- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
BAPA SENG PERLU SEMPURNA PAR KATONG


TS
bangrobby1372
BAPA SENG PERLU SEMPURNA PAR KATONG
Pagi menyingsing, matahari menyingkap kegelapan dengan benderang dan kehangatannya. Semilir angin terasa dari sela-sela dinding kayu rumah kami. Bau khas dari lautan yang di bawa angin menerpa hidungku. Deburan ombak sayup-sayup terdengar. Kumelihat adikku inayah masih terlelap. Ku merapikan selimut tipis dan telah memudar warnanya ke tubuh mungilnya. Aku menatapnya dengan tatapan iba.
Inayah masih berusia 5 tahun sedangkan aku 6 tahun lebih tua darinya. Aku turun perlahan dari dipan kayu yang diatasnya tergelar kasur tipis yang setiap malam di tiduri aku dan Inayah. Walau sangat perlahan aku turun dari dipan, masih juga terdengar suara derak yang untung saja tak sampai membangunkan Inayah.
Aku menjejakkan kakiku di lantai tanah mencari-cari sendal jepitku. Aku bergegas ke kamar sebelah. Kubuka tirainya, dan tak ku dapati seseorangpun di situ. Bapak pasti telah ke pantai pikirku. Aku berjalan menuju ke sebuah bilik lain yang terdapat peralatan memasak. Tak banyak barang yang terdapat di bilik itu, selain sebuah lemari kayu dan dipan ukuran 3 x 2 meter yang diatasnya terbentang tikar dari daun pandan lautyang di anyam.
Aku mengambil sebuah ember untuk mengambil air ke sebuah mata air yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah kami. Sebenarnya aku malu menyebut itu rumah karena sangat tak layak menyebutnya. Tapi Di sinilah hari-hariku kuhabiskan menemani orang-orang yang ku cintai.
Kupercepat langkahku ke mata air, karena aku harus memasak air itu untuk menyeduh kopi Bapak. Sebuah ceruk sedalam hampir satu meter menampung mata air yang keluar dari bibir ceruk. Sangat lancar airnya keluar dari celah-celah bebatuan di bibir ceruk sehingga walau kedalaman 1 meter tak mampu menampung malimpahnya air, sehingga sisa-sia air mengalir menuju ke tempat yang rendah lain.
Airnya mengalir ke semak-semak dan berujung pastinya ke laut. Ku basuh wajahku dengan dinginnya air tersebut. Sangat segar, ku berkumur-kumur dan menggosokkan jariku ke geligi-geligi dalam mulutku. Setelah itu ku celupkan ember yang ku bawa tadi dan memenuhinya dengan air. Tak ingin berlama-lama aku di tempat itu karena jika Inayah bangun dia akan menangis mencari diriku.
“ Kak Fajria….. kak Fajria…..”
Benar saja, suara Inayah memanggil namaku disela-sela tangisannya menyambutku ketika sampai di rumah. Dia ketakutan karena tak seorangpun berada di dalam rumah. Melihat ku datang Inayah mendekatiku dan suara tangisnya berganti menjadi isakan yang lirih. Dia mengikutiku ke bilik dimana terdapat tungku tempat memasak. Aku menyuruhnya mengambil panci untuk kupakai merebus air. Kayu bakar yang di cari bapak masih terlihat banyak di belakang gubuk kami. Aku mengambil beberapa ranting yang besar dan kecil dan memasukkannya ke dalam tungku .
Botol Bekas air mineral yang biasanya berisi minyak tanah telah tergeletak karena sudah tak ada lagi minyak tanah di dalamnya. Bapak belum membelinya ke koperasi sebuah camp perusahaan yang berjarak 2 km dari gubuk kami. Ku ambil beberapa lembar plastik bekas yang sering ku temukan di pesisir pantai. Orang-orang memang masih menganggap laut adalah tempat sampah terbesar di dunia. Tetapi itu juga merupakan berkah bagi orang miskin seperti kami.
Api bisa menyala dan aku menjaganya sambil menyuruh Inayah mengambil beberapa buah Pisang yang masih mentah untuk aku rebus dan di jadikan sarapan. Pintu depan berderak, Inayah bangkit mendekati Bapak yang masuk ke dalam rumah. Di tangan kirinya, bapak memegang serenteng ikan yang cukup besar. Aku tersenyum, ikan itu bisa ku jual di Camp perusahaan, dan uangnya nanti bisa untuk membeli beberapa kilogram beras.
Tangan kanan bapak sudah tidak ada, putus sampai pada pangkal siku. Dan mata Bapak yang satunya pun sudah rusak. Semua karena kejadian dan prahara kemanusiaan di daerahku. Prahara yang tak pernah ku tahu sebabnya, prahara yang membuat semuanya menjadi sebuah ketakutan yang teramat sangat. Rasa takut dan rasa curiga yang menjalari kehidupan di kampung kami yang berada di sisi lain pulau ini.
Sebuah perbedaan yang harus di bayar mahal dengan kehilangan nyawa saudara-saudara kami. Sebuah perbedaan yang di dasari kepongahan akan merasa kebenaran itu milik golongan sendiri. Sebuah perbedaan yang dengan rakus memaksa bahwa Tuhan milik golongan mereka sendiri. Padahal Tuhan adalah milik bersama, Tuhan adalah satu, dan Tuhan serta kebenarannya bukan Mutlak milik sebuah golongan. Mengapa perbedaan membuat luka dan ketakutan yang menganga.
` Semua telah terjadi dan aku tak mau terlalu larut dalam dendam kusumat terhadap saudara-saudara kami yang telah kalap mata membuat bapak menjadi cacat. Memaafkan adalah hal yang terbaik begitu kata bapak pada kami. Dan itulah juga yang membuat kami menepi di bagian lain pulau ini. Suatu tempat yang sunyi dimana kami harus memulai segalanya dari awal.
Kami tinggal bertiga di tepi pantai yang tumbuh beberapa pohon kelapa yang merupakan kebun milik bapak. Pantai yang terkadang dihempas oleh ombak besar saat musim barat. Ombak akan selalu bergulung menghempas pulau-pulau di wilayah Maluku Utara.
Pulau ini bernama Pulau Obi, salah satu gugusan pulau diantara ribuan pulau yang tersebar di wilayah Maluku Utara. Ada sebuah pulau kecil yang tak jauh dari pantai tempat kami tinggal, orang menyebutnya Pulau Kadera. Kadera yang berarti kursi karena bentuk pulau kecil itu menyerupai kursi raksasa yang diatasnya terdapat beberapa rumpun pohon.
Menurut cerita orang-orang pulau itu ada ketika seorang ibu duduk dikursi menunggu anaknya yang melaut dan tak pernah kembali. Sepanjang hari sang ibu duduk ditepi pantai disebuah kursi tak peduli siang dan malam panas ataupun hujan. Hingga suatu malam ketika angin bertiup kencang dan ombak bergulung dengan kerasnya menerjang seluruh tepi pantai.
Para penduduk berlarian menyelamatkan diri mengungsi ketempat yang lebih tinggi. Mereka menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa seorangpun memikirkan sang ibu yang setiap hari menunggui anaknya yang duduk di kursi di tepi pantai.
Keesokan harinya ketika fajar menyingsing dan angin serta ombak kembali normal, terlihatlah tak jauh dari pantai sebuah pulau muncul dan berbentuk seperti kursi. Pendudukpun teringat pada sang ibu yang ternyata telah tak ada lagi jejaknya. Merekapun meyakini bahwa pulau tersebut adalah kadera atau kursi sang ibu sebagai wujud kasih sayang kepada anaknya dengan menunggui kedatangan anaknya sampai akhir hayat.
Ibu ?
Pedih sebenarnya menceritakan tentang ibu kami, dan aku tak ingin mengingatnya lagi. Bukannya aku anak durhaka yang tak menginginkan lagi sosok ibu di tengah kami, tetapi karena ibu memang tak menginginkan bersama kami. Ibu lebih memilih kembali ke kampung halamannya di Sulawesi sebelum terjadi peristiwa kerusuhan, tanpa memberitahu kepada bapak dan kami anak-anaknya.
Ah….sudahlah tak perlu mengingat lagi sebuah kesedihan, hanya akan membuat luka dalam diri sendiri. Suara bapak yang menanyakan kopinya membuatku tersadar bahwa aku belum membuatkan kopi buat bapak. Ku bergegas buatkan kopi dan merebus pisang yang tadi di ambil Inayah.
Tak berapa lama pisang telah masak, kami bertiga menikmati pisang rebus dengan sambal yang di campur dengan remahan kepala ikan yang telah di goreng kering. Itu adalah menu favorit kami.
Selesai makan bapak menyuruhku untuk menjual ikan yang di dapat saat melaut. Sebenarnya aku ingin pergi sendiri ke camp perusahaan untuk menjualnya, karena bapak belum tidur setelah pada malam hari bapak memancing. Tetapi karena jauh letak camp itu bapak tak sampai hati membiarkan aku dan inayah pergi sendiri. Bapak biasanya mengantar aku dan inayah menjual ikan tersebut.
Camp itu kata bapak telah lama ada, sejak bapak masih bujang. Bapak sempat bekerja di camp itu sebagai pengupas kulit kayu yang telah di tebang. Jadi bapak mengenal beberapa orang di camp perusahaan itu.
Tapi hari ini bapak meminta aku pergi bersama inayah saja untuk ke camp menjual ikan, bapak mengeluh sakit kepala. Aku juga tak sampai hati meminta bapak mengantar kami, lagi pula hari sudah mulai terang benderang dan aku nanti tak akan berlama-lama di sana. Jika ikan sudah terjual aku akan membeli beberapa kilogram beras dan kembali ke pondok kami.
Sesampainya di camp ikan yang kami bawa dibeli oleh orang-orang yang bekerja di camp tersebut. Tak berapa lama ikan kami habis terjual, dan aku ke koperasi karyawan untuk membeli beberapa kilogram beras. Karyawan di koperasi itu sangat baik pada aku dan adikku, kadang saat kami membeli di memberikan juga beberapa permen atau kue padaku dan inayah.
Mungkin mereka kasihan pada kami, tapi aku bersyukur bahwa ternyata masih ada yang memberi kami perhatian. Hari sudah mulai siang, dan aku teringat ayah yang sakit di pondok. Aku mengajak Inayah untuk segera kembali ke pondok kami.
Diperjalanan pulang Inayah sangat gembira karena tadi diberi sebuah baju bekas oleh seorang ibu di Camp. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang melenggak lenggok sambil menempelkan baju itu ke badannya. Bapak memang telah lama tak membelikan kami berdua pakaian baru.
Sesampainya di pondok aku melihat ada dua orang lelaki yang bercakap-cakap dengan bapak. Inayah merapatkan tubuhnya kearahku, dia masih trauma akan kejadian beberapa waktu yang berselang. Ketika itu dia melihat segerombolan orang menyerang rumah kami. Sampai saat ini pun Inayah sangat ketakutan bila melihat orang yang tak dikenalnya.
Tetapi aku melihat kedua orang itu bercakap-cakap ramah dengan bapak, sesekali terlihat senyum mereka. Ketika mengetahui kami telah dating bapak memanggil aku dan Inayah untuk mendekat kearah mereka.
“ Fajria, Inayah mari sini, …..” kata bapak sambil melambaikan tangan.
Aku melihat kedua orang itu saling berpandangan.
“ Nah, ini om Rusli dan tante Hairia, mereka baru saja datang dari kampung sebelah, mereka teman bapak,” kata bapak mengenalkan kedua orang tersebut.
Mereka tersenyum pada kami. Aku membalas senyuman sambil melihat kearah pantai. Sebuah sampan tertambat di tepi pantai. Rupanya om Rusli membawa sampan yang cukup besar yang bisa dinaiki lima sampai enam orang.
“ Fajria ….. om Rusli mo bawa kamu dan Inayah ka kampong, ose mau ka seng ?”
Bapak mengatakan bahwa om Rusli akan membawa kami berdua ke kampung karena kami telah lama meninggalkan kampung dan merasa sedih melihat kehidupan bapak dan kami. Bapak juga mengatakan bahwa mereka akan menyekolahkan kami berdua.
“ Beta tako bapak, beta seng tau aman ka seng di sana.”
Aku mengatakan bahwa aku takut karena tidak tahu apakah dikampung kami akan aman atau tidak. Om Rusli dan tante Hairia pun meyakinkan kami bahwa sekarang di kampung telah aman, karena sudah ada aparat keamanan yang menjaga. Tak ada lagi rasa permusuhan, sebab yang ada sekarang hanyalah rasa penyesalan karena telah saling menyakiti sesame saudara.
“ Betul om Rusli bilang, ose deng Inayah pi sudah ka kampong, biar bapak disini saja jaga kebun,”
Apa…..? aku harus berpisah dengan bapak, karena bapak menyuruh aku dan inayah saja yang pergi ke kampung, sementara bapak tinggal disini sendiri. Aku tak tega membiarkan bapak sendirian tak ada yang membantunya.
“ Seng Bisa , bapak musti iko katong, kalo bapak seng pigi katong juga seng mau pigi.”
Aku mengeraskan suaraku menegaskan kalo bapak tak pergi maka kami pun tak akan pergi meninggalkan bapak. Om Rusli pun akhirnya membujuk bapak agar pergi juga ke kampung, untuk urusan kebun dia akan membantu bapak mengolah kebun bersama sabab kebun om rusli pun tak jauh dari kebun bapak.
“ Fajria…..apa ose seng malu kalo orang kampung tau ose pung bapak rupa ini, seng ada tangan, seng ada mata, seng ada yang bisa bapak banggakan par kamu dua .”
Bapak tertunduk sambil mengatakan apakah kami tak malu jika orang-orang kampung tahu kami memiliki bapak yang cacat. Aku segera memeluk bapak, air mata ku bergulir menetes perlahan. Perlahan aku membisikan pada bapak :
“ Bapa su piara par beta, bapa su sayang par beta……… Bapa seng perlu sempurna par beking kami bangga, ………”
********************* tamat *********************
Terinpirasi medio tahun 2000 di Pulau Obi selepas kerusuhan berdarah di Maluku.
Catatan :
Kosa kata bahasa Maluku
Ose : Kamu
Seng : Tidak
Beta : Saya
Tako : Takut
Iko : Ikut
Katong : Kami
Pung : Punya
Par : Untuk
Piara : Pelihara/mengasuh
Beking : Buat
Terima Kasih Sudah Mampir, Jangan Lupa Komen danCendolnya Gan!
Baca Juga :Kunci bahagia Kemenangan Semu Suatu Pagi Kesempatan Kedua
Diubah oleh bangrobby1372 03-07-2024 19:47






borneobestme871 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
50
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan