- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
FALABISAHAYA. Chapter #3 : 1993


TS
bangrobby1372
FALABISAHAYA. Chapter #3 : 1993

FALABISAHAYA. Chapter #2 : TORANG SAMUA BASUDARA
Warna jingga menggumuli langit
Ketika burung-burung mulai terbang kembali ke sarang
Setelah seharian mencari anugerah Sang Pancipta
Gemuruh dalam rongga dada ini makin menggema
Bias rasa mulai menggelora
Bertahan atau meninggalkan
Tengadah keatas langit untuk mencari jawaban
Agar gelora ragu yang tersemat
Bisa reda
Hingga kaki pun bisa lantang dihentakan
Menuju hamparan luas dunia
Hari semakin sore, gema adzan waktu sholat ashar telah lama berkumandang. Dilangit telah tergambar seberkas mega berwarna jingga. Sore itu sebenarnya sama seperti sore hari-hari kemarin, hanya hatiku saja yang terasa lain. Dalam hatiku berdebar dengan kencangnya. Bagaimanapun ini adalah kali pertama aku akan pergi jauh dari rumah seorang diri. Semalaman aku tak dapat memejamkan mata, ada sebersit rasa takut dan keraguan untuk pergi.
Aku terduduk diam di depan rumah, sambil menunggu ibu dan kakak perempuan ku kelima yang bernama Is dan sering ku panggil mbak Is selesai berdandan. Ku lihat wajah bapak yang duduk di kursi depan menatapku, kasihan bapak penyakit asma yang di deritanya sejak aku kecil membuat bapak terlihat ringkih. Ku coba tersenyum, dan bapak dengan sedikit terpaksa membalas senyumku.
Ada tatapan rasa bersalah , tapi ada tatapan bangga. Bapak gusar karena aku akan pergi meninggalkan rumah dan dia tahu inilah kali pertama aku pergi jauh seorang diri, juga merasa bersalah karena bapak telah sering mencecar ku dengan pertanyaan kapan aku dapat pekerjaan sekaligus bangga karena aku pergi untuk mencari pekerjaan.
Ku ingat beberapa bulan ke belakang, setelah aku lulus dari sebuah akademi pada bulan November 1992, bapak mulai mencecar diriku dengan pertanyaan kapan aku bekerja. Padahal bapak tahu kalau sekolah ku adalah ikatan dinas di mana setelah lulus kami akan ditempatkan sebagai Pegawai Negeri Sipil ke seluruh Indonesia. Dan bapak juga sudah tahu bahwa berkas ku sudah masuk ke Departemen Kesehatan dan menunggu proses dari Pusat.
Cercaan bapak aku anggap wajar, sebab kondisi keluarga kami yang sangat kekurangan. Yang menghidupi kami selama ini adalah jerih payah ibu berjualan sayur di pasar. Bapak sudah tidak bisa bekerja lagi sejak mengidap penyakit asma yang akut . Dari jerih payah ibulah kami bisa tetap sekolah dan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Jika mengingat hal itu, aku sangat sedih sekaligus bangga. Ibuku yang tak pernah mengecap pendidikan tetapi sangat peduli dengan pendidikan kami anak-anaknya. Ibu tak pernah memikirkan dirinya sendiri, yang di pikirkan adalah kesehatan bapak dan bagaimana menghidupi dan memberi pendidikan kepada kami. Ibu adalah sosok wanita perkasa yang tak pernah mengeluh akan hidup yang di jalaninya. Pelajaran hidup inilah yang sering ku ingat untuk tak mengeluh saat dalam belenggu kesusahan hidup.
Aku lihat kembali sekeliling rumah yang selama ini kami tempati, rumah penuh kenangan yang menjadi saksi bagaimana gigihnya keinginan untuk merubah sebuah nasib. Sekarang rumah ini bukan lagi terbuat dari bambu, tetapi sudah terbuat dari tripleks yang terasa lebih layak di sebut rumah.
“ Sudah jam berapa ini, cepat sedikit, kapalnya memang jam berapa Dar ?’” Kata bapak mengagetkan aku, nama panggilanku di rumah adalah Dar.
“ Jam 18.00 pak,” kataku singkat
“Mak cepat, ini sudah jam setengah lima sore, nanti susah mobil ke pelabuhan,” Kata bapak kepada ibu.
“ Iya ini sudah siap kok, Is kamu sudah siap atau belum,” ibuku berkata kepada Mbak Is
“ Sudah kok mak, ayo berangkat,” kata mbak Is.
Aku masuk ke dalam rumah dan menyalami bapak, entah mengapa aku ingin sekali memeluk bapak seakan-akan aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Ku cium tangan bapak sedikit lama, tapi bapak segera menarik tangannya dan menyuruhku untuk segera berangkat. Aku mengambil tasku, hanya berapa lembar pakaian sebab aku pun tidak memiliki banyak pakaian. Bapak segera masuk ke kamar, ku pandangi punggung bapak sampai dia masuk ke kamar.
Aku sebenarnya merasa sangat berdosa karena beberapa minggu sebelum rencana keberangkatanku aku sempat marah dan tak menegur bapak. Saat itu aku tersinggung dengan perkataan yang di ucapkan oleh bapak. Begitulah bapak jika marah tak akan pernah memukul anak-anaknya, tetapi akan mengatakan sesuatu yang sangat dalam maknanya hingga kami kadang merasa sangat sakit hati, bahkan merasa seperti tak di hargai.
Mengingat hal itu sekarang baru aku sadar ternyata bapak memperlakukan kami seperti itu karena ingin mendidik kami agar kami tegar, karena dalam kehidupan nyata kami akan mengalami bermacam-macam perlakuan seperti penghinaan, terabaikan bahkan sindiran yang kasar.
Bapak ternyata telah menjadikan kami orang yang dapat menghalau segala bentuk perlakuan dari lingkungan dimana kami akan hidup. Dan perlakuan bapak juga menjadikan kami orang yang sangat perasa sehingga kami tak bisa menyakiti orang lain dengan perbuatan atau kata-kata. Semuanya karena kami telah merasakan bagaimana rasanya tersakiti.
Dan baru ku tahu setelah aku di ceritakan mba Is , bapak setelah kepergianku menangis sendirian di kamar. Firasat ku yang merasakan ini adalah saat terakhir aku melihat bapak ternyata memang benar sebab inilah terakhir ku cium tangan bapak dan ku lihat wajah bapak, karena bapak meninggal 7 bulan aku berada di Pulau Mangole.
“ Mau berangkat kemana Dar ?” Tanya Om Markus tetanggaku yang berasal dari Toraja ketika berpapasan dengan kami.
“ Mau ke Pulau mangole di Maluku om “ kataku .
“ Sudah dapat kerja di sana ya “.
“ Belum Om, ini masih mau mencari kerja kok.”
“ Ya sudah selamat jalan ya, hati-hati dan semoga cepat mendapatkan kerja, kasihan sama mama,”
“ Terima kasih om atas doanya,” kataku sambil menyalami Om Markus.
Kami adalah tetangga akrab walau kami berbeda keyakinan. Kami saling mengunjungi saat hari raya idul fitri dan natal. Begitulah kami merasakan bahwa masyarakat di Manado memiliki rasa toleransinya sangat tinggi.
Ah……….rasanya semakin berat untuk pergi dari kota ini, tapi aku harus pergi demi sebuah masa depan dan kesempatan yang membentang di mataku.
Ku pandangi sekali lagi rumah ku karena nantinya hanya Ibu, Bapak , mbak Is dan Timah saja yang tersisa mendiami rumah tersebut. Kakak pertama telah menikah dengan seorang petani dan tinggal bersama suaminya. Kakak kedua menjadi wiraswasta di pulau Mangole. Kakak ketiga dan keempat berada di kalimantan Timur. Mba Is sedang kuliah di IKIP negeri Manado, sedangkan adik bungsuku Imah masih Sekolah Menengah Atas.
Alasan kondisi keluarga seperti itulah sehingga aku sangat gusar bila tidak mendapatkan pekerjaan dalam waktu dekat, disamping itu aku telah lelah mendengar cercaan bapak yang menuntutku segera bekerja. Dan kesempatan itu datang ketika kakak lelaki kedua yang bernama Nasrun, tapi kami lebih sering memanggilnya Kang Ron, menawariku untuk pergi ke Pulau Mangole di Maluku Utara.
Kang Ron telah dua tahun di sana, dan sudah memiliki kehidupan yang cukup layak. Sebelumnya Kang Ron adalah Pegawai Negeri Sipil di IKIP Negeri Manado, tetapi entah karena alasan apa ia keluar dari pekerjaannya dan memilih berusaha di Pulau Mangole.
Kami bertiga aku, ibu dan mba Is menumpang angkot untuk pergi ke pelabuhan Manado. Hanya ada 5 orang saja dalam angkot itu sehingga aku leluasa meletakkan tas di samping tempat duduk ku. Sepanjang perjalanan menuju pelabuhan ku lihat ibu terus menerus memperhatikan aku. Aku pura-pura tidak melihat sebab aku tidak ingin air mata ini tumpah dan membuat ibu khawatir. Sebenarnya ibu pun sangat khawatir, sebab aku selama ini tidak pernah meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat jauh seorang diri.
Sekarang aku harus pergi seorang diri ke suatu tempat yang aku pun belum tahu. Kang Ron hanya memberiku uang seratus lima puluh ribu rupiah sebagai ongkos untuk pergi ke Pulau mangole, dan sebuah alamat yang harus ku tuju. Dalam suratnya yang ku terima beberapa hari yang lalu dia memberitahu akan menjemputku setibanya aku di Pulau mangole.
Angkot yang ku naiki melaju perlahan menelusuri jalan dan membawaku semakin menjauh dari rumah yang selama ini menyimpan segala kenangan suka dan duka. Rumah yang didalamnya aku di tempa dan di didik oleh kedua orang tuaku.
Bersambung....... Chapter #4 PERJALANAN
Terima Kasih Sudah Mampir, Jangan Lupa Komen danCendolnya Gan!
Baca juga Puisi : Biarkan Tentang dia
Baca juga Cerpen : Peci Hitam Suatu pagi maafkan aku ayah Bapa seng perlu sempurna
baca juga Tulisan lain : Kunci Bahagia Kemenangan semu
Diubah oleh bangrobby1372 23-07-2024 13:14






MFriza85 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
358
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan