Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

djendradjenarAvatar border
TS
djendradjenar
Sumur Tua Kuntilanak Merah Berdarah (2) - KUNCEN
Kemudian Kakek seperti biasa membuat makanan khusus ayam peliharaannya, sebagian diantaranya adalah Ayam Jago, sebagian lagi adalah Ayam Kambung. Diki yang suka dengan peliharaan Kakek langsung menemani Kakek memberi makan ayam ayamnya, orang Sunda menyebutnya "hu'ut" seperti bubur kertas yang kental berwarna hijau ke abu abuan. Sementara Nenek kemudian sibuk menata nata sesajen yang siang tadi dibelinya di pasar tradisional. Saya lebih antusias dengan apa yang sedang dilakukan Nenek. Di atas meja makan itu lalu ada beragam macam sesajen, ada dua nyiru (serupa nampan berbentuk bulat datar dari ayaman bambu/rotan) berukuran besar diatas meja makan itu.

Nyiru yang pertama dipenuhi oleh gelas gelas yang terbuat dari tanah liat, ada segelas air putih, air kopi hitam pahit, kopi hitam manis yang pemanisnya menggunakan gula merah, teh pahit dan teh manis yang juga dengan pemanis gula merah, lalu ada air susu, es cendol, bubur putih, bubur merah, kelapa dawegan merah yang sudah dilubangi dan diatasnya ditaruh telur ayam kampung dari peliharaan Kakek yang kebetulan sedang bertelur, dan seingat saya, Nenek hampir tidak pernah membeli telur ayam kampung untuk keperluan sesajen karena sudah tersedia, dan ciri khasnya adalah selalu ada urat urat bekas darahnya pada telur tersebut, dan tidak pernah dicuci terlebih dahulu. Nenek bilang itu sebagai "syarat" dan itu istimewa karena Nenek mengambilnya sendiri dari kandang ayam kampung jenis betina yang baru bertelur, lalu disimpan untuk keperluan sesajen, jadi bukan melalui tangan kedua, atau tangan ketiga. 

Nyiru yang kedua berisi piring piring kecil yang terbuat dari tanah liat juga, ada yang berisi campuran kembang tujuh rupa, ada yang khusus untuk kembang mawar merah, dan melati, lalu ada sirih dan bahan pelengkapnya untuk keperluan nyeupah/nyirih, lalu ada jajanan pasar tradisional dimana orang sunda menyebutnya itu "hahampangan" ada kerupuk seroja, kerupuk kulit, ada gemblong, ketan hitam, ketan putih, rurujakan, nasi putih dan nasi merah yang masing masing diatasnya ditaruh sepotong ayam bakar, lalu ada piring kecil lainnya yang berisi telur ayam kampung rebus. Masih dari nyiru yang sama, lalu ada pot berisi kembang sedap malam, dan disampingnya ada semacam tungku pembakaran kecil dari tanah liat yang berisi arang. Nenek lalu menyalakan tungku kecil itu, setelah menyala lalu menaruh beberapa buah dupa kerucut, beberapa hio warna hitam, dan beberapa batang rokok kretek berbagai merk. 

Dalam sekejap saja, aroma pembakaran dari tungku kecil itu menyeruak dan menyerbak ke seluruh penjuru ruangan di rumah itu, kesan mistis, magis dan klenis kembali menguat dihari yang sama itu, malam menjelang malam jumat kliwon. Kemudian Nenek dengan berpakaian rapih karena katanya harus menghormati Leluhur Leluhur yang turun dari atas kuwung kuwungan (dari atas langit melalui atap rumah) itu lalu duduk di salah satu kursi, sementara saya disuruhnya menggunakan kain sarung dan duduk disebelahnya, mendengarkan Nenek membaca mantra mantra (jangjawokan sunda buhun) hingga selesai, dan sama sekali tidak ada ketegangan atau kengerian, yang terasa seperti kedamaian, ada keheningan yang terciptakan, seperti mengheningkan cipta.

Malam jumat kliwon sedang berlangsung, saya melihat jam dinding di dalam kamar menunjukkan pukul 01:20 menit. Diki tertidur pulas disamping saya, sementara saya terbangun karena sesuatu yang sulit dijelaskan. Tak ada suara suara di dalam rumah, nampaknya Kakek dan Nenek juga sudah tidur lelap di kamarnya. Setelah membolak balikkan tubuh mencari posisi yang lebih nyaman, saya berusaha untuk kembali memejamkan mata dan meneruskan tidur. Namun setelah beberapa waktu saya jadi susah memejamkan mata, susah kembali tidur, dan ini kebiasaan tidak menyenangkan yang kerap dialami, terlebih lagi ini adalah malam jumat kliwon. 

Kemudian berhembus angin entah dari mana karena kamar tidur ini tertutup rapat, seharusnya sama sekali tidak ada celah untuk angin masuk dari luar, saya menatap cukup lama tirai jendela yang tidak bergerak itu, namun sekilas berpikir mungkin kaca nako jendela tidak tertutup rapat, tapi tirai jendela tidak bergerak tertiup angin yang kembali berhembus dan kali ini cukup menerpa tubuh dengan kencang. Saya bergegas turun dari ranjang dengan pelan, dalam hati saya paham bahwa ini adalah tarikan tarikan serupa energi dari arah eksternal yang berusaha menggiring saya untuk merasakan bahkan melihat sesuatu, entah apapun itu, dan ini adalah fenomena yang sulit untuk ditahan. 

Saya lalu berdiri mematung cukup lama didepan tirai jendela yang masih tetap tidak bergerak, namun dari hembusan angin kembali terasa, saya menelan ludah, kemudian sedkit kaget karena terdengar ayam jantan berkokok, ayam peliharaan Kakek berkokok diluar jam sewajarnya karena ini pukul setengah dua lewat. Tubuh saya mulai bergidik dan merinding ketika beberapa detik setelah ayam berhenti berkokok lalu terdengar suara sapu di halaman, persis di halaman rumah Nenek yang menghadap kamar tidur saya dan Diki. Saya membalikkan kepala menatap Diki yang masih tertidur pulas dengan napas terengah engah, lalu kembali menghadap tirai jendela yang tetap terlihat tidak bergerak. 

Suara sapu masih terdengar pelan, saya menyimpulkan itu adalah sosok penghuni halaman rumah Nenek yang konon sudah ada sejak rumah ini dibangun oleh Kakek, dimana ada satu pohon buah mangga yang sudah sangat tua, namun selalu berbuah jika sudah musimnya, dan sosok itu mendiami pohon tersebut, begitu penjelasan Nenek dulu sewaktu pertama kali saya melihat dan menanyakannya langsung pada Nenek. Kemudian terdengar suara tertawa pelan berbarengan dengan bunyi sapu yang lebih kencang. Saya memberanikan diri untuk membuka tirai jendela selebar mungkin sambil menghela napas yang panjang, namun sama sekali tidak terlihat apa apa, dan anehnya suara sapu tetap terdengar, tak jauh dari halaman depan kamar saya membuka tirai jendela. 

Setelah menutup kembali tirai jendela, saya kembali naik ke atas ranjang untuk melanjutkan tidur, namun mendadak ingin buang air kecil, dengan sedikit menahan kantuk saya pun sebera keluar kamar tidur, detik itu juga aroma dari pembakaran tungku kecil diatas nyiru di dapur seolah menyapa saya, bahwa ritual sesajen yang beberapa jam lalu dilakukan Nenek masih berlangsung, dan memang Nenek punya kebiasaan kembali membakar dupa dan hio jika sudah habis, bahkan ketika menjelang subuh nanti setelah terbangun. Karena tak tahan ingin segera buang air kecil, saya setengah berlari menuju kamar mandi.

Mendadak langkah kedua kaki saya tertahan begitu berada di depan pintu kamar mandi yang tertutup itu, entah kenapa saya kembali diingatkan persitiwa tadi siang, karenanya tidak jadi membuka pintu kamar mandi, takut peristiwa tak terduga siang tadi terjadi kembali, apalagi ini menjelang dini hari, maka saya lebih memilih buang air kecil di belakang dapur. Saya pun bergegas kesana dengan perasaan yang lebih nyaman. Asap kepulan dupa dan hio seperti menjelma serupa tangan yang mengulur ngulurkan tangan itu untuk mengajak ke arah dapur dan buang air kecil di belakang dapur karena disitu ada sebuah sumur tua yang biasa ditimba untuk mengambil airnya untuk keperluan mencuci peralatan masak, peralatan bekas makan hingga mencuci pakaian. 

Setelah melewati dapur saya pun tiba di ruangan bagian belakang rumah Nenek, dimana disitu terdapat sebuah pintu yang jika dibuka akan menuju halaman belakang, tempat biasa Nenek menjemur pakaian, dan disitu juga ada kandang kandang ayam peliharaan Kakek. Saya menuju ke samping sumur tua, disampingnya itu adalah tempat yang digunakan Nenek untuk mencuci hal hal yang saya sebutkan diatas, bisa juga dipakai untuk buang air kecil, bahkan mandi, hanya saja airnya harus menimba terlebih dahulu. Saya pun bergegas buang air kecil, dan karena persediaan air dalam ember kecil itu habis, maka saya dengan spontan menimba air untuk menyiram air kencing saya. 

Disaat saya sedang menimba air yang cukup berat itu mendadak terdengar ayam ayam jantan peliharaan Kakek kembali berkokok, saling bersahutan, seperti sebuah peringatan. Saya bolak balik menengok ke arah pintu dan ke arah sumur tua berharap ember yang saya timba segera sampai ke atas, ingin segera menyiram air kencing saya dan kembali menuju ke kamar. Dan begitu ember terasa akan segera terangkat keatas, tiba tiba ada sepasang tangan berkuku panjang dari dalam sumur tua itu merayap naik dengan secepat kilat, dan dari atas ember yang mulai muncul ke atas itu lalu terlihat kepala wanita bermata putih dan berambut panjang berantakan dengan giginya yang bertaring dan hendak menerkam saya. 

Sosok Kuntilanak Merah Berdarah Darah yang saya lihat siang tadi itu kembali hampir meyentuh saya, namun saya dengan spontan melepaskan tali timba membuat ember itu terjatuh ke dalam sumur tua menimbulkan suara air yang kedengarannya seperti terpukul, bersamaan dengan saya yang berteriak sekencang kencangnya sambil terus berjalan mundur, dan Kuntilanak Merah Berdarah Darah itu hilang begitu saja, seperti ikut terjatuh ke dalam sumur tua bersamaan dengan ember yang saya timba untuk mengambil air. Lalu saya tidak ingat apa apa. 

(Tamat)




Diubah oleh djendradjenar 13-09-2023 11:14
azhuramasdaAvatar border
bukhoriganAvatar border
lyuli9047537Avatar border
lyuli9047537 dan 2 lainnya memberi reputasi
1
278
2
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan