- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
Politik Bahasa
TS
sofanfitri
Politik Bahasa
Memperingati sumpah pemuda yang ke 95 tahun, kemarin saya menemukan tulisan bagus mengenai pentingnya kita menjaga bahasa daerah kita. Memang cukup berat dengan kondisi majunya dunia yang disebut modern ini. Anak kita lebih dipersiapkan belajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris daripada bahasa daerahnya. Jika dalam waktu lama terjadi, tentu bahasa daerah tinggal historis dalam kehidupan manusia di masa mendatang. Bila tidak dari kita siapa lagi yang menjaga warisan leluhur ini?
Semoga kutipan tulisan bagus yang saya bagikan ini menjadi bahan reflektif bagi kehidupan kita untuk berbangsa dan bertanah air.
Semoga kutipan tulisan bagus yang saya bagikan ini menjadi bahan reflektif bagi kehidupan kita untuk berbangsa dan bertanah air.
Quote:
Politik Bahasa
Siti Murtiningsih
Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
(Koran Kompas terbit sabtu, 28 Oktober 2023)
Pada tahun 1921, seorang
filsuf Austria, Ludwig
Wittgenstein (1889-1951),
menulis sebuah kalimat deklaratif dalam bukunya, Logisch Philosophische Abhandlung:
”Die Grenzen meiner Sprache
bedeuten die Grenzen meiner
Welt”.Artinya: ”batas bahasaku
adalah batas duniaku”. Pernyataan Wittgenstein ini menegaskan betapa pentingnya peran
bahasa dalam upaya manusia
memahami dunia.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 28 Oktober 1928,
sekelompok pemuda di Batavia
menyatakan satu sumpah yang
antara lain menyatakan ”Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Sumpah itu
kemudian dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda dan
tanggal 28 Oktober diperingati
sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Politik bahasa kita
Penulis tidak tahu pasti apakah para pemuda yang menjadi
panitia Kongres Pemuda tahun
1928 itu membaca buku Wittgenstein atau tidak. Akan tetapi,
melihat semangat dan isi sumpah yang mereka ucapkan, penulis berpandangan bahwa mereka sudah memiliki kesadaran
yang sama dengan Wittgenstein
akan pentingnya bahasa sebagai
medium memahami dunia.
Bahasa yang kita punya akan
menentukan bagaimana pemahaman kita akan dunia.
Terlepas dari konteks sejarahnya yang penuh paradoks
karena ternyata para pemuda
peserta kongres itu kebanyakan
berpikir dan berbicara dalam
bahasa Belanda, bahkan nama
resmi kongres itu juga berbahasa Belanda (Indonesische
Jeugdcongres), apa yang mereka lakukan pada waktu itu
tetaplah penting untuk dikenang sebagai satu tonggak perjuangan nasional kita.
Keputusan para pemuda itu
untuk ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” merupakan penegasan bahwa bahasa merupakan bagian penting
dari politik perlawanan. Bahasa
memiliki kekuatannya sendiri.
Ia tidak hanya memiliki fungsi
deskripsi dan ekspresi, tetapi
juga memiliki fungsi indoktrinasi yang dapat memengaruhi
bagaimana seseorang memandang dirinya dan dunianya.
Itulah alasan kenapa kemudian kita mengenal yang namanya ’politik bahasa’. Bahasa
tidak hadir dalam konteks yang
netral dari politik. Bahkan, bahasa itu sendiri bisa sangat politis. Hal ini ditunjukkan dengan sangat baik oleh George
Orwell dalam novelnya yang
bercorak distopian, Nineteen
Eighty-Four (1949).
Novel tersebut menceritakan
sebuah rezim totaliter di negara
super bernama Oseania. Untuk
mengontrol pikiran penduduknya, rezim diktator pimpinan
Big Brother ini mengembangkan sebuah bahasa baru yang
disebut ”Newspeak”.
Bahasa baru ini memiliki
kosakata yang sangat sederhana
dan terbatas. Tujuannya tentu
membatasi kebebasan penduduknya dalam mengekspresikan pikiran mereka. Orang-orang yang anti terhadap rezim
diktator itu pun jadi kehilangan
bahasa untuk mengungkapkan
kritiknya.
Kata ’bebas’, misalnya, tetap
ada dalam kosakata Newspeak.
Akan tetapi, ia hanya memiliki arti ’tiadanya sesuatu’. Misalnya, ”makanan ini bebas dari
kuman” atau ”udara bebas dari
polusi”. Kata ’bebas’ tidak memiliki arti tidak adanya paksaan dan batasan seperti dalam ’kehendak bebas’ atau ’kebebasan
berbicara dan berpendapat’.
Dengan demikian, penduduk
Oseania pun tidak mengenal
konsep kebebasan. Melalui Newspeak inilah rezim diktator
Big Brother di Oseania ampuh
dalam membungkam kritik.
Sekelompok pemuda yang
berkongres di Batavia pada 1928
menyadari betul aspek politis
dari bahasa. Meskipun mereka
sendiri kala itu lebih sering berpikir danbertutur dalambahasa
Belanda, melalui Kongres Pemuda II itu mereka sudah
membayangkan adanya bahasa
bersama yang bukan bahasa Belanda, yaitu bahasa Indonesia.
Mereka sadar betul bahwa
jika bangsa Indonesia tetap
menggunakan bahasa Belanda,
maka kita akan berpikir dalam alam berpikir kolonial.
Untuk terbebas dari alam pikir kolonial, maka Sumpah Pemuda memproyeksikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun, apakah masalahnya lalu selesai ?
Ternyata tidak. Peneguhan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional ternyata menyisakan masalah politis antara
pusat dan daerah. Sebelum bahasa Indonesia diratifikasi sebagai bahasa nasional, rakyat
Indonesia sudah hidup dengan
bahasa daerah masing-masing.
Posisi bahasa daerah
Berdasarkan laporan Badan
Bahasa pada 2011, di Indonesia
ini setidaknya ada 514 bahasa
daerah. Ini menunjukkan Indonesia memiliki sumber daya
bahasa yang sangat kaya untuk
memahami, menggambarkan,
dan menjelaskan dunia. Akan
tetapi, sayangnya, laporan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa ada tren di kalangan
generasi muda untuk semakin
meninggalkan bahasa daerah.
Semakin muda, semakin berkurang yang bisa berbahasa
daerah. Yang bisa berbahasa
daerah dari generasi boomer
masih lebih dari 80 persen. Namun, di kalangan generasi Z,
yang masih menggunakan bahasa daerah dalam percakapan
dengan kerabat atau tetangga
mereka hanya 69,9 persen. Bahkan, di generasi setelahnya, hanya tersisa 61,7 persen.
Kita sering melihat anak-anak kecil di daerah yang tidak
pernah diajak berbicara menggunakan bahasa daerah oleh
orangtuanya. Banyak orangtua
masa kini lebih suka mengajarkan bahasa Indonesia pada
anak-anaknya, tanpa sedikit
pun mengenalkan bahasa daerahnya. Ini menjadi alarm bagi
punahnya bahasa daerah yang
merupakan kekayaan bangsa.
Dan jangan lupa bahwa fenomena ini tak terjadi secara
natural. Fenomena berkembang dan punahnya bahasa bisa
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat politis seperti yang digambarkan Orwell.
Dalam konteks berkurangnya penutur bahasa daerah di
Indonesia, bisa jadi yang menjadi faktor utamanya adalah politik kebudayaan yang dihegemoni oleh kebudayaan nasional
dan bahkan kebudayaan luar.
Selama beberapa tahun terakhir ini,tontonan banyak keluarga di daerah adalah sinetron
yang menampilkan sosok-sosok yang fasih berbahasa Indonesia.
Oleh karena itu, tertanam dalam pikiran mereka bahwa syarat menjadi keluarga keren dan
tampak terdidik adalah menggunakan bahasa Indonesia.
Ini ditambah lagi dengan masuknya banyak budaya pop dari
luar seperti lagu dan film Korea, sehingga banyak anak muda saat ini mulai gandrung dengan
bahasa Korea. Tidak sulit saat
ini untuk menemukan anak
muda yang lebih mengerti bahasa Korea daripada bahasa
daerahnya sendiri. Ini merupakan fenomena politik kebudayaan yang berimplikasi pada
bertambah dan berkurangnya
penutur sebuah bahasa.
Jika kita meyakini, sebagaimana Wittgenstein, bahwa batas bahasa adalah batas dunia,
maka bahasa yang digunakan
oleh satu generasi akan menentukan bagaimana mereka
memahami dan mengalami dunianya. Mengabaikan dan meninggalkan bahasa daerah berarti meninggalkan cara memahami dan mengalami dunia
yang sudah diwariskan oleh leluhur kita.
Karena itu, menurut penulis,
penting sekali untuk menguatkan posisi bahasa daerah dalam bahasa Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan meratifikasi kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.
Ketika ada hal yang tidak di temukan bahasa Indonesianya,
maka sebaiknya kita coba untuk
menggalinya dari kosakata bahasa daerah.
Kata download dan upload,
misalnya, susah ditemukan padanannya dalam kosakata bahasa Indonesia yang sudah ada.
Namun, kita memiliki
kosakata bahasa Jawa yang memiliki arti kurang lebih sama,
yaitu ’unduh’ dan ’unggah’. Dengan demikian, maka kata ’unduh’ dan ’unggah’ pun diratifikasi sebagai bagian dari
kosakata bahasa Indonesia yang
baku untuk mewakili download’
dan upload.
Usaha semacam itu merupakan hal yang perlu terus dilakukan karena, selain memperkaya bahasa Indonesia, juga menambah sumber pemahaman kita akan dunia. Memperkaya bahasa, mengikuti Wittgenstein, berarti memperluas
cakrawala dunia.
klik.kompas.id/opini
Siti Murtiningsih
Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
(Koran Kompas terbit sabtu, 28 Oktober 2023)
Pada tahun 1921, seorang
filsuf Austria, Ludwig
Wittgenstein (1889-1951),
menulis sebuah kalimat deklaratif dalam bukunya, Logisch Philosophische Abhandlung:
”Die Grenzen meiner Sprache
bedeuten die Grenzen meiner
Welt”.Artinya: ”batas bahasaku
adalah batas duniaku”. Pernyataan Wittgenstein ini menegaskan betapa pentingnya peran
bahasa dalam upaya manusia
memahami dunia.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya pada 28 Oktober 1928,
sekelompok pemuda di Batavia
menyatakan satu sumpah yang
antara lain menyatakan ”Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Sumpah itu
kemudian dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda dan
tanggal 28 Oktober diperingati
sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Politik bahasa kita
Penulis tidak tahu pasti apakah para pemuda yang menjadi
panitia Kongres Pemuda tahun
1928 itu membaca buku Wittgenstein atau tidak. Akan tetapi,
melihat semangat dan isi sumpah yang mereka ucapkan, penulis berpandangan bahwa mereka sudah memiliki kesadaran
yang sama dengan Wittgenstein
akan pentingnya bahasa sebagai
medium memahami dunia.
Bahasa yang kita punya akan
menentukan bagaimana pemahaman kita akan dunia.
Terlepas dari konteks sejarahnya yang penuh paradoks
karena ternyata para pemuda
peserta kongres itu kebanyakan
berpikir dan berbicara dalam
bahasa Belanda, bahkan nama
resmi kongres itu juga berbahasa Belanda (Indonesische
Jeugdcongres), apa yang mereka lakukan pada waktu itu
tetaplah penting untuk dikenang sebagai satu tonggak perjuangan nasional kita.
Keputusan para pemuda itu
untuk ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” merupakan penegasan bahwa bahasa merupakan bagian penting
dari politik perlawanan. Bahasa
memiliki kekuatannya sendiri.
Ia tidak hanya memiliki fungsi
deskripsi dan ekspresi, tetapi
juga memiliki fungsi indoktrinasi yang dapat memengaruhi
bagaimana seseorang memandang dirinya dan dunianya.
Itulah alasan kenapa kemudian kita mengenal yang namanya ’politik bahasa’. Bahasa
tidak hadir dalam konteks yang
netral dari politik. Bahkan, bahasa itu sendiri bisa sangat politis. Hal ini ditunjukkan dengan sangat baik oleh George
Orwell dalam novelnya yang
bercorak distopian, Nineteen
Eighty-Four (1949).
Novel tersebut menceritakan
sebuah rezim totaliter di negara
super bernama Oseania. Untuk
mengontrol pikiran penduduknya, rezim diktator pimpinan
Big Brother ini mengembangkan sebuah bahasa baru yang
disebut ”Newspeak”.
Bahasa baru ini memiliki
kosakata yang sangat sederhana
dan terbatas. Tujuannya tentu
membatasi kebebasan penduduknya dalam mengekspresikan pikiran mereka. Orang-orang yang anti terhadap rezim
diktator itu pun jadi kehilangan
bahasa untuk mengungkapkan
kritiknya.
Kata ’bebas’, misalnya, tetap
ada dalam kosakata Newspeak.
Akan tetapi, ia hanya memiliki arti ’tiadanya sesuatu’. Misalnya, ”makanan ini bebas dari
kuman” atau ”udara bebas dari
polusi”. Kata ’bebas’ tidak memiliki arti tidak adanya paksaan dan batasan seperti dalam ’kehendak bebas’ atau ’kebebasan
berbicara dan berpendapat’.
Dengan demikian, penduduk
Oseania pun tidak mengenal
konsep kebebasan. Melalui Newspeak inilah rezim diktator
Big Brother di Oseania ampuh
dalam membungkam kritik.
Sekelompok pemuda yang
berkongres di Batavia pada 1928
menyadari betul aspek politis
dari bahasa. Meskipun mereka
sendiri kala itu lebih sering berpikir danbertutur dalambahasa
Belanda, melalui Kongres Pemuda II itu mereka sudah
membayangkan adanya bahasa
bersama yang bukan bahasa Belanda, yaitu bahasa Indonesia.
Mereka sadar betul bahwa
jika bangsa Indonesia tetap
menggunakan bahasa Belanda,
maka kita akan berpikir dalam alam berpikir kolonial.
Untuk terbebas dari alam pikir kolonial, maka Sumpah Pemuda memproyeksikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun, apakah masalahnya lalu selesai ?
Ternyata tidak. Peneguhan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional ternyata menyisakan masalah politis antara
pusat dan daerah. Sebelum bahasa Indonesia diratifikasi sebagai bahasa nasional, rakyat
Indonesia sudah hidup dengan
bahasa daerah masing-masing.
Posisi bahasa daerah
Berdasarkan laporan Badan
Bahasa pada 2011, di Indonesia
ini setidaknya ada 514 bahasa
daerah. Ini menunjukkan Indonesia memiliki sumber daya
bahasa yang sangat kaya untuk
memahami, menggambarkan,
dan menjelaskan dunia. Akan
tetapi, sayangnya, laporan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa ada tren di kalangan
generasi muda untuk semakin
meninggalkan bahasa daerah.
Semakin muda, semakin berkurang yang bisa berbahasa
daerah. Yang bisa berbahasa
daerah dari generasi boomer
masih lebih dari 80 persen. Namun, di kalangan generasi Z,
yang masih menggunakan bahasa daerah dalam percakapan
dengan kerabat atau tetangga
mereka hanya 69,9 persen. Bahkan, di generasi setelahnya, hanya tersisa 61,7 persen.
Kita sering melihat anak-anak kecil di daerah yang tidak
pernah diajak berbicara menggunakan bahasa daerah oleh
orangtuanya. Banyak orangtua
masa kini lebih suka mengajarkan bahasa Indonesia pada
anak-anaknya, tanpa sedikit
pun mengenalkan bahasa daerahnya. Ini menjadi alarm bagi
punahnya bahasa daerah yang
merupakan kekayaan bangsa.
Dan jangan lupa bahwa fenomena ini tak terjadi secara
natural. Fenomena berkembang dan punahnya bahasa bisa
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat politis seperti yang digambarkan Orwell.
Dalam konteks berkurangnya penutur bahasa daerah di
Indonesia, bisa jadi yang menjadi faktor utamanya adalah politik kebudayaan yang dihegemoni oleh kebudayaan nasional
dan bahkan kebudayaan luar.
Selama beberapa tahun terakhir ini,tontonan banyak keluarga di daerah adalah sinetron
yang menampilkan sosok-sosok yang fasih berbahasa Indonesia.
Oleh karena itu, tertanam dalam pikiran mereka bahwa syarat menjadi keluarga keren dan
tampak terdidik adalah menggunakan bahasa Indonesia.
Ini ditambah lagi dengan masuknya banyak budaya pop dari
luar seperti lagu dan film Korea, sehingga banyak anak muda saat ini mulai gandrung dengan
bahasa Korea. Tidak sulit saat
ini untuk menemukan anak
muda yang lebih mengerti bahasa Korea daripada bahasa
daerahnya sendiri. Ini merupakan fenomena politik kebudayaan yang berimplikasi pada
bertambah dan berkurangnya
penutur sebuah bahasa.
Jika kita meyakini, sebagaimana Wittgenstein, bahwa batas bahasa adalah batas dunia,
maka bahasa yang digunakan
oleh satu generasi akan menentukan bagaimana mereka
memahami dan mengalami dunianya. Mengabaikan dan meninggalkan bahasa daerah berarti meninggalkan cara memahami dan mengalami dunia
yang sudah diwariskan oleh leluhur kita.
Karena itu, menurut penulis,
penting sekali untuk menguatkan posisi bahasa daerah dalam bahasa Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan meratifikasi kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.
Ketika ada hal yang tidak di temukan bahasa Indonesianya,
maka sebaiknya kita coba untuk
menggalinya dari kosakata bahasa daerah.
Kata download dan upload,
misalnya, susah ditemukan padanannya dalam kosakata bahasa Indonesia yang sudah ada.
Namun, kita memiliki
kosakata bahasa Jawa yang memiliki arti kurang lebih sama,
yaitu ’unduh’ dan ’unggah’. Dengan demikian, maka kata ’unduh’ dan ’unggah’ pun diratifikasi sebagai bagian dari
kosakata bahasa Indonesia yang
baku untuk mewakili download’
dan upload.
Usaha semacam itu merupakan hal yang perlu terus dilakukan karena, selain memperkaya bahasa Indonesia, juga menambah sumber pemahaman kita akan dunia. Memperkaya bahasa, mengikuti Wittgenstein, berarti memperluas
cakrawala dunia.
klik.kompas.id/opini
Diubah oleh sofanfitri 03-11-2023 02:26
hnurmala dan Jambaik memberi reputasi
2
365
Kutip
0
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan