Kaskus

Regional

junirullahAvatar border
TS
junirullah
Naik Sepeda Ontel 1987 Seperti Kerja Rodi di Zaman Jepang, Asik tapi Mencekam
Cerita Naik Sepeda Ontel ke Sekolah Dasar Tahun 1987 Bersama Udin dan Budi

Pada suatu masa, di tahun 1987, saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sekolah saya terletak di desa yang cukup jauh dari rumah. Jarak tempuh dari rumah ke sekolah sekitar 3 kilometer.

Waktu itu, transportasi umum belum begitu berkembang. Jalanan juga masih belum begitu mulus. Jadi, satu-satunya cara untuk pergi ke sekolah adalah naik sepeda.

Saya tidak memiliki sepeda sendiri. Jadi, saya harus menumpang sepeda teman. Teman saya bernama Udin. Dia tinggal di dekat rumah saya.

Setiap pagi, saya harus bangun pagi-pagi untuk berangkat ke sekolah. Udin akan menjemput saya sekitar pukul 06.00.

Sepeda Udin adalah sepeda ontel tua. Sepeda itu sudah kusam dan berkarat. Tapi, sepeda itu masih bisa berfungsi dengan baik.

Pagi itu, saya sudah siap-siap di depan rumah. Udin datang tepat waktu. Dia tersenyum melihat saya yang sudah siap.

"Ayo, berangkat," kata Udin.

Saya segera naik ke belakang sepeda Udin. Udin kemudian mengayuh sepedanya dengan perlahan.

Jalan menuju sekolah cukup menanjak. Udin harus mengayuh sepedanya dengan lebih keras. Saya pun harus berpegangan erat agar tidak terjatuh.

Sepanjang perjalanan, saya menikmati pemandangan pedesaan yang indah. Udara pagi yang segar juga membuat saya merasa rileks.

Tetapi, ada juga hal-hal yang membuat saya merasa cemas. Jalanan yang masih belum begitu mulus membuat sepeda Udin sering terguncang. Saya khawatir akan terjatuh.

Selain itu, saya juga khawatir akan bertemu dengan binatang buas. Di desa saya, masih ada beberapa binatang buas, seperti ular dan macan tutul.

Untungnya, kami tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan selama perjalanan. Kami sampai di sekolah tepat waktu.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Udin atas kebaikannya. Udin tersenyum dan berkata, "Sama-sama, teman."

Rasa Asyik dan Mencekam

Perjalanan ke sekolah dengan sepeda ontel bersama Udin adalah pengalaman yang asyik dan mencekam. Asyik karena saya bisa menikmati pemandangan pedesaan dan udara pagi yang segar. Mencekam karena saya khawatir akan terjatuh atau bertemu dengan binatang buas.

Pengalaman itu juga mengajarkan saya arti kerja keras dan kebersamaan. Saya harus bekerja keras untuk sampai ke sekolah. Saya juga harus bekerja sama dengan Udin untuk menjaga keseimbangan sepeda.

Pengalaman itu akan selalu saya ingat sebagai bagian dari masa kecil saya. Transportasi umum di desa saya masih sangat terbatas. Hanya ada beberapa angkot yang beroperasi, dan itu pun tidak selalu tersedia. Oleh karena itu, sebagian besar anak-anak sekolah harus berjalan kaki atau naik sepeda untuk pergi ke sekolah.

Saya tinggal di sebuah desa kecil di Aceh-Sumatera. Jarak antara rumah saya dan sekolah sekitar 3 kilometer. Setiap hari, saya harus berjalan kaki atau naik sepeda untuk pergi ke sekolah. Jika berjalan kaki, saya membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke sekolah. Jika naik sepeda, saya membutuhkan waktu sekitar 30 menit.

Salah satu teman saya, namanya Udin, memiliki sepeda ontel. Sepeda ontel adalah sepeda tradisional yang terbuat dari besi. Sepeda ini memiliki velg kayu dan ban karet tipis. Udin sering mengajak saya memboncengnya untuk pergi ke sekolah.

Saat dibonceng Udin, saya harus duduk di belakangnya, dengan kedua kaki saya dilipat di depan dada. Saya harus memegang erat pinggang Udin agar tidak jatuh. Sepeda ontel yang dikendarai Udin tidak memiliki bantalan, sehingga perjalanan menjadi sangat bumpy.

Meskipun perjalanan dibonceng Udin sangat melelahkan, saya sangat menikmatinya. Saya merasa seperti sedang bekerja rodi di zaman Jepang. Saya harus berjuang keras untuk menahan tubuh saya agar tidak jatuh.

Selain melelahkan, perjalanan dibonceng Udin juga sangat mencekam. Jalanan desa yang saya lewati sangat sepi dan gelap. Di samping jalan, terdapat hutan yang lebat. Saya selalu merasa takut melihat bayangan-bayangan di hutan tersebut.

Meskipun demikian, saya tidak pernah mengeluh. Saya selalu senang bisa dibonceng Udin ke sekolah. Bagi saya, perjalanan membonceng Udin adalah pengalaman yang tak terlupakan.

Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah saat kami melewati jembatan tua yang terbuat dari kayu. Jembatan tersebut sangat sempit dan licin. Udin harus mengendarai sepedanya dengan sangat hati-hati agar tidak terjatuh. Saya pun harus memegang erat pinggang Udin agar tidak terpeleset.

Saat melewati jembatan tersebut, saya merasa seperti sedang berada di atas tali. Saya merasakan sensasi yang sangat menegangkan. Namun, pada saat yang sama, saya juga merasakan sensasi yang sangat menyenangkan.

Setelah melewati jembatan tua, kami pun tiba di sekolah. Saya merasa sangat lega karena akhirnya sampai di sekolah. Namun, saya juga merasa sedikit sedih karena perjalanan yang menyenangkan itu harus berakhir.

Pengalaman dibonceng Udin ke sekolah telah mengajarkan saya banyak hal. Saya belajar tentang arti persahabatan, kerja keras, dan keberanian. Saya juga belajar tentang pentingnya menikmati setiap momen dalam hidup, meskipun momen tersebut terasa melelahkan atau mencekam.

Cerita bersama Budi hampir sama dengan Udin teman saya, tapi berbeda tempat dan waktu jarak pindah sekolah, Pada suatu masa, di tahun 1987, saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Kala itu, transportasi umum masih belum seramai sekarang. Orang-orang masih banyak yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari.

Saya tinggal di sebuah desa yang cukup jauh dari sekolah. Jarak antara rumah saya dengan sekolah sekitar 5 kilometer. Jika berjalan kaki, saya akan membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke sekolah.

Oleh karena itu, saya selalu dibonceng teman saya, Budi, untuk pergi ke sekolah. Budi memiliki sepeda ontel yang cukup besar, sehingga bisa membonceng saya.

Berangkat ke sekolah bersama Budi adalah pengalaman yang seru, tapi juga melelahkan. Kami harus berangkat pagi-pagi sekali, sekitar pukul 5 pagi, agar tidak terlambat.

Jalan menuju sekolah masih berupa jalan tanah yang belum beraspal. Jalannya pun tidak rata, sehingga sepeda sering terguncang.

Budi mengendarai sepedanya dengan cepat. Dia ingin cepat sampai sekolah, agar bisa istirahat sejenak sebelum masuk kelas.

Saya duduk di belakang Budi, sambil menahan tubuh agar tidak terjatuh. Angin pagi yang dingin menerpa wajah saya.

Sepanjang perjalanan, kami mengobrol dan tertawa. Budi bercerita tentang pengalamannya di sekolah. Saya juga bercerita tentang pengalaman saya di rumah.

Sesampainya di sekolah, kami langsung masuk kelas. Saya masih merasa lelah, tapi saya juga merasa senang. Saya senang bisa berangkat ke sekolah bersama Budi.

Berangkat ke sekolah dengan sepeda ontel bersama Budi adalah kenangan yang tak akan saya lupakan. Kenangan itu terasa seperti kerja rodi di zaman Jepang, tapi juga asik dan mencekam.


Penulis Junirullah
0
15
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan