ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #31 : Anak Tangga Terakhir


Di rumah Nenek ada sebuah tangga misterius. Tangga yang menghubungkan lantai dua dan lantai tiga itu sebenarnya tak hanya menghubungkan dua lantai, tapi juga dua dunia. Siapa pun yang turun dari lantai tiga dengan kedua tangan di saku lalu mengijak anak tangga terakhir dengan kaki kiri akan bisa melihat kilasan-kilasan kejadian dari dunia lain.

Nenek bilang dunia lain itu sebenarnya percabangan dari dunia ini atau istilah lainnya adalah multiverse. Dunia alternatif itu memang berbeda dengan dunia ini, tapi tak sejauh itu perbedaannya. Kilasan yang ditampilkan bisa kilasan dari masa depan dan bisa juga dari masa lalu.

Pertama kali aku mengintip isi dunia lain adalah saat aku berusia 15 tahun. Saat itu aku melihat diriku sendiri yang sedang berciuman dengan seorang pria yang kukenal betul. Ternyata itu adalah kilasan dari masa depan karena keesokan harinya Bima benar-benar menyatakan cinta padaku.

Diriku di dunia itu berpacaran dengan Bima, tapi diriku di dunia ini sama sekali tak punya rasa padanya jadi aku menolaknya dengan sopan. Sejak saat itu aku selalu mengintip dunia lain. Senang rasanya melihat ada begitu banyak versi dari diriku.

Ada diriku yang bertubuh tinggi, ada diriku yang berambut pirang, bahkan ada juga diriku yang merupakan seorang pria. Aku sering membayangkan bagaimana rasanya hidup sebagai mereka. Rasa perasaan itu berubah menjadi keinginan, tapi sayangnya anak tangga terakhir hanyalah jendela dunia lain, bukan pintu dunia lain.

Nenek selalu menasehatiku untuk tidak terlalu sering melihat dunia lain. Katanya itu tidak baik untuk alam bawah sadarku. Aku menyayangi Nenek, tapi untuk orang yang tak punya teman sepertiku mereka yang berada di dunia lain terasa seperti sahabat yang tak pernah kupunya. Aku tahu aku sudah membuat Nenek kecewa dan kekecewaannya itulah yang membuatku sangat menyesal saat dia telah tiada.

Bagiku Nenek sudah seperti seorang Ibu. Aku tak ingat seperti apa ibuku jadi aku menganggap Nenek sebagai orang terdekat yang aku punya. Kepergiannya meninggalkan luka yang sangat dalam, luka yang tak akan bisa hilang.

Di hari pemakamannya aku tak bisa menahan tangis. Aku menangis sekeras-kerasnya, tapi hujan yang turun seolah menunjukkan betapa tak berartinya air mata itu. Hari demi hari berikutnya semua terasa abu-abu. Tak peduli apa pun yang kulakukan, pemikiran bahwa segalanya lebih menyenangkan bersama Nenek terus saja muncul.

Sampai akhirnya, tanpa sengaja, aku bisa melihat Nenek lagi.

Mungkin karena sudah kebiasaan aku turun ke lantai dua dengan kedua tangan di saku dan kaki kiri menyentuh anak tangga terakhir. Secepat kilat potongan-potongan kejadian di dunia lain melintas di depan mataku dan di situlah aku melihat Nenek tertawa.

Rasanya sungguh lega, senang, tapi langsung berganti derita. Nenek masih hidup, tapi bukan di dunia ini. Dia tersenyum di suatu tempat di luar sana, tapi tidak kepadaku.

Dan kemudian aku pun menginjak anak tangga itu lagi. Lagi dan lagi, hari demi hari. Meski hanya sedetik atau sekelebat saja, aku ingin melihat senyumnya lagi. Aku ingin merasakan kehangatan yang hanya ada dalam pelukannya.

Namun anak tangga itu hanyalah jendela, bukan sebuah pintu. Tak peduli berapa kali aku memijaknya aku tak akan pernah bisa menjangkau Nenek. Tak peduli bagaimana aku memijak, melompat, atau bahkan memukul anak tangga terakhir itu, jendela itu tetap tidak mau terbuka.

Namun aku tidak peduli. Pasti ada caranya. Bahkan jendela pun bisa dimasuki kalau kita mencoba mendobraknya. Tak peduli bagaimana caranya dan berapa lama itu, aku hanya ingin memeluk Nenek lagi.

Dan Tuhan pun mengabulkan doaku.

Di suatu malam, setelah percobaan yang amat panjang seharian, aku tak lagi bisa merasakan tenaga di kakiku. Aku terjatuh dan menyentuh anak tangga terakhir. Kepala lebih dulu.

***


Aku membuka mata di saat merasakan kehangatan tangan yang familiar di kepalaku. Saat pandanganku kembali fokus aku disambut oleh senyum yang paling kurindukan di dunia ini. Tanpa sadar kedua tanganku sudah bergerak dan mendekapnya dalam pelukan erat.

“Nenek ….”

Rasanya begitu hangat sampai-sampai aku tak keberatan jika harus seperti ini selamanya. Tak peduli di dunia mana pun, aku akan selalu menyayangi Nenek.

“Ohh … kau dari dunia lain rupanya.”

Kalimat itu membuat tubuhku beku hingga ke tulang-tulang. Untuk sesaat aku takut Nenek akan memperlakukanku berbeda, tapi ternyata senyum hangatnya sama sekali tidak memudar.

“Pasti sudah terjadi sesuatu pada diriku di sana kan? Ceritakanlah Nah, ceritakan saja.”

Dengan mencoba menahan tangis aku pun mulai bercerita. Aku menceritakan semua yang kualami dan kurasa serta betapa dinginnya hidup tanpa Nenek di sana. Karena itulah aku mencoba menyebrang ke dunia lain. Aku bersyukur. Aku tak lagi perlu hidup di dunia yang dingin itu.

“Tapi kok bisa Nenek sadar aku dari dunia lain?” tanyaku mengakhiri ceritaku.

“Karena sayangku selalu memanggilku Oma, bukan Nenek.”

Nenek bangkit dan mulai memanaskan air. Segala hal tentangnya benar-benar sama. Bahkan rasa dari teh yang dia seduh tak ada bedanya dari yang selalu kurasakan.

“Dulu … aku juga kehilangan seseorang,” ucap Nenek sembari menatap foto-foto yang dipajang di dalam lemari kaca. “Aku mencoba mencari dunia di mana aku bisa bersama dengannya lagi dan aku berhasil menemukannya, tapi dia bukanlah milikku. Tak pernah jadi milikku.”

Rasanya seperti penolakan. Seolah-olah aku sudah berlari sekuat tenaga tapi diberitahu bahwa garis finisnya ada di arah yang lain.

“Aku … aku ingin tetap di sini. Hidup di dunia di mana Nenek ada.”

“Sayang, kematian pasti akan datang di dunia mana pun kita berada. Lagipula, jika aku bersikeras tinggal di dunia itu maka aku tak akan pernah bertemu denganmu. Jangan terikat pada masa lalu yang indah, Sayangku. Kejarlah masa depan yang indah. Tak peduli berapa banyak dunia di luar sana, kau harus hidup di duniamu.”

Dengan lembut dia membelai kepalaku. Air mataku mengalir tak bisa ditahan. Aku masih tak rela. Aku ingin di sini selamanya.

“Jangan lari dari penderitaan, Sayangku. Percayalah, penderitaan adalah awal dari kebahagiaan. Kau pasti akan menemukan alasan untuk terus hidup, tapi alasan itu tidak ada di sini. Satu dunia saja sudah terlalu besar tanpa kau perlu mencari di dunia lain.”

Lagi dan lagi, tak peduli di dunia mana pun Nenek selalu memberikan ketenangan. Aku merindukannya, aku akan sangat merindukannya, tapi dia bukan milikku. Tak akan pernah jadi milikku.

“Apa aku … apa aku di dunia ini menyayangi Nenek? Apa Nenek menyayangiku di dunia ini?”

“Sayang, Nenek akan selalu menyayangimu. Meskipun kita terpisah dunia Nenek akan selalu menyayangimu. Kau dan seluruh dirimu, Nenek menyayangi kalian semua. Ingatlah itu selalu.”

***


“Sara? Sara?!”

Aku terbangun dan merasakan rasa sakit di dahiku. Ternyata aku berada di dasar tangga seperti orang yang baru saja terjatuh.

“Ayah? Di mana ini?”

“Ini di rumah Nenek. Kamu nggak apa-apa? Nggak ada yang sakit?”

Apakah aku … kembali? Atau jangan-jangan itu semua hanyalah mimpi?

“Kamu jatuh ya? Apa kita perlu ke dokter?”

“Ahh, nggak kok Yah. Aku nggak apa-apa.”

“Syukurlah kalau begitu. Ayah beli ayam bakar, kamu belum makan kan?”

“Ahh … belum.”

Dengan sigap Ayah menyiapkan piring sementara aku masih belum yakin apa yang sebenarnya baru terjadi. Ayah menyuruhku duduk dan menyajikan nasi serta kuah sop sebagai teman ayam.

“Maaf ya kalau Ayah terlalu sibuk sampai jarang habisin waktu bareng kamu. Ayah tahu kamu sayang banget sama Nenek, tapi sedih nggak boleh berlarut-larut. Kita punya kehidupan kita sendiri. percayalah, Nenek sudah bahagia di alam sana.”

Aku tertegun dan melihat Ayah yang makan dengan lahap di hadapanku. Ayah memang selalu sibuk, tapi aku tak pernah benar-benar peduli padanya. Entah apakah itu mimpi atau tidak, tapi kebahagiaan yang Nenek maksud mungkin berada tak jauh dariku. Setidaknya aku masih punya seorang ayah. Aku tidak sendirian.

“Ayah … makasih ya.”

“Hmm? Buat apa?”

“Bukan apa-apa.”

Esok harinya aku memilih mencabut anak tangga terakhir itu. Ada banyak dunia di luar sana, tapi dunia ini sudah cukup luas untuk kutinggali. Aku yakin diriku yang lain memiliki kebahagiaan dan penderitaannya masing-masing, tapi kami harus menghadapinya. Aku tak perlu mengintip mereka lagi. Aku yakin kami semua akan baik-baik saja karena kasih sayang Nenek selalu bersama kami.

***TAMAT***
ucup.awardAvatar border
riodgarpAvatar border
eburegAvatar border
ebureg dan 10 lainnya memberi reputasi
9
831
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan