Kaskus

Story

kiyazmAvatar border
TS
kiyazm
Sepotong Lontong Dari Tetanggaku
Sepotong Lontong dari Tetanggaku

Rona jingga mulai mewarnai sang cakrawala, lampu-lampu jalan pun sudah dihidupkan, tenda-tenda mulai berjejeran di pinggir jalan bersiap menyambut malam. Aku berjalan lunglai menatap hampa pada map cokelat yang berada di genggaman. Seharian penuh berkeliling, tetapi tak satu pun toko ataupun pabrik yang menerima lamaran perkerjaanku.

Aku mengusap tetes keringat yang membasahi dahi. Bedak dan lipstik seharga puluhan ribu itu mungkin kini sudah luntur berganti debu yang tak malu menempel. Membayangkan adik perempuanku duduk di depan pintu dengan boneka di pelukan membuatku lagi-lagi menitikkan air mata. Wajah penuh harapnya juga dua gigi kelinci yang selalu terlihat ketika tersenyum itu membuatku selalu merasa bersalah.

Sejak kematian ibu beberapa bulan lalu hidup kami seratus delapan puluh derajat berubah. Ibu yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga juga penghidup suasana kini telah tiada. Sedang ayahku entah berada di belahan bumi mana. Kata ibu, ketika adikku berusia dua tahun, ayah pamit merantau. Namun, hingga kini tak terlihat batang hidungnya. Bahkan ketika Ibu mengembuskan napas terakhirnya pun beliau tak hadir di pemakamannya.

“cangcimen, cangcimen, kacang, kuaci, permen!” teriak anak kecil berkaus putih lusuh yang di beberapa bagiannya sobek itu.

“Kacang, kuaci, permen, Kak,” tawarnya ketika sampai di depanku.

Tatapan senduku pada dua uang puluhan di saku beralih pada sorot mata polos yang kini berkaca. Meski ia tersenyum, tetapi siapa pun yang melihatnya pasti akan tahu jika ia sedang kelaparan. Tubuh kerempeng, tulang selangka yang menonjol juga sebelah tangannya yang berkali-kali mengelus perutnya membuatnya makin terlihat jelas. Aku jadi membayangkan jika adikku berada di posisinya.

“Permen lolipopnya dua, Dek,” jawabku yang dibalasnya dengan anggukan semangat. Gegas tangan yang tak terlihat dagingnya itu mengangsurkan dua permen berbentuk hati.

“Maaf, Kak, enggak ada kembaliannya,” serunya ketika aku memberikannya selembar puluhan.

“Ambil aja kembaliannya, Dek,” sahutku. Ia ingin menolak, tetapi aku memaksanya. Sebelum beranjak, kuusap pipi tirusnya.

Langkahku gontai, menyusuri jalanan sempit di perumahan padat penduduk ini. Aku menelan ludah berkali-kali ketika melewati pedagang nasi goreng. Bau harum juga segelas es teh seakan-akan menarikku. Lagi-lagi aku melihat uangku yang kian menipis juga dua permen lolipop yang baru saja kubeli. Biarlah malam ini segelas air putih yang mengisi perutku. Terpenting senyum adikku selalu terpatri.

Aku menghela napas panjang ketika gerbang kayu setengah dada menyapa. Gelap, kontras dengan rumah-rumah tetangga yang terang benderang. Bukan aku yang tak mampu membayar, tetapi tangan adikku yang belum sampai untuk menekan saklar.

“Selamat malam, Cantik,” sapaku setelah menghidupkan lampu. Dengan memeluk boneka beruangnya, Cantika berlari menyongsongku. Hampir saja aku terjatuh jika tak segera berpegangan pada tembok.

“Kakak ke mana aja? Lama banget Ika nungguinnya,” katanya dengan mencebikkan bibir, pipinya yang sengaja digelembungkan membuatku gemas mencubitnya.

“Kakak, kan, lagi cari uang buat Ika. Biar bisa beliin kamu lolipop yang gede biar. Katanya mau nyaingin punya Raina,” sahutku mencoba menenangkannya.

“Beliin yang gede, ya, Kak,” ucap Cantika sembari merentangkan tangannya.

“Ini Kakak beliin kamu dua lolipop. Suka enggak?” Beban berat di pundakku tiba-tiba terangkat melihat senyum lebarnya. Cantika mengucapkan terima kasih berkali-kali seraya mengacungkan kedua lolipopnya.

“T-tapi Ika kangen sama Ibu, Kak. Tadi malam Ika enggak bisa tidur karena enggak ada yang peluk dan bacain dongeng lagi. Terus dari pagi Ika juga belum makan karena enggak ada Ibu yang nyuapin Ika pas males makan. Ika pengen ikut Ibu, Kak,” katanya kemudian berjongkok dan menangis kencang. Aku menggigit bibir kemudian duduk dan memeluknya.

“Kakak juga kangen Ibu, Dek,” ucapku lirih sembari mengelus punggung kecilnya. Sesekali kuusap air mataku yang berlinangan. Kami kembali meratapi, seakan-akan duka itu masih berada di pelupuk mata.

“Kak, Ika laper.” Tangisnya tiba-tiba berhenti seiring dengan suara cacingnya yang terdengar kencang. Aku tertawa pelan kemudian mengusap air mata juga ingusnya yang membasahi pipi.

“Cantiknya kakak mau makan apa?” tawarku. Perempuan berambut sebahu di depanku mengernyitkan dahi seakan-akan sedang berpikir keras. Sedang aku meringis menatap selembar puluhan yang tersisa.

“Mau nasi goreng depan sekolahan, Kak. Ika udah lama enggak makan itu,” jawabnya dengan mata berbinar, sepertinya ia sedang membayangkan kelezatan makanan itu, sama sepertiku tadi.

Otakku bergerak cepat, mengkalkulasi berbagai kemungkinan yang ada. Jika malam ini makan nasi goreng, maka besok hanya bisa makan nasi putih saja. Namun, bagaimana sorot mata penuh harap Cantika? Belum kering air matanya, apa bisa aku setega itu membuatnya kembali bersimbah air mata?

“Oke. Kamu sendiri di rumah enggak apa-apa, kan? Kakak janji cuma sebentar,” pamitku sembari membenarkan poninya yang acak-acakan. Tak ada pilihan lagi, biarlah esok nanti akan kupikirkan lagi. Aku percaya setiap makhluk di bumi pasti memiliki rejekinya masing-masing.

“Kakak janji, kan? Kakak enggak akan ninggalin aku kaya Ibu sama Bapak, kan,” sahutnya sembari menatapku dalam. Aku mendongak, menghalau air mata yang siap kembali turun.

“Enggak. Kan, Kakak udah janji mau nemanin Ika terus. Iya, kan?” Cantika kembali memelukku erat. Sepertinya kematian Ibu berdampak besar baginya.

“Jangan tinggalin Ika, ya, Kak.”

Baru saja aku membuka gerbang kayu yang kini sudah lapuk itu, Bu Ningsih, tetangga depan rumah tiba-tiba berjalan cepat ke arahku. Ada apa ini?

“Alana!” Panggilannya membuat langkahku terhenti.

“Ini ada lontong sayur buat kamu sama adikmu. Dimakan, ya. Dihangatin sendiri enggak apa-apa, kan?” kata Bu Ningsih sembari mengangsurkan sepiring lontong beserta kuahnya.

Aku mengangguk semangat kemudian menerimanya. “Terima kasih banyak, Bu,” ucapku berkali-kali. Sedang Bu Ningsih hanya tersenyum menanggapi.


bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
44
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan