penacintaAvatar border
TS
penacinta
Jangan Sedih, Nak! Kita Sudah Punya Uang
Part 3



Aku jadi bimbang antara menuruti ucapan anakku atuntetap pergi ke rumah ibu. Di satu sisi, aku tak mau menjadi anak tak berbakti, aku tak bisa membahagiakan ibuku dengan harta dan kesenangan lainnya, hanya tenaga yang aku punya untuk membalas jasa wanita yang telah melahirkanku sejak tiga puluh dua tahun lalu itu.

Saat ini ibu menderita reumatik, sehingga kesulitan untuk berjalan. Jika kedua saudara kembali ke kota, praktis ibu akan sendirian. Namun benar juga kata Gilang, selama ini aku bagaikan tak dihargai sama sekali oleh Ibu dan kedua saudaraku itu.

Bahkan kemarin, saat Rara dan Bagas diberi masing-masing sebutir apel, Gilang dan Dede yang mendapat jatah paling akhir nyatanya hanya diberi sebutir, dibagi dua. Aku tahu setelah Dede mengadu bahwa Rara membuang apel itu ke dalam kolam di belakang rumah ibu. Masih terngiang kata-kata anakku.

"Mbak Rara mubazir, apel gede begitu malah dibuang ke kolam. Mending kasihin Dede aja, kan Dede sama Abang cuma dapat setengah. Apel enak begitu kok malah dibuang, kan sayang," celetuknya sambil berjongkok di dekatku yang sedang menunggu air di tungku memanas. Air itu untuk mandi Rara dan Bagas.

"Sudah, jangan mengeluh. Lebih baik dikasih setengah tapi habis dimakan, Dede pintar, gak suka mubazir."

"Tapi, Bu, kalau dikasihin ke Dede pasti Dede habisin juga kok, Bu, gak akan mubazir," celotehnya lagi. Aku tersenyum dan mengusap kepala anakku itu.

"Dede, nanti kalau ibu sudah punya uang, ibu belikan untuk Dede apel yang besaaar banget, ya!"

"Asyiik ... Yang merah, ya, Bu! Tapi jangan salah beli, jangan yang busuk!"

"Kenapa begitu?"

"Iya, biar bisa bagi dua sama Abang. Tadi belahan apel punya Abang ada yang busuk."

"Astaghfirullah ...." Lirih aku berucap, tak ingin anakku tahu betapa luka itu setiap hari terus bertambah.

Ibu merajakan Mas Pras karena rutin memberi uang bulanan. Ibu membanggakan Dion karena membelikan kursi roda dan juga membayar biaya tagihan listrik. Lalu, apakah aku tak patut dibanggakan, Bu? Air mata ini rasanya sudah terlalu bosan menjadi pelipur lara, tak lagi mampu menyejukkan hati yang tersakiti. Namun lagi-lagi aku berpikir, ibu tetaplah ibu. Benar atau salah dirinya, aku wajib berbakti. Aku yakin Allah tidak akan diam saja membiarkan nasib kami selamanya seperti ini.

Akhirnya kutuntun tangan Dede dan kubonceng dengan motor butut ini lagi. Tak lupa kuberi wejangan pada putra kecilku itu.

"Dede ... Sampai di sana nanti, jangan usik mainan baru Mas Bagas dan Mbak Rara, ya! Dede ngerti, kan, Nak?"

"Iya, Bu. Adek kan sudah punya mainan yang dibuatin sama Abang," ucapnya sambil menunjukkan mainan itu yang kini warnanya sudah berubah menjadi kecoklatan.

Ingin rasanya kularang Dede membawa mainan itu, tapi aku juga tak mau anakku sedih jika melihat kedua sepupunya asyik dengan mainan baru mereka yang tentu saja harganya mahal. Tapi aku juga tahu, pasti nanti anakku akan diolok-olok karena membawa mainan aneh yang tak pernah mereka lihat.

"Ah, sudahlah. Biar saja, yang penting Dede tidak mengusik atau berhasrat memiliki mainan seperti milik Bagas dan Rara," gumamku. Kami pun berjalan perlahan menuju ke rumah ibu. Aku harus hati-hati mengendarai motor ini karena kondisi ban yang sudah tipis dan tak lagi punya grat di sisinya.

Sampai di rumah Ibu, Dede langsung turun dari boncengan dan langsung menghampiri Bagas yang bermain di tumpukan pasir depan rumah ibu. Aku tahu, pasir itu dibeli oleh Dion untuk menambah teras rumah Ibu agar lebih luas karena sebentar lagi ia akan menikah dan ingin membuat acara juga di rumah ibu.

"Hahaha ... Mainan apaan, tuh? Norak banget!" ejek Bagas saat Dede menunjukkan mainan miliknya.

"Ini mobil truk, Mas. Bisa terapung juga di air, hebat, loh. Ini buatan Abang Gilang," ucap Dede.

Kubiarkan saja mereka bermain karena Ibu sudah berteriak memanggil namaku.

"Kok lama, ngapain aja? Kayak yang paling punya banyak kerjaan aja kamu, Dis! Lihat, Mbak Ani jadi kena pisau karena mau bikin sarapan buat orang satu rumah." Ibu merutuk dengan dua alis tertaut.

"Iya, Bu, maaf. Gendis juga harus siapin sarapan buat Gilang sebelum sekolah."

"Halaah ... Banyak alasan! Sudah sana cepat kamu masak! Baju kotor juga langsung cuci, harus kering hari ini juga, besok Mas sama adikmu mau pulang."

"Iya, Bu," sahutku.

Aku bergegas melaksanakan semua perintah ibu. Kusiapkan sarapan untuk mereka lalu mencuci semua pakaian di belakang rumah. Piring kotor kubawa sekalian.

Saat mencuci pakaian Mbak Ani, aku menemukan gumpalan di dalam kantong celana levisnya. Kurogoh dan kutemukan gumpalan uang pecahan dua ribuan entah berapa lembar. Aku meletakkan uang itu di sisi dinding dekat sumur. Kalau nanti Mbak Ani bertanya tinggal aku berikan saja, batinku.

Keringat sudah bercucuran mencuci sekian banyak pakaian kotor hari ini. Kujemur semuanya di jemuran tali dan sebagian kugantung dengan hanger.

Sekilas kulihat Bagas berlari ke dalam bilik air itu. Kupikir karena ia bermain pasir, mungkin Bagas hendak mencuci tangan. Tak lama Bagas keluar lagi. Kelanjutan urusan cuci piring yang juga sama banyaknya. Kujemput dulu bekas piring sarapan mereka lalu mulai membersihkan semua piring kotor itu.

Lelah, ya, aku lelah. Mereka semua bercengkerama dan bersantai di ruang depan sambil menikmati tayangan televisi. Tiba-tiba anakku berlari dan memeluk pinggangku sambil menangis. Ia menunjukkan sisa pelepah pisang yang sudah tak berbentuk lagi.

"Astaghfirullah ... Kenapa, Nak?"

"Dihancurin sama Mas Bagas, Bu. Hiks ...."

"Emang Dede bikin salah?"

"Enggak ... Mas Bagas bilang mau ke belakang, mobilannya gak boleh Adek pegang. Pas dia balik dia bilang mobilnya udah berubah letaknya, Adek gak bohong, Adek gak pegang sama sekali, Bu. Mas Bagas marah terus mainan Adek dibanting."

"Astaghfirullah ...."

"Adek gak punya mainan lagi, Bu."

"Sudah, jangan nangis. Anak laki-laki harus kuat, gak boleh cengeng. Nanti kita beli, ya! Besok Ibu sudah bisa jualan, jadi Ibu bisa punya uang," ujarku mencoba menenangkan.

"Bener, ya, Bu! Beli yang lebih gede dari punya Mas Bagas, ya!"

"Hahaha ... Iya, sudah sana main lagi!"

"Iya, Bu!" Dede berlari lagi ke arah depan rumah.

Kuusap dada ini, jangan sampai emosiku jadi meninggi karena lagi-lagi anakku dijahili oleh sepupunya itu. Mbak Ani dan Mas Pras tak akan rela anaknya disalahkan. Pasti ujung-ujungnya tetap anakku yang salah.

****


Cerita ini juga tayang di KBM App. KBM App bisa teman-teman download di google playstore atau App store.
Penulis: Dianti W
sormin180Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan sormin180 memberi reputasi
2
61
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan