- Beranda
- Komunitas
- KOMPAK (Komunitas Penulis Aktif Kreatif)
Asas Retroaktif Dalam Argumentasi Hukum
TS
karlindimiya134
Asas Retroaktif Dalam Argumentasi Hukum
Dalam kehidupan, logika terus menjadi kontrol bagi manusia untuk menyelami hidup. Namun yang terpenting adalah bagaimana peraturan dan logika berjalan beriringan. Disamping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanyaUnsur terpenting dan pokok dari peraturan hukum adalah asas hukum.
Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Satjipto Rahardjo menyebutkan asas hukum sebagai “jantungnya” peraturan hukum atau ratio legis dari peraturan hukum.Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan suatu peraturan-peraturan selanjutnya.Dengan demikian, asas hukum adalah dasar normatif pembentukan hukum, tanpa asas hukum, hukum positif tak memiliki makna apa-apa, dan kehilangan watak normatifnya, yang pada gilirannya asas hukum membutuhkan bentuk yuridis untuk menjadi aturan hukum positif
Asas retroaktif secara istilah pada dasarnya mengandung dua kata pokok, yaitu "asas" dan "retroaktif". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "asas" diartikan sebagai hukum dasar atau dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat ). Sedangkan kata "retroaktif" berasal dari bahasa latin "rectroactus" yang artinya adalah "to drive back" yang berarti "bersifat surut berlakunya". Dengan demikian, pengertian asas retroaktif dari segi etimologi adalah dasar yang menjadi tumpuan pemberlakuan suatu aturan secara surut terhitung sejak tanggal diundangkannya.
Dalam sejarah dan praktik perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana terntentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut diatas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum, khususnya hukum pidana semakin diperluas. Selain itu, pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas berserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.
Asas retroaktif sangat seharusnya membantu pemerintah untuk mengatasi kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum adanya peraturan Perundang-Undangan yang telah dibuat untuk dapat diadili dan para korban dapat menerima keadilan di negeri ini. Walau diketahui bahwasanya pembentukan peraturan Perundang-Undangan karena merupakan produk politik revenge (pembalasan) Dan pelaku juga wajib mendapatkan perlindungan dari pemerintah walaupun perbuatan mereka merugikan banyak orang tetapi pelaku juga manusia yang wajib mendapatkan hak asasi manusia. Pelaku berbuat kejahatan karena ada penyebabnya kenapa pelaku bisa melakukan perbuatannya tersebut, dan itu sangat penting diselidiki karena semua perbuatan pasti tersistem.
Pengetahuan bagi kita semua yang mana asas retroaktif ini sangat bermanfaat untuk mengurangi kejahatan pelanggaran berat yang dilakukan sebelum dan sesudah peraturan dibuat, oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan berharap kepada pemerintah untuk mengatasi kejahatan-kejahatan pelanggaran berat HAM yang terjadi di dalam negeri dan agar perlindungan HAM pada masyarakat Indonesia dapat terjamin.
Penerapan Asas retroaktif, dari sisi pengetahuan hukum, asas retroaktif dapat diberlakukan secara rigid dan darurat limitatif, artinya apabila negara dalam keadaan darurat (abnormal) maka pemerintah harus menerapkan prinsip-prinsip hukum darurat (abnormaal recht), karena itu penempatan asas ini hanya bersifat temporer, jika jika kondisi negara sudah normal maka asas retroaktif tidak diberlakukan lagi. Dalam penerapan asas retroaktif harus memerhatikan prinsip-prinsip hukum universal sehingga tidak terkontaminasi dengan unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai abuse of power.
Argumentasi hukum merupakan proses yang senantiasa dilakukan oleh para pemikir hukum. Dalam menghadapi peristiwa hukum, senantiasa diharapkan argumentasi hukumnya untuk memahami peristiwa itu secara baik. Argumentasi hukum ini dilahirkan melalui proses penalaran yang dilakukan. Penalaran hukum ini dimaknakan sebagai cara (hal) berpikir, menggunakan, mengembangkan atau mengendalikan sesuatu masalah (di bidang) hukum dengan nalar.
Dalam argumentasi hukum terdapat logika yang memiliki peran penting dan keduanya tidak dapat dipisahkan sebab saling berhubungan satu sama lain. Logika mengajarkan tentang berpikir sebagaimana yang seharusnya bukan berpikir sebagaimana adanya. Selain itu, logika mengajarkan tentang berpikir secara rasional dan kritis yang digunakan dalam menentukan aturan, argumen, putusan secara benar dan runtut. Tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada logika. Ilmu pengetahuan tanpa logika tidak akan pernah mencapai kebenaran ilmiah. Sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, yaitu logika benar-benar merupakan alat bagi seluruh ilmu pengetahuan.
Pertanyaanya bagaimanakah peran asas retroaktif dalam argumentasi hukum?2
Pasal 1 Ayat (2) KUHP mengandung di dalamnya ketentuan tentang retro-aktif, namun sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa pasal itu mengatur tentang “aturan peralihan, yaitu aturan dalam masa transisi karena adanya perubahan UU. Pasal 1 Ayat (2) ini mengandung asas/prinsip, bahwa “ketentuan hukum yang diberlakukan dalam hal ada perubahan UU (dalam masa transisi) adalah ketentuan hukum yang menguntungkan/meringankan terdakwa”. Jadi Pasal 1 Ayat (2) mengandung asas, bahwa dalam menghadapi 2 (dua) pilihan perundang-undangan karena adanya perubahan, harus “dipilih (diterapkan/didahulukan) hukum yang menguntungkan/meringankan terdakwa”. Oleh karena itu dapat dikatakan mengandung “asas subsidiaritas”. Apabila Pasal 1 Ayat (2) dilihat sebagai masalah ”retroaktif”, maka asasnya ialah “hukum yang dapat diberlakukan surut adalah hukum yang menguntungkan/ meringankan terdakwa”.
Dalam hal larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana (retroaktif) yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menurut penulis menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengesampingkan asas tersebut. Kenyataan yang timbul adalah ada pengecualian terhadap larangan tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-undang yang dalam hirarkis perundang-undangan masih berada di bawah UUD 1945. Problematika ini menimbulkan persoalan dalam hukum pidana dan hirarki perundangundangan. Selain itu larangan penerapan peraturan pidana secara retroaktif ternyata menimbulkan persoalan yang rumit terutama dalam menghadapi kejahatan jenis baru yang tidak ada bandingannya dalam KUHP atau peraturan pidana khusus lainnya
Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Satjipto Rahardjo menyebutkan asas hukum sebagai “jantungnya” peraturan hukum atau ratio legis dari peraturan hukum.Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan suatu peraturan-peraturan selanjutnya.Dengan demikian, asas hukum adalah dasar normatif pembentukan hukum, tanpa asas hukum, hukum positif tak memiliki makna apa-apa, dan kehilangan watak normatifnya, yang pada gilirannya asas hukum membutuhkan bentuk yuridis untuk menjadi aturan hukum positif
Asas retroaktif secara istilah pada dasarnya mengandung dua kata pokok, yaitu "asas" dan "retroaktif". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "asas" diartikan sebagai hukum dasar atau dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat ). Sedangkan kata "retroaktif" berasal dari bahasa latin "rectroactus" yang artinya adalah "to drive back" yang berarti "bersifat surut berlakunya". Dengan demikian, pengertian asas retroaktif dari segi etimologi adalah dasar yang menjadi tumpuan pemberlakuan suatu aturan secara surut terhitung sejak tanggal diundangkannya.
Dalam sejarah dan praktik perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana terntentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut diatas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum, khususnya hukum pidana semakin diperluas. Selain itu, pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas berserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.
Asas retroaktif sangat seharusnya membantu pemerintah untuk mengatasi kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum adanya peraturan Perundang-Undangan yang telah dibuat untuk dapat diadili dan para korban dapat menerima keadilan di negeri ini. Walau diketahui bahwasanya pembentukan peraturan Perundang-Undangan karena merupakan produk politik revenge (pembalasan) Dan pelaku juga wajib mendapatkan perlindungan dari pemerintah walaupun perbuatan mereka merugikan banyak orang tetapi pelaku juga manusia yang wajib mendapatkan hak asasi manusia. Pelaku berbuat kejahatan karena ada penyebabnya kenapa pelaku bisa melakukan perbuatannya tersebut, dan itu sangat penting diselidiki karena semua perbuatan pasti tersistem.
Pengetahuan bagi kita semua yang mana asas retroaktif ini sangat bermanfaat untuk mengurangi kejahatan pelanggaran berat yang dilakukan sebelum dan sesudah peraturan dibuat, oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan berharap kepada pemerintah untuk mengatasi kejahatan-kejahatan pelanggaran berat HAM yang terjadi di dalam negeri dan agar perlindungan HAM pada masyarakat Indonesia dapat terjamin.
Penerapan Asas retroaktif, dari sisi pengetahuan hukum, asas retroaktif dapat diberlakukan secara rigid dan darurat limitatif, artinya apabila negara dalam keadaan darurat (abnormal) maka pemerintah harus menerapkan prinsip-prinsip hukum darurat (abnormaal recht), karena itu penempatan asas ini hanya bersifat temporer, jika jika kondisi negara sudah normal maka asas retroaktif tidak diberlakukan lagi. Dalam penerapan asas retroaktif harus memerhatikan prinsip-prinsip hukum universal sehingga tidak terkontaminasi dengan unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai abuse of power.
Argumentasi hukum merupakan proses yang senantiasa dilakukan oleh para pemikir hukum. Dalam menghadapi peristiwa hukum, senantiasa diharapkan argumentasi hukumnya untuk memahami peristiwa itu secara baik. Argumentasi hukum ini dilahirkan melalui proses penalaran yang dilakukan. Penalaran hukum ini dimaknakan sebagai cara (hal) berpikir, menggunakan, mengembangkan atau mengendalikan sesuatu masalah (di bidang) hukum dengan nalar.
Dalam argumentasi hukum terdapat logika yang memiliki peran penting dan keduanya tidak dapat dipisahkan sebab saling berhubungan satu sama lain. Logika mengajarkan tentang berpikir sebagaimana yang seharusnya bukan berpikir sebagaimana adanya. Selain itu, logika mengajarkan tentang berpikir secara rasional dan kritis yang digunakan dalam menentukan aturan, argumen, putusan secara benar dan runtut. Tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada logika. Ilmu pengetahuan tanpa logika tidak akan pernah mencapai kebenaran ilmiah. Sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, yaitu logika benar-benar merupakan alat bagi seluruh ilmu pengetahuan.
Pertanyaanya bagaimanakah peran asas retroaktif dalam argumentasi hukum?2
Pasal 1 Ayat (2) KUHP mengandung di dalamnya ketentuan tentang retro-aktif, namun sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa pasal itu mengatur tentang “aturan peralihan, yaitu aturan dalam masa transisi karena adanya perubahan UU. Pasal 1 Ayat (2) ini mengandung asas/prinsip, bahwa “ketentuan hukum yang diberlakukan dalam hal ada perubahan UU (dalam masa transisi) adalah ketentuan hukum yang menguntungkan/meringankan terdakwa”. Jadi Pasal 1 Ayat (2) mengandung asas, bahwa dalam menghadapi 2 (dua) pilihan perundang-undangan karena adanya perubahan, harus “dipilih (diterapkan/didahulukan) hukum yang menguntungkan/meringankan terdakwa”. Oleh karena itu dapat dikatakan mengandung “asas subsidiaritas”. Apabila Pasal 1 Ayat (2) dilihat sebagai masalah ”retroaktif”, maka asasnya ialah “hukum yang dapat diberlakukan surut adalah hukum yang menguntungkan/ meringankan terdakwa”.
Dalam hal larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana (retroaktif) yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menurut penulis menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengesampingkan asas tersebut. Kenyataan yang timbul adalah ada pengecualian terhadap larangan tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-undang yang dalam hirarkis perundang-undangan masih berada di bawah UUD 1945. Problematika ini menimbulkan persoalan dalam hukum pidana dan hirarki perundangundangan. Selain itu larangan penerapan peraturan pidana secara retroaktif ternyata menimbulkan persoalan yang rumit terutama dalam menghadapi kejahatan jenis baru yang tidak ada bandingannya dalam KUHP atau peraturan pidana khusus lainnya
0
12
0
Komentar yang asik ya
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan