ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #41 : Orang-orangan Sawah


Malam ini aku terpaksa melewati sawah Pak Karsa lagi. Meski sudah beberapa kali melewatinya tetap saja orang-orangan sawah Pak Karsa tidak sedap dipandang mata. Orang-orangan sawah memang dibuat untuk menakut-nakuti burung, tapi orang-orangan sawah Pak Karsa bahkan menakuti manusia. Kalau malam sudah tiba, tak ada orang yang berani jalan dengan kepala terangkat melewati sawah Pak Karsa.

“Sumpah! Itu orang-orangan sawah atau boneka santet sih? Kok serem banget!”

Asep, teman jagaku di pos hansip, membakar sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Sebagai satpam senior dia harusnya sudah terbiasa melewati sawah Pak Karsa setiap Ali patroli malam.

“Aku aja masih merinding tiap kali lewat,” bisik Asep gemetaran. “Memang serem banget sih, tapi ampuh. Buktinya panen Pak Karsa selalu paling bagus satu provinsi. Jagung-jagungnya besar, enak lagi.”

Kualitas panen Pak Karsa memang tak pernah diragukan. Dengar-dengar hasil panennya sampai ekspor ke luar negeri. Hal itu membuat petani-petani lain di daerah sini kalah saing dan akhirnya bangkrut. Tanah mereka pun dibeli oleh Pak Karsa untuk terus memperluas sawahnya. Singkat cerita dia itu juragan besar di kampung ini.

“Katanya dia punya vila pribadi di Bali. Kok bisa si Laras ninggalin suami sekaya itu?”

Laras adalah kembang desa yang menikah dengan Pak Karsa. Meski demikian pernikahan mereka tak bertahan lama. Tak jelas seperti apa ceritanya, tapi rumor yang beredar adalah Laras kabur karena tak tahan menjadi suami Pak Karsa. Pak Karsa sendiri melapor bahwa Laras membawa kabur banyak perhiasannya.

“Aku masih yakin si Laras kabur sama pacarnya ke luar pulau,” sambung Asep sambil menyeruput kopi. “Dulu waktu baru jadi satpam aku sering lihat si Laras keluar rumah malam-malam. Anak jaman sekarang gitu kan? Pacaran kok di semak-semak?”

Sudah sepuluh tahun Asep menjadi hansip jadi dia hapal betul seluk-beluk seluruh kampung termasuk kelakuan para warganya. Aku masih ingat sosok Laras. Dia sebenarnya terlalu muda untuk jadi istri Pak Karsa, tapi itulah dunia uang dan kekuasaan. Mungkin itu juga yang jadi alasannya kabur.

“Tapi Pak Karsa juga serem sih. Mukanya … aduh, gimana ya bilangnya?”

“Kayak dukun?” tebak Asep. “Nggak usah heran. Dulu kakekku pernah cerita kampung ini sarangnya dukun-dukun sakti. Nggak aneh kalau Pak Karsa masih keturunan salah satunya. Eh! Jangan-jangan sawahnya bisa sesukses itu gara-gara ajian?”

Kami berdua menggelengkan kepala. Entah itu benar ataupun salah tak ada gunanya bagi kami untuk tahu lebih jauh.

“Tapi kira-kira Pak Karsa punya guna-guna buat ngikat cewek nggak ya?” tanyaku penasaran. “Aku lagi naksir banget sama Rina dari kampung sebelah.”

“Kerja, bodoh! Kau itu kurus, gelap, miskin pula! Minimal kau harus punya duit kaya Pak Karsa. Gimana caranya dia naksir sama hansip?”

“Ya kan siapa tahu? Bang Asep aja bisa dapat istri secantik Kak Dita.”

“Itu karna Dita hamil duluan. Kalau bukan mana mungkin orangtuanya mau nerima aku jadi menantu. Ah sudahlah! Udah waktunya ronda malam. Kalau kau masih ngebet sama Rina kau cium saja itu orang-orangan sawah Pak Karsa.”

Sudah jadi rutinitas bagi kami untuk ronda setiap malam. Walaupun jarang sekali ada kasus kejahatan di kampung ini tapi rutinitas kami tak pernah berubah. Jadi satpam sebenarnya pekerjaan yang mudah. Satu-satunya hal yang tak kusuka cuma melewati sawah Pak Karsa saat gelap, tapi lama-kelamaan aku terbiasa untuk tidak memandang orang-orangan sawah itu.

Hari demi hari aku jadi semakin sadar apa yang Bang Asep katakan memang benar, sulit pdkt dengan cewek hanya dengan modal seragam hansip. Rina yang selama ini jadi incaranku semakin bersikap dingin padaku. Bahkan dari kabar angin yang beredar, dia sudah dijodohkan orangtuanya dengan Pak Karsa. Brengsek juga Pak Karsa. Semua cewek cantik dia embat.

Namun belakangan ini aku menyadari hal aneh dari Pak Karsa. Setiap malam saat berpatroli aku menyadari lampu-lampu di rumahnya tak ada yang mati. Awalnya aku mengira dia cuma begadang di dalam rumah, tapi sesekali aku melihat sosoknya keluar rumah dan memasuki ladang jagungnya.

Awalnya aku tak berniat ikut campur, tapi kabar bahwa dia akan menikahi Rina membuatku agak dendam padanya. Akhirnya di suatu malam saat Bang Asep tak bisa patroli karena sakit aku memutuskan membuntuti Pak Karsa.

Tak pernah terpikir aku akan berani mendekati orang-orangan sawah super seram itu, tapi ke situlah Pak Karsa pergi. Aku melangkah dengan amat perlahan agar dia tak menyadari keberadaanku. Aku penasaran apa yang dia lakukan di tengah ladang gelap ini. Saat Pak Karsa berhenti berjalan aku bisa melihatnya duduk bersila di hadapan orang-orangan sawah.

Dingin dan takut membuat tubuhku gemetar begitu keras. Teringat kembali cerita Bang Asep tentang dukun-dukun sakti jaman dulu. Apakah Pak Karsa sedang melaksanakan semacam ritual?

Dan kemudian Pak Karsa mulai menggali. Aku tak yakin ini adalah sesuatu yang pantas kulihat, tapi aku terlalu takut untuk berbalik dan pergi. Akhirnya aku menunggu hingga Pak Karsa bangkit dan pergi untuk akhirnya bisa bernapas lega.

Tampaknya Pak Karsa mengubur sesuatu di bawah orang-orangan sawah itu. Aku pun memberanikan diri untuk menggali apa yang sebenarnya dia sembunyikan di sana. Aku fokus menatap tanah dengan pencahayaan seadanya dan sepenuhnya mengabaikan orang-orangan sawah seram yang bisa menghantui mimpiku.

Apa yang kutemukan di dalam tanah adalah sebuah buku. Rupanya benar kata Bang Asep, ini pasti buku mantra atau guna-guna. Di dalamnya penuh dengan simbol dan tulisan yang tak kumengerti. Meski demikian ada keterangan untuk setiap mantra.
Hatiku melonjak gembira. Kalau aku punya buku mantra ini maka hidupku akan jauh lebih mudah. Apa yang dimiliki Pak Karsa bisa kumiliki juga.

Dengan tak sabaran aku mulai membolak-balik setiap halaman. Ajian tubuh sehat, ajian umur panjang, ajian menghilang, ajian pemanggil hujan, ajian tanah subur ….

Tanganku berhenti bergerak. Kedua mataku tak bisa lepas dari gambar yang tercetak di salah satu halaman. Aku mengedip beberapa kali dan membaca keterangan yang tertulis dengan hati-hati. Tanpa sadar bibirku sudah terbuka dan membaca apa yang tertera di sana.

“Orang-orangan sawah … untuk panen terbaik … tumbal manusia.”

Secara refleks kepalaku mengadah ke atas dan menatap wajah orang-orangan sawah … yang balik menatapku.

Tubuhku membeku ketakutan sampai-sampai pita suara ini pun tak berani bergetar. Udara seolah berubah menjadi es, dingin menusuk paru-paru.

“Ada orang rupanya.”

Aku menoleh, Pak Karsa sudah kembali. Dilihat dari dekat di kegelapan malam, Pak Karsa benar-benar terlihat seperti dukun yang tak segan menumpahkan darah demi ritualnya.

“Ahh, kamu sudah baca itu rupanya. Gimana? Cantik kan?”

Entah apa yang dia maksud cantik, tapi Pak Karsa tersenyum sembari menatap orang-orangan sawah miliknya.

“Laras oh Laras, katanya kamu bisa mengusir semua pengganggu, tapi ini ada satu yang tetap datang.”

Laras? Istrinya yang kabur? Tidak … tidak mungkin …
.
“Sa-saya minta maaf Pak. Saya akan pergi sekarang. Saya nggak akan balik lagi. Saya janji! Tolong, ijinkan saya pulang!”

Dengan penuh ketakutan aku bersujud dan memohon belas kasihannya. Namun, meski dengan air mata dan wajah penuh ketakutan, Pak Karsa tersenyum memamerkan gigi hitamnya yang tampak seperti malaikat maut.

“Siapa bilang kau boleh pulang?”

Aku berteriak, tapi tak ada yang mendengar teriakanku.

***


Keesokan harinya kampung digegerkan dengan berita pencurian di rumah Pak Karsa. Pak Karsa melapor bahwa seorang hansip telah mencuri uang simpanannya dan melarikan diri. Asep dipanggil ke kantor polisi, tapi dia dinyatakan tak bersalah karena malam itu dia sedang tidak bertugas. Meski demikian Asep memberi kesaksian bahwa Rudi, hanpis baru rekannya, memang kurang menyukai Pak Karsa karena Pak Karsa akan menikahi Rina, gebetannya.

Rudi menghilang. Banyak yang yakin dia mencuri uang Pak Karsa untuk memulai hidup baru di luar kota. Banyak yang bersimpati pada Pak Karsa, tapi simpati itu hilang dengan berita dia akan menikahi Rina si kembang desa sebelah.

Banyak yang iri dengan kekayaan dan kekuasaan Pak Karsa dan itu menjadi bahan pembicaraan selama beberapa minggu lamanya. Para penduduk sibuk bergosip sampai-sampai tak sadar dengan orang-orangan sawah baru yang Pak Karsa tancapkan di sawah barunya. Orang-orangan sawah itu benar-benar menakutan. Kurus, gelap, dengan topi hansip bertengger di kepalanya.

***TAMAT***
ariefdiasAvatar border
sandalGorengAvatar border
kelomangdaratAvatar border
kelomangdarat dan 15 lainnya memberi reputasi
16
1.4K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan