viennazaaAvatar border
TS
viennazaa
Losing To Love "Amara" Bab 1


“Amaranggana Adisti Pramudya!” teriak Ananta memanggilku. Dia tidak henti-hentinya untuk memarahiku hanya karena kesalahan sepele yang aku buat. Sekitar satu jam yang lalu  aku tidak sengaja melemparkan jam tangannya ke danau. Aku lupa jika tangan kiriku memegang daun sedangkan tangan kanan memegang jam tangan. Ya, cukup di lihat saja, Ananta sangat pelit padaku, apalagi sekarang raut wajahnya terlihat sangat mengerikan bagaikan siluman topeng monyet jika dilihat baik-baik. Sangat mengerikan.

“Ampun...gak sengaja..aku kira yang ada di tangan kananku adalah daun” aku membela diri. Tapi laki-laki itu justru tampak semakin marah.

 “A-a-ampun, sakit Tuan Ananta, baik akan saya ambilkan!” seruku padanya agar dia mau melepaskan jeweran tangannya di pipiku.

“Lagi-lagi kamu terus saja ceroboh Amara! Apa yang harus aku katakan pada Andira jika jam tangannya kamu buang begitu saja!” suaranya meninggi, marah atau tidak ramah Ananta adalah sosok yang tetap tidak pernah santai wajahnya. tersenyum sedikitpun tidak. Jangankan tersenyum, nyengir saja dia tidak bisa, Tapi anehnya kenapa dia masih bisa menggerakan raut di sekitar wajahnya seperti menaruh dendam padaku.

“Aku tidak sengaja, bukan ceroboh!” seruku tidak mau kalah darinya” Bukankah lebih baik jika dia diam saja? Sial, aku sudah terlanjur masuk ke mulut singa!.

Wajah menyeramkannya seketika berubah ketika tengah memperhatikan ke atas jembatan. Kesempatan! Aku berpikiran jika lari dan menghindarinya maka dia tidak akan menjadikanku mengomeliku. Setengah berlari aku menyempatkan untuk menoleh ke belakang, seketika langkahku terhenti, aku terkejut sangat terkejut begitu mengikuti tatapan Ananta.

“Maheswari?” gumamku.

Wajah Ananta terlihat menyunggingkan senyuman sambil memperhatikan gadis itu. Jika seperti ini aku lebih memilih dia marah dan murka padaku, daripada tersenyum karena terhipnotis dengan keberadaannya. Hiks..hiks..ini sangat menyakitkan, kenapa bukan aku saja yang menjadi penyebabnya tersenyum begitu manisnya. Dia justru selalu memasang wajah geram seperti hendak akan memakanku hidup-hidup. Benar memang kata pepatah jika menyukai dalam diam itu lebih menyakitkan. Tapi pepatah siapa ya? Yang aku maksud. Ahh aku tidak peduli siapa pepatah yang pernah mengatakan. Aku hanya mau memberitahu saja, siapapun pepatah yang mengatakan hal itu, memang benar adanya. Sangat menyakitkan menyukai dalam diam, tapi diungkapkan juga tidak mungkin. Karena aku hanyalah Pelayan di rumahnya tidak lebih.

“Tuan aku akan mengambilnya jadi ba..” belum selesai aku bicara Ananta justru berjalan menjauh dariku seolah dia tidak peduli lagi dengan jam tangannya yang tanpa sengaja terbuang di danau. Dia justru berjalan menghampiri Maheswari yang masih berdiri di tengah jembatan dengan membawa payung di tangannya. Padahal tidak ada hujan sama sekali, tapi gadis itu sangat berlebihan seolah melarang matahari untuk menyentuh kulit beningnya. Dasar manja! Bagaimana bisa dia menyukai gadis lemah yang takut dengan sinar matahari seperti itu?

“Biarkan saja, kali ini aku memaafkanmu!” teriaknya padaku sebelum dia naik ke sebuah tangga yang menghubungkan antara daratan dengan jembatan yang berada tepat di atasnya. “Cinta seketika membuatmu bodoh!” umpatku. Anehnya aku justru mencintai dirinya yang bodoh. Apa jangan-jangan aku tertular bodohnya? Sial bagaimana cara memintarkan diriku ini dari pengaruh bodohnya?

Pandanganku masih mengarah pada mereka berdua. Tampak dia hampir sampai di tempat Maheswari berdiri. Hatiku terasa panas, perih, sakit, baru saja aku bahagia karena dia ada di dekatku mengejarku bagaikan di film-film, eh malah kedatangan gadis itu. Buyar sudah kebahagiaanku! Jika seperti ini aku justru lebih memilih dia memarahiku selalu, tapi selalu berada di dekatku. Apa aku ganggu saja dia tanpa henti? Sepertinya itu akan membuatnya tetap berada di dekatku. Astaga pikiranku..kenapa jadi kacau begini sih. Udah ah diam..cukup untuk menyiksa hati sendiri. Ananta tampak bahagia ketika berbincang dengan pujaan hatinya, sedangkan aku menderita disini sambil terus mencari jam tangan yang tanpa sengaja aku buang ke danau. Iissshh menyebalkan! Aku membanting daun kecil yang ada di tanganku beberapa kali hingga tingkahku membuat Ananta berteriak, “Nah begitu dicari sampai ketemu!” teriaknya padaku. Membantu saja tidak, dia benar-benar membuatku kesal setengah mati. Andaikan saja jika mulutku ini sakti, sudah jelas aku akan mengutuknya menjadi ikan agar sekalian jadi penghuni danau ini bersama jam tangannya.

Bagaimanapun juga aku tidak akan mampu mengutuknya akan hal buruk. Aku lebih memilih untuk mendoakan yang terbaik untuknya. Ya karena disisi lain aku memang mencintainya walaupun dia tidak tahu seberapa besar cintaku padanya. Aku rasa cukup untuk seperti ini saja. Lagipula meminta perhatian lebih, aku ini siapa, hanyalah pelayan yang tanpa sengaja di selamatkanya, kemudian nyasar tinggal di kediamannya. Dia sudah memperlakukanku dengan baik, hubungan kami seperti bukan antara pelayan dengan Tuan, kami lebih dekat seperti teman namun hal itu hanya berlaku ketika Tuan Ganindra dan Tuan Adyasa tidak pulang dari bertugas.

Lima tahun yang lalu, rumah tempatku dibesarkan secara tiba-tiba saja diserang oleh perompak pemberontakan dan dengan kejamnya mereka membunuh Gatama yang merupakan adik laki-lakiku satu-satunya, kemudian Indi Parama ibuku, lalu ayahku Giri Anggara. Perompak itu membawaku dan berniat untuk menjualku. Mereka mengurungku di sebuah kandang layaknya hewan. Perlakuan keji perompak itu tidak bisa di maafkan, sampai sekarang aku masihlah menyimpan dendam pada mereka.

***

“Sangat disayangkan jika kita menjualnya begitu saja” seru salah satu perompak dia menatapku serta mulutnya menyeringai seperti menyimpan sesuatu untuk di ungkapkannya.

“Bodoh!” tukas perompak lain. Sepertinya dia adalah pemimpin dari kelompoknya.

“Kita membawanya karena butuh uang! Buat apa kita harus membawanya bersama kita? Dia tidak berguna!” pemimpin itu justru meludah ke arahku, tapi tidak mengenaiku.

“Kita bisa mencari perempuan lain untuk bisa dijual, tapi dia sangat disayangkan jika tidak kita pakai untuk bersenang-senang” sahut anak buahnya.

“Setuju, dia terlihat berantakan karena tidak dirawat, coba kamu rapikan rambutnya, bukankah dia terlihat cantik bahkan sangat cantik” seringainya tampak sangat menyeramkan, dia mengusap punggung tangannya. Tampaknya pemimpin dari perompak itu mulai bingung antara menjualku atau justru membiarkanku menjadi budak mereka. Budak dalam artian mereka bukanlah pelayan biasa seperti mengantarkan makanan dan minuman, tetapi sebagai pemuas nafsu bejat mereka.

“Gimana?” seruan anak buahnya kini semakin membuatnya bimbang.

Aku hanya bisa pasrah pada apa yang akan terjadi padaku. Dan jika memang kehormatanku akan diambil, jelas saja aku sudah siap untuk memilih mati. Pemimpin perompak itu langsung membuka kandang yang awalnya digunakan untuk mengurungku. Dia menarik tanganku bahkan cengkraman tangannya di lenganku sangat menyiksa hingga aku merintih kesakitan dan berusaha melawan dan memukul tangannya agar dilepaskan. Didepan anak buahnya pemimpin perompak itu justru menarikku kasar, hingga tidak ada satu anak buahnya yang bicara apapun.

“Apa yang kamu lakukan Tuan Wira?” tanya salah satu anak buahnya.

“Seperti yang kalian inginkan aku akan membawanya untuk bersenang-senang terlebih dahulu!”. Aku pukul tangan bahkan anggota tubuhnya, namun laki-laki yang disebut Wira itu justru semakin kasar dari yang awalnya mencengkram tanganku agar mau berjalan dia justru beralih membopongku. Seberapa keras aku memukulnya tetap saja laki-laki itu tidak goyah sama sekali. Tubuhku gemetaran, aku benar-benar merasa takut. Tapi ketika sekelompok anak buahnya tidak terlihat, dia langsung menurunkanku.

“Kamu bisa pergi sekarang!” serunya padaku, tatapannya tajam, aku sekaligus terheran dengan pemikirannya. Apakah dia waras? Walaupun pikiranku di penuhi keheranan tapi aku tidak peduli, ini adalah kesempatanku agar bisa lari darinya.

“Jika aku sampai menemukanmu kembali, jangan harap aku akan melepaskanmu!”. Aku tidak memperdulikannya dan terus berlari tanpa arah. Aku bingung disaat seperti ini apakah aku harus berterima kasih padanya atau tidak. Seketika dalam benakku teringat dengan kematian ayah, ibu, dan adik. Mereka mati juga karenanya, karena anak buahnya. Dan dia sebagai pemimpin tentu saja adalah tokoh utama yang harus disalahkan.

Menoleh ke belakang sedikitpun aku tidak berani, sambil berurai air mata aku terus berlari tanpa henti. Aku tidak lagi peduli dengan kedua kakiku yang mulai terasa perih karena luka. Yang ada di pikiranku saat ini justru harus bisa berlari sejauh mungkin. Selama berlari hingga masuk hutan aku tidak menoleh sedikitpun ke belakang, karena dirasa cukup jauh, aku langsung mencari tempat persembunyian di balik pepohonan. Pohon beringin besar serta di dalamnya terdapat lubang aku jadikan tempat sembunyi dari kejaran mereka, karena dari kejauhan aku melihat pancaran sinar obor tengah berjalan ke arahku. Aku merasakan jantungku kali ini berdetak sangat kencang, cemas karena takut ketahuan, serta takut jika mereka akan menemukanku disini. Aku terus berdoa, memohon pada Tuhan agar aku bisa diselamatkan kali ini saja.

Srek! Hap!

“HAAAH!” teriakku keras, dibalik kegelapan secara tiba-tiba saja ada yang menarik tanganku dan menyeretku kembali keluar dari persembunyian.

“Hahahaha, disini kamu Nona manis” aku sudah bisa menebak jika pria ini pasti tersenyum puas karena menemukanku, walaupun wajahnya tidak terlihat karena gelapnya malam.

“Lepaskan! Bajingan!” umpatku.

PLAKK! Suara tamparan mengarah ke pipiku, hingga aku merasa pusing seketika.

“Aku menemukannya!” dia memanggil temannya yang lain.

“Jaga mulutmu pramuria, kalau kamu mengatakannya lagi, aku janji akan mengiris lidahmu!”. Gemetaran karena takut semakin parah, dia bahkan semakin menyeringai begitu melihatku ketakutan setengah mati karena ancamannya. Dan beberapa langkah lagi sekitar tujuh orang perompak itu akan menghampiriku.

“Dia yang membuat Tuan Wira terluka!” ucap salah satu perompak pada sosok laki-laki yang kini tengah mencengkram erat tanganku, bahkan cengkramannya justru lebih erat daripada yang Wira lakukan. Begitu pencahayaan dari obor sudah begitu dekat, pria ini justru menarik bajuku hingga robek. Bagian depan terbuka, tapi karena aku memakai rangkepan sehingga bagian tubuhku yang lain tidak terlihat.

“Kulitnya sangat putih, bersih, dia akan terus melawan jika kita mendiamkannya saja” ucap pria ini. Aku masih berusaha untuk melepaskan tanganku, bahkan aku melukai dan menggores tangannya hingga mengeluarkan darah, tapi dilonggarkan sedikitpun cengkramannya tidak. Justru semakin erat.

“Baiklah aku yang akan melakukannya lebih dulu” ucapnya, dia langsung mendorongku hingga terjatuh. Aku meringkuk ke belakang, dia semakin maju menghampiriku.

“Tidak ada gunanya kamu berlari Nona Manis!” seru salah satu perompak yang lain. Mereka seakan menikmati ketakutanku. Mereka terus tertawa ketika melihatku yang semakin ketakutan bahkan menangis. Aku memohon ampun, tapi tetap saja mereka tidak akan berbelas kasih begitu saja. Mereka adalah psikopat gila. pria itu kini mulai melepaskan baju bagian atasnya, kemudian menindih tubuhku, mulutku dibungkamnya dengan satu tangan. Aku menggigit tangannya, entah terbuat dari apa tangannya, terluka pun tidak, tapi kalau lebam akibat gigitan ku pasti. Aku mencoba meraih ranting yang bisa aku gapai dengan tangan kiriku, namun perompak lain justru mengetahuinya dan mengambil ranting itu.

“Hahahahaha”

“Hahahahaha”

“Hahahahaha” semuanya tertawa ketika melihatku yang merasa sesak akibat ditindih olehnya.

“Aku sudah siap Nona Manis!” seringai wajah seram pria itu kini terlihat. Menakutkan, sangat menakutkan. Tuhan aku mohon selamatkan aku..

Gedebuk!

Wushhh.

Salah satu perompak ingin membantu temannya yang tiba-tiba terbanting ke tanah, tapi dia tidak bisa membantunya, karena panah telah menancap di bagian lehernya.

Wushhh.

Suara anak panah yang melayang lalu menancap di atas tubuh pria yang sempat menindihku.

Gedebuk!

Salah satu perompak di bantingnya setelah ada beberapa kali perlawanan tapi tidak juga menang melawan sosok pria yang tidak aku tahu siapa. Semuanya terkelepar seperti ikan, ada dua orang yang sekarat, tiga mati di tempat, dan dua perompak yang berhasil melarikan diri dari pria asing yang juga membuatku takut setengah mati. Tanpa bicara pria yang baru saja menang melawan kelompok perompak itu langsung menarik tanganku hingga posisiku yang awalnya terduduk kini menjadi berdiri. Aku masih memejamkan mata karena takut. Aku sangat yakin kalau dia yang justru akan melakukan hal keji padaku. Tubuhku dan tubuhnya terasa seperti saling bersentuhan satu sama lain. Dia melepaskan tanganku, kemudian melemparkan sebuah kain padaku.

“Tutupi badanmu!” serunya.

Dia langsung berjalan pergi, tanpa aku tahu siapa dirinya. Seketika aku terpaku masih menatap punggung pria yang kini mulai menjauh dariku. Langkahnya seketika berhenti, dia berbalik ke arahku.

“Mau mati?” tanyanya padaku, dia seolah-olah memberikan isyarat padaku untuk menoleh ke belakang. Begitu aku melihat cahaya api yang menyala-nyala bahkan lebih terang dari sebelumnya, aku langsung berlari menghampiri pria yang baru saja menyelamatkanku itu. Kejaran anggota perompak yang lain terasa semakin dekat, sedangkan aku tertinggal beberapa langkah darinya. Menyadari jika aku tertinggal, pria asing itu justru berbalik dan berjalan ke arahku. Dia langsung membopongku. Aku sempat menolaknya dan ingin turun.

“Diam jika mau selamat!” seketika aku terdiam dan membiarkannya membopongku sambil terus berlari masuk ke dalam hutan, tanpa penerangan apapun. Anehnya di suasana gelapnya hutan, dia justru tidak membutuhkan penerangan sama sekali, sedangkan pandanganku terlihat sangat gelap bahkan seperti tidak ada bedanya dengan menutup mata.

Dirasa telah menjauh dari kejaran kelompok perompak, pria tersebut langsung menjatuhkanku ke tanah. Dia meninggalkan busur dan anak panahnya di dekatku, lalu pergi entah kemana. Tapi tidak lama kemudian kembali dengan membawa segepok kayu kering dan di tumpuknya tidak jauh dari tempatku berada. Kami tidak bicara, atau bahkan saling menanyakan apapun, kami justru terdiam satu sama lain. Kalau aku tidak bisa bicara karena aku masih takut, dan tubuhku juga tidak berhenti gemetaran dari tadi, meskipun suasana saat ini sudah terbilang aman. Tapi kalau pria yang telah menyelamatkanku justru diam, dia seakan tidak peduli apakah aku baik-baik saja atau tidak. Aku menggambarkannya seperti itu bukan karena aku ingin ditanya atau diperhatikan olehnya, tapi memang sikapnya dingin, bahkan lebih dingin daripada es gletser yang ada di kutub selatan.

Akibat ketakutan yang aku rasakan, untuk bicara sepatah kata saja rasanya masih enggan, tenggorokanku seperti tersekat. Biarpun di depanku ada api yang menyala-nyala, tetap saja gemetaran yang aku rasakan masih belum berhenti, aku masih merasa terancam dengan keadaan sekitar. Setiap beberapa detik aku menyempatkan waktu untuk menoleh ke asal sumber suara. Bagi pria yang kini tengah duduk di hadapanku, dia seolah tidak takut apapun, bahkan tidak merasa terganggu dengan suara sekecil apapun.

“Masih kedinginan?” tanyanya.

“Ti-tidak” jawabku.

“Kamu gemetaran tanpa henti” ucapnya.

“Aku hanya takut” jawabku. Pria itu beralih lalu duduk disampingku, karena takut dia akan melakukan apa-apa padaku jadi aku sempat untuk menghindar darinya.

“Hahahaha” pria itu tertawa. Suaranya beratnya menggelegar.

“Kamu bahkan merasa jika aku ancaman buatmu?” tanyanya.

“Ti-tidak” jawabku bohong. Dia melepaskan mantel yang menutupi tubuhnya, lalu melemparkannya padaku.

“Pakai itu dan tidurlah, aku akan menjagamu” ucapnya. Suaranya terdengar berat dan dalam ketika berbicara. Dia lalu menyandarkan tubuhnya di batang pohon besar dan mulai memejamkan mata. Aku masih memperhatikannya. Tiba-tiba saja dia membuka sebelah matanya. Tersenyum sejenak kemudian kembali memejamkan matanya.

“Aku yang akan tidur jika kamu tetap saja keras kepala” gumamnya. Berkat kobaran api, aku bisa melihat wajah pria yang menolongku dengan jelas. Aku rasa dia adalah orang baik-baik raut wajahnya yang tenang tidak memperlihatkan kalau dia jahat. Aku mulai mempercayainya.

Sampai matahari muncul aku tidak tidur, aku masih waspada akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi. “Whu Aaamm” dia menguap.

“Kamu tidak tidur? Sama sekali?” dia tidak percaya jika aku masih terjaga sampai sekarang.

“Ti-tidak” jawabku.

“Dari semalam kamu terus saja menjawab tidak, tidak, dan tidak. Apa kamu mengira aku akan melakukan hal macam-macam padamu? Asal kamu tahu aku tidak mudah tergoda dengan perempuan manapun” ucapnya tiba-tiba.

“Maafkan aku, karena kejadian semalam membuatku ketakutan setengah mati, bahkan sampai sekarang aku masih takut” jawabku.

“Padaku?” tebaknya dan aku mengangguk.

“Hahahahaha, seberapa cantik kau Nona? Aku tidak akan tergoda hanya karena perempuan sepertimu” ucapnya.

“Syukurlah” jawabku, aku mengembalikan mantel yang semalam di pinjamkan padaku.

“Terima kasih banyak karena membantuku” ucapku pelan, dia mendengus tapi tidak mengambil mantelnya dariku.

“Pakai saja”. Dia lalu berjalan pergi. Aku mengikutinya dari belakang, karena jika berpencar jelas saja aku tidak tahu harus kemana, karena hanya dia satu-satunya yang mengetahui jalanan yang ada di hutan ini. Sepanjang perjalanan kepalaku terasa pusing, pandangan mataku mulai tidak jelas, sedangkan pria yang menyelamatkanku sudah jauh dari tempatku berada. Aku hanya bisa melihat punggungnya dari kejauhan, seketika kakiku terasa lemah. Aku terjatuh, kemudian sekitarku terlihat gelap.

Ketika aku membuka mata, secara tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing. Objek pertama kali yang aku lihat adalah punggung sosok pria, tidak jelas siapa pria itu, apakah dia pria yang menyelamatkanku, atau justru pria lain. Aku mencoba bangun. Pria itu langsung menoleh padaku begitu menyadari kalau aku terbangun dari pingsanku. Aku memperhatikan kaca, kini aku menyadari jika ada hal yang kurang.

“Bajuku?” aku meraba baju yang telah terpakai di tubuhku.

“Hah! Dimana bajuku?” aku panik, aku yakin jika pria yang menyelamatkanku bukanlah pria baik-baik.

“Apa yang kamu lakukan ha? Kenapa kamu melakukan itu padaku!” aku panik, aku terduduk di lantai, menangis sejadi-jadinya. Pria itu dengan tenangnya berjalan menghampiriku, dia meraih tanganku dan menyuruhku untuk berdiri. Tapi karena aku sudah benci padanya sehingga aku menghempaskan tangannya.

“PERGI!” teriakku padanya, pria itu justru terkekeh pelan.

“Ini rumahku, seharusnya aku yang mengusirmu, bukankah terbalik?” ucapnya. Aku langsung mengusap air mataku lalu berdiri, dan langsung keluar dari rumah itu. Sampai di halaman rumah, aku berpapasan dengan seorang wanita cantik, sangat cantik, begitu menyadari keberadaanku, dia langsung menghampiriku.

“Nona? Kamu sudah bangun dari pingsan?” tanyanya sekaligus menyapaku.

“Kenapa kamu diam saja! Kenapa membiarkan gadis pergi sendirian!” teriaknya pada sosok pria yang ada di belakangku.

“Dia mengusirku, tapi dia tidak sadar jika dirinya berada di rumahku” seru pria itu kesal.

“Aku marah karena dia sudah melakukan sesuatu padaku” seruku tidak kalah kesal darinya.

“Melakukan sesuatu?” wanita cantik itu terheran, dia menatap pria yang ada di belakangku dengan tatapan geram.

“Tidak-tidak, aku tidak melakukan apa-apa padanya” teriaknya, dia berjalan cepat menghampiri kami berdua.

“Kamu bahkan menggantikan bajuku, apa yang kamu lakukan hah ketika menggantikan bajuku, jangan bilang kamu sudah melakukan hal tercela padaku!” teriakku padanya.

“Hahahahaha” wanita itu tertawa tanpa henti hingga dia memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. Dia kemudian diam setelah puas tertawa dia mendekat padaku. Dengan tenang dia mengatakan, “Aku yang menggantikanmu baju”.

bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
22
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan