ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #37 : Gunung Terkutuk


Dalam beberapa bulan terakhir ada begitu banyak kejanggalan terjadi di kota XX. Hanya dalam enam bulan terakhir sudah ada tujuh belas kasus bunuh diri. Jumlah yang tidak biasa itu semakin mengundang perhatian akibat lokasi bunuh diri yang sama, Gunung Nora.

Gunung Nora sudah lama dikenal sebagai gunung yang angker. Banyak orang mengaku melihat penampakan di sana, tetapi belum pernah ada kasus bunuh diri di gunung itu. Selain pemburu dan pasangan mesum, tak ada yang punya alasan untuk mendekati gunung Nora. Jika ingin bunuh diri tanpa ketahuan, gunung Nora memang tempat yang cocok.

Polisi sudah mencoba menyelidiki, tetapi jawaban terbaik yang bisa mereka berikan hanyalah, “Cuma kebetulan.” Banyak yang tak percaya dengan jawaban itu sehingga gunung Nora semakin dijauhi. Meski demikian kasus bunuh diri terus saja terjadi di sana. Ada yang menggantung diri di pohon, ada yang menenggelamkan diri ke sungai, ada juga yang lompat ke jurang. Akhirnya pihak kepolisian pun menutup area gunung Nora. Meski begitu kejadian demi kejadian terus saja terjadi.

Tampaknya pemerintah setempat sudah menyerah menyelidiki kasus ini. Mereka yakin kasus ini tidak normal. Karena itulah mereka akhirnya meminta bantuan “Orang Pintar.”

Lian menerima tawaran tugas ini dengan senang hati. Dia sedang mengalami kekacauan hati yang luar biasa sehingga butuh pengalihan perhatian untuk melupakan sejenak masalah yang dia hadapi. Rum, polisi yang ditugaskan menemaninya, menjemputnya langsung dari luar kota.

“Apa kabar, An? Udah lama kita nggak ketemu,” sapanya gembira. Mereka memang teman saat masih Sma.

“Baik kok, nggak ada yang penting,” jawab Lian dengan senyum hampa.

Rum tersenyum pahit. Dia tahu betul apa yang tengah Lian derita, tapi dia tak ingin membahas itu jika Lian sendiri tak ingin membahasnya.

“Tujuh belas kasus ….” Lian membaca dokumen yang Rum sediakan dalam perjalanan. “Ini cuma yang ketemu aja kan?”

“Mungkin memang ada yang nggak tercatat, tapi kami udah ngecek seluruh penduduk kota. Ada tujuh belas orang yang menghilang dan tujuh belas mayat itu ditemukan setelah pencarian.”

“Hmm … tapi kalau gunung itu angker kenapa baru sekarang?”

Rum terdiam karena tak tahu jawabannya. Kenapa peristiwa bunuh diri itu baru terjadi beberapa bulan ini?

Lian pun meminta Rum mengemudi ke rumah korban terakhir. Korban adalah seorang pria 33 tahun yang bekerja di sebuah bank swasta. Dia meninggalkan seorang istri dan dua anak yang masih kecil. Mereka masih berduka, tapi mereka bersedia menjawab pertanyaan.

“Tak ada yang aneh sama sekali,” jawab Maya, istri korban, saat ditanya. “Dia pulang kerja agak larut seperti biasa. Dia mandi, makan, lalu tidur. Saat aku bangun esok harinya dia sudah tidak ada. Kukira dia berangkat kerja lebih pagi tapi … tapi ….”

Dia terisak dan kembali menangis. Baik Lian dan Rum tak ingin mendesak jauh. Jika polisi lain tak bisa menemukan petunjuk setelah penyelidikan panjang maka mereka tak berharap bisa menemukan petunjuk dari interogasi.

“Bisa kami lihat kamar beliau?” Lian bertanya hati-hati. Maya agak curiga, tapi mengijinkan mereka masuk.

Sejak kejadian itu Maya yang tak kuat mengingat suaminya memilih tidur di kamar anak-anak. Karena itulah kamarnya masih sama seperti saat kejadian. Sekilas tak ada yang aneh dengan kamar tersebut, tapi Lian tahu betul ada banyak hal tak terlihat yang biasanya menyampaikan lebih banyak cerita.

Lian mengamati barang-barang di atas meja. Dia bertanya apakah dia bisa menyentuh barang-barang itu dan Maya mengangguk. Lian merasa tertarik dengan ponsel milik korban.

“Aku udah cek, nggak ada yang aneh. Semua panggilannya cuma panggilan kerja normal.”

Lian mengangguk dan meletakkan ponsel itu kembali.

“Beliau orangnya seperti apa? Apa dia suami yang baik?” tanya Lian lagi.

“Yang terbaik,” jawab Maya tanpa ragu. “Dia tak pernah lupa tanggal ulang tahunku atau anak-anak, dia kadang membawa kue untuk dimakan bersama, dia juga tak pernah marah-marah atau berlaku kasar. Anak-anakku sangat bangga padanya.”

Maya mengusap matanya dengan tisu sementara Lian mulai mengecek isi lemari. Tak lama kemudian dia menganggap tak ada lagi yang bisa diselidiki di sana dan memohon diri untuk pamit.

“Bagaimana?” tanya Rum saat mereka sudah duduk nyaman di dalam mobil.

“Kasihan Bu Maya,” ucap Lian pelan, “suaminya tukang selingkuh.”

Lian memiliki satu kemampuan yang luar biasa. Saat menerima rangsangan tertentu dia bisa melihat kilasan kejadian di masa lalu. Rangsangan itu bisa diperoleh melalui sentuhan, penciuman, maupun jawaban. Meski demikian kemampuan itu tak bisa aktif sesuka hati melainkan muncul secara acak.

Saat Lian memeriksa pakaian milik korban dia bisa melihat kilasan korban dengan beberapa wanita. Itu menjelaskan kenapa dia sering pulang larut.

“Menurutmu selingkuhannya ada hubungannya?” tanya Rum.

“Mungkin, tapi itu tak menjelaskan hubungan dengan korban lain. Mau tak mau aku memang harus mengecek semuanya satu per satu.”

Butuh dua hari untuk mengunjungi semua keluarga korban. Lian mencoba sebisa mungkin, tapi tak banyak yang berhasil dia lihat. Para korban seolah tak terhubung satu sama lain sehingga Lian susah payah mencari kesamaan di antara mereka semua. Satu-satunya persamaan yang Lian temukan adalah mereka semua merupakan pria dan wanita dewasa.

“Okay, tinggal dua lagi, ayo semangat!” seru Rum dalam perjalanan menuju rumah korban berikutnya.

“Dua yang terakhir ini suami istri kan? Si suami gantung diri dengan ikat pinggang sementara istrinya loncat ke jurang. Mereka punya satu anak yang sekarang dirawat orangtua suami. Hmm … kira-kira siapa yang bunuh diri duluan?”

Mendengar itu Rum tampak ragu-ragu sejenak. Kedua matanya menatap lurus ke jalanan, tetapi pikirannya melayang. Hanya saat dia nyaris menabraklah dia akhirnya membulatkan tekad.

“Ngomong-ngomong, anakmu gimana?” tanya Rum. Lian tampak terkejut, tapi menjawab tanpa emosi.

“Kutitipkan ke ibuku. Aku nggak terlalu tahu cara rawat anak. Mungkin itu sebabnya Rina—”

“Nggak!” sela Rum cepat. “Itu bukan salahmu, itu salahnya. Apa pun alasannya, perselingkuhan itu nggak bisa dibenarkan.”

Lian menghembuskan nafas panjang. Rina, istrinya tercinta yang dia sayangi sepenuh hati, ternyata bermain di belakangnya. Lian tak mengerti apa salahnya dan Rina juga tak pernah menjelaskan. Pernikahan mereka hancur begitu saja tanpa alasan yang jelas.

“Aku malas mikirin itu lagi,” keluh Lian. “Aku masih belum tahu apa salahku sampai harus mengalami ini.”

“Bukan kau yang salah, Kawan. Banyak cewek memang brengsek dari sananya. Kalau kau tanya pendapatku, orang-orang kaya gitu nggak pantas hidup. Bagus kau udah cerai darinya. Masih banyak cewek baik di luar sana. Nanti kukenalin kalau kau mau.”

Lian hanya tertawa kecil mendengar tawaran itu.

Mereka sampai di rumah dua korban terakhir yang ternyata kosong tak dihuni. Mereka melihat-lihat, Lian mencoba menyentuh sebanyak mungkin, tapi tak ada yang berhasil mereka dapatkan.

“Kayaknya sih mereka harmonis,” ucap Rum tiba-tiba.

“Tau dari mana?”

“Kotak kondomnya sisa separuh,” jawabnya sembari nyengir dan melempar kotak itu ke Lian. “Kayaknya sih itu baru beli. Tapi beneran nggak ada apa-apa sih di sini. Kau lihat sesuatu nggak? Lian? Lian?”

Lian terdiam lama sekali dengan kedua mata terbuka lebar. Satu demi satu kejadian melesat di hadapan matanya. Tak lama kemudian dia pun menangis.

***


Gerbang masuk Gunung Nora dikelilingi oleh tanda peringatan yang dipasang oleh polisi. Beberapa polisi berjaga untuk mencegah siapa pun masuk, tapi gunung seluas itu punya begitu banyak celah untuk dimasuki.

Rum bercakap-cakap sebentar dengan polisi lain sebelum mengajak Lian memasuki area gunung. Dalam sekali tarikan nafas Lian bisa melihat kilasan-kilasan masa lalu dari gunung tersebut. Gunung itu dulunya keramat karena sering digunakan sebagai tempat pemujaan, tetapi seiring waktu berlalu semakin sedikit orang yang mempercayainya.

Karena sering dipuja gunung itu pun hidup. Meski demikian gunung itu tak mencoba melukai manusia. Sebaliknya, mereka akan mengabulkan keinginan dari mereka yang meminta dengan bersungguh-sungguh.

Lian dan Rum pun berkeliling melihat lokasi-lokasi mayat ditemukan. Lian tak tertarik pada lokasi korban lain, dia memilih langsung mengunjungi jurang tempat mayat si istri ditemukan.

“Kau bilang kepala korban hancur kan?” tanya Lian sembari menatap ke dasar jurang.

“Iya. Dia terjun kepala duluan,” balas Rum.
Lian terus menatap dasar jurang dan seketika saja kebenaran pun memasuki kepalanya.

Apa yang dia lihat bukanlah adegan bunuh diri, tetapi adegan seorang pria mendorong seorang wanita hingga jatuh dan mati.

“Pernikahan memang bisa membawa sakit yang teramat sangat, Rum,” ucap Lian dengan ekspresi hampa.

“Apa? Kau lihat apa?”

“Si istri nggak bunuh diri. Dia dibunuh … oleh suaminya sendiri.”

Apa yang Lian lihat di rumah kedua korban itu adalah kenyataan yang menyedihkan. Dari luar mereka tampak seperti keluarga bahagia, tapi ternyata si istri berselingkuh dengan rekan kerjanya dan perselingkuhan itu sudah terjadi bahkan sebelum mereka menikah.

Anak mereka juga bukanlah anak si suami melainkan anak dari selingkuhan si istri. Saat menyadari hal itu si suami menjadi gila dan membunuh istrinya sendiri dengan cara memukul kepala istrinya sampai mati. Karena tak ingin tindakannya ketahuan si suami pun membawa mayat istrinya ke gunung Nora dan membuang mayat itu di jurang.

Tapi ternyata si suami tak bisa hidup dengan rasa bersalah. Akhirnya dia pun kembali ke gunung itu dan menggantung dirinya sendiri. Meski demikian dia tetap tak bisa mati dengan tenang. Dia terus memikirkan anak yang dia sayangi sepenuh hati, tapi ternyata bukan darah dagingnya.

Mengapa … mengapa ada orang yang bisa melakukan hal sekejam itu?

Di saat dua insan bersumpah setia berbagi hidup dan mati, apa hal yang lebih menyakitkan dibanding pengkhianatan dan kebohongan?

Kebencian dalam dirinya pun menyala dan mengutuk gunung ini. Bukan, istilah yang lebih tepat adalah gunung ini mengabulkan kutukannya. Jiwa pria itu bersatu dengan gunung dan mengutuk semua orang yang tak setia dengan pasangannya.

Semua korban selain si Suami memiliki satu kesamaan, mereka memiliki pasangan tapi tak setia dengan hubungan mereka. Karena itulah gunung Nora memanggil mereka untuk datang. Itulah kenyataan di balik seluruh kasus bunuh diri ini.

“Itu … gila.”

Rum merasa tenaga meninggalkan kakinya sehingga dia jatuh terduduk. Semua ini memang gila, tapi penjelasan apa lagi yang mereka punya?

“Jadi, gimana cara hapus kutukan itu?” tanya Rum kemudian.

“Sekarang aku jadi bertanya-tanya, apa anakku benar-benar anakku atau tidak?”

“Lian?”

“Kenapa ada orang yang tega melakukan hal semacam itu? Apa seluruh perhatian dan cinta itu memang layak diinjak-injak? Seperti itukah mereka memperlakukan seseorang yang rela menghabiskan seluruh hidup membahagiakan mereka?”

“LIAN! GIMANA CARANYA?!”

“Aku nggak mau, Rum. Aku nggak mau.”

Berlinang air mata, Lian menggeleng.

“Untuk apa orang-orang macam itu hidup? Biar mereka semua mati. Sebentar lagi musim gugur. Daun-daun gunung ini akan terbang jauh dan menyebar kutukan itu seluas-luasnya.”

“Kau jangan main-main!”

Dengan emosi dia memiting Lian ke pohon di belakangnya. Lian tidak takut, dia malah tersenyum menantang.

“Kau ingat Bu Maya dan anak-anaknya? Kau pikir bagaimana perasaan mereka kalau tahu suaminya tukang selingkuh? Jauh lebih baik membiarkan suaminya mati dan meninggalkan keluarga itu dengan kenangan indah. Memang jauh lebih baik jika orang-orang semacam itu mati, iya kan?”

Rum tak bisa menyanggah, tapi dia juga tahu apa yang Lian lakukan tidaklah benar. Dia tahu Lian tak benar-benar membenci mereka, Lian hanya sedang terluka, dalam keadaan normal dia tak akan melakukan ini. Namun, bagaimana cara dia meyakinkannya?

“Itu tetap nggak benar, An.” Rum menggeleng. “Sejahat apa pun manusia, semua orang berhak punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Bahkan kriminal paling jahat pun berhak mendapat sidang. Ada banyak orang yang berhasil jadi lebih baik setelah sadar kesalahannya. Jangan kau renggut kesempatan itu. Kalau mereka memang tidak bisa belajar, karma pasti akan datang. Kau tak perlu mengotori tanganmu.”

Lian terdiam. Angin gunung Nora perlahan menjadi semakin dingin dan kencang. Tujuh belas orang sudah mati di gunung ini. Salah satu dari tujuh belas orang itu mungkin saja menjadi orang besar di masa depan. Apakah itu alasan yang cukup untuk membiarkan ketidaksetiaan mereka?

Lian tak tahu jawabannya, tapi pada akhirnya dia memberitahu cara menghilangkan kutukan itu. Pohon tempat si suami menggantung dirinya pun ditebang dan sejak saat itu tak pernah lagi ada yang bunuh diri di gunung Nora.

“Kau melakukan hal yang benar, Sobat,” puji Rum. “Aku berhutang besar. Gimana kalau kutraktir minum-minum? Kalau kau mau aku bisa kenalkan beberapa cewek baik.”

“Makasih, tapi lain kali aja. Aku … kurasa aku ingin lihat anakku dulu. Aku masih tak tahu apa salahku, tapi aku tetap bisa jadi lebih baik. Meskipun bercerai, aku masih seorang ayah. Aku harus menjaga itu.”

“Good! Kabari aku kalau kau butuh apa-apa.”

Lian tersenyum. Sekali lagi dia melihat gunung Nora. Kutukan dari satu orang pria bisa merasuki seluruh gunung. Setelah bertahun-tahun melihat hal-hal yang tak bisa dilihat orang lain, Lian sadar bahwa cinta adalah kutukan yang paling kuat. Sebagian besar penglihatan yang dia peroleh terjadi akibat cinta.

Seseorang memang tak seharusnya bermain-main dengan cinta karena konsekuensinya terkadang terlalu berat untuk dibayar.

***TAMAT***
wakazsurya77Avatar border
ceuhettyAvatar border
kpopluckynumberAvatar border
kpopluckynumber dan 16 lainnya memberi reputasi
17
4.8K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan