Kaskus

News

4574587568Avatar border
TS
4574587568
China Ganti Nama Ratusan Desa dan Kota Uighur yang Berbau Agama dan Budaya Tertentu
China Ganti Nama Ratusan Desa dan Kota Uighur yang Berbau Agama dan Budaya Tertentu

EIJING, KOMPAS.com - Ratusan desa dan kota di Uighur telah diganti namanya oleh pihak berwenang China untuk menghilangkan referensi agama dan budaya, menurut laporan terbaru dari Human Rights Watch dan organisasi berbasis di Norwegia, Uyghur Hjelp. 
Laporan ini menemukan bahwa sekitar 630 komunitas telah diubah namanya oleh pemerintah, terutama selama puncak penindasan terhadap warga Uighur, yang oleh beberapa pemerintah dan lembaga hak asasi manusia disebut sebagai genosida.
Nama-nama baru yang menggantikan referensi agama, sejarah, atau budaya Uighur merupakan bagian dari ribuan perubahan nama antara tahun 2009 dan 2023. 

Dilansir dari Guardian, perubahan yang sebagian besar terjadi pada tahun 2017-19 menyasar tiga kategori utama: penghapusan istilah agama atau praktik budaya Uighur, penggantian nama yang merujuk pada kerajaan atau pemimpin Uighur sebelum tahun 1949, dan penggantian nama desa dengan istilah-istilah yang mencerminkan ideologi Partai Komunis.


Referensi seperti "hoja" (guru agama Sufi), "haniqa" (bangunan keagamaan Sufi), dan "mazar" (tempat suci) dihapus dari setidaknya puluhan nama desa. 

Selain itu, istilah seperti "xelpe" atau "khalifa" (penguasa) dan "meschit" (masjid) juga dihilangkan dari nama-nama desa di Xinjiang.
Uighur, kelompok etnis Turkiye yang sebagian besar berada di Xinjiang, telah lama mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan Beijing. 
Laporan tersebut menyebutkan bahwa nama-nama baru desa-desa tersebut umumnya menggunakan bahasa Mandarin dan mengekspresikan sentimen positif yang diinginkan pemerintah Uighur di bawah kepemimpinan China. 
Contohnya, desa Aq Meschit (Masjid Putih) di wilayah Akto berganti nama menjadi desa Persatuan pada tahun 2018, dan desa Dutar di wilayah Karakax berganti nama menjadi desa Bendera Merah pada tahun 2022.

Elaine Pearson, direktur divisi Asia Human Rights Watch, mengatakan bahwa penggantian nama ini adalah bagian dari upaya lebih luas pemerintah China untuk mencampuradukkan Islam dengan hal negatif. 

"Mereka melihat segala sesuatu yang berbau Islam atau Arab sebagai ancaman," kata Pearson. "Jadi mereka mengganti nama hal-hal tersebut agar lebih sesuai dengan ideologi Partai Komunis China."

Rayhan Asat, pengacara hak asasi manusia Uighur, mengatakan bahwa perubahan tersebut merupakan bagian dari tujuan Beijing untuk menghapus budaya dan masyarakat Uighur secara keseluruhan. 

"Nama-nama desa mereka tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah, tetapi juga mewujudkan ikatan komunitas, budaya, dan nilai-nilai kota yang berbeda," kata Asat. 


Praktik penggantian nama lokasi ini sebelumnya dilakukan di Tibet, dan pada tahun 2023, pemerintah China mulai menyebut Tibet sebagai "Xizang" dalam dokumen resmi. Sejak tahun 2017, pemerintah juga mengeluarkan nama-nama resmi China untuk lokasi-lokasi di Arunachal Pradesh, wilayah Himalaya yang disengketakan. 

sumber
0
186
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan