Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #79 : Panggilan Malam
Short Story #79 : Panggilan Malam

Baru-baru ini aku dan Santo mendapat tawaran pekerjaan yang lumayan menggiurkan. Pekerjaannya mudah, kami cukup mengangkat telepon dan mendengarkan apa pun yang dikatakan si penelpon. Kami tak diberitahu apa sebenarnya yang kami lakukan dan siapa sebenarnya yang menelpon, tapi karena bayarannya menggiurkan akhirnya kami terima.

Pekerjaannya dibagi dua shift, aku shift siang dan Santo shift malam. Kami hanya perlu mendengarkan telepon yang masuk, tapi kami harusmendengarkan. Kami tak boleh membiarkan telepon berdering terlalu lama.

Sialnya, telepon masuk terus menerus sampai-sampai aku tak bisa menemukan celah untuk beristirahat. Akhirnya aku pun belajar untuk pipis di botol dan makan sambil mendengarkan ocehan orang lain. Agak menjijikkan memang, tapi kutahan semua itu karena aku tak mau kembali menganggur.

Panggilan itu masuk ke sebuah telepon jadul. Entah siapa yang menelpon, aku sama sekali tak punya petunjuk. Kadang mereka cuma mengoceh tentang bos mereka yang menyebalkan, kadang mengeluh karena orangtua mereka yang terlalu kasar, bahkan tak jarang panggilan dengan bahasa yang tak kumengerti masuk.

Aku dan Santo bertukar setiap jam 6. Karena dia masih bujang makanya aku meminta dia mengambil shift malam dan dia setuju. Soalnya bayaran shift malam memang lebih besar. Berat memang bekerja 12 jam sehari, tapi karena kami hanya duduk dan mendengarkan, tak pernah kata lelah itu terasa. Kapan lagi kita bisa dibayar cuma dengan mendengarkan?

Meski dengan segala misterinya, pekerjaan ini luar biasa enteng dan menghasilkan. Kukira semua akan berjalan lancar dan menyenangkan, tapi semua berubah pada suatu hari.

Santo mendadak sakit dan memintaku untuk mengcover shift malamnya. Tak ada yang bisa dia mintai tolong menggantikan shift malam dan memang sulit jika kami harus menjelaskan hal semacam ini ke orang baru. Akhirnya aku pun setuju. Kebetulan istriku sedang merengek dibelikan tas branded terbaru.

Tidak tidur seharian bukan masalah besar bagiku. Aku sudah sering melakukannya saat kuliah dulu. Kubeli sepuluh bungkus kopi sachet untuk menjadi teman di malam yang dingin dan bekerja seperti biasa. Saat jam 6 sore tiba besok, Santo akan menggantikanku dan aku akan tidur sepuluh jam penuh.

Jam enam tiba dan matahari pun terbenam. Ini pertama kali aku mengangkat telepon dengan sekujur tubuh terasa menggigil. Sungguh sial, hujan turun begitu deras membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Dengan hanya jaket dan sarung untuk melindungi tubuh aku terus mendengarkan panggilan demi panggilan.

Dingin. Dingin sekali. Bahkan tiga cangkir kopi panas tak cukup untuk sekedar menghentikan gemetar di tangan dan kakiku. Di cuaca seperti ini pasti luar biasa jika tidur berlapis selimut tebal dan didekap istri tercinta. Ahh, memikirkannya sungguh membuat nyaman.

Mungkin saking nyamannya aku merasa separuh tubuhku sudah berada di sana. Suara ocehan penelpon mulai terdengar seperti ASMR merdu yang menekan titik-titik ternyaman pada saraf. Dulu saat masih kecil ibu selalu memijit kepalaku jika aku tak bisa tidur. Sensasinya sama, sungguh nostalgia.

“Hei? HEEEIIII!!!!”

Suara itu layaknya cambuk yang membuatku membuka mata lebar-lebar. Baru kali ini aku mendengar suara teriakan dari seberang telepon. Pastilah aku tertidur dan tak menjawab pertanyaan dari penelpon.

“I-iya? Maaf?”

“Kau … kau tidur ya?”

“Ehh, tidak. Saya dengar kok.”

Satu-satunya yang perlu kami lakukan dalam pekerjaan ini adalah kami harus mendengarkan penelpon. Entah bagaimana cara mereka tahu kalau kami tidak mendengarkan, tapi entah mengapa aku terlalu takut untuk melanggar aturan itu. Karenanya, aku pun berpura-pura tidak tertidur.

Namun penelpon di ujung sana tidak mengatakan apa-apa. Tiba-tiba saja dia memutus panggilannya dan meninggalkanku dalam tanda tanya. Aku takut aku sudah ketahuan. Apa aku akan dipecat?

Aku membuat satu cangkir kopi lagi dan berusaha untuk tidak tertidur. Namun, sepanjang malam bahkan hingga siang tak ada panggilan lain yang masuk. Saat Santo datang untuk menggantikanku aku tak mengatakan apa pun padanya dan bergegas pulang. Saat hendak menutup pintu aku bisa mendengar dering telepon tanda panggilan masuk.

Aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi. Aku tak menerima pesan apa pun dari pemberi kerja, tapi aku merasakan firasat buruk. Lega rasanya saat aku tiba di rumah. Aku mandi, makan dan langsung mencoba untuk tidur.

Namun ….

Nada dering ponsel memecah kantukku. Tak ada nama pemanggil. Aku mengangkat dan bertanya siapa, tapi bukannya memberi nama orang di ujung sana malah berceloteh tidak jelas. Segera kuputus panggilan, tapi panggilan lain datang dengan nomor yang berbeda. Kucoba mengangkatnya dan pemanggil itu mulai mengoceh tidak jelas.

Langsung kumatikan ponselku untuk mencegah panggilan lain datang. Kantuk yang sudah kutahan-tahan langsung hilang seketika. Panggilan itu, suara-suara itu, bukankah mereka harusnya cuma muncul di telepon?

“Yah? Ini ada yang telpon, katanya nyariin Ayah.”

Istriku masuk ke dalam kamar dan menyodorkan ponselnya. Melihat itu membuat tanganku bergetar dengan sendirinya. Tak mungkin kan?

Namun saat aku mendekatkan ponsel istriku ke telinga, suara ocehan itu langsung keluar.
Sejak saat itu panggilan demi panggilan terus datang ke ponselku tanpa henti. Meski aku terus mengganti nomor mereka tetap datang dan terus mengoceh padaku. Jika aku mematikan ponselku mereka akan menelpon istri, anak, dan bahkan tetanggaku. Tak peduli bagaimana aku coba menghindar, mereka terus saja menelpon.

Siang malam, rumah kantor, di mana pun dan kapan pun mereka terus menelpon. Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan waras. Yang kutahu, aku harus terus mendengar celotehan mereka.

***TAMAT***
viensiAvatar border
flamboyanAvatar border
bonek.kamarAvatar border
bonek.kamar dan 18 lainnya memberi reputasi
19
886
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan