ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #49 : Ini Anak Siapa?


Jika ditanya apa yang paling Melinda sukai dari Adam Parker, dia akan menjawab rambut pirangnya yang berkilau di bawah sinar mentari. Rambut itu adalah sesuatu yang unik yang tak bisa Melinda temukan di pria lain di sekitarnya. Rambut pirang, mata biru, kulit putih, tubuh tinggi. Adam memang keturunan orang Amerika.

Dia bilang ayahnya berasal dari Amerika. Dia dideportasi lalu mencari peruntungan di negeri ini.

“Hidup ayahku sangat miskin di sana, dia itu gelandangan,” ujar Adam dengan senyum aneh di bibirnya saat menceritakan ayahnya. “Bayangin aja, dia sering jual darah buat makan. Dia kaget rumah sakit di sini nggak membayar orang yang donor darah. Untungnya di sini dia cukup beruntung. Tidak kaya, tapi kuyakin dia bahagia.”

Ayahnya masih hidup jadi Melinda sering tertawa karena Adam bercerita seolah ayahnya sudah meninggal. Melinda sudah bertemu Samuel Parker beberapa kali. Dia orang yang ceria dan punya selera humor tinggi. Jauh berbeda dari istrinya yang tidak banyak bicara. Tapi tampaknya mereka cocok dengan perbedaan itu.

Adam dan Melinda tak jauh berbeda dari pasangan pada umumnya. Mungkin satu-satunya perbedaan hanyalah mereka sudah berencana untuk menikah di umur 25 tahun. Keduanya bekerja dan sudah merencanakan di mana anak-anak mereka akan bersekolah. Matang dan terencana. Dua sifat itulah yang tak pernah membuat mereka khawatir.

Tanggal pernikahan, wedding organizer, tujuan bulan madu, kompleks perumahan, jumlah anak, asuransi, tabungan kuliah, hingga panti jompo. Mereka sudah merencanakan semuanya.

Cuma satu hal yang tidak mereka rencanakan. Kematian Adam.

***


10 tahun kemudian ….

Mrs. Parker menjemur pakaiannya sembari bersenandung. Cuaca begitu cerah sampai-sampai dia merasa harus pergi keluar untuk menikmati hari. Sayangnya kakinya sudah tidak sekuat dulu. Setidaknya dia masih bisa duduk di teras menikmati hari.

Dia duduk santai dengan segelas teh hangat. Matanya mengamati jalanan dan sesekali tersenyum pada anak-anak yang hendak berangkat sekolah. Mereka balas menyapanya. Ini sudah jadi semacam tradisi.

”Pasti menyenangkan menggendong cucu,”bisiknya tidak pada siapa pun.

Sudah sepuluh tahun sejak kematian anaknya dan dua tahun sejak kematian suaminya. Sekarang dia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Dia dan suaminya sepakat untuk hanya punya satu anak karena alasan ekonomi. Siapa yang menyangka akan seperti ini jadinya.

Dia mengingat sosok anaknya lagi. Gagah, tampan, cerdas. Dia tahu Adam akan menjadi sosok suami dan ayah yang baik dan karena itulah dia tak pernah khawatir. Namun, ternyata tidak khawatir juga bisa berarti lain.

Dan kemudian dia mengingat Melinda, perempuan yang akan dinikahi anaknya. Kira-kira di mana Melinda sekarang? Mungkin dia sudah menikah dan punya keluarganya sendiri. Sangat disayangkan, Mrs. Parker sudah menganggapnya seperti anak sendiri.

Mungkin karena memikirkan itu Mrs. Parker jadi berhalusinasi. Dia melihat Melinda menyebrangi jalan dan memasuki pekarangan rumahnya. Saat Melinda mengangkat tangan sembari tersenyum ceria barulah Mrs. Parker sadar dia tidak sedang berkhayal.

“Melinda! Apa kabar sayang?”

Dia memberikan senyuman terbaiknya, tapi senyuman itu menjadi sedikit kaku saat melihat Melinda menarik seorang anak kecil dalam genggamannya.

“Aku sehat, Bu. Ibu gimana? Maaf ya aku baru bisa datang.”

“Nggak apa-apa. Duduk dulu, kamu mau minum apa?”

Ada kecanggungan yang samar dikala keduanya tidak menyinggung keberadaan anak laki-laki di tengah mereka. Mrs. Parker menuangkan teh panas dan mengeluarkan beberapa cemilan. Melinda berterima kasih, tapi dia tidak menyentuh makanan di depannya.

“Anu … ini anakku,” ucapnya sembari menepuk pundak anak yang duduk di sebelahnya. “Namanya … Alan.”

Mrs. Parker langsung mengingat kenangan yang sudah lama dia lupakan. Dia ingat dulu Adam sering mengoceh bahwa jika anaknya laki-laki maka dia akan menamainya Alan. Ada emosi yang campur aduk dalam dirinya, tapi dia memutuskan untuk tersenyum dan berkata, “Selamat ya. Kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau mau nikah? Suamimu mana?”

Anehnya Melinda memberikan senyuman hampa, nyaris seperti penderitaan. Mrs. Parker langsung merasa ada yang salah. Dia mengalihkan pandangan dan melihat sosok anak kecil di sebelah Melinda. Betapa terkejutnya dia saat menyadari anak itu mirip sekali dengan Adam.

“Aku kemari ingin meminta maaf,” ucap Melinda tiba-tiba. “Aku sudah melakukan hal yang buruk.”

“Melinda … ini anak siapa?”

“Sejak kematian Adam aku merasa sangat terpukul dan tak mampu melanjutkan hidup. Bertahun-tahun aku merasa hampa. Orangtuaku menyuruhku melakukan perjalanan. Melihat dunia luar dan membersihkan pikiranku. Tapi pikiranku malah tertutup oleh awan yang sangat kotor.”

“Melinda, ini anak siapa?”

Dua kali Mrs. Parker bertanya dan dua kali Melinda tak menjawab. Rambut pirang, mata biru, kulit putih, hingga struktur tulang, semua benar-benar mirip. Tak mungkin Mrs. Parker melupakan wajah kecil anaknya. Tapi … bagaimana bisa?

“Aku benar-benar mencintai Adam dan tak bisa lepas dari bayang-bayangnya. Aku tahu aku tak akan bisa mencintai pria lain, aku tahu aku tak akan bisa memiliki pernikahan yang bahagia, tapi setidaknya aku ingin mewujudkan cita-cita yang dulu kami rencanakan. Ibu tahu kan? Adam selalu ingin melihat anaknya menjadi sarjana.”

Keheningan menyusul bersama dengan teh yang dingin. Mrs. Parker tak lagi bertanya. Dia bisa menebak bahwa pembicaraan ini akan menjadi sakit hati bagi salah satu dari mereka, jika bukan keduanya. Seorang anak laki-laki di tengah mereka. Anak yang tampaknya baru berumur dua atau tiga tahun itu tidak berkata apa-apa. dia tampak mengantuk dan mulai memeluk ibunya.

“Aku bodoh,” Melinda melanjutkan, “aku tak bisa berpikir jernih. Aku tahu semua rencana itu tinggal rencana, tapi aku tak bisa melupakannya. Tak peduli ke mana aku pergi ingatan itu terus mengikuti. Mungkin itu berarti aku memang tak ditakdirkan untuk melupakan. Aku harus menerima semuanya. Aku tak bisa mencintai lelaki lain, tapi aku tetap bisa punya anak. Aku ….”

Melinda menepuk kepala anaknya dengan lembut. Anak itu menutup matanya dan tertidur begitu saja. Melinda tidak melanjutkan ceritanya. Mrs. Parker tidak mendesaknya, tapi setelah lama waktu berlalu dia akhirnya menanyakan sesuatu yang sangat memberatkan hatinya.

“Ayah anak itu … suamiku?”

Anak yang mirip dengan Adam. Tak mungkin keduanya tidak berhubungan. Adam sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu jadi itu tidak mungkin anaknya, tapi Samuel Parker punya kemungkinan itu. Jika Melinda benar-benar memiliki anak dengan Samuel maka … tak mungkin semuanya berakhir baik-baik saja.

“Maafkan aku,” bisik Melinda dan hawa dingin di dalam hati Mrs. Parker menghancurkan akal sehatnya, “tapi ini tak seperti yang Ibu kira.”

“Jangan panggil aku Ibu! Kau perempuan—”

“Aku pergi ke bank sperma!” Melinda berseru sebelum ada kesalahpahaman lebih lanjut. “Aku tak sengaja melihat itu di Amerika dan semua terjadi secara spontan.”

Ketegangan dalam diri Mrs. Parker mengendur. Apa yang Melinda ucapkan sungguh di luar nalar, tapi setidaknya itu membuatnya lega.

“Bank sperma?” tanyanya untuk memastikan dia tak salah dengar.

“Ya,” Melinda mengangguk. “Aku ingin anak yang mirip dengan Adam. Rambut pirang, mata biru, tubuh tinggi, dan kulit putih. Mereka memberikan apa yang aku mau, dan aku mendapatkan Alan.”

Apakah ini kebetulan semata? Mrs. Parker tetap kesulitan mempercayai kebetulan semacam ini. Tapi … kenapa Melinda meminta maaf?

“Aku takkan menghakimimu, Nak. Selama kau bertanggungjawab pada anakmu maka tak akan ada yang pantas menghakimimu.”

Meskipun dihibur seperti itu Melinda menggeleng dengan mata berkaca-kaca.

“Masih ada hal yang perlu kuberitahu padamu, Bu. Dan aku sangat minta maaf.”

Mrs. Parker menunggu dengan penasaran sekaligus takut. Alan sama sekali tak ada hubungannya dengan Mrs. Parker, tapi kenapa Melinda meminta maaf?

“Ibu lihat sendiri kan? Alan sangat mirip dengan Adam. Wajahnya, sifatnya, apa yang mereka suka, semuanya sama. Aku merasa seperti Adam bereinkarnasi di tubuh anak ini, tapi itu tak mungkin, aku tak percaya yang seperti itu. Akhirnya aku pun memberanikan diri kembali ke bank sperma dan meminta identitas ayah dari Alan.”

Melinda berhenti dan Mrs. Parker tahu ketakutannya menjadi nyata. Semua terjadi karena kebetulan semata sehingga dia tak bisa memarahi siapa pun, tapi kenyataan ini begitu kejam. Dia benar-benar tak ingin menerima hal ini. Tidak di masa tuanya.

“Nama pendonor itu adalah … Samuel Parker.”

Samuel Parker tidak memiliki peruntungan besar di Amerika. Dia terkadang harus mengemis dan mencuri untuk bisa bertahan hidup. Selain itu dia juga menjual segala yang bisa dia jual. Jasa, darah, dan terkadang spermanya sendiri.

Setelah puluhan tahun spermanya tetap tersimpan aman di Amerika dan melalui kebetulan misterius yang sulit dijelaskan Melinda mendapatkannya. Semua terhubung dalam takdir yang tidak diinginkan. Atau … mungkinkah ada yang menginginkan ini?

“Maafkan aku,” bisik Melinda sekali lagi. “Aku tak tahu apakah harus memberitahu Ibu atau tidak, tapi hari ini aku memilih datang. Aku tak minta Ibu memaafkanku. Aku hanya ingin Ibu tahu.”

Mrs. Parker tidak mengatakan apa-apa. Hal ini terjadi di luar kuasa siapa pun. Dia tahu dia tak bisa menyalahkan siapa pun, tapi tak akan ada yang menyalahkannya jika dia marah. Namun, usia tua memadamkan kemarahan itu. Mungkin, jauh di dalam hatinya, dia mendapatkan sesuatu yang jauh lebih baik.

“Mama ….”

Alan terbangun saat menyadari ibunya tengah menangis. Mrs. Parker menatapnya dan merasakan si kecil Adam yang dulu selalu dia gendong dan dia bawa mengelilingi kota.

“Nak, siapa nama ayahmu?” tanyanya pada Alan.

Alan terlihat takut, tapi tepukan pelan ibunya memberinya keberanian. “Ayahku … Adam Parker.”

Mendengar itu cukup membuat Mrs. Parker menangis. Dia kesepian, sangat-sangat kesepian. Rasa kesepian itu membuatnya tak memperdulikan hal-hal yang memang tak perlu diperdulikan. Siapa yang peduli dari mana telur berasal? Bahkan ayam pun bisa jadi induk burung.

“Adam Parker itu anakku, itu artinya aku adalah nenekmu.”

“Nenek?”

Dia menatap ibunya seolah mencari kepastian. Melinda mengangguk dengan senyuman yang dibasahi oleh air mata. Pelan-pelan Alan pun turun dari kursinya dan menghampiri neneknya.

“Apa kau mau digendong, Alan?” Mrs. Parker bertanya. Namun tanpa menunggu jawaban dia sudah mengangkat cucunya tinggi-tinggi. Rasanya seperti kenangan yang kembali menjadi nyata. Sesuatu yang sangat dia rindukan, kehangatan keluarga yang akhirnya bisa dia rasakan kembali.

“Terima kasih,” ucapnya ke Melinda.

Tak ada yang saling menghakimi, tak ada yang saling menyalahkan. Meski tak wajar tapi mereka hanya memiliki satu sama lain. Jika mereka tak bisa saling menerima maka siapa lagi yang bisa? Jauh lebih mudah menerima dan menyayangi dibanding menolak dan akhirnya hidup dalam kesendirian.

Itulah pentingnya keluarga. seperti itulah keluarga yang seharusnya.

***TAMAT***

barkowiridwanAvatar border
YoayoayoAvatar border
spaghettimiAvatar border
spaghettimi dan 5 lainnya memberi reputasi
4
4.1K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan