- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ketukan Di Jendela - KUNCEN


TS
kaniarf
Ketukan Di Jendela - KUNCEN

Quote:
Keluarga kami hanyalah keluarga kecil sederhana. Anggotanya hanya ada ayah, ibu, aku dan kakak lelakiku. Awalnya kami tinggal bersama nenek dan adik-adik ayah yang masih lajang di rumah peninggalan mendiang kakek yang letaknya di ibukota. Namun, seiring berjalannya waktu, ayah memutuskan untuk tinggal terpisah karena takut merepotkan dan rasanya salah jika kami masih terus menumpang di rumah itu.
Saat ayah merasa uangnya sudah cukup untuk membeli sebuah rumah, akhirnya kami pun mencari rumah dengan harga murah. Maklum saja, Ayah bukanlah pekerja dengan upah besar, jadi uang hasil kumpul-kumpulnya setelah belasan tahun itu hanya cukup untuk membeli rumah kampung di pinggiran kota yang ditawarkan seorang kenalan ayah. Tadinya, ayah agak ragu membeli rumah itu. Bukan karena kondisi lingkungan yang masih sepi dan minim tetangga. Akan tetapi, karena letaknya yang cukup jauh dari ibukota. Hal tersebutlah yang membuat ayah merasa kesulitan jika harus pulang-pergi antara rumah dan kantornya setiap hari.
Pada akhirnya, kami tetap membeli rumah itu dan ayah memutuskan untuk mencari pekerjaan baru yang jaraknya lebih dekat dengan rumah. Agak nekat memang, tapi syukurlah tidak butuh waktu lama, ayah segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya, juga letak kantor yang lebih dekat. Masalah ayah dengan mudah terselesaikan. Namun, masalah baru justru muncul dari kakak lelakiku.
Saat kami pindah adalah saat kakak baru saja menyelesaikan pendidikannya di bangku SMK. Ia yang baru lulus itu, tentu ingin segera memulai kehidupan baru dengan bekerja. Kakak pun mencoba melamar beberapa pekerjaan dengan bidang yang memang ia minati. Beruntung, kakak juga cepat mendapatkan pekerjaan seperti ayah. Namun masalahnya, kakak diterima bekerja di daerah kota yang jaraknya sangat jauh. Sistem shiftpun menjadi kesulitan tersendiri bagi kakak karena sangat mungkin ada beberapa hari dalam seminggu yang mengharuskannya pulang saat tengah malam.
Oh ya, pintu rumah baru kami sedikit unik. Jika dikunci dari dalam, kuncinya menjadi sulit dicabut dan terus menempel pada lubang kunci bagian dalam. Hal itu membuat pintu jadi tidak bisa dibuka dengan kunci lain dari arah luar. Oleh sebab itu, kakakku tidak pernah membawa kunci rumah cadangan, sedangkan kami tidak selalu tidur larut malam untuk menunggunya pulang. Alhasil, kami semua sepakat untuk tetap mengunci pintu seperti biasa sebelum pergi tidur, meskipun kakak pulang larut malam. Sebagai gantinya, kami membuat sebuah kode rahasia. Jika kakak pulang malam, ia akan mengetuk jendela kamarku untuk membangunkanku dengan maksud minta dibukakan pintu. Memang agak merepotkan untukku, tapi mau bagaimana lagi? Karena kebetulan, posisi kamarku adalah yang paling dekat dengan pintu depan.
Ternyata, cara ini terbilang cukup berhasil. Pada akhirnya, aku dapat menjalankan tugasku sebagai pembuka pintu di tengah malam dengan sangat baik. Kakak akan mengetuk jendelaku sebanyak 3 kali dengan suatu irama yang telah kami sepakati. Hal itu akan memudahkan bagiku mengenali kalau itu benar kakak dan bukannya orang lain. Ya, awalnya semua terbilang berjalan lancar, hingga kemudian di suatu malam, muncul suatu kejanggalan yang sampai saat ini masih membuatku bergidik ngeri jika teringat kembali.
Seperti malam-malam sebelumnya, aku terbangun karena suara ketukan di jendela. Aku mendengarkan dengan seksama irama ketukannya, memastikan bahwa itu benar kakak atau bukan, sebelum kemudian aku bangkit dan berjalan pelan ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Sejujurnya, aku ini orangnya penakut. Hal itulah yang membuatku enggan mengintip dari jendela untuk memastikan benar tidaknya sosok yang mengetuk jendela adalah kakakku. Karena alasan itu pula akhirnya kami menyepakati sebuah irama ketukan unik itu. Tanpa sadar, aku jadi sering menghembuskan napas lega kala melihat sosok di depan pintu adalah benar kakak lelakiku.
Tepat di depan pintu, malam itu kulihat lelaki tinggi dengan jaket warna kelabu dan tas ransel berwarna hitam tengah bersandar menanti pintu terbuka. Sempat merasa tegang hingga menahan napas, akhirnya aku bisa menjatuhkan bahuku yang kaku. Ya, dia memang benar kakakku. Tanpa bicara apa pun, kakak langsung masuk dan menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang di ruang tamu kami. Jika kuperhatikan lebih seksama, malam ini memang kakak terlihat agak pucat dan lunglai. Pikirku, mungkin kakak hanya kelelahan dan kelewat mengantuk saja.
Melihat kakak yang tampak sangat kelelahan, sebagai adik perempuan yang baik, aku segera membawakannya segelas air hangat. Yah, sebenarnya ini juga sudah menjadi salah satu rutinitas baruku. Bukannya aku senang melakukannya, tapi aku punya alasan tertentu membuat kakak merasa senang. Benar, itu kulakukan demi mendapat uang saku tambahan dari kakak.
Setelah meletakkan segelas air hangat di meja, tepat di hadapan kakak, aku pun segera pamit untuk kembali tidur. Aku punya kebiasaan sulit kembali tidur jika terjaga terlalu lama di malam hari. Jadi, aku pun tidak mau berlama-lama terjaga malam itu. Sambil berpamitan, aku pun tidak lupa menyampaikan sebuah pesan padanya.
“Kak, aku mau langsung tidur lagi ya. Jangan lupa nanti pintunya dikunci lagi.” Ujarku seraya menunjuk ke arah pintu depan yang masih terbuka lebar.
Kakak tidak menjawab, lelaki itu hanya menganggukan kepalanya. Aku tidak ambil pusing. Aku masih berpikir kakak hanya sangat lelah hingga malas bicara. Jadi, setelah mendapat tanda persetujuan untuk mengunci pintu, aku pun segera kembali ke kamarku dan bersiap untuk kembali tidur.
Baru saja memejamkan mata sekitar 5 menit, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara ketukan di jendela. Ketukan dengan irama yang sama seperti apa yang biasa kakakku lakukan. Awalnya, aku mengabaikan ketukan itu, hingga kemudian terdengar suara kakak yang berusaha memanggil-manggil namaku dari luar.
”Dek, bangun! Kamu tumben tidur pulas banget. Bukain pintunya dulu, dong. Kakak capek banget, nih.”
Aku bangkit dari posisi tidur dengan kesal. Dengan langkah yang sengaja dihentak-hentakkan, aku pun kembali ke ruang tamu dan untuk kedua kalinya membukakan kunci pintu depan.
“Lagian kakak ngapain sih keluar lagi? Kekunci kan jadinya. Akh, kakak ganggu banget.” Kataku tanpa sadar dengan setengah berteriak.
“Lah, kakaknya baru pulang malah dibentak-bentak.” Kakak terlihat kebingungan. ”Kamu ngigo? Belum sadar, dek?”
“Hah? Apa sih? Tadi kan kakak udah aku bukain pintu. Ini pasti kakak ngerjain aku, kan? Kakak keluar lagi, terus pura-pura baru pulang.” Aku masih bersikukuh dengan argumenku. ”Iya, kan?”
“Ada apa sih? Tengah malam loh ini.” Ibu mencoba menengahi pertengkaran kami. Mungkin karena suara ribut-ribut kedua anaknya, ibu jadi terbangun dan menghampiri kami untuk menengahi.
“Ini loh, bu, si adek kayaknya mimpi udah bukain pintu buat aku.” Kakak mencoba menjelaskan dengan singkat.
“Ih, aku gak mimpi. Bener deh, bu. Aku yakin banget tadi udah bukain pintu buat kakak. Ini pasti kakaknya aja yang iseng.” Aku menjawab dengan sangat yakin. ”Kakak pasti keluar lagi, terus pakai kunci cadangan buat isengin aku, kan?” tambahku.
“Tuh kan bu, dia ngigo. Dek, kamu ingatkan? Kunci pintu rumah kita selalu nempel di lubang kunci bagian dalam. Nih, ada! Kamu barusan yang muter.” Kakak menunjuk kunci yang masih tergantung di tempatnya itu dengan gemas. ”Terus, kalau kuncinya masih di situ, gimana caranya aku bisa ngunci pintunya dari luar pakai kunci cadangan?” Kakak mencoba menjelaskan. Sebuah penjelasan yang sangat masuk akal dan membuatku jadi semakin kebingungan.
“Kakak benar, tapi adek juga gak bohong. Tadi ibu sempat dengar suara kunci memang diputar 2 kali, cuma selang waktu sekitar 5 menitan.” Ibu sepertinya belum tertidur pulas. Jawaban ibu memperkuat argumenku. Tapi, tentu saja masih ada yang janggal rasanya.
“Tuh, kan? Aku gak bohong, kak. Tapi … kalau kakak baru pulang, tadi aku bukain pintu buat siapa?” Seketika aku bergidik ngeri. ”Kak, jangan bercanda dong. Aku jadi merinding, nih.” Kurasakan bulu kudukku mulai meremang. Angin dingin malam itu tiba-tiba kurasakan kian menusuk.
“Kamu mimpi aja kali. Ibu juga mungkin salah dengar.” Tanpa peduli ketakutanku dan jawaban dari ibu. Kakak justru menjawab dengan santai, sambil menerobos masuk ke dalam rumah, kemudian duduk di sofa.
Aku melirik ke arah meja di hadapan kakak. Di sana masih ada gelas yang terisi penuh air hangat yang sebelumnya kusuguhkan pada lelaki itu.
“Nah, tadi aku juga sempat bawain air hangat buat kakak. Itu dia!” Seolah teringat sesuatu yang penting, aku menunjuk gelas itu dengan semangat. ”Jadi, gak mungkin kalau yang tadi cuma mimpi. Aku juga gak pernah ada riwayat tidur sambil jalan. Coba aja kakak pegang gelasnya, pasti masih hangat," tantangku.
Kini mata kakakku terbelalak menatap ke arahku dengan tangan kanan menyentuh gelas di hadapannya, merasakan suhu hangat itu seraya berusaha mencerna segala situasi yang sedang terjadi.
“Iya, dek. Ini masih hangat,” Kakak diam sebentar, sebelum melanjutkan “Terus … kalau memang benar begitu. Tadi yang kamu bukain pintu itu siapa?”
Aku dan kakak saling menatap bingung. Otak kami seolah membeku, tak dapat memproses apa yang sebenarnya telah terjadi. Sunyi. Hingga kemudian sebuah suara memecah kesunyian di antara kami, membuat aku dan kakak kompak menoleh ke arah sumber suara.
“Mungkin, yang kamu bukakan pintu tadi itu saya.”
Aku dan kakak kompak menoleh ke sosok ibu yang masih berdiri di depan pintu. Sosok ibu kami yang kemudian berubah menjadi sosok yang menyeramkan dengan kulit pucat, rambut hitam panjang berantakan dan mata merah menyala serupa darah. Sosok itu tertawa. Tawanya tinggi melengking, menusuk telinga. Suara itu membuat sekujur tubuhku membeku. Aku tak mampu berteriak ataupun berlari. Aku dan kakak hanya bisa mematung mendengarkan suara tawa mengerikan itu hingga sosok makhluk menyeramkan itu kemudian melayang dan menghilang di kegelapan malam.
Saat ayah merasa uangnya sudah cukup untuk membeli sebuah rumah, akhirnya kami pun mencari rumah dengan harga murah. Maklum saja, Ayah bukanlah pekerja dengan upah besar, jadi uang hasil kumpul-kumpulnya setelah belasan tahun itu hanya cukup untuk membeli rumah kampung di pinggiran kota yang ditawarkan seorang kenalan ayah. Tadinya, ayah agak ragu membeli rumah itu. Bukan karena kondisi lingkungan yang masih sepi dan minim tetangga. Akan tetapi, karena letaknya yang cukup jauh dari ibukota. Hal tersebutlah yang membuat ayah merasa kesulitan jika harus pulang-pergi antara rumah dan kantornya setiap hari.
Pada akhirnya, kami tetap membeli rumah itu dan ayah memutuskan untuk mencari pekerjaan baru yang jaraknya lebih dekat dengan rumah. Agak nekat memang, tapi syukurlah tidak butuh waktu lama, ayah segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya, juga letak kantor yang lebih dekat. Masalah ayah dengan mudah terselesaikan. Namun, masalah baru justru muncul dari kakak lelakiku.
Saat kami pindah adalah saat kakak baru saja menyelesaikan pendidikannya di bangku SMK. Ia yang baru lulus itu, tentu ingin segera memulai kehidupan baru dengan bekerja. Kakak pun mencoba melamar beberapa pekerjaan dengan bidang yang memang ia minati. Beruntung, kakak juga cepat mendapatkan pekerjaan seperti ayah. Namun masalahnya, kakak diterima bekerja di daerah kota yang jaraknya sangat jauh. Sistem shiftpun menjadi kesulitan tersendiri bagi kakak karena sangat mungkin ada beberapa hari dalam seminggu yang mengharuskannya pulang saat tengah malam.
Oh ya, pintu rumah baru kami sedikit unik. Jika dikunci dari dalam, kuncinya menjadi sulit dicabut dan terus menempel pada lubang kunci bagian dalam. Hal itu membuat pintu jadi tidak bisa dibuka dengan kunci lain dari arah luar. Oleh sebab itu, kakakku tidak pernah membawa kunci rumah cadangan, sedangkan kami tidak selalu tidur larut malam untuk menunggunya pulang. Alhasil, kami semua sepakat untuk tetap mengunci pintu seperti biasa sebelum pergi tidur, meskipun kakak pulang larut malam. Sebagai gantinya, kami membuat sebuah kode rahasia. Jika kakak pulang malam, ia akan mengetuk jendela kamarku untuk membangunkanku dengan maksud minta dibukakan pintu. Memang agak merepotkan untukku, tapi mau bagaimana lagi? Karena kebetulan, posisi kamarku adalah yang paling dekat dengan pintu depan.
Ternyata, cara ini terbilang cukup berhasil. Pada akhirnya, aku dapat menjalankan tugasku sebagai pembuka pintu di tengah malam dengan sangat baik. Kakak akan mengetuk jendelaku sebanyak 3 kali dengan suatu irama yang telah kami sepakati. Hal itu akan memudahkan bagiku mengenali kalau itu benar kakak dan bukannya orang lain. Ya, awalnya semua terbilang berjalan lancar, hingga kemudian di suatu malam, muncul suatu kejanggalan yang sampai saat ini masih membuatku bergidik ngeri jika teringat kembali.
Seperti malam-malam sebelumnya, aku terbangun karena suara ketukan di jendela. Aku mendengarkan dengan seksama irama ketukannya, memastikan bahwa itu benar kakak atau bukan, sebelum kemudian aku bangkit dan berjalan pelan ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Sejujurnya, aku ini orangnya penakut. Hal itulah yang membuatku enggan mengintip dari jendela untuk memastikan benar tidaknya sosok yang mengetuk jendela adalah kakakku. Karena alasan itu pula akhirnya kami menyepakati sebuah irama ketukan unik itu. Tanpa sadar, aku jadi sering menghembuskan napas lega kala melihat sosok di depan pintu adalah benar kakak lelakiku.
Tepat di depan pintu, malam itu kulihat lelaki tinggi dengan jaket warna kelabu dan tas ransel berwarna hitam tengah bersandar menanti pintu terbuka. Sempat merasa tegang hingga menahan napas, akhirnya aku bisa menjatuhkan bahuku yang kaku. Ya, dia memang benar kakakku. Tanpa bicara apa pun, kakak langsung masuk dan menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang di ruang tamu kami. Jika kuperhatikan lebih seksama, malam ini memang kakak terlihat agak pucat dan lunglai. Pikirku, mungkin kakak hanya kelelahan dan kelewat mengantuk saja.
Melihat kakak yang tampak sangat kelelahan, sebagai adik perempuan yang baik, aku segera membawakannya segelas air hangat. Yah, sebenarnya ini juga sudah menjadi salah satu rutinitas baruku. Bukannya aku senang melakukannya, tapi aku punya alasan tertentu membuat kakak merasa senang. Benar, itu kulakukan demi mendapat uang saku tambahan dari kakak.
Setelah meletakkan segelas air hangat di meja, tepat di hadapan kakak, aku pun segera pamit untuk kembali tidur. Aku punya kebiasaan sulit kembali tidur jika terjaga terlalu lama di malam hari. Jadi, aku pun tidak mau berlama-lama terjaga malam itu. Sambil berpamitan, aku pun tidak lupa menyampaikan sebuah pesan padanya.
“Kak, aku mau langsung tidur lagi ya. Jangan lupa nanti pintunya dikunci lagi.” Ujarku seraya menunjuk ke arah pintu depan yang masih terbuka lebar.
Kakak tidak menjawab, lelaki itu hanya menganggukan kepalanya. Aku tidak ambil pusing. Aku masih berpikir kakak hanya sangat lelah hingga malas bicara. Jadi, setelah mendapat tanda persetujuan untuk mengunci pintu, aku pun segera kembali ke kamarku dan bersiap untuk kembali tidur.
Baru saja memejamkan mata sekitar 5 menit, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara ketukan di jendela. Ketukan dengan irama yang sama seperti apa yang biasa kakakku lakukan. Awalnya, aku mengabaikan ketukan itu, hingga kemudian terdengar suara kakak yang berusaha memanggil-manggil namaku dari luar.
”Dek, bangun! Kamu tumben tidur pulas banget. Bukain pintunya dulu, dong. Kakak capek banget, nih.”
Aku bangkit dari posisi tidur dengan kesal. Dengan langkah yang sengaja dihentak-hentakkan, aku pun kembali ke ruang tamu dan untuk kedua kalinya membukakan kunci pintu depan.
“Lagian kakak ngapain sih keluar lagi? Kekunci kan jadinya. Akh, kakak ganggu banget.” Kataku tanpa sadar dengan setengah berteriak.
“Lah, kakaknya baru pulang malah dibentak-bentak.” Kakak terlihat kebingungan. ”Kamu ngigo? Belum sadar, dek?”
“Hah? Apa sih? Tadi kan kakak udah aku bukain pintu. Ini pasti kakak ngerjain aku, kan? Kakak keluar lagi, terus pura-pura baru pulang.” Aku masih bersikukuh dengan argumenku. ”Iya, kan?”
“Ada apa sih? Tengah malam loh ini.” Ibu mencoba menengahi pertengkaran kami. Mungkin karena suara ribut-ribut kedua anaknya, ibu jadi terbangun dan menghampiri kami untuk menengahi.
“Ini loh, bu, si adek kayaknya mimpi udah bukain pintu buat aku.” Kakak mencoba menjelaskan dengan singkat.
“Ih, aku gak mimpi. Bener deh, bu. Aku yakin banget tadi udah bukain pintu buat kakak. Ini pasti kakaknya aja yang iseng.” Aku menjawab dengan sangat yakin. ”Kakak pasti keluar lagi, terus pakai kunci cadangan buat isengin aku, kan?” tambahku.
“Tuh kan bu, dia ngigo. Dek, kamu ingatkan? Kunci pintu rumah kita selalu nempel di lubang kunci bagian dalam. Nih, ada! Kamu barusan yang muter.” Kakak menunjuk kunci yang masih tergantung di tempatnya itu dengan gemas. ”Terus, kalau kuncinya masih di situ, gimana caranya aku bisa ngunci pintunya dari luar pakai kunci cadangan?” Kakak mencoba menjelaskan. Sebuah penjelasan yang sangat masuk akal dan membuatku jadi semakin kebingungan.
“Kakak benar, tapi adek juga gak bohong. Tadi ibu sempat dengar suara kunci memang diputar 2 kali, cuma selang waktu sekitar 5 menitan.” Ibu sepertinya belum tertidur pulas. Jawaban ibu memperkuat argumenku. Tapi, tentu saja masih ada yang janggal rasanya.
“Tuh, kan? Aku gak bohong, kak. Tapi … kalau kakak baru pulang, tadi aku bukain pintu buat siapa?” Seketika aku bergidik ngeri. ”Kak, jangan bercanda dong. Aku jadi merinding, nih.” Kurasakan bulu kudukku mulai meremang. Angin dingin malam itu tiba-tiba kurasakan kian menusuk.
“Kamu mimpi aja kali. Ibu juga mungkin salah dengar.” Tanpa peduli ketakutanku dan jawaban dari ibu. Kakak justru menjawab dengan santai, sambil menerobos masuk ke dalam rumah, kemudian duduk di sofa.
Aku melirik ke arah meja di hadapan kakak. Di sana masih ada gelas yang terisi penuh air hangat yang sebelumnya kusuguhkan pada lelaki itu.
“Nah, tadi aku juga sempat bawain air hangat buat kakak. Itu dia!” Seolah teringat sesuatu yang penting, aku menunjuk gelas itu dengan semangat. ”Jadi, gak mungkin kalau yang tadi cuma mimpi. Aku juga gak pernah ada riwayat tidur sambil jalan. Coba aja kakak pegang gelasnya, pasti masih hangat," tantangku.
Kini mata kakakku terbelalak menatap ke arahku dengan tangan kanan menyentuh gelas di hadapannya, merasakan suhu hangat itu seraya berusaha mencerna segala situasi yang sedang terjadi.
“Iya, dek. Ini masih hangat,” Kakak diam sebentar, sebelum melanjutkan “Terus … kalau memang benar begitu. Tadi yang kamu bukain pintu itu siapa?”
Aku dan kakak saling menatap bingung. Otak kami seolah membeku, tak dapat memproses apa yang sebenarnya telah terjadi. Sunyi. Hingga kemudian sebuah suara memecah kesunyian di antara kami, membuat aku dan kakak kompak menoleh ke arah sumber suara.
“Mungkin, yang kamu bukakan pintu tadi itu saya.”
Aku dan kakak kompak menoleh ke sosok ibu yang masih berdiri di depan pintu. Sosok ibu kami yang kemudian berubah menjadi sosok yang menyeramkan dengan kulit pucat, rambut hitam panjang berantakan dan mata merah menyala serupa darah. Sosok itu tertawa. Tawanya tinggi melengking, menusuk telinga. Suara itu membuat sekujur tubuhku membeku. Aku tak mampu berteriak ataupun berlari. Aku dan kakak hanya bisa mematung mendengarkan suara tawa mengerikan itu hingga sosok makhluk menyeramkan itu kemudian melayang dan menghilang di kegelapan malam.
Created by KASKUS ID: kaniarf






rinandya dan 8 lainnya memberi reputasi
9
547
Kutip
26
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan