- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
Mengapa Kunjungan Saya ke Malaysia dan Indonesia Berbeda?


TS
InRealLife
Mengapa Kunjungan Saya ke Malaysia dan Indonesia Berbeda?
Mengapa Kunjungan Saya ke Malaysia dan Indonesia Berbeda? - Kompas.id


Quote:
[color=rgba(51,51,51,var(--tw-text-opacity))]Mengapa Kunjungan Saya ke Malaysia dan Indonesia Berbeda?[/color]
Oleh
AHMET T KURU
[color=rgb(102 102 102/var(--tw-text-opacity))]29 April 2024 05:45 WIB·5 menit baca
[/color]
Saya telah mempelajari [color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]Islam dan demokrasi selama dua dekade sebagai profesor di Amerika Serikat. Penelitian awal saya berfokus pada Timur Tengah, khususnya Turki, tempat saya dilahirkan.[/color]
Sejak diterbitkannya buku saya dalam edisi bahasa [color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]Indonesia, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan, pada tahun 2020, saya menjadi lebih tertarik dengan Islam dan demokrasi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.[/color]
Pengalaman getir
Buku saya merupakan [color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]analisis akademis tentang krisis politik dan sosial ekonomi yang dihadapi banyak masyarakat Muslim saat ini. Buku ini menganalisis bagaimana umat Islam mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan dan ekonomi antara abad ke-8 dan ke-11, serta mengapa mereka mengalami krisis saat ini.[/color]
Sejak diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, buku saya telah diulas puluhan media di Indonesia. Saya menghadiri beberapa webinar yang diselenggarakan di Indonesia untuk mendiskusikan buku ini. Saya juga mengajar mata kuliah daring di Universitas Islam Internasional Indonesia.
Puncak dari hubungan saya dengan Indonesia adalah kunjungan saya ke Jakarta, Yogyakarta, dan Bali pada November 2022. Selama pembicaraan saya di kota-kota ini, saya menerima sambutan yang sangat hangat dan mengalami keramahan yang sangat mendalam.
Hal ini mendorong saya mengunjungi negara tetangga, [color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]Malaysia.[/color]
Saya menjadwalkan kunjungan saya ke Malaysia pada Januari 2024 untuk mempromosikan terjemahan bahasa Melayu dari buku saya yang berjudul Islam, Autoritarianisme dan Kemunduran Bangsa.
Namun, ketika ceramah saya di Malaysia diumumkan, saya menerima serangan yang tidak menyenangkan di media sosial. Beberapa kaum konservatif dan Islamis secara keliru mengecap saya sebagai bagian dari jaringan ”liberal” yang menentang ahlusunah waljamaah.
Kemudian acara peluncuran buku utama saya dibatalkan. Ketika saya menanyakan alasannya kepada pihak penyelenggara, mereka mengatakan, Duta Besar Turki untuk Malaysia mendefinisikan saya sebagai penentang pemerintah mereka dan meminta pembatalan acara saya.
Saya tidak pernah melihat reaksi seperti itu dalam tur buku saya yang lain di Indonesia, Maroko, Bosnia, Belanda, atau Norwegia. Kaum konservatif dan Islamis memberikan kritik yang konstruktif di negara-negara tersebut, dan beberapa duta besar Turki datang ke ceramah saya untuk mengajukan pertanyaan di sana.
Terlepas dari reaksi tersebut, saya masih bisa memberikan empat ceramah di lembaga- lembaga lain di Kuala Lumpur dan Putrajaya. Namun, polisi datang ke acara-acara saya.
Pada acara terakhir, polisi menginterogasi penerbit saya dan menanyakan alamat hotel dan nomor paspor saya.
Saya melaporkan para polisi tersebut kepada penasihat Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan seorang menteri kabinet. Baik penasihat maupun menteri tersebut menjamin keselamatan saya.
Keesokan harinya, saya pergi ke bandara Kuala Lumpur untuk terbang ke Pakistan, tempat saya akan mengadakan serangkaian bedah buku. Namun, polisi yang sama datang ke pintu gerbang, menginterogasi, dan mencoba menyita paspor saya.
Saya lolos dari upaya penangkapan dengan menghubungi lagi penasihat perdana menteri. Semua perkembangan ini membuat saya khawatir akan keselamatan saya dan saya membatalkan pembicaraan saya di Lahore dan Islamabad, kemudian kembali ke Amerika Serikat.
Banyak teman, cendekiawan, dan pembaca yang menunjukkan keramahan kepada saya di Malaysia. Saya bertemu dengan para akademisi, politisi, dan jurnalis penting. Ceramah saya dihadiri dengan baik dan lebih dari selusin artikel dan wawancara diterbitkan di media Malaysia untuk mendukung saya.
Saya berterima kasih atas semua dukungan ini. Namun, tetap saja reaksi kaum Islamis, pembatalan peluncuran buku saya, dan pelecehan oleh polisi meninggalkan rasa pahit dan saya tidak merasa nyaman untuk mengunjungi Malaysia lagi.
Perbedaan tajam Indonesia dan Malaysia
Saya bukan satu-satunya intelektual Muslim yang menghadapi pengalaman sangat berbeda di Malaysia dan Indonesia. Mustafa Akyol, misalnya, ditangkap polisi syariah dan bukunya dilarang beredar di Malaysia beberapa tahun yang lalu. Namun, buku-bukunya dihargai di Indonesia. Ada daftar panjang intelektual Muslim yang menerima sambutan hangat di Indonesia.
Apa yang menjelaskan perbedaan tajam antara Indonesia dan Malaysia? Perbedaan utama yang ada di antara hubungan Islam dan negara di kedua negara ini. Indonesia memiliki dua gerakan Islam nonpemerintah yang besar—Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah—yang masing-masing memiliki puluhan juta pengikut. Hal ini telah menciptakan keberagaman dan desentralisasi di Indonesia.
Selain itu, NU yang mengundang saya ke Forum Agama G20 (R20) di Bali dan Yogyakarta tahun lalu juga merangkul spiritualitas Islam dan menerima tradisi budaya Indonesia.
Baik NU maupun Muhammadiyah menghormati kredo dasar Indonesia, Pancasila, yang mengacu pada kepercayaan kepada Tuhan, kemanusiaan, persatuan nasional, demokrasi, dan keadilan sosial. Hukum pidana Islam hanya ada di wilayah Aceh. Selain itu, Indonesia negara besar yang tidak mudah memenuhi tuntutan dari Turki atau pemerintah lainnya.
Sebaliknya, di Malaysia, hubungan Islam dan negara jauh lebih tersentralisasi dan formalistik. Tidak ada gerakan Islam nonpemerintah yang sebanding dengan NU atau Muhammadiyah. Kelompok-kelompok Islam, seperti pengikut Naquib al-Attas, jauh lebih kecil dan tertutup. Para ulama sebagian besar merupakan mitra resmi negara dalam pemerintahan.
Pengadilan syariah dan polisi syariah di Malaysia telah memberlakukan gagasan ortodoks tentang agama. Mereka bahkan melarang ekspresi publik Muslim Syiah. Tak ada prinsip-prinsip berpikiran terbuka seperti Pancasila.
Sebaliknya, konstitusi
Malaysia menggabungkan identitas etnis Melayu dan Islam: ”Melayu berarti orang yang menganut agama Islam, terbiasa berbicara dalam bahasa Melayu, sesuai dengan adat Melayu”.
Bagi orang Melayu dan mualaf, meninggalkan Islam secara resmi bukanlah sebuah pilihan—baik pengadilan sipil maupun pengadilan syariah menolaknya. Beberapa daerah mencoba menerapkan hukum pidana Islam dan ada perdebatan yang sedang berlangsung untuk mengadopsinya oleh Parlemen Federal Malaysia. Selain itu, Malaysia kesulitan mengatakan ”tidak” kepada Turki.
Ini adalah pengamatan singkat saya berdasarkan kunjungan dan studi saya terhadap kedua negara itu dalam empat tahun terakhir. Para ahli di kedua negara ini mungkin akan menemukan perbedaan lain atau tak setuju dengan beberapa poin yang saya sampaikan.
Namun, kita semua pasti setuju bahwa Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang penting bagi masa depan demokrasi di dunia Muslim.
Banyak negara mayoritas Muslim lainnya diperintah raja, pemimpin militer, atau diktator lainnya, serta jumlah negara demokrasi elektoral di dunia Muslim sangat terbatas.
Faktanya, demokrasi sedang menghadapi krisis global, termasuk di negara saya, Amerika Serikat, di mana dukungan tanpa syarat dari Presiden Joe Biden terhadap pengeboman Israel di Gaza telah membuat pemilihannya kembali menjadi lebih sulit dan meningkatkan peluang terpilihnya Donald Trump pada November ini.
Dalam situasi yang sulit di dunia Muslim dan global ini, demokrasi Indonesia menjadi sangat penting. Melindungi demokrasi Indonesia penting untuk mempromosikan kesetaraan kewarganegaraan dan hak asasi manusia di dunia Muslim dan di seluruh dunia.
[color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]Ahmet T Kuru, Profesor Ilmu Politik dan Direktur Pusat Studi Islam dan Arab di San Diego State University[/color]
Dalam situasi yang sulit di dunia Muslim dan global ini, demokrasi Indonesia menjadi sangat penting.
Oleh
AHMET T KURU
[color=rgb(102 102 102/var(--tw-text-opacity))]29 April 2024 05:45 WIB·5 menit baca
[/color]
Saya telah mempelajari [color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]Islam dan demokrasi selama dua dekade sebagai profesor di Amerika Serikat. Penelitian awal saya berfokus pada Timur Tengah, khususnya Turki, tempat saya dilahirkan.[/color]
Sejak diterbitkannya buku saya dalam edisi bahasa [color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]Indonesia, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan, pada tahun 2020, saya menjadi lebih tertarik dengan Islam dan demokrasi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.[/color]
Pengalaman getir
Buku saya merupakan [color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]analisis akademis tentang krisis politik dan sosial ekonomi yang dihadapi banyak masyarakat Muslim saat ini. Buku ini menganalisis bagaimana umat Islam mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan dan ekonomi antara abad ke-8 dan ke-11, serta mengapa mereka mengalami krisis saat ini.[/color]
Sejak diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, buku saya telah diulas puluhan media di Indonesia. Saya menghadiri beberapa webinar yang diselenggarakan di Indonesia untuk mendiskusikan buku ini. Saya juga mengajar mata kuliah daring di Universitas Islam Internasional Indonesia.
Puncak dari hubungan saya dengan Indonesia adalah kunjungan saya ke Jakarta, Yogyakarta, dan Bali pada November 2022. Selama pembicaraan saya di kota-kota ini, saya menerima sambutan yang sangat hangat dan mengalami keramahan yang sangat mendalam.
Hal ini mendorong saya mengunjungi negara tetangga, [color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]Malaysia.[/color]
Saya menjadwalkan kunjungan saya ke Malaysia pada Januari 2024 untuk mempromosikan terjemahan bahasa Melayu dari buku saya yang berjudul Islam, Autoritarianisme dan Kemunduran Bangsa.
Namun, ketika ceramah saya di Malaysia diumumkan, saya menerima serangan yang tidak menyenangkan di media sosial. Beberapa kaum konservatif dan Islamis secara keliru mengecap saya sebagai bagian dari jaringan ”liberal” yang menentang ahlusunah waljamaah.
Kemudian acara peluncuran buku utama saya dibatalkan. Ketika saya menanyakan alasannya kepada pihak penyelenggara, mereka mengatakan, Duta Besar Turki untuk Malaysia mendefinisikan saya sebagai penentang pemerintah mereka dan meminta pembatalan acara saya.
Saya tidak pernah melihat reaksi seperti itu dalam tur buku saya yang lain di Indonesia, Maroko, Bosnia, Belanda, atau Norwegia. Kaum konservatif dan Islamis memberikan kritik yang konstruktif di negara-negara tersebut, dan beberapa duta besar Turki datang ke ceramah saya untuk mengajukan pertanyaan di sana.
Terlepas dari reaksi tersebut, saya masih bisa memberikan empat ceramah di lembaga- lembaga lain di Kuala Lumpur dan Putrajaya. Namun, polisi datang ke acara-acara saya.
Pada acara terakhir, polisi menginterogasi penerbit saya dan menanyakan alamat hotel dan nomor paspor saya.
Saya melaporkan para polisi tersebut kepada penasihat Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan seorang menteri kabinet. Baik penasihat maupun menteri tersebut menjamin keselamatan saya.
Keesokan harinya, saya pergi ke bandara Kuala Lumpur untuk terbang ke Pakistan, tempat saya akan mengadakan serangkaian bedah buku. Namun, polisi yang sama datang ke pintu gerbang, menginterogasi, dan mencoba menyita paspor saya.
[color=rgb(51 51 51/var(--tw-text-opacity))]Dalam situasi yang sulit di dunia Muslim dan global ini, demokrasi Indonesia menjadi sangat penting.[/color]
Saya lolos dari upaya penangkapan dengan menghubungi lagi penasihat perdana menteri. Semua perkembangan ini membuat saya khawatir akan keselamatan saya dan saya membatalkan pembicaraan saya di Lahore dan Islamabad, kemudian kembali ke Amerika Serikat.
Banyak teman, cendekiawan, dan pembaca yang menunjukkan keramahan kepada saya di Malaysia. Saya bertemu dengan para akademisi, politisi, dan jurnalis penting. Ceramah saya dihadiri dengan baik dan lebih dari selusin artikel dan wawancara diterbitkan di media Malaysia untuk mendukung saya.
Saya berterima kasih atas semua dukungan ini. Namun, tetap saja reaksi kaum Islamis, pembatalan peluncuran buku saya, dan pelecehan oleh polisi meninggalkan rasa pahit dan saya tidak merasa nyaman untuk mengunjungi Malaysia lagi.
Perbedaan tajam Indonesia dan Malaysia
Saya bukan satu-satunya intelektual Muslim yang menghadapi pengalaman sangat berbeda di Malaysia dan Indonesia. Mustafa Akyol, misalnya, ditangkap polisi syariah dan bukunya dilarang beredar di Malaysia beberapa tahun yang lalu. Namun, buku-bukunya dihargai di Indonesia. Ada daftar panjang intelektual Muslim yang menerima sambutan hangat di Indonesia.
Apa yang menjelaskan perbedaan tajam antara Indonesia dan Malaysia? Perbedaan utama yang ada di antara hubungan Islam dan negara di kedua negara ini. Indonesia memiliki dua gerakan Islam nonpemerintah yang besar—Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah—yang masing-masing memiliki puluhan juta pengikut. Hal ini telah menciptakan keberagaman dan desentralisasi di Indonesia.
Selain itu, NU yang mengundang saya ke Forum Agama G20 (R20) di Bali dan Yogyakarta tahun lalu juga merangkul spiritualitas Islam dan menerima tradisi budaya Indonesia.
Baik NU maupun Muhammadiyah menghormati kredo dasar Indonesia, Pancasila, yang mengacu pada kepercayaan kepada Tuhan, kemanusiaan, persatuan nasional, demokrasi, dan keadilan sosial. Hukum pidana Islam hanya ada di wilayah Aceh. Selain itu, Indonesia negara besar yang tidak mudah memenuhi tuntutan dari Turki atau pemerintah lainnya.
Sebaliknya, di Malaysia, hubungan Islam dan negara jauh lebih tersentralisasi dan formalistik. Tidak ada gerakan Islam nonpemerintah yang sebanding dengan NU atau Muhammadiyah. Kelompok-kelompok Islam, seperti pengikut Naquib al-Attas, jauh lebih kecil dan tertutup. Para ulama sebagian besar merupakan mitra resmi negara dalam pemerintahan.
[color=rgb(51 51 51/var(--tw-text-opacity))]Dalam situasi yang sulit di dunia Muslim dan global ini, demokrasi Indonesia menjadi sangat penting.[/color]
Pengadilan syariah dan polisi syariah di Malaysia telah memberlakukan gagasan ortodoks tentang agama. Mereka bahkan melarang ekspresi publik Muslim Syiah. Tak ada prinsip-prinsip berpikiran terbuka seperti Pancasila.
Sebaliknya, konstitusi
Malaysia menggabungkan identitas etnis Melayu dan Islam: ”Melayu berarti orang yang menganut agama Islam, terbiasa berbicara dalam bahasa Melayu, sesuai dengan adat Melayu”.
Bagi orang Melayu dan mualaf, meninggalkan Islam secara resmi bukanlah sebuah pilihan—baik pengadilan sipil maupun pengadilan syariah menolaknya. Beberapa daerah mencoba menerapkan hukum pidana Islam dan ada perdebatan yang sedang berlangsung untuk mengadopsinya oleh Parlemen Federal Malaysia. Selain itu, Malaysia kesulitan mengatakan ”tidak” kepada Turki.
Ini adalah pengamatan singkat saya berdasarkan kunjungan dan studi saya terhadap kedua negara itu dalam empat tahun terakhir. Para ahli di kedua negara ini mungkin akan menemukan perbedaan lain atau tak setuju dengan beberapa poin yang saya sampaikan.
Namun, kita semua pasti setuju bahwa Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang penting bagi masa depan demokrasi di dunia Muslim.
Banyak negara mayoritas Muslim lainnya diperintah raja, pemimpin militer, atau diktator lainnya, serta jumlah negara demokrasi elektoral di dunia Muslim sangat terbatas.
Faktanya, demokrasi sedang menghadapi krisis global, termasuk di negara saya, Amerika Serikat, di mana dukungan tanpa syarat dari Presiden Joe Biden terhadap pengeboman Israel di Gaza telah membuat pemilihannya kembali menjadi lebih sulit dan meningkatkan peluang terpilihnya Donald Trump pada November ini.
Dalam situasi yang sulit di dunia Muslim dan global ini, demokrasi Indonesia menjadi sangat penting. Melindungi demokrasi Indonesia penting untuk mempromosikan kesetaraan kewarganegaraan dan hak asasi manusia di dunia Muslim dan di seluruh dunia.
[color=rgba(3,86,168,var(--tw-text-opacity))]Ahmet T Kuru, Profesor Ilmu Politik dan Direktur Pusat Studi Islam dan Arab di San Diego State University[/color]
0
251
Kutip
15
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan