- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Once Upon A Time


TS
oulaaa
Once Upon A Time
"Maaf, tapi aku tidak mencintaimu, Luc...",
Bella menatap Lucas yang saat ini juga tengah menatap dirinya.
"Kenapa, Bella?",
tanya Lucas masih dengan tatapan yang tidak lepas sedetik pun.
Bella mencoba mencari makna dari tatapan tajam menusuk itu.
Dirasanya tak ada luka disana.
Setitik hitam dendam yang dilihatnya.
"Gak ada alasan untuk itu, Lucas.... Aku cuma...., cumaa....",
masih dengan lembut Bella mencoba menjelaskan, meski tak mampu diselesaikannya dengan baik.
**************************************************************************************
Bella duduk diam menatap pigura besar yang tergantung didinding.
Tercetak disana gambar sepasang pengantin di pelaminan mewah, berlatar bunga mawar merah memenuhi.
Ia menyadari bahwa salah satu wajah yang dilihatnya sungguh tak asing.
Meski dari hasil "tembakan" lensa kamera profesional, baginya sosok itu terlihat tidak berbeda kecuali warna kulit yang lebih gelap dibandingkan sepuluuuh...., oooh tidak, lima belas tahun lalu.
"Silahkan duduk, Bu Bella. Terima kasih sudah menunggu ya, Bu. Saya baru bicara dengan salah satu staff saya di Medan tentang hasil desain ruangan kerja baru mereka. Mereka happy banget.",
terdengar suara yang sedikit mengagetkan Bella.
Segera dibaliknya badan dan mendapatkan sosok perempuan berkulit putih dan berwajah khas nusantara yang cantik.
Sama persis dengan wajah pengantin perempuan di pigura tadi.
"Terima kasih, Bu Tasha. Senang bisa bekerja sama dengan Ibu.",
Bella mengulurkan tangan, sembari mencoba untuk menetralisir pikiran yang mendadak diliputi keingintahuan tak terbandung tentang sosok pria yang dilihatnya pada gambar didinding tadi.
"Tentu..., yaaa..., saya memang belum melihat langsung hasilnya. Tapi saat meeting bersama para staff di Medan pagi tadi melalui zoom, saya bisa memastikan bahwa saya puas dengan hasilnya. Karyawan saya yang sudah menempati ruangan itu juga setuju. Mereka katakan bahwa ruangan kerja mereka saat ini terasa nyaman sekali.",
Bella menangkap nada kepuasan dari suara yang baru didengarnya.
Hanya saja kalimat itu tidak mampu menenangkan isi kepalanya yang kini mulai dibayangi seraut wajah dari gambar yang kini berada tepat dibalik punggungnya.
Bella memberikan sebuah senyum lebar sembari menjabat tangan salah satu client-nya ini.
"Ohya, nanti tolong ruang kerja saya juga dimake over ya, Bu. Saya rasa memang sudah saatnya ruang kerja saya juga mendapatkan penyegaran suasana.",
lanjut wanita yang ditaksir Bella setidaknya lima tahun lebih muda dari usia dirinya.
"Dengan senang hati, Bu. Kapan kita bisa mulai ngobrol untuk rencana ini, Bu Tasha?",
mendengar sebuah kesempatan baru ditawarkan padanya, Bella lekas berusaha untuk kembali memusatkan perhatian penuh.
Apalagi Tasha adalah client baru yang berhasil "jatuh hati" dengan karyanya hingga mau memberikan proyek kerja baru padanya.
Bella melemparkan sejenak bayangan pria itu jauh-jauh agar ia mampu fokus.
Ia memang sangat bersemangat bila mendengar sebuah kesempatan baginya untuk berkarya.
Desain interior sudah menjadi profesinya sejak lama.
Kesibukan dalam dunia ini pula yang membuatnya seakan lupa untuk berumah tangga.
Baginya menciptakan ruangan yang sesuai dengan keinginan client adalah kepuasan besar untuknya.
Ia sangat mendedikasikan hidup untuk pekerjaan.
Tidak ada lagi yang menyita waktu dan perhatian Bella kecuali desain dan kepuasan client.
Pacar atau kekasih tidak menjadi prioritasnya.
Ini sudah lama terjadi sejak peristiwa itu.
Namun Bella sama sekali tidak menyadari.
Hingga pada akhirnya.
"Segera, Bu Bella. Sekretaris saya akan menghubungi Ibu. Kita jadwalkan segera ya. Bisa, Bu?",
intonasi antusias terdengar jelas.
"Baik, Bu. Kebetulan proyek terakhir saya sudah selesai. Kita bisa mulai untuk diskusi dalam waktu dekat.",
jawab Bella tak kalah bersemangat.
"Perfect. Hanya saja ada satu permintaan saya. Tolong disiapkan satu sudut kecil yang bisa saya gunakan untuk menempatkan beberapa frame. Semacam sebuah shrine.",
kali ini terdengar sedikit tegas namun ada sendu yang membayangi.
"Shrine, Bu? Kalau tidak keberatan, boleh saya tau sedikit gambaran detail-nya?", Bella mencoba untuk menggali "emosi" client, yang selalu ia masukkan dalam desain buatannya.
Bella merasa bahwa teknik inilah yang membawanya sukses menemukan harapan client dengan hasil karya buatannya.
Mata wanita cantik bernama Tasha langsung mengarah pada gambar yang ada dibelakang punggung Bella.
Sebuah frame besar yang menggantung di dinding, yang tadi sempat membongkar memori lama Bella.
"Perkenalkan. Ini Lucas, suami saya. Ia meninggal tiga tahun yang lalu.",
meski sendu namun nada tegas itu tidak hilang.
"Meninggal?",
Bella bertanya.
Namun kali ini dirasanya pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya sendiri.
Sebuah pertanyaan tiba-tiba yang terlontar dari bibirnya untuk meyakinkan bahwa pendengarannya tidak salah.
Sekujur tubuhnya mendadak terasa dingin.
Kakinya lemas.
Sejenak Bella tersentak karena tumit stilletto yang dipakainya sedikit bergoyang. Dicarinya keseimbangan.
Berhasil.
Tubuhnya masih berdiri tegak.
"Kita akan diskusikan lagi segera, Bu Bella. Maaf tapi saya harus segera ke bandara sekarang. Saya harap Ibu tidak keberatan. Senang bertemu dan kerja bareng dengan Ibu."
Bella segera menyambut uluran tangan wanita didepannya.
Ia berusaha untuk tetap profesional.
Kini hati Bella tak ubahnya seperti malam dimana bulan menjalani gerhana.
Bella juga tidak mengerti kenapa.
Segera diakhirinya pertemuan dengan tetap berdiri tegak dan senyum mengembang.
Setelah pamit, Bella melangkah keluar ruangan.
Tepat sebelum pintu ditutup, masih bisa dilihatnya gambar didinding.
Gambar sebuah senyum yang pernah mengisi hari-harinya.
Gambar tatapan mata yang menemaninya.
Dulu.
*************************************************************************************
Dear Lucas...,
Maafkan aku yang dulu telah menolak perasaanmu.
Saat itu aku tidak menemukan cinta, Luc.
Dalam dirimu yang terlihat oleh mata hatiku adalah sebongkah dendam diselimuti keegoisan.
Dendam yang kamu simpan untuk dia, cinta pertamamu, yang sangat kamu sayangi.
Cinta pertama yang sudah melukaimu dengan begitu sangat.
Ia membawamu pada rasa terluka dan tidak percaya yang begitu besar.
Keraguan menuntunku untuk menjauh.
Berharap bahwa kamu akan mencoba untuk memastikan bahwa perasaan itu sungguh ada.
Berjuang untuk membuktikannya.
Memperlihatkan padaku bahwa bentuk rasamu sungguh cinta.
Namun kamu tidak melakukan itu, Luc.
Tidak sekalipun kamu kembali setelah kukatakan bahwa aku tidak mencintaimu. Tidak sedikitpun kamu mencoba untuk memperlihatkan kesungguhan rasamu. Tidak.
Dan aku...., dengan lukaku, telah menjadi kamu.
Ya, aku sungguh menjadi kamu.
Bertahan dalam luka.
Lama kusadari bahwa aku juga terluka, Luc.
Bahwa sesungguhnya ada rasa disana.
Ada cinta.
Aku adalah kamu yang tidak berusaha membuktikan bahwa aku memiliki perasaan yang sama.
Aku adalah kamu yang tidak mau menunjukkannya.
Tidak memperjuangkannya.
Memperjuangkan cinta.
Selamat jalan, Lucas.
Semoga kita bisa berjumpa kembali saat kehidupan berikutnya.
Kembali memperjuangkan rasa yang kita punya.
Bersama. Berdua.
Sekarang biarkan aku mengatakannya...
Lucas, aku mencintaimu.
Bella menatap Lucas yang saat ini juga tengah menatap dirinya.
"Kenapa, Bella?",
tanya Lucas masih dengan tatapan yang tidak lepas sedetik pun.
Bella mencoba mencari makna dari tatapan tajam menusuk itu.
Dirasanya tak ada luka disana.
Setitik hitam dendam yang dilihatnya.
"Gak ada alasan untuk itu, Lucas.... Aku cuma...., cumaa....",
masih dengan lembut Bella mencoba menjelaskan, meski tak mampu diselesaikannya dengan baik.
**************************************************************************************
Bella duduk diam menatap pigura besar yang tergantung didinding.
Tercetak disana gambar sepasang pengantin di pelaminan mewah, berlatar bunga mawar merah memenuhi.
Ia menyadari bahwa salah satu wajah yang dilihatnya sungguh tak asing.
Meski dari hasil "tembakan" lensa kamera profesional, baginya sosok itu terlihat tidak berbeda kecuali warna kulit yang lebih gelap dibandingkan sepuluuuh...., oooh tidak, lima belas tahun lalu.
"Silahkan duduk, Bu Bella. Terima kasih sudah menunggu ya, Bu. Saya baru bicara dengan salah satu staff saya di Medan tentang hasil desain ruangan kerja baru mereka. Mereka happy banget.",
terdengar suara yang sedikit mengagetkan Bella.
Segera dibaliknya badan dan mendapatkan sosok perempuan berkulit putih dan berwajah khas nusantara yang cantik.
Sama persis dengan wajah pengantin perempuan di pigura tadi.
"Terima kasih, Bu Tasha. Senang bisa bekerja sama dengan Ibu.",
Bella mengulurkan tangan, sembari mencoba untuk menetralisir pikiran yang mendadak diliputi keingintahuan tak terbandung tentang sosok pria yang dilihatnya pada gambar didinding tadi.
"Tentu..., yaaa..., saya memang belum melihat langsung hasilnya. Tapi saat meeting bersama para staff di Medan pagi tadi melalui zoom, saya bisa memastikan bahwa saya puas dengan hasilnya. Karyawan saya yang sudah menempati ruangan itu juga setuju. Mereka katakan bahwa ruangan kerja mereka saat ini terasa nyaman sekali.",
Bella menangkap nada kepuasan dari suara yang baru didengarnya.
Hanya saja kalimat itu tidak mampu menenangkan isi kepalanya yang kini mulai dibayangi seraut wajah dari gambar yang kini berada tepat dibalik punggungnya.
Bella memberikan sebuah senyum lebar sembari menjabat tangan salah satu client-nya ini.
"Ohya, nanti tolong ruang kerja saya juga dimake over ya, Bu. Saya rasa memang sudah saatnya ruang kerja saya juga mendapatkan penyegaran suasana.",
lanjut wanita yang ditaksir Bella setidaknya lima tahun lebih muda dari usia dirinya.
"Dengan senang hati, Bu. Kapan kita bisa mulai ngobrol untuk rencana ini, Bu Tasha?",
mendengar sebuah kesempatan baru ditawarkan padanya, Bella lekas berusaha untuk kembali memusatkan perhatian penuh.
Apalagi Tasha adalah client baru yang berhasil "jatuh hati" dengan karyanya hingga mau memberikan proyek kerja baru padanya.
Bella melemparkan sejenak bayangan pria itu jauh-jauh agar ia mampu fokus.
Ia memang sangat bersemangat bila mendengar sebuah kesempatan baginya untuk berkarya.
Desain interior sudah menjadi profesinya sejak lama.
Kesibukan dalam dunia ini pula yang membuatnya seakan lupa untuk berumah tangga.
Baginya menciptakan ruangan yang sesuai dengan keinginan client adalah kepuasan besar untuknya.
Ia sangat mendedikasikan hidup untuk pekerjaan.
Tidak ada lagi yang menyita waktu dan perhatian Bella kecuali desain dan kepuasan client.
Pacar atau kekasih tidak menjadi prioritasnya.
Ini sudah lama terjadi sejak peristiwa itu.
Namun Bella sama sekali tidak menyadari.
Hingga pada akhirnya.
"Segera, Bu Bella. Sekretaris saya akan menghubungi Ibu. Kita jadwalkan segera ya. Bisa, Bu?",
intonasi antusias terdengar jelas.
"Baik, Bu. Kebetulan proyek terakhir saya sudah selesai. Kita bisa mulai untuk diskusi dalam waktu dekat.",
jawab Bella tak kalah bersemangat.
"Perfect. Hanya saja ada satu permintaan saya. Tolong disiapkan satu sudut kecil yang bisa saya gunakan untuk menempatkan beberapa frame. Semacam sebuah shrine.",
kali ini terdengar sedikit tegas namun ada sendu yang membayangi.
"Shrine, Bu? Kalau tidak keberatan, boleh saya tau sedikit gambaran detail-nya?", Bella mencoba untuk menggali "emosi" client, yang selalu ia masukkan dalam desain buatannya.
Bella merasa bahwa teknik inilah yang membawanya sukses menemukan harapan client dengan hasil karya buatannya.
Mata wanita cantik bernama Tasha langsung mengarah pada gambar yang ada dibelakang punggung Bella.
Sebuah frame besar yang menggantung di dinding, yang tadi sempat membongkar memori lama Bella.
"Perkenalkan. Ini Lucas, suami saya. Ia meninggal tiga tahun yang lalu.",
meski sendu namun nada tegas itu tidak hilang.
"Meninggal?",
Bella bertanya.
Namun kali ini dirasanya pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya sendiri.
Sebuah pertanyaan tiba-tiba yang terlontar dari bibirnya untuk meyakinkan bahwa pendengarannya tidak salah.
Sekujur tubuhnya mendadak terasa dingin.
Kakinya lemas.
Sejenak Bella tersentak karena tumit stilletto yang dipakainya sedikit bergoyang. Dicarinya keseimbangan.
Berhasil.
Tubuhnya masih berdiri tegak.
"Kita akan diskusikan lagi segera, Bu Bella. Maaf tapi saya harus segera ke bandara sekarang. Saya harap Ibu tidak keberatan. Senang bertemu dan kerja bareng dengan Ibu."
Bella segera menyambut uluran tangan wanita didepannya.
Ia berusaha untuk tetap profesional.
Kini hati Bella tak ubahnya seperti malam dimana bulan menjalani gerhana.
Bella juga tidak mengerti kenapa.
Segera diakhirinya pertemuan dengan tetap berdiri tegak dan senyum mengembang.
Setelah pamit, Bella melangkah keluar ruangan.
Tepat sebelum pintu ditutup, masih bisa dilihatnya gambar didinding.
Gambar sebuah senyum yang pernah mengisi hari-harinya.
Gambar tatapan mata yang menemaninya.
Dulu.
*************************************************************************************
Dear Lucas...,
Maafkan aku yang dulu telah menolak perasaanmu.
Saat itu aku tidak menemukan cinta, Luc.
Dalam dirimu yang terlihat oleh mata hatiku adalah sebongkah dendam diselimuti keegoisan.
Dendam yang kamu simpan untuk dia, cinta pertamamu, yang sangat kamu sayangi.
Cinta pertama yang sudah melukaimu dengan begitu sangat.
Ia membawamu pada rasa terluka dan tidak percaya yang begitu besar.
Keraguan menuntunku untuk menjauh.
Berharap bahwa kamu akan mencoba untuk memastikan bahwa perasaan itu sungguh ada.
Berjuang untuk membuktikannya.
Memperlihatkan padaku bahwa bentuk rasamu sungguh cinta.
Namun kamu tidak melakukan itu, Luc.
Tidak sekalipun kamu kembali setelah kukatakan bahwa aku tidak mencintaimu. Tidak sedikitpun kamu mencoba untuk memperlihatkan kesungguhan rasamu. Tidak.
Dan aku...., dengan lukaku, telah menjadi kamu.
Ya, aku sungguh menjadi kamu.
Bertahan dalam luka.
Lama kusadari bahwa aku juga terluka, Luc.
Bahwa sesungguhnya ada rasa disana.
Ada cinta.
Aku adalah kamu yang tidak berusaha membuktikan bahwa aku memiliki perasaan yang sama.
Aku adalah kamu yang tidak mau menunjukkannya.
Tidak memperjuangkannya.
Memperjuangkan cinta.
Selamat jalan, Lucas.
Semoga kita bisa berjumpa kembali saat kehidupan berikutnya.
Kembali memperjuangkan rasa yang kita punya.
Bersama. Berdua.
Sekarang biarkan aku mengatakannya...
Lucas, aku mencintaimu.


bukhorigan memberi reputasi
1
24
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan