Kaskus

Story

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #8 : Putus
Short Story #8 : Putus

Hujan sore ini terasa lebih basah dari biasanya.

Aku tak tahu apa yang terasa basah. Tubuhku sama sekali tak tersentuh air, aman di dalam ruangan. Namun, rasanya basah. Mungkin ini adalah sebuah perasaan tak enak yang mirip dengan merinding. Sumbernya tak lain dan tak bukan adalah pacarku Anggi yang tengah berjalan berdua dengan seorang pria yang tak kukenal.

Itu bukan ayah atau adiknya. Mungkin itu sepupunya, tapi rasanya tak mungkin sepupu berjalan bergandengan tangan di tengah mall sembari memancarkan aura bahagia. Aku diam saja saat melihat mereka memasuki bioskop. Niat awalku yang ingin membeli makan langsung hilang. Entah kenapa, rasanya tak lagi lapar.

Sudah tiga tahun aku dan Anggi berpacaran. Kami bertemu saat ospek kuliah dan karena nama kami berdekatan aku dan dia pun duduk bersebelahan. Aku Angga dan dia Anggi, itulah sedikit kisah lucu awal romansa kami.

Tanpa terasa sudah tiga tahun sejak saat itu. Kalau tak salah aku menembak Anggi saat kami pulang nonton film. Nama kami yang mirip ternyata membuat teman kuliah yang lain suka menjodohkan kami. karena iseng aku ikuti saja permainan mereka. Siapa sangka aku dan Anggi ternyata cocok. Memiliki seorang pacar di permulaan masa kuliah ternyata jauh lebih menyenangkan dari dugaanku.

Aku mengingat semuanya dengan jelas. Momen-momen indah saat kami kencan, mengerjakan tugas, hingga menulis puisi untuk ditampilkan di puncak acara ospek. Semua terasa seperti masa lalu yang begitu jauh. Di tengah kesibukan ujian akhir dan persiapan magang, aku tak sadar kalau aku hanya punya sedikit waktu dengan Anggi.
Sedikit waktu untuknya. Lebih banyak waktu untuk diriku sendiri.

“Hei Ngga, kau dengar nggak? Ngelamun aja!”

Di hujan berikutnya, aku masih memikirkan apa yang sudah aku saksikan. Aku tak menguntit Anggi ke dalam bioskop, aku lebih memilih pulang dan mendinginkan kepalaku daripada melakukan hal yang tidak-tidak. Sayangnya hujan ternyata tak cukup basah untuk melarutkan semua keresahan dalam diri ini.

“Iya, aku denger kok,” balasku seadanya.

“Oh ya? Emang aku barusan bilang apa?”

“….”

Luna menanggapi diam-ku dengan tatapan kesal. Saat ini kami sedang membahas persiapan magang. Pihak universitas menugaskan kami di sebuah desa terpencil yang bahkan internet pun masih sulit. Meski cuma satu bulan ini akan menjadi magang yang berat. ada banyak sekali yang perlu dipersiapkan dan mungkin itu alasannya Luna tampak amat sebal. Bagaimanapun dia adalah pemimpin kelompok ini. Kegagalan magang sebagian besar akan menjadi tanggungjawabnya.

“Maaf maaf, aku lagi banyak pikiran. Bilang aja aku harus apa, pasti kukerjain kok.”

“Oke, kalau gitu kamu yang urus semua dokumen administrasi. Titik.”

“Lah?”

Teman-teman yang lain tertawa melihat kesialanku. Mengurus administrasi itu bukan main ribetnya. Bukan cuma administrasi dari kampus, aku juga perlu datang ke desa dan mengurusnya dengan RT/RW setempat. Tidak sulit, hanya saja sangat menguras waktu dan kesabaran.

Namun karna sudah berjanji, aku pun setuju melakukannya. Administrasi kampus bisa kuurus dengan lancar karna aku kenal baik salah seorang stafnya, tapi untuk adiministrasi desa mau tak mau aku harus mengurusnya langsung ke sana. Karena itulah di hari Sabtu aku meminjam mobil ayahku dan berencana pergi ke sana.

Butuh tiga jam untuk sampai ke sana dengan mobil. Ini akan jadi perjalanan yang amat panjang. mau tak mau aku kembali teringat Anggi. Kami belum pernah pergi ke suatu tempat yang jauh berdua saja. Mungkin sebaiknya aku mengajaknya, tapi … kurasa lebih baik tidak.

Baru sepuluh menit aku menjalankan mobil, tiba-tiba saja aku mendapat telepon dari Luna.

“Eh Ngga. Kamu udah berangkat belum?”

“Udah. Ini baru aja lewat kampus.”

“Oh, aku ikut dong. Sekalian aku mau survey di sana ada fasilitas apa aja.”

“Hmm … boleh sih.”

Entah apa yang membuatku ragu. Mungkin karena langit di atas terlihat mendung dan mengancam dengan hujan. Dengan segera aku memutar arah sedikit dan menjemput Luna di rumahnya. Dia membawa snack dan minuman yang cukup untuk enam jam perjalanan.

“Hujan,” gerutunya tak senang saat sudah duduk nyaman di dalam mobil.

“Tenang, nggak ada jalan rawan longsor kok.”

“Aku lebih takut desanya yang kebanjiran daripada jalanan longsor,” balasnya. “Bayangin waktu kita magang tiba-tiba ada banjir, kapan selesainya?”

“Nada suaramu nggak senang. Kau nggak suka magang di sana ya?”

“Kita saling jujur aja ya Ngga, kalau kau nggak bisa nonton youtube selama sebulan kau senang nggak?”

“Kau … terlalu jujur.”

Jujur saja aku juga tak terlalu senang. Dibanding Anggi yang dapat magang di perkantoran, aku merasa seperti dihukum. Hanya saja karena tak ada yang mengeluh aku jadi ikut menahan diri.

“Yang barusan jangan bilang siapa-siapa lo. Bisa-bisa diusir kita dari tempat magang. Mau Chacha?”

Permen coklat dan playlist lagu yang Luna bawa ternyata membuat perjalanan terasa lebih singkat. Sudah sore saat akhirnya kami bisa melihat kembali gedung tinggi universitas. Langit semakin gelap, tapi hujan belum juga turun.

“Ngomong-ngomong kamu tadi emang rencana pergi sendiri?” tanya Luna di tikungan sebelum sampai rumahnya. “Nggak ngajak Anggi?”

“Hujan,” gerutuku yang tak ingin mendengar pertanyaan itu. “Kalau kupikir-pikir Anggi mana mau diajak ke desa yang banyak nyamuknya.”

“Ahh,” Luna mengangguk-angguk, “kalian berantem ya?”

“Nggak juga sih. Cuma lagi perang dingin aja.”

“Berantem sih boleh aja, tapi saranku mending selesaiin sebelum magang. Kalau kalian pisah tanpa kontak selama sebulan bisa-bisa dia jalan sama cowok lain lo.”

Aku ingin sekali bilang kalau Anggi sudah jalan dengan cowok lain bahkan sebelum aku pergi magang, tapi apa gunanya?

Meski demikian Luna memang benar. Menunda lebih lama tak akan memberi hasil baik. Malah jika aku menyelesaikan semuanya sekarang aku akan punya satu bulan untuk melupakan semuanya.

keesokan harinya aku pun menemui Anggi. Wajahnya sudah kesal bahkan sebelum aku membuka mulut.

“Kemarin kamu sama Luna ke mana?”

Entah dari mana dia tahu itu, tapi ternyata kabar menyebar cepat.

“Survey tempat magang,” jawabku.

“Berdua doang? Dan kamu nggak ngabarin aku?”

“Kalau kau penasaran, kami cuma teman. Aku jamin nggak ada apa-apa.”

Tanda bahwa dia peduli bisa saja kuartikan sebagai cinta, tapi keputusanku sudah bulat. Sebelum Anggi mengucapkan apa pun untuk membalas, aku mengucapkan kalimat itu secara jelas dan lantang.

“Aku mau putus.”

Apakah Luna ada hubungannya dengan ini? Tidak. Aku tak punya perasaan apa pun pada Luna, tapi aku tetap yakin akan keputusanku.

“Aku lihat kamu nonton bioskop sama cowok lain minggu lalu,” sambungku saat Anggi terkejut tak bisa berkata-kata.

“Itu … Nico cuma teman,” sangkalnya.

“Nggak apa-apa, Nggi. Jujur aja, aku nggak marah atau cemburu waktu lihat kamu jalan sama dia. Aku nggak ngerasain apa-apa. Mungkin rasa itu memang sudah pudar. Malah, aku lega waktu lihat kamu jalan sama dia. Ternyata bukan cuma aku yang udah nggak ada rasa. Kalau kita berdua memang udah nggak ada rasa, mending kita putus aja baik-baik. Nggak usah kebanyakan drama.”

Aku sudah tak punya perasaan apa-apa pada Anggi. Fakta bahwa aku tak marah atau peduli adalah bukti nyata. Bahkan enam jam perjalanan bersama Luna tak membuatku merasa bersalah sedikit pun. Rasa itu sudah tak ada. Mungkin hujan sudah mengguyur habis semuanya.

Ekspresi Anggi terlalu kompleks untuk digambarkan. Sesaat dia tampak akan meledak marah, tapi kemarahan itu disusul kebingungan dan penyesalan. Akhirnya Anggi menghembuskan nafas dan mengangguk.

“Oke,” ucapnya pelan. “Mungkin itu yang terbaik.”

Aku tersenyum hampa dan menjulurkan tangan ke depan untuk menyalaminya. Dengan penuh kedewasaan dia pun menyambut uluran tanganku.

“Minggu depan kau magang kan? Good luck.” Itulah salam perpisahan darinya.

“Ya, kau juga.”

Kisah cinta yang dimulai karena iseng ternyata bisa ditutup dengan damai. Aku tak tahu apakah ini hal yang wajar, tapi aku merasa menjadi sedikit lebih dewasa. Ini hanyalah kisah tentang cinta yang pudar, tak ada hidup yang akan hancur hanya karena itu. Suatu saat nanti, mungkin aku akan mengingat kembali cerita ini dan bersyukur karena telah jujur dengan perasaanku sendiri.

***TAMAT***
itkgidAvatar border
jenggalasunyiAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan 7 lainnya memberi reputasi
8
919
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan