- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Short Story #80 : Lupa


TS
ih.sul
Short Story #80 : Lupa

Sudah lama aku tak berkunjung ke rumah Ibu. Sudah sebulan. Ya, itu lama buatku. Kelahiran anakku membuatku agak sibuk sehingga sulit menemukan waktu ke luar kota untuk mengunjungi Ibu. Dengan hati-hati kuparkir mobilku di halaman depan. Dengan oleh-oleh di satu tangan aku mengetuk pintu dan disambut oleh Bi Indah.
“Halo Bi, apa kabar?”
“Baik Mas. Ibu ada di kamar.”
Dia menerima oleh-olehku sembari menawarkan segelas kopi. Aku berterima kasih dan langsung menuju kamar Ibu.
Ibu tampak jauh lebih tua dari yang kuingat. Tubuhnya lebih kurus, rambutnya semakin putih. Meski sudah mengenakan kacamata, matanya tetap menyipit membaca huruf-huruf yang tercetak di buku. Meski demikian saat melihatku mendekat dia tersenyum lebar seperti biasa.
“Budi, baru datang ya?”
“Iya, Ma. Mama apa kabar?”
“Baik kok, baik. Oh, itu surat-surat yang kamu minta udah Mama siapin. Jangan lupa bawa pulang nanti.”
“Iya Ma.”
Bi Indah memanggil kami untuk makan siang. Kutuntun Mama ke ruang makan dan membantunya duduk. Aku sama sekali tak menyangka tangan yang dulu kuat menggendongku kini begitu lemah sampai-sampai tak mampu mengangkat teko air.
“Budi, kamu kok jarang kemari sih? Sibuk ya sama kerjaan?”
“Iya Ma. Lumayan sibuk juga.”
“Istrimu udah lahiran belum?”
“… Belum Ma. Nanti pasti kukabari kok.”
Bi Indah memasak sayur bayam dengan ayam suir. Makanan yang halus menurut seleraku. Ibu memang tak lagi bisa makan yang terlalu berat.
“Budi, kamu kok jarang kemari sih? Sibuk ya sama kerjaan?”
“… Iya Ma. Lumayan sibuk.”
“Gitu ya. Kirain istrimu udah lahiran.”
“Belum kok Ma. Nanti pasti aku kabari.”
Aku berbalas tatap dengan Bi Indah. Dengan raut wajah menyesal dia menghindari pandanganku.
Setelah makan waktunya bagi Ibu untuk tidur siang. Kurasa hidup manusia itu tak berbeda dari sebuah lingkaran. Saat kecil kita butuh tidur siang, saat dewasa tidak, saat tua butuh, dan setelahnya kita selalu tidur.
“Kemarin Ibu nanyain Mas terus.”
Bi Indah memberitahuku saat aku duduk di teras dan menikmati udara segar yang tak bisa kudapatkan di kota. Bi Indah sudah cukup lama bekerja di sini. Jika aku tak ada, dialah satu-satunya teman Ibu.
“Sebulan ini ada masalah nggak Bi?”
“Nggak ada kok, Mas. Cuma ya itu, dia nanyain Mas Budi terus.”
Aku mengangguk.
Sudah dua tahun sejak Ibu mulai menderita demensia. Awalnya dia cuma melupakan hal-hal kecil seperti di mana dia menaruh jarum jahit atau tanggal hari ini, tapi lama kelamaan dia bahkan lupa arah ke toilet. Meski sudah rutin dibawa ke dokter tapi sama sekali tak ada perbaikan pada kondisi Ibu sampai-sampai Ibu sendiri yang tak lagi mau ke dokter. Buang-buang uang katanya.
“Kalau Ibu udah bangun kita langsung berangkat ya,” ucapku ke Bi Indah yang dibalas dengan anggukan. Untungnya cuaca hari ini banyak berawan. Sudah lama ibu tak keluar rumah. Aku tak yakin kulitnya masih sanggup menahan panas.
Tak lama ibu tidur siang. Cuma sekitar satu jam. Saat melihatku dia langsung tersenyum dengan gembira.
“Eh Budi, baru datang ya?”
“Iya Ma. Mama sehat kan?”
“Sehat kok. Oh iya, surat-surat yang kamu minta kemarin udah Mama siapin. Nanti jangan lupa diambil.”
Aku cuma tersenyum. Surat-surat itu kuminta karena butuh untuk mengurus kartu keluarga baru sekaligus pindah ktp. Tentunya surat-surat itu sudah lama kubawa.
“Mama mau jalan-jalan nggak? Kan dulu Mama suka ke air mancur taman kota? Nanti kita bisa mampir ke sana.”
Untungnya Mama mau. Segera kupanaskan mobil dan dengan sedikit dorongan Ibu pun bisa duduk nyaman bersama Bi Indah di kursi belakang. Kami memasuki jalan raya dan dalam sekejap saja aku langsung merasakan nostalgia melihat jalan jalan yang dulu familiar bagiku.
Aku lahir dan besar di sini. Aku dan kakakku biasa berlari di pinggir jalan dengan batang kayu di tangan, berpura-pura menjadi power ranger dan membasmi siluman kodok. Biasanya kami bermain sampai malam dan saat pulang ibu akan menjewer kuping kami sampai merah.
“Ngomong-ngomong, Budi, Andi nggak ada masalah kan?” tanya Ibu tiba-tiba. Aku agak kaget dengan pertanyaan tak terduga itu.
“Ehh … nggak ada kok Ma. Emang kenapa?”
“Ya nggak kenapa-kenapa. Jaga terus ya adikmu. Jaga terus silaturahmi. Dia kan masih kuliah, kalau ada apa-apa bantu dia ya.”
Ibu melupakan banyak hal, tapi kenapa dia ingat yang itu?
Aku tak bisa bilang Ibu adalah orangtua yang sempurna. Sejujurnya dia agak pilih kasih. Dulu aku punya kebencian kuat akan hal itu, tapi sekarang aku tak lagi mempermasalahkannya. Ibu selalu berjuang membesarkan kami sendirian. Itu adalah sesuatu yang selalu kuingat setiap kali sifat buruknya muncul.
“Iya Ma. Iya ….”
Entah kenapa aku merasa ada yang mencoba keluar dari mataku. Pandanganku jadi agak kabur, untungnya tujuan kami sudah dekat. Aku berbelok dan memarkir mobil di lahan kosong yang luas dan sepi.
“Turun yuk Ma.”
“Kenapa kita ke sini?”
”Ada yang pengen ketemu Mama. Yuk.”
Ibu memang menolak pergi ke dokter, tapi aku tak pernah menyerah mengobati penyakitnya. Kata dokter Ibu harus terus diingatkan. Makanya setiap kali aku mengunjungi Ibu aku akan membawanya ke sini.
Sama seperti biasanya, Ibu berdiri mematung melihat apa yang kutunjukkan padanya. Memang tak mudah bagi seorang ibu untuk melihat kuburan yang di nisannya terukir nama putranya sendiri. meski demikian aku akan terus dan terus mengingatkannya akan kenyataan.
“Maaf ya, Andi,” ucap Ibu dalam bisikan.
Kuburan itu adalah milik kakakku, Budi. Dia meninggal akibat kecelakaan setahun yang lalu. Sejak saat itu penyakit Ibu menjadi semakin parah. Dia seolah menolak kenyataan bahwa anak kesayangannya telah tiada. Sejak saat itu dia pun mulai memanggilku Budi.
Itu membuatku marah. Setiap kali dia memanggilku Budi aku merasa semakin mebencinya, tapi aku hanya menelan kenyataan pahit dan menerima semua itu. Tak peduli meski dia menyayangi yang lain lebih dariku, tak peduli meski dia melupakan wajahku, dia tetaplah ibuku.
Baik aku maupun Ibu hanya perlu terus mengingat kenyataan. Meski sakit dan sedih, kami harus terus menerimanya. Suatu hari seluruh kesedihan ini pasti menjadi kebahagiaan. Meski Ibu melupakannya, aku akan terus mengingat itu.
***TAMAT***






itkgid dan 21 lainnya memberi reputasi
22
592
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan