk pulang ke rumah. Perasaan takut mulai menerpaku, tapi aku menguatkan hati dengan sedikit bernyanyi kecil. Ku pandangi tubuh ibu dan Mba Is sampai mereka tak terlihat lagi.
Kapal Motor Nusa Teratai berangkat menuju Ternate pada pukul 18.30 Wita, molor setengah jam dari waktu yang tercantum di tiket. Kucatat tanggal penting tersebut dalam memori otakku.

Inilah langkah pertamaku keluar dari manado yang telah membesarkan diriku. Selamat tinggal Manado kataku dalam hati, dalam kegundahan hati aku memandangi Jalan Boulevard yang di hiasi lampu-lampu jalan, sangat indah. Aku akan mencari sekelumit arti hidup, untuk bisa ku pelajari dan menjadi bekal nanti dalam mengarungi belantara kehidupan.

Ku ucapkan lagi selamat tinggal Manado entah kapan aku bisa kembali.

            “ Mau kemana dik ? “ Seorang lelaki yang mungkin lebih tua 2 tau 3 tahun dariku menyapaku. Berperawakan agak kurus dan berambut ikal.

            “ Mau ke Mangole mas,” Jawab ku

            “ Ali,” Dia menyodorkan tangannya.

            “ Dar,” Aku membalas sambil menyalaminya.

            “ Aku mau ke Ambon,”

            “ Wah, aku sampai lebih dulu kalo begitu,”

            “ Iya, wah pasti bosan nanti aku, baru pertama naik kapal ?”

            “ Iya mas, agak takut juga,”

            “ Berdoa aja , aku juga baru pertama naik kapal yang seperti ini, biasanya naik kapal laut milik Pelni yang lebih besar,”

            “ Mas keluarga di Ambon ya ?”

            “ Iya, di Manado kuliah , kalau kamu mam ?”

            “ Mau mau cari kerja mas di Mangole,”

            “ O…… di Perusahaan kayu lapis ya?”

            “ Iya mas,”

            “ Semoga cepat dapat kerja ya mam, nih ada biskuit ambil saja kalau mau,’

            “ Nanti saja mas, sudah kenyang, lagian kepala sudah mulai pening,”

            “ Tidur aja kalau begitu agar tak semakin menjadi rasa peningnya,”

            “ Iya mas,”

            Aku segera membaringkan tubuhku di tempat tidur, demikian pun Ali. Kepala ku agak pening,aku teringat belum minum obat anti mabuk agar selama perjalanan aku tak mengalami mabuk laut. Kuambil obat di saku bajuku dan ku tawari Ali, tapi dia menolak.

Setelah minum obat , aku baringkan tubuhku . Pikiranku melayang memikirkan bagaimana nanti bila aku telah sampai di Mangole.Pikiran ku terus mengembara dan tanpa sadar aku telah terlelap.

            “ Allahu akbar,”

            Aku terkejut mendengar seruan itu. Langsung saja aku terbangun, ku lihat wajah Ali pucat pasi. Kapal bergoyang dengan kerasnya, bunyi derak kayu bersahutan.

            “ Tuhan Yesus, tolong hamba Mu,”

Aku melihat seorang ibu menjerit histeris karena percikan air laut sudah masuk ke tempat ibu tersebut. Olengan kapal semakin keras , aku juga sangat khawatir jika sesuatu terjadi pada kapal yang aku tumpangi. Aku berpegang pada besi di tempat tidurku, sementara Ali ku lihat sedang melantunkan ayat ayat suci.

Entah surat apa yang di bacanya, aku hanya mendengar sayup-sayup dibacanya sambil menangis. Suasana kapal semakin mencekam, anak-anak kecil menangis, dan sering kali teriakan dari penumpang wanita menambah suasana jadi mencekam.

Tiba tiba terdengar suara dari kapten kapal agar kami tidak merasa cemas, Dia mengatakan kami berada di perairan Batang Dua yatu perairan antara pulau Sulawesi dan Pulau ternate yang memang memiliki arus  kuat, tapi kapal bisa di kendalikan dan dia minta agar kami tenang dan berdoa menurut agama kami masing-masing , serta memberi kepercayaan sepenuhnya pada kapten dan anak buah kapal.

Mendengar itu kami semua sudah mulai agak tenang, dan masing-masing mempersiapkan diri bila memang nanti sesuatu yang terburuk terjadi. Sekitar satu jam kami terombang-ambing oleh gelombang besar pada perairan Batang Dua, setelah melewati perairan itu suasana kembali tenang karena gelombang sudah seperti biasa.

Aku tersenyum saja ke arah Ali, mungkin karena aku pertama kali naik kapal laut sehingga aku tak menyadari bahwa yang kualami tadi adalah hal yang menakutkan. Tapi aku bersyukur bahwa perjalanan pertamaku tak mendapat hambatan yang berarti.

Ali melihatku dengan  pandangan yang bingung. Kami melanjutkan tidur kami masing-masing, hingga tersadar kapal sudah memasuki perairan Pulau Ternate. Jam menunjukkan Pukul 08.00 WIT ketika kami berlabuh di Pelabuhan Ternate.

Sekitar dua jam lebih kami berlabuh di Ternate, Di pelabuhan ternate aku dan Ali turun untuk sekedar mencari makanan ringan yang banyak dijajakan sekitar pelabuhan. Aku membeli Gogos yaitu penganan sejenis lemper tetapi bukan berisi abon daging sapi, isi dari gogos adalah abon daging ikan Cakalang atau Tuna yang memiliki cita rasa pedas. Aku sangat menyukai makanan tersebut, di daerah Manado makanan tersebut dinamakan lalampa.

Sementara ku lihat membeli kue khas Ternate yaitu Bagea dan Sagu lempeng. Kue bagea terbuat dari sagu dan dibungkus dengan daun kelapa yang kemudian dibakar di oven. Rasanya manis sebab dicampuri dengan gula dan bubuk kayu manis. Sementara sagu lempeng adalah penganan yang terbuat dari sagu juga tetapi terasa hambar dan sangat keras. Ketika akan memakannya sagu lempeng harus direndam dahulu dengan kuah ikan atau bisa juga dengan kopi dan teh sebagai penganan teman minum sore.

Setelah 2 jam bersandar di pelabuhan Ternate, kapal Nusa Teratai segera melanjutkan perjalanannya menuju Pulau Mangole, atau tepatnya di Pelabuhan Desa Falabisahaya. Tak pernah kulihat nama itu di peta , dan begitulah Indonesia , Negara yang sangat luas sehingga banyak tempat yang masih terasa asing bagi orang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di wilayah lain.

Sangat menarik pemandangan saat aku meninggalkan Ternate, aku dapat melihat bagaimana tingginya dan megahnya Gunung Gamalama laksana tonggak kebesaran kesultanan Ternate. Lautan yang membiru, burung camar yang meliuk lincah terbang ke sana kemari dan sesekali ikan terbang juga ikan lumba-lumba menampakkan tubuh mereka di permukaan laut. Terlihat pula di kejauhan kehijauan Pulau besar Halmahera, pulau Tidore dan pulau-pulau lainnya yang menghiasi kebiruan laut.

Aroma laut ku hirup  dalam-dalam, ku ingin menikmati pemandangan ini walau agak gundah juga hati ini karena akan ke tempat yang belum pernah aku kunjungi.

Dalam perjalanan aku dan Ali lebih banyak diam, mungkin karena baru saja kenal sehingga kami sama-sama takut untuk memulai percakapan. Dia lebih sering membaca buku, dan tertidur. Aku juga sebenarnya ingin tidur, tapi karena kegundahan atau bisa dikatakan ketakutan hingga sulit mata ini terpejam.

Kapal terus saja merangkak di atas lautan dengan sering kali memperdengarkan derakan kayu bila terhempas oleh gelombang . Tapi gelombang tak sebesar yang menghadang di perairan Batang Dua, penumpang pun telah kembali ceria , ku dengar ada yang menyanyi, saling bercanda, sangat berbeda dengan kondisi ketika kami melewati perairan Batang Dua semalam.

Siang yang panas dan menyengat di tengah samudra perlahan-lahan  berganti dengan malam. Saat malam langit cerah dan ku lihat bintang-bintang di atas langit berlomba memperlihatkan keindahannya. Sangat mengasyikkan menikmati suasana malam diantara deburan ombak dan suara desau angin laut.

Setelah makan malam yang di sediakan di kapal aku mencoba memejamkan mata. Ku lihat di samping ku Ali sudah terlelap. Aku iri kepadanya karena bisa dengan mudahnya dia tertidur. Mungkin dia telah terbiasa naik kapal kayu seperti ini, beda dengan diriku yang baru pertama kali berlayar.

Aku coba memejamkan mata sambil menenangkan pikiran dan berpikir semuanya akan baik-baik saja. Ku jauhkan otak ku dari berpikir tentang ibu, bapak dan keluarga. Kubayangkan saja semua yang indah-indah tentang masa depan yang akan aku raih di tempat yang baru. Dan akhirnya aku pulas tak ingat lagi sekitarku.

      “ Dik bangun, sudah mau sampai Falabisahaya,” Ku dengar suara Ali membangunkanku.

Aku mengeliat dan memperhatikan sekeliling ku ternyata ada beberapa penumpang yang sudah mulai bebenah.

            “ Jam berapa mas ?” Tanya ku

            “ Sudah mau jam 5 pagi, sebentar lagi sampai,” jawab Ali

 Aku segera bangun dan ku ambil air mineral dan ku gunakan untuk menggosok gigi dan mencuci muka ku. Benar juga kata Ali sudah terlihat jelas depan mataku,cahaya lampu menerangi Desa tersebut.

Desa ?

Aku mengernyitkan alisku tak percaya dan kaget, dengan lampu yang terang benderang begini apa memang bisa disebut Desa. Kalau seperti itu ini bukan desa lagi tapi sebuah kota, pikirku.

Kapal merapat perlahan, bukan pada pelabuhan tetapi pada tanah yang menjorok ke arah laut. Aku tak habis berpikir mengapa tidak ada pelabuhan? Dari atas kapal samar samar matahari telah menampakkan diri dan terlihat di bawah banyak orang berkerumun dan begitu banyak suara yang terdengar asing menurutku. Yah memang dialek masyarakat Maluku berbeda dengan dialek masyarakat dari Sulawesi.

Aku melihat ke kiri kanan mencari sosok kakak lelaki ku yang katanya akan menjemputku. Tak terlihat sebab begitu banyak orang di “ pelabuhan “ itu yang berjubel diantara becak dan sepeda serta roda pengangkut barang. Ada beberapa mobil disekitar situ tapi tak banyak.

            “ Turun saja ,” kata Ali

            “ Aku belum menemukan kakak ku, mas,”

            “ Dia pasti sudah menjemputmu, ku yakin itu,”

            “ Iya juga , tapi kan aku baru saja menjejakkan kakiku di sini,”

            “ Ayo ke tepi kapal agar kita bisa jelas melihat kakakmu,”

Aku dan Ali keluar ke tepi kapal dan mencari-cari diantara sekian banyak orang di pelabuhan.

            “ Nah itu mas, yang pakai kaos merah, dia kakakku,”

Aku menunjuk ke seseorang yang memakai kaos berwarna merah, dan memang dia kakakku. Aku melambaikan tangan, tapi dia tak melihat dan matanya liar mencari diriku. Aku teriakkan namanya dan dia menoleh padaku.

Dia melambaikan tangan dan memberi isyarat dia akan menungguku di tempat itu. Aku mengangguk dan segera ku jabat tangan Ali mengucapkan terima kasih, ku tawari dia untuk turun dari kapal tetapi Ali menolak karena takut ketinggalan kapal nantinya.

Aku menuruni tangga kapal yang terbuat dari tiga buah bilah papan yang di ikat dengan beberapa tali, tak aman memang tapi begitulah pelayaran milik rakyat. Dan sebagai penumpang harus menerima karena tak bisa ada kata protes pada keadaan yang ada.

Aku menyeruak diantara berjubel manusia yang berada di pelabuhan, aku mencari tempat yang tadi di tunjuk kakakku. Ku lihat dia, dengan rambut sudah agak menipis dan kulit bertambah hitam. Dia tersenyum padaku dan menyalami aku. Dengan menumpang becak aku di bawa kerumahnya atau lebih tepat tempat kostnya karena kakakku belum mampu untuk membeli rumah.

Aku di sambut oleh kakak iparku dan anaknya yang masih berusia 5 tahun. Aku senang sebab aku bisa bertemu mereka dan ku yakin kan dalam hati bahwa di sinilah aku akan menghabiskan beberapa tahun dari hidupku untuk bekerja mencari rejeki yang bisa ku gunakan untuk membantu diriku dan keluargaku. Dan aku sangat berharap.


Bersambung....... Chapter #5

Terima Kasih Sudah Mampir, Jangan Lupa Komen danCendolnya Gan!
hawkeye08Avatar border
bukhoriganAvatar border
MFriza85Avatar border
MFriza85 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
451
15
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan