- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Memahami Kemenangan Prabowo


TS
InRealLife
Memahami Kemenangan Prabowo
https://www.kompas.id/baca/opini/202...nangan-prabowo
Pilpres 2024: wake up call buat kelas menengah-intelektual Indonesia

Quote:
ANALISIS POLITIK
Memahami Kemenangan Prabowo
Pelanggaran memang ada, tetapi tak bisa menyangkal fakta bahwa rakyat tetap inginkan jalan pembangunan Jokowi.
Audio Berita
6 menit
Oleh
ULIL ABSHAR-ABDALLA
15 Februari 2024 05:00 WIB·3 menit baca
Ulil Abshar Abdalla, Penulis Analisis Politik
Peristiwa politik besar di negeri ini telah tuntas digelar kemarin, Rabu (14/2/2024), yaitu pemilu serentak presiden dan legislatif. Berdasarkan hitung cepat dari hampir semua lembaga survei, sudah bisa dipastikan bahwa Indonesia akan memiliki presiden-wakil presiden ”baru” untuk lima tahun ke depan (2024-2029): Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Kata ”baru” sengaja saya letakkan di antara tanda kurung sebab pasangan Prabowo-Gibran bisa saja (terutama di mata lawan-lawannya) dipandang sebagai kelanjutan saja dari kekuasaan Jokowi.
Dengan kata lain: well, not that new!
Banyak kalangan, terutama kelas menengah terdidik yang banyak bersuara di media sosial, kecewa atas hasil ini. Mereka, pada umumnya, menghendaki perubahan, bukan kelanjutan. Kemenangan Prabowo jelas menandai kemenangan aspirasi kelanjutan atas perubahan. Jika kita ikuti percakapan di media sosial, terutama di platform X/Twitter, kekecewaan ini amat sangat terasa.
Bagaimana memahami kemenangan Prabowo ini? Tulisan pendek ini mencoba mengajukan tafsir atas dinamika politik mutakhir yang amat (meskipun juga tidak terlalu) ”mengejutkan” ini. Semua pihak bisa mengajukan tafsir yang bermacam-macam. Fenomena menangnya Prabowo ini adalah sebuah ”teks terbuka” yang bisa dipahami secara berbeda-beda. Ruangan yang pendek ini, sudah tentu, tidak cukup memuat banyak hal yang ada dalam pikiran saya mengenai perkara ini.
Ada beberapa hal yang bisa dikemukakan.
Pertama, jika disederhanakan, ada tiga kubu politik dalam pertarungan pilpres tahun ini: kubu perubahan, kelanjutan, dan melawan kecurangan. Kubu-kubu ini secara berurutan diwakili oleh pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 1, 2, dan 3. Dengan demikian, Anies Baswedan mewakili aspirasi perubahan, Prabowo Subianto kelanjutan, dan Ganjar Pranowo melawan kecurangan.
Tentu saja ini hanya cara saya untuk menyederhanakan realitas yang kompleks. Pada kenyataannya setiap pasangan calon tidak bisa direduksi ke dalam satu-dua label seperti ini. Namun, setiap analisis toh selalu membutuhkan penyederhanaan dan abstraksi.
Kemenangan Prabowo yang lumayan meyakinkan dalam satu putaran itu (pada angka di atas 55 persen; sekali lagi, berdasarkan hitung cepat yang ada) membawa pesan yang begitu kuat bahwa rakyat masih menginginkan ”pembangunan Indonesia” ala Jokowi.
Kemenangan ini jelas ternodai oleh begitu banyaknya pelanggaran etik dan aturan sebagaimana direkam dalam film Dirty Vote yang menghebohkan itu. Namun, perkenankan saya mengemukakan pandangan yang mungkin politically incorrect atau tak populer saat ini: pelanggaran-pelanggaran itu memang benar ada, tetapi tidak bisa menyangkal fakta bahwa rakyat, dengan suara yang begitu besar, tetap menginginkan jalan pembangunan ala Jokowi. Suka atau tak suka, kita harus mendengarkan sungguh-sungguh popular wisdom ini.
Baca juga: Tim Prabowo-Gibran: Hitung Cepat Indikator Awal Kemenangan
Kedua, kalangan terdidik yang umumnya menghendaki perubahan itu sudah terbiasa dengan narasi ”kemunduran demokrasi” (macam-macam sebutannya: democratic backsliding, democratic declince, democratic stagnation). Tanda-tanda kemunduran itu memang kita lihat di mana-mana sejak Jokowi menjadi presiden.
Makin ke sini, tanda-tanda itu kian menguat. Puncaknya, tentu saja, adalah akal-akalan melalui ”intervensi” dalam Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah syarat minimal umur kandidat presiden/wakil presiden yang akhirnya memungkinkan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres.
Dengan kemenangan Prabowo ini, kita lalu bertanya-tanya: apakah narasi kemunduran demokrasi itu nyata-nyata menjadi keprihatinan rakyat luas, atau, sebaliknya, hanya keprihatinan kalangan kelas menengah terdidik saja? Saya agak yakin, perkara demokrasi dan hal-hal yang terkait dengannya, pada saat ini, jangan-jangan bukan isu penting bagi rakyat pada umumnya. Jangan-jangan, rakyat memiliki prioritas lain di luar isu kemunduran demokrasi.
Ini, seharusnya, menjadi wake up call bagi kalangan terdidik. Terus terang, saya mengendus adanya semacam ”kesombongan tersembunyi” di kalangan ini—sebut saja: middle class intellectual bias. Mereka cenderung menelaah Indonesia melulu dari sudut ”kemunduran demokrasi”, seolah-olah tak ada isu lain yang juga urgent. Telaah semacam ini kemudian didukung oleh Indonesianis dari luar yang sebagian besar berlatar political science itu.
Dengan mengatakan ini, saya bukan menolak adanya, atau bahkan menyetujui, praktik-praktik pelanggaran selama Pilpres 2024 ini. Sama sekali tidak. Saya hanya mau mengatakan hal sederhana saja: mungkin saatnya kita menelaah Indonesia tidak semata-mata dari satu sudut saja. Ada baiknya kita juga sedikit humble menerima kenyataan bahwa rakyat Indonesia boleh jadi memiliki prioritas yang berbeda untuk Indonesia.
Ketiga, saya yakin bahwa, dengan segala kemunduran yang kita lihat tanda-tandanya selama ini, demokrasi di Indonesia tidak bisa dibunuh. Our democracy declines, yes, but not dies. Saya mengamini observasi Benjamin Bland di Foreign Affairs dua hari lalu (13/2/2024): ”… although some checks and balances have been eroded on Jokowi’s watch, Indonesia’s democracy in other ways remains resilient: a vibrant civil society sector, investigative media outlets, and the country’s decentralized system now help restrain a president’s power".
Editor:
MADINA NUSRAT
Memahami Kemenangan Prabowo
Pelanggaran memang ada, tetapi tak bisa menyangkal fakta bahwa rakyat tetap inginkan jalan pembangunan Jokowi.
Audio Berita
6 menit
Oleh
ULIL ABSHAR-ABDALLA
15 Februari 2024 05:00 WIB·3 menit baca
Ulil Abshar Abdalla, Penulis Analisis Politik
Peristiwa politik besar di negeri ini telah tuntas digelar kemarin, Rabu (14/2/2024), yaitu pemilu serentak presiden dan legislatif. Berdasarkan hitung cepat dari hampir semua lembaga survei, sudah bisa dipastikan bahwa Indonesia akan memiliki presiden-wakil presiden ”baru” untuk lima tahun ke depan (2024-2029): Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Kata ”baru” sengaja saya letakkan di antara tanda kurung sebab pasangan Prabowo-Gibran bisa saja (terutama di mata lawan-lawannya) dipandang sebagai kelanjutan saja dari kekuasaan Jokowi.
Dengan kata lain: well, not that new!
Banyak kalangan, terutama kelas menengah terdidik yang banyak bersuara di media sosial, kecewa atas hasil ini. Mereka, pada umumnya, menghendaki perubahan, bukan kelanjutan. Kemenangan Prabowo jelas menandai kemenangan aspirasi kelanjutan atas perubahan. Jika kita ikuti percakapan di media sosial, terutama di platform X/Twitter, kekecewaan ini amat sangat terasa.
Bagaimana memahami kemenangan Prabowo ini? Tulisan pendek ini mencoba mengajukan tafsir atas dinamika politik mutakhir yang amat (meskipun juga tidak terlalu) ”mengejutkan” ini. Semua pihak bisa mengajukan tafsir yang bermacam-macam. Fenomena menangnya Prabowo ini adalah sebuah ”teks terbuka” yang bisa dipahami secara berbeda-beda. Ruangan yang pendek ini, sudah tentu, tidak cukup memuat banyak hal yang ada dalam pikiran saya mengenai perkara ini.
Ada beberapa hal yang bisa dikemukakan.
Pertama, jika disederhanakan, ada tiga kubu politik dalam pertarungan pilpres tahun ini: kubu perubahan, kelanjutan, dan melawan kecurangan. Kubu-kubu ini secara berurutan diwakili oleh pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 1, 2, dan 3. Dengan demikian, Anies Baswedan mewakili aspirasi perubahan, Prabowo Subianto kelanjutan, dan Ganjar Pranowo melawan kecurangan.
Tentu saja ini hanya cara saya untuk menyederhanakan realitas yang kompleks. Pada kenyataannya setiap pasangan calon tidak bisa direduksi ke dalam satu-dua label seperti ini. Namun, setiap analisis toh selalu membutuhkan penyederhanaan dan abstraksi.
Kemenangan Prabowo yang lumayan meyakinkan dalam satu putaran itu (pada angka di atas 55 persen; sekali lagi, berdasarkan hitung cepat yang ada) membawa pesan yang begitu kuat bahwa rakyat masih menginginkan ”pembangunan Indonesia” ala Jokowi.
Kemenangan ini jelas ternodai oleh begitu banyaknya pelanggaran etik dan aturan sebagaimana direkam dalam film Dirty Vote yang menghebohkan itu. Namun, perkenankan saya mengemukakan pandangan yang mungkin politically incorrect atau tak populer saat ini: pelanggaran-pelanggaran itu memang benar ada, tetapi tidak bisa menyangkal fakta bahwa rakyat, dengan suara yang begitu besar, tetap menginginkan jalan pembangunan ala Jokowi. Suka atau tak suka, kita harus mendengarkan sungguh-sungguh popular wisdom ini.
Baca juga: Tim Prabowo-Gibran: Hitung Cepat Indikator Awal Kemenangan
Kedua, kalangan terdidik yang umumnya menghendaki perubahan itu sudah terbiasa dengan narasi ”kemunduran demokrasi” (macam-macam sebutannya: democratic backsliding, democratic declince, democratic stagnation). Tanda-tanda kemunduran itu memang kita lihat di mana-mana sejak Jokowi menjadi presiden.
Makin ke sini, tanda-tanda itu kian menguat. Puncaknya, tentu saja, adalah akal-akalan melalui ”intervensi” dalam Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah syarat minimal umur kandidat presiden/wakil presiden yang akhirnya memungkinkan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres.
Dengan kemenangan Prabowo ini, kita lalu bertanya-tanya: apakah narasi kemunduran demokrasi itu nyata-nyata menjadi keprihatinan rakyat luas, atau, sebaliknya, hanya keprihatinan kalangan kelas menengah terdidik saja? Saya agak yakin, perkara demokrasi dan hal-hal yang terkait dengannya, pada saat ini, jangan-jangan bukan isu penting bagi rakyat pada umumnya. Jangan-jangan, rakyat memiliki prioritas lain di luar isu kemunduran demokrasi.
Ini, seharusnya, menjadi wake up call bagi kalangan terdidik. Terus terang, saya mengendus adanya semacam ”kesombongan tersembunyi” di kalangan ini—sebut saja: middle class intellectual bias. Mereka cenderung menelaah Indonesia melulu dari sudut ”kemunduran demokrasi”, seolah-olah tak ada isu lain yang juga urgent. Telaah semacam ini kemudian didukung oleh Indonesianis dari luar yang sebagian besar berlatar political science itu.
Dengan mengatakan ini, saya bukan menolak adanya, atau bahkan menyetujui, praktik-praktik pelanggaran selama Pilpres 2024 ini. Sama sekali tidak. Saya hanya mau mengatakan hal sederhana saja: mungkin saatnya kita menelaah Indonesia tidak semata-mata dari satu sudut saja. Ada baiknya kita juga sedikit humble menerima kenyataan bahwa rakyat Indonesia boleh jadi memiliki prioritas yang berbeda untuk Indonesia.
Ketiga, saya yakin bahwa, dengan segala kemunduran yang kita lihat tanda-tandanya selama ini, demokrasi di Indonesia tidak bisa dibunuh. Our democracy declines, yes, but not dies. Saya mengamini observasi Benjamin Bland di Foreign Affairs dua hari lalu (13/2/2024): ”… although some checks and balances have been eroded on Jokowi’s watch, Indonesia’s democracy in other ways remains resilient: a vibrant civil society sector, investigative media outlets, and the country’s decentralized system now help restrain a president’s power".
Editor:
MADINA NUSRAT
Pilpres 2024: wake up call buat kelas menengah-intelektual Indonesia
Diubah oleh InRealLife 15-02-2024 14:00






akulagi2013 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
598
Kutip
34
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan