- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mati Lampu di Wahana || Cerpen Horror Nyctophobia
TS
spaghettimi
Mati Lampu di Wahana || Cerpen Horror Nyctophobia
Pagi ini, kami datang dengan hati yang bahagia ke taman rekreasi ini. Kami mencoba berbagai wahana. Roller coaster, bumper car, bianglala, dan bahkan komedi putar. Sungguh akhir pekan yang sempurna bagi dua remaja wanita seperti kami.

Sayangnya, suasana itu menjadi hancur saat kami memasuki wahana rumah hantu. Wahana ini sangat membosankan dan tidak seram sama sekali. Seakan wahana ini masih belum cukup jelek, ruangan yang dihiasi lampu remang-remang dan diiringi suara hantu dari speaker elektronik mendadak menjadi sunyi dan gelap gulita saat giliranku memasukinya.
Awalnya, aku dan temanku mengira ini adalah bagian dari cara mereka menakut-nakuti kami. Namun, dugaan tersebut terbukti salah ketika seorang pegawai berteriak dari luar.
"Terjadi kesalahan pada wahana ini! Tolong jangan panik. Kami akan segera membetulkannya," suara seorang pria yang dari jarak jauh.
Perasaan bosan berubah menjadi marah. Bagaimana bisa ada wahana sejelek ini? Untung mereka tidak membuat masalah pada wahana-wahana yang lebih berbahaya.
"Bisa-bisanya ada kesalahan seperti ini. Memangnya semua lampu ditenagai satu sumber listrik saja ya?" aku berbicara pada temanku Dina di tengah gelap gulita.
"Iya ya. Mana baterai HP punyaku habis lagi."
"Gimana bisa sudah habis? Kan kita baru saja berangkat."
"Aku lupa cas tadi malam. Jadinya langsung mati. Gimana dengan baterai HP punyamu?"
"Masih ada dong," kataku sambil meraba-raba isi tasku dalam gelap. Beberapa detik kemudian, aku pun berhasil menemukannya. "Nah, ini dia."
Aku menghidupkan senter HP, yang ternyata tidak secerah yang kubayangkan. Walau hanya remang-remang, paling tidak sekarang kami bisa melihat sekitaran kami dengan lebih nyaman.
"Ayo coba kita balik arah saja .. Ke pintu masuk yang tadi, Din."
"Tunggu! Lukisan ini ..."
"Ada apa dengan lukisan ini?"
"Aku yakin tadi tembok ini kosong. Kenapa tiba-tiba ada lukisan?" Dina berkata sambil menunjuk lukisan yang ada di belakang kami berdua.
Aku pun mengarahkan senterku untuk melihatnya dengan lebih jelas. Nampak sebuah lukisan besar yang tergantung di tembok. Lukisan itu terlihat kuno dan bergambar dua perempuan muda. Gayanya seperti dibuat menggunakan cat minyak, tapi aku rasa ini cuma properti murahan dan bukan lukisan asli.
"Kamu pasti tadi gak sadar kalau tadi ada lukisan ini! Mana mungkin bisa tiba-tiba muncul."
"Aku ingat betul, tadi tembok ini kosong."
"Lupakan soal lukisan itu. Yang penting sekarang kita berbalik arah, agar bisa kembali ke pintu masuk yang tadi."
"Apa kamu yakin kita tidak akan tersesat?"
"Bicara apa kamu Dina? Kalaupun tersesat, kan pasti ada orang yang menolong kita."
Dina menatapku dengan tatapan yang khawatir, namun ia mengangguk setelah mendengar jawabanku.
---------- ◈ ◆ ◈ ----------
Setelah itu, kami berbalik arah untuk kembali ke pintu masuk wahana ini. Di tengah perjalanan kembali, kami berdua pun berbincang-bincang.
"Din, apa kamu takut kegelapan?" tanyaku sambil berjalan.
"Dulunya aku sangat takut, tapi sekarang aku mencoba untuk bisa berani. Bagaimana denganmu?"
"Aku sangat takut dengan kegelapan." Aku pun menunjuk ke satu pintu dan lanjut berkata, "Contohnya, kita tidak tahu apa yang ada di balik gelapnya pintu itu."
"Iya. Kegelapan itu menakutkan karena kita tidak tahu apa yang bersembunyi di baliknya."
"Tapi karena disini kita berdua, aku jadi tidak terlalu takut."
"Iya. Aku juga merasakan hal yang sama."
"TAK!"
Terdengar bunyi barang terjatuh yang cukup keras. Kami tidak tahu jelas, tapi yang pasti suara itu berasal dari arah tempat kami yang tadi. Secara refleks, aku dan Dina melihat ke belakang. Di momen yang singkat itu, aku menyadari wajah Dina yang berubah semakin cemas.
Masih menoleh ke belakang, Dina berbisik padaku, "Suara itu ..."
"Kita biarkan saja. Ayo kembali ke pintu masu-"
Sebelum aku selesai berbicara, Dina langsung berbalik arah dan lari dengan cepat. Ia tidak berkata apa-apa, dan bahkan tidak peduli dengan satu sepatunya yang jatuh.
"Hei! Mau pergi kemana kamu Dina? Jangan tinggalkan aku!"
Dalam sekejap, ia sudah menghilang di tengah kegelapan, berlari ke arah tempat kami yang tadi. Aku yang panik pun mencoba untuk mengejarnya sambil meneriakkan namanya berkali-kali. Aku tidak bisa melihatnya sama sekali karena gelap, namun aku masih bisa mendengar langkah kakinya yang berlari. Lama kelamaan, suara langkahnya mengecil hingga akhirnya aku tidak tahu lagi kemana ia pergi.
Kejar kejaran itu membuatku sangat kelelahan. Aku pun mencoba untuk beristirahat sebentar. Bagaimana mungkin Dina bisa berlari secepat itu dan tidak kelelahan? Dan yang terpenting, kenapa dia tiba-tiba berlari menjauhiku? Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, dia tidak mungkin hilang di wahana ini kan? Rumah hantu ini seharusnya tidak cukup besar untuk membuatnya tersesat.
Dengan nafas berat, aku mencoba untuk duduk dan bersandar di tembok. Ternyata, aku berada di ruangan yang sama lagi. Di hadapanku, aku melihat lukisan yang tadi Dina bilang tiba-tiba muncul. Lukisan itu sekarang ada di lantai. Jadi, ini kah sumber suara barang jatuh tadi? Aku pun berdiri, lalu mengamati lukisan itu dengan lebih jelas.
Aku menunduk dan mengusapkan jariku ke permukaan lukisan itu. Di saat itu, aku sadar bahwa lukisan ini ternyata bukan hanya properti murahan. Gambar ini dibuat di atas kanvas oleh seorang seniman, bukan dicetak di atas kertas memakai mesin. Kenapa taman rekreasi ini rela membeli lukisan seperti ini? Padahal tidak menambah kesan seram sama sekali.
Aku juga baru menyadari, dua orang wanita yang ternyata terlihat sangat mirip. Apakah mereka kembar?

"Hei!" Suara seorang wanita terdengar memanggilku. Namun, aku yakin itu bukan suara Dina.
"Si- Siapa itu?"
"Apa kamu mendengarku?"
"Iya. Aku mendengarmu. Apakah kamu orang yang membetulkan wahana ini?"
"Wahana? Oh iya .... Wahana ya."
"Anda ini siapa?"
"Dirimu sendiri siapa?"
"Aku seorang remaja yang datang ke taman rekreasi ini dengan temanku yang bernama Dina."
"Dina. Sudah berapa lama kamu mengenalnya?"
"Memangnya kenapa? Cepat bantu aku keluar dari sini!"
"Bisakah kamu menjawab pertanyaanku? Sejak kapan kamu mengenal Dina?"
"Aku mengenalnya ..."
Sial. Kenapa aku tiba-tiba lupa? Sejak kapan aku mengenal Dina? Aku hanya tau dia adalah temanku. Tapi sejak kapan? Jawabannya serasa ada di ujung lidahku, namun aku tidak mampu mengatakannya.
"Kenapa? Ayo lanjutkan perkataanmu."
"Aku sudah berteman dengan Dina sejak lama."
"Berapa lama?" Kali ini, aku merasakan suara misterius ini semakin keras. Aku mendengar beberapa langkah kaki, dan suaranya semakin lama semakin keras. Tidak salah lagi! Dia pasti menghampiriku. Tapi bagaimanapun usahaku, aku tidak tahu dari mana arah dia datang. Kondisi yang sangat gelap semakin menghancurkan suasana, dan aku menjadi panik.
"Apa kamu berjalan mendekatiku?"
"Berjalan? Apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura tidak tau! Dimana kamu sekarang? Datanglah kepadaku agar kita bisa bicara baik-baik."
Aku tidak mendengar jawaban. Namun, aku lagi-lagi mendengar suara langkah kaki yang mendekatiku.
"T- Tunggu. Jangan mendekat!" Aku berkata dengan gemetar.
Lagi-lagi, aku tidak mendengar jawaban apa-apa. Sementara itu, suara langkah kaki itu semakin keras seakan-akan mendekat kepadaku.
"Jangan menakut-nakutku! Aku takut kegelapan!"
Lagi-lagi, tidak ada yang menjawabku.
"TOLONG! PETUGAS! APAKAH KALIAN MENDENGARKU DARI LUAR? AKU MASIH DI DALAM WAHANA INI!"
"Ya. Aku mendengarmu. Tapi aku bukanlah pekerja wahana," suara misterius tadi berbicara dengan jelas.
Aku mengarahkan senter HP ke sekitaranku dengan tangan yang bergetar kencang. Kananku, tidak ada. Belakangku, tidak ada. Kiriku, tidak ada. Tunggu ...
Kiriku seharusnya ada lukisan itu. Lukisan cat minyak bergambar dua wanita muda! Kenapa sekarang tidak ada?
Dari belakangku, tiba-tiba aku merasakan adanya sentuhan. "Maafkan aku ..."
Kali ini, suara yang terdengar bukanlah suara misterius tadi. Itu adalah suara Dina. Suaranya menjadi jauh lebih lesu dari terakhir kali aku bertemu dengannya. Aku pun menjadi agak khawatir.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus menoleh? Sepertinya aku memang harus menoleh. Aku pun dengan perrlahan memutar senter dan juga arah pandanganku ke arah kananku. Perlahan, menuju ke punggungku dan semakin ke belakang. Dan di sana, aku melihat wajah Dina yang pucat dengan kedua bola matanya yang menjadi hitam pekat.
Mulutnya yang putih keriput berguman, "Maafkan aku ... Apakah kamu takut?"
"AAAAAAAAAA!! DINA!!"
---------- ◈ ◆ ◈ ----------
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah aku melihat Dina yang pucat menatap ke arahku. Tiba-tiba saja, suasana menjadi sunyi dan gelap gulita. Apakah aku pingsan?
Kali ini, suara wanita misterius tadi muncul kembali. Dengan jelas dia berkata, "Halo."
Dengan bingungnya aku menjawab, "Apa yang terjadi?"
"Apakah kamu sudah sadar?"
"Sadar apa? Apakah aku pingsan?"
"Iya."
"Sebetulnya siapa kamu ini?"
"Bagaimana denganmu? Siapa kamu?"
"Aku ..."
"Ayo lanjutkan perkataanmu. Siapa kamu?"
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba aku lupa dengan namaku sendiri."
"Apakah tadi kamu takut?"
"Ya ... Aku sangat takut ketika wahana itu mati lampu. Aku sangat takut dengan kegelapan."
"Apakah sekarang kamu masih takut?"
Kali ini, aku baru menyadari bahwa ternyata cara bicara suara wanita misterius itu cukup halus.
"Aku sudah tidak terlalu takut lagi. Tadi aku mengiramu orang jahat. Tapi setelah kupikirkan lagi, sepertinya kamu orang baik."
"Menurutmu, sekarang jam berapa?"
"Aku baru saja pergi pagi ini ke taman rekreasi. Belum terlalu lama ... Jadi, mungkin sekarang jam 9?"
"9 pagi atau malam?"
"9 pagi. Tapi kenapa sangat gelap ya? Apa aku masih berada di dalam wahana?"
"Tidak. Kamu sudah tidak ada di wahana itu. Tidak perlu takut, kamu sudah aman."
"Apa yang sebetulnya terjadi?"
"Apakah kamu merasakannya?"
"Kamu mengelus tanganku ya? Aku merasakannya."
"Ya. Coba sekarang perlahan gerakkan tanganmu. Apakah kamu bisa melakukannya?"
"Akan kucoba."
Perlahan, aku mulai mendengar suara jarum jam dinding. "TIK." "TIK." "TIK."
Mataku perlahan terbuka dan cahaya yang begitu terang membuatku berkedip kesilauan. Aku berada di sebuah ruangan bertembok putih cerah. Sunyi dan bersih. Ada juga sedikit bau obat. Tempat ini terlihat sangat familiar bagiku.
Tiba-tiba, di samping kananku terdengar suara misterius tadi lagi, "Halo. Akhirnya kamu sudah bangun."
Aku menoleh ke sumber suara itu dan melihat seorang wanita 50 tahunan yang duduk tersenyum ramah ke arahku. Kacamatanya berkilau di depan matanya yang indah. Potongan rambutnya pendek, persis menyentuh bahunya yang tertutup jas putih lengan panjang.
Dengan bingung aku pun bertanya, "Dimana ini?"
"Ini adalah ruangan yang pernah kamu kunjungi saat masih kecil. Apa kamu tidak mengingatnya? Tempat ini belum banyak berubah."
"Aku merasa sedikit familiar, tapi aku tidak tahu persis."
"Ini adalah ruang psikologi yang ada di rumah sakit kota. Saat kamu kecil, kamu datang karena alasan yang sama. Kamu pingsan karena terlalu takut dengan kegelapan. Saat itu, aku juga yang merawatmu. Sekarang kamu sudah besar ya rupanya."
"Jadi aku betul pingsan ya. Lalu bagaimana dengan temanku?"
"Oh, kamu masih ingat dengan temanmu?"
"Tentu saja! Aku khawatir karena dia tiba-tiba menghilang."
"Apakah namanya Dina?"
"Dina. Iya, sepertinya itu nama ..."
Tunggu. Dina? Nama temanku adalah Dina? Hal itu sangat aneh. Tidak ... Aku yakin Dina bukanlah nama dari temanku. Dina ... Adalah namaku sendiri!
"Sepertinya ingatanmu sudah membaik ya? Dina."
"Apa yang terjadi? Dina itu namaku. Lalu siapa temanku yang terjebak bersamaku?"
Wanita itu tertawa ringan kepadaku. Seakan-akan, ia sudah menduga aku akan berkata seperti ini. Dengan tertawanya yang masih tersisa, dia berkata lagi kepadaku, "Saat masih kecil, kamu pingsan dan juga mengaku bertemu dengan teman bernama Dina. Tapi temanmu itu sebetulnya tidak pernah ada. Dia hanyalah wujud dari ketakutanmu terhadap kegelapan. Kamu terlalu takut, sampai-sampai tanpa sadar membuat teman khayalan untuk menemanimu."
"Jadi ... Apakah hari ini aku sebetulnya pergi ke taman rekreasi sendirian?"
Wanita itu mengangguk setelah mendengar pertanyaanku. "Apa yang kamu ingat di pagi ini kemungkinan hanyalah mimpimu. Tapi memang betul bahwa wahana rumah hantu itu mati lampu saat kamu ada di dalamnya. Saat sudah diperbaiki, para petugas menemukanmu yang tergeletak pingsan di lantai sendirian. Kamu tidak kunjung bangun selama seharian, dan pada akhirnya Ibumu menelepon ponselmu. Teleponnya pun diangkat oleh petugas yang ada di taman rekreasi itu. Dokter mengatakan bahwa kamu hanya pingsan, namun Ibumu tidak tenang dan minta agar kamu dibawa ke ruang psikologi ini lagi seperti dulu."
"Jadi, apakah Ibuku ada di luar?"
"Iya. Ibumu, Ayahmu, dan adikmu. Semuanya ada di luar. Mereka semua khawatir karena kamu tidak kunjung bangun."
"Aku ingin bertemu dengan mereka. Apakah aku sudah boleh bangun?"
"Tentu saja."
Aku berdiri dari ranjang dan turun meginjakkan kakiku ke lantai. Aku berlari menuju pintu dan melihat keluargaku yang sedang menunggu di sana. Aku bisa melihat bekas air mata di pipi Ibu, namun ia langsung tersenyum saat melihatku mengintip dari balik pintu.
Ibu berlari ke arahku dan mulai memelukku. Ayah dan adik juga berjalan menyusul Ibu, melihatku yang kini sudah sadarkan diri.
Jujur, aku merasa agak kecewa ketika aku mengetahui bahwa temanku hanyalah imajinasi semata. Namun, aku menjadi senang ketika mengingat ruang psikologi ini. Pingsan di tengah kegelapan adalah pengalaman yang buruk. Tapi saat bangun, itu adalah pengalaman yang paling luar biasa. Senyuman keluargaku di hari itu adalah pemandangan terindah yang pernah kulihat.
Entah kenapa, aku awalnya tidak terlalu peduli dengan wanita psikolog itu. Aku bahagia bisa bertemu dengan keluargaku, namun aku lupa berterima kasih pada orang yang membantuku bangun. Baru saat aku dewasa, aku menyadarinya.
---------- ◈ ◆ ◈ ----------
Aku tidak pernah melupakan pengalamanku waktu itu. Aku terinspirasi menjadi seorang psikolog karena wanita yang baik hati merawatku itu. Aku sangat berharap agar bisa bertemu dengannya lagi. Namun, sayangnya Ibu dan Ayah pun sudah lupa dengan identitasnya.
Beetahun-tahun, aku berhasil menempuh pendidikan hingga S3 di bidang psikologi. Aku berpindah-pindah tempat dan mendapatkan pekerjaan yang diimpikan oleh banyak orang. Namun sepanjang karirku, aku tidak pernah merasa bahwa aku lebih baik daripada wanita misterius yang dulu menyelamatkanku.
Sepertinya ia mampu berbicara padaku saat aku sedang bermimpi. Cara bicaranya yang halus juga membuat diriku tenang dan terbebas dari ketakutan. Dia adalah cahaya yang membebaskanku dari kegelapan. Sebetulnya siapa wanita itu?
bonek.kamar dan 3 lainnya memberi reputasi
4
317
18
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan