Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #78 : Cinta Monyet
Short Story #78 : Cinta Monyet

“Yanti Yanti!”

“Hmm? Apa?”

“Nanti kalau aku udah besar, udah punya rumah bertingkat sama mobil mewah, kau mau nggak jadi istriku?”

“Nggak!”

“Lo? Kenapa?”

“Aku pengen punya kolam berenang di belakang rumah.”

“Buat apa?”

“Pelihara kodok! Ya berenanglah!"

“Oh! Oke. Kalau rumahku nanti punya kolam di belakang rumah, kau mau nggak jadi istriku?”

“Oke, aku mau.”

***


Entah kenapa aku memimpikan hal itu. Mimpi dari masa lalu, bagian dari memori yang sudah kulupakan. Sudah berapa lama waktu berlalu sejak aku membuat janji itu? Tiga puluh tahun! Tiga puluh tahun itu ibarat samudra luas di hadapan anak kecil yang bahkan belum masuk Sd.

Pria itu … Edgar. Sudah lama aku tak dengar kabar tentangnya. Dengan banyaknya pasang surut perjalanan cintaku, dia memperoleh kehormatan mengisi posisi spesial sebagai cinta pertamaku. Cinta monyet khas anak-anak yang tinggal bersebelahan.

Sudah lama aku tak dengar kabar tentangnya. Sejak keluarganya pindah rumah kami sudah benar-benar putus kontak. Saat itu kami baru lulus Smp dan berencana masuk Sma yang sama, tapi ternyata ayahnya harus pindah kerja dan di situlah akhir hubungan kami.

Kami saling suka, semua orang tahu itu, tapi entah kenapa tak ada yang nembak duluan. Baik aku maupun dia benar-benar nyaman dengan hubungan kami, hubungan tanpa nama yang sungguh menyenangkan.

Di jaman itu tak ada yang namanya Facebook dan Instagram, bahkan telepon saja tak semua rumah punya. Memang sedih rasanya, tapi tak banyak cinta pertama yang bisa bertahan selama itu. Aku pun melanjutkan hidup, mendapatkan pacar, dan akhirnya menikah.

Kira-kira jika kami adalah sepasang anak modern dengan smartphone dan akun media sosial, apakah kami akan terus bersama? Apakah ada pilihan seperti itu yang harusnya bisa kami ambil di masa lalu? Ahh, tak ada gunanya memikirkan itu. Semua sudah jadi masa lalu, cuma kenangan.

Namun, kenapa aku malah mengingatnya sekarang?

“Yanti, kamu udah siap Nak?”

“Iya Bunda, aku siap.”

Aku mengenakan kerudung dan cadar hitam untuk menutupi wajahku. Hari ini begitu cerah dan panas. Rasanya alam semesta tengah mengejekku yang berduka. Tentunya aku tak menginginkan hujan badai, tapi sedikit awan dan bayang-bayang akan sempurna untuk siapa pun yang ingin berdiri lebih lama di liang lahat.

Namun panas maupun hujan rasanya tak ada bedanya. Aku tak mengingat sebagian besar apa yang kulihat, kudengar, maupun kusentuh. Ada lubang besar di hatiku dan lubang itu menelan banyak hal. Rasanya seperti semua menghitam. Mungkin itu alasannya pemakaman selalu identik dengan pakaian hitam.

“Untuk istri yang ditinggalkan, semoga diberi ketabahan.”

Aku mengambil segumpal tanah dan melemparnya ke liang lahat sebelum yang lain mulai memasukkan kembali tanah ke tempatnya semula. Sedikit demi sedikit, koneksiku dengannya terputus. Kini kami benar-benar berada di dunia yang berbeda.
Beginilah cara manusia mengucapkan selamat tinggal. Memisahkan jiwa dan raga dari tempat yang pernah mereka cintai bersama.

Selamat tinggal suamiku. Meski singkat, aku akan selalu mencintaimu.

***


Aku tak pernah mengerti kematian. Manusia mati karena ada bagian tubuh mereka yang berhenti bekerja sehingga seluruh tubuh ikut berhenti. Semakin kita tua semakin tinggi kemungkinan kematian itu.

Kematian adalah perpisahan, tapi ternyata kematian juga awal dari pertemuan baru.
Tepat empat puluh hari sejak kematian suamiku, aku bertemu dengan seseorang yang tak disangka. Aku sedang berjalan pulang ke rumah. Aku memang sengaja turun di supermarket dari kantor agar aku bisa berbelanja kebutuhan rumah. Kalau dipikir-pikir, jalan kaki dari supermarket ke rumah adalah satu-satunya olahragaku.

Dan dalam perjalanan itulah aku melihat Edgar. Dia banyak berubah, tapi aku langsung tahu siapa dia. Kemunculannya di hadapanku juga tak terlihat seperti kebetulan. Dia … mencariku.

“Apa kabar?” tanyanya canggung.

Aku tak tahu harus menjawab seperti apa. Ada banyak sekali yang ingin kukatakan padanya di masa lalu, tapi tak ada yang bisa teringat lagi. Waktu sudah benar-benar mengikis kenangan.

“Baik,” aku mengangguk. “Kau gimana? Udah lama banget ya? 20? 21?”

Edgar hanya mengangkat kedua tangannya seolah penampilannya bisa menjelaskan semua. Dia mengenakan setelan jas yang rapi dan berkilau, jam tangan mahal, dan minyak rambut yang pasti tak bisa ditemui di supermarket.

“Cie, ada orang sukses.”

Dia tertawa.

Kami berjalan beriringan dan memutuskan duduk di bangku tepi jalan. Dulu mungkin yang seperti ini akan dianggap romantis, tapi kami sudah terlalu tua untuk hal semacam itu.

“Kau udah nikah?” tanyaku blak-blakan. Kami sudah 36 tahun. Belum menikah sama saja artinya dengan tak akan pernah menikah.

“Ya,” Edgar mengangguk, tapi tidak tersenyum. “Aku punya satu anak, sebentar lagi masuk Sd, tapi … istriku meninggal dua tahun lalu.”

Lagi-lagi kematian. Bahkan mendengar kematian orang yang sama sekali tak kukenal pun membuka lubang hitam itu lebih lebar. Anehnya, itu tak lagi terasa sakit. Hanya sepi.

“Aku turut berduka.”

“Makasih. Aku juga.”

Aku tak punya anak dari suamiku karena kami memang tak ingin. Tidak masuk akal rasanya membesarkan anak di ekonomi seperti ini. Tampaknya Edgar cukup sukses untuk tak perlu khawatir pendidikan anaknya. Kadang aku memang membayangkan rasanya jadi seorang ibu. Rasanya sama seperti lubang gelap.

“Aku khawatir,” Edgar berbisik, “aku bukan ayah yang baik. Aku punya rumah bertingkat, mobil yang mewah, tapi itu tak ada gunanya dalam membesarkan anak. Aku sudah merasakan tumbuh besar tanpa ibu, dan itu berat sekali. Aku tak ingin anakku seperti itu.”

“Dia akan baik-baik saja,” aku mengangguk percaya diri entah dari mana. “Buktinya kau sekarang sukses kan?”

Edgar terdiam dengan kedua mata menatapku dalam-dalam. Entah kenapa aku merasakan perasaan tak enak.

“Aku punya kolam renang lo di belakang rumah.”

Aku tak mengerti kematian. Apakah orang-orang yang ditinggalkan harus terus mengunjungi makam mereka seumur hidup? Atau bisakah mereka berjalan menjauh, mencari kebahagiaan yang masih tersisa di bumi ini?

“Buat apa kau punya kolam renang?”

“Buat … pelihara kodok.”

Aku tertawa.

Teringat kembali janji lama itu, tapi itu cuma janji anak kecil. Kami sudah dewasa, bahkan sudah tua, kenapa dia masih mengingat hal semacam itu?

“Sebenarnya ke mana kau selama ini?” aku bertanya dengan suara bergetar. “Andai kau datang sepuluh tahun lebih cepat.”

“Tidak bisa, aku belum sukses,” dia menjawab cepat. “Waktu aku merasa sudah sukses, aku ingin menemuimu. Aku cari Facebook mu, tapi foto pernikahanmu terlalu indah untuk diganggu. Akhirnya aku menjalani hidupku sendiri. Aku berharap untuk kebahagiaanmu, tapi setelah kudengar suamimu meninggal aku merasa ada sesuatu yang bisa kita mulai kembali.”

Dan kemudian dia berlutut di hadapanku. Ini adalah pemandangan dari masa lalu, sesuatu yang pernah kami lakukan dalam drama sekolah dulu. Namun, kami berdua sudah dewasa. Meski benar-benar terlambat, ini sesuatu yang selalu ada dalam benak kami.

“Yanti, maukah kau menikah denganku?”

Aku tak mengerti tentang kematian, tapi aku tahu kalau cinta adalah sesuatu yang tak bisa kita atur kapan datangnya. Kami yang masih berdiri di dunia ini berusaha mencari kebahagiaan yang datang tanpa peringatan.

Ini adalah janji yang akhirnya ditunaikan. Tak ada yang tahu seperti apa hidup akan mempermainkan kita. Bahkan sesuatu yang mustahil pun menemukan jalan untuk terwujud. Layaknya cinta monyet yang tumbuh dewasa, monyet itu akhirnya kembali berbahagia.

***TAMAT***
indrag057Avatar border
jembloengjavaAvatar border
andrestapask161Avatar border
andrestapask161 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
779
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan