nice.man.82Avatar border
TS
nice.man.82
Cinta Pertama dan Terakhirku pt.3
Malam minggu bertiga

Sementara cici sedang tidur, aku membereskan piring bekas kami sarapan tadi, karena belum sempat dibereskan, lalu aku menyapu dan mengepel lantai. Setelah semua beres, aku bersiap untuk mandi. Baru saja aku mau ke kamar mandi, tiba-tiba telefon rumahku berbunyi. Aku langsung berlari ke ruang tengah, begitu kuangkat...
“Halo... Selamat pagi...” sapa si penelfon.
“Jones...”
“Tumben pagi-pagi sudah bangun, biasanya masih di kamar.”
“Iya, aku sudah bangun dari jam setengah empat tadi pagi.”
“Hah..?? Pagi banget bangunnya. Ada apa, rindu ya sama aku, sampe ga bisa tidur?”
Memang aku rindu padanya. Selama cici ada maka cicilah yang mengantarku ke sekolah, kesempatanku bertemu dengan Jones hanya ketika di sekolah. Sebenarnya aku rindu sekali sama dia, kangen naik motor bareng dia. Kangen menyusuri jalan di kota Cirebon dengan menggunakan motor GL Pro nya.
“Kok kamu tahu? Papa dan mama berangkat ke Bandung tadi subuh jam setengah lima, jadi aku bangun pagi-pagi untuk membantu mama.”
“Wah...anak yang baik...”
“Ada apa menelfonku pagi-pagi?” tanyaku.
Jones bertanya tentang rencanaku hari ini. Dia sebetulnya mau mengajakku untuk jalan-jalan karena hari ini Sabtu dan malam Minggu. Memang biasanya kami jalan-jalan, tapi karena sekarang sedang ada cici di rumah, gak mungkin aku meninggalkan cici sendirian. Aku kangen Jones, tapi aku juga rindu cici. Ketika sedang asik menelfon, aku dikagetkan dengan kehadiran cici di sampingku. Rupanya dia sudah lebih dari sepuluh menit mendengarkan aku berbicara dengan Jones.
“Hayo… Ngomongin cici ya…”
“Ah… cici… ngagetin aja…”
“Sini, cici mau ngomong sebentar sama Jones.” Kuberikan telefon kepada cici dan dia langsung bicara dengan Jones, dan aku langsung mandi. Selesai mandi aku langsung ke ruang tengah, kulihat cici sedang asik menonton televisi, aku duduk di samping cici, kusandarkan kepalaku di pundaknya.
“Kenapa de?”
“Gapapa ci...”
“Kenapa…? Rindu dia yah?” tanya cici penasaran dan aku mengangguk pelan.
“Cici tau kok seperti apa rasanya.” katanya sambil menatap mataku.
“Hmm… cici punya rencana biar kita semua bisa senang hari ini..”
“Apa itu ci?” tanyaku penasaran
Cici menceritakan seluruh rencananya untuk hari ini, dan aku cukup antusias mendengar rencana cici. Jadi... aku tetap bisa ketemu Jones tanpa harus meninggalkan cici sendirian di rumah. Aku segera menelefon Jones, meminta dia datang ke rumah karena dicari sama cici.
Cici senyum-senyum melihat tingkahku. Memang cici pernah berada di posisiku, tapi dia lebih kuat. Buktinya, dia menjalani pacaran jarak jauh dengan pacarnya. Pacarnya sekarang sedang bertugas di Sulawesi Utara, lebih tepatnya Manado. Namanya kak Yos. Yoseph Setiawan seorang laki-laki yang tangguh, mandiri dan memiliki pribadi yang lembut, yang berprofesi sebagai seorang dokter. Dia sudah menjadi pacar cici sejak di bangku kuliah. Kalau dihitung-hitung, mereka pacaran sudah hampir tujuh tahun. Yang kudengar, tugasnya di Manado sudah hampir selesai, dan akan kembali ke Solo. Iyalah, cici harus lebih kuat dari kami, adik-adiknya. Dialah panutan bagi kami. Tapi aku yakin, jauh di dalam hatinya, dia memendam rindu yang begitu besar terhadap kak Yos.
Aku kagum dengan cici dan kak Yos. Mereka begitu kuat, walaupun menjalani hubungan jarak jauh, tapi mereka tetap setia dengan hubungan mereka. Aku pengen deh bisa seperti mereka, bisa terus menjalani hubungan dengan pacarku walau apapun yang terjadi.
“Hei.. kok melamun. Mikirin apa…?” tanya cici.
“Ci…..” ujarku sambil kupeluk tubuhnya
“Eh, ada apa nih… kamu manja banget ya kalo ada cici di rumah.” ledeknya.
“Aku mau seperti cici dan kak Yos, kuat dan tetap setia walaupun menjalani hubungan jarak jauh.” ungkapku sambil membenamkan wajahku dalam pelukan cici.
Kata cici, yang terpenting dalam menjalin sebuah hubungan itu adalah PERCAYA. Kalau itu yang jadi dasar sebuah hubungan, cici yakin kami pasti kuat walau apapun yang terjadi. Aku juga harus dewasa, bukan secara usia aja tapi sikap, perbuatan, dan pemikiranku juga harus menunjukkan bahwa aku sudah dewasa. Memang itu butuh proses yang tidak sebentar, namun cici yakin dengan melalui setiap proses dalam kehidupan kita, kalau kita menjalaninya dengan baik, kelak kita akan jadi pribadi yang dewasa.
“Iya ci, makasih ya nasihatnya.”
“Tapi ada satu yang jadi kekhawatiran aku ci..”
“Apa itu?”
“Papa belum tau soal hubunganku dengan Jones.”
Papa memang belum mengetahui akan hubunganku dengan Jones. Aku dan mama belum mau bercerita tentang hubungan kami, karena aku yakin papa tidak akan setuju. Karena dari awal papa sudah berpesan kepada kami anak-anaknya untuk mengutamakan sekolah kami. Maksud papa memang baik, dia tidak ingin kalau pelajaran kami terganggu hanya lantaran lebih sibuk dengan hal lain di luar sekolah. Tapi menurutku, justru dengan kita memiliki pacar bisa membuat kita semakin semangat dalam belajar. Ya begitulah papa, dengan segala maksud baiknya, tapi dengan penyampaian yang kurang tepat. Tapi harus kuakui, papaku itu keras, bahkan mama sendiri mengakuinya.  Aku mengerti Jones juga mungkin merasakan apa yang kurasa, rindu untuk bisa bicara panjang lebar, bercanda. Tapi di satu sisi aku juga rindu untuk mengobrol dengan cici, karena kami jarang sekali bisa ngobrol banyak.
“Kami kan ketemu di sekolah ci…” protesku
“Itu beda sayangku….”
“Iya sih, bahkan tadi pagi, saat di telfon, dia bilang gini lho ci, Udah, kamu temani saja cici di rumah, ga papa kok. Kan kamu dan cici jarang ketemu, jadi dampingilah cici selagi dia ada di Cirebon. Lain kali aja kita jalannya.”
“Nah… seperti itulah contoh kecil betapa dia sangat mengerti kamu. Dia tau kalau kamu ketemu sama cici bisa dihitung dalam setahun, sementara kalian bisa ketemu setiap hari.”
“Ci, kak Yosep apa kabarnya?”
“Dia baik, sehat dan sebentar lagi tugasnya selesai. Dan dia akan kembali ke Solo.”
Cici bercerita banya tentang kak Yoseph. Sementara mendengarkan cerita cici dengan seksama, kami mendengar suara di gerbang depan. “Permisi…”
“Siapa de, coba dilihat”
“Jones udah dateng ci.”
Cici tersenyum melihat betapa senangnya aku, ketika Jones datang. Dan segera menyuruhku membukakan pintu untuk Jones.
“Lho, motor kamu mana, bukan yang biasa?” tanyaku.
“Iya, motorku lagi dipinjam  a Oni. Ini motornya, jadi kami tukar pinjam.”
“Oh…pantas aku ga mengenali suara motornya. Masuk yuk, aku lagi ngobrol-ngobrol tadi sama cici.”
“Bentar, ku tutup dulu pagarnya.”
Kutunggu Jones menutup pagar rumahku, dan meletakkan jaket dan helm di motornya. Kugandeng tangannya sambil kutarik masuk ke dalam.
“Eh bentar…” ujarnya.
“Udah cepetan… udah dicariin tuh sama cici.”
“Waduh… ada apa nih, sampai dicariin cici..”
“Hayo… kamu ada janji apa sama cici? Atau kamu ada salah ngomong ga tadi? Sepertinya cici marah deh sama kamu” ujarku serius.
Jones tampak bingung dan takut. Melihatnya seperti itu, aku berusaha menahan tawaku. Yang kubisa hanya senyum-senyum kecil.
“Udah, jangan kelamaan mikir, ntar makin marah cici.”
“Eh ntar dulu De..”
“Udah, ayo…” kutarik tangannya masuk ke rumah.
“Nih, ci, katanya nyariin Jones, ini orangnya, marahin aja ci..”
Cici dan Jones saling berpandangan, lalu berpaling melihat ke arahku. Aku hanya bisa tertawa. Aku segera lari masuk ke kamarku.
“Dede….” teriak cici sambil mengejarku. Meninggalkan Jones yang masih bingung dengan yang baru saja terjadi.
“Kamu ini ya, ngerjain aja. Kasihan tuh Jones ga tau apa-apa.”
“Dia tuh kalo lagi bingung nyenengin tau ci..”
“Kamu itu ya, bener-bener.” cubit cici.
“Sana, temuin dia, kasihan tuh sendirian.”
“Iya ci…”
Kami berdua keluar dari kamar menemui Jones yang sedang duduk di sofa  di ruang tengah.
“Nih Nes, pacarmu ini iseng ngerjain kita..” ujar cici.
“Maaf ya Nes… aku cuma bercanda”
“Ga papa kok ci. Dede biasa begitu, senang sekali ngerjain aku”
Aku hanya bisa tersenyum lebar, mengetahui bahwa Jones ingat kebiasaanku ketika aku sedang rindu dengannya.
“Ngomong-ngomong ada apa cici memanggilku. Kupikir cici dan Dede ada acara berdua saja.”
“Tadinya mau begitu. Tapi cici rasa ga adil kalau seperti itu.”
“Jadi kami tadi sudah menyusun rencana, supaya semuanya senang hari ini.”
“Apa rencananya ci?” tanya Jones penasaran.
“Begini…”
Cici menjelaskan semua rencananya menghabiskan malam ini bersama kami berdua. Jones mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Gimana?” tanya cici.
“Yaudah, mau berangkat jam berapa De?” tanya Jones.
“Sekarang aja yuk, ntar kesorean.” jawabku
“Kami berangkat ya ci.” pamit Jones
“Ya, ati-ati” pesan cici
Kupeluk tubuh Jones, dan kusandarkan kepalaku ke pundaknya. Kami memutuskan untuk berbelanja di pasar Kanoman. Karena menurut Jones disana lebih lengkap dibanding kalau kita ke pasar pagi. Kami melewati jalan Tentara Pelajar, melewati depan Grage Mall. Mendekati jalan Cangkring, Jones melihat ke arah spion, rupanya sedang diikuti oleh seseorang.
“Wah, kita diikutin. Siapa ya de?.”
“Aku juga ga tau, teman kamu, atau om kamu mungkin?” tanyaku
“Dek minggir dulu…” orang itu menyetop kami.
Jones pun meminggirkan motornya. Kami pun turun dari motor. Orang itu membuka jaketnya, dari situlah kami tahu bahwa dia adalah seorang polisi.
“Salah saya apa ya pak” tanya Jones.
“Iya pak, salah kami apa?” tanyaku juga.
“Sini-sini, turun dulu dari motormu” panggil pak polisi itu. Kami berdua turun dari motor dengan penuh kebingungan, karena tidak tahu salah kami apa.
“Salahmu adalah, kamu pake motor orang tapa seijin orangnya.” ucap petugas itu, Jones nampak kebingungan, karena dia pakai motor itu udah seijin a Oni.
“Ini motor mas Oni kan?” tanyanya. Dalam kebingungannya, Jones memperhatikan nama polisi itu.
“Budi Jatmiko… Pakde…” teriak Jones setelah membaca nama polisi itu.
“Sstt… jangan teriak. Tuh.. kan pada ngeliatin…” ujar om Budi.
Dia adalah pakde Budi. Adik sepupu mamanya Jones. Dia dipanggil pakde, karena tubuhnya gede, atau besar. Makanya dipanggil pakde atau bapak gede. Nama lengkapnya Budi Jatmiko, atau Kapten Budi Jatmiko. Dia bertugas di Polres Cirebon. Sedang dalam perjalan menuju ke Polres dari rumahnya di daerah jalan Sutawinangun.
“Apa kabar pakde? Bude sehat?” tanya Jones
“Sehat semua le. Papa dan mama gimana, sehat? Papamu masih tugas di Palembang?”
“Semua sehat pakde. Papa sekarang tugas di Kalimantan, pakde”
“Yowes le, pakde mau langsung ke kantor yo. Salam buat papa, mama dan Carla. Kowe ati-ati di jalan.”
Jones mengenalkan aku dengan pakde Budi. Pakde Budi tadi bahkan memujiku, cantik katanya. Ah, memang benar apa yang diceritakan Jones bahwa Pakde Budi itu orangnya humoris, suka bercanda. Tapi menurut Jones, dia cukup disegani oleh anak buahnya. Setelah kami berpisah dengan Pakde Budi, kami langsung menuju ke pasar Kanoman. Setelah dirasa semua sudah lengkap. Kami langsung berangkat kembali menuju ke rumah.
“Kok lama de?” tanya cici.
“Iya ci. Nanti kuceritain, panjang ceritanya. Tapi aku mau mandi dulu, bau keringet nih”
“Kamu mau mandi ga.” tanyaku ke Jones.
“Hmm… boleh ci?”
“Ya bolehlah. Memang kenapa ga boleh?” jawab cici.
“Yaudah sana cepet mandi…” suruh cici.
Sementara Jones mandi, kuceritakan semua yang terjadi selama perjalanan kami ke pasar tadi.
“Hmm, cici ga tau kalau Jones punya om seorang polisi”
“Jones ga pernah cerita apa-apa tentang saudaranya ci.”
“Yang sering dia ceritakan adalah kakek dan neneknya ci.
Jones adalah cucu seorang perwira TNI Angkatan Darat. Lebih tepatnya opa Agus -opanya Jones - adalah seorang perwira, yang kala itu berpangkat Mayor. Menurut Jones itu tergolong sebagai perwira menengah. Beliau waktu itu menjabat sebagai Komandan Kodim. Menurut cerita Jones yang sering diceritakan oleh omanya, dulu opa ikut berjuang bersama panglima besar Jendral Soedirman. Sebetulnya aku ingin sekali mendengar ceritanya langsung dari mulut oma, tapi aku harus bilang dulu ke Jones.
“Maaf lama ci, ada yang bisa kubantu ga?” tanya Jones.
“Ayo sini, bantuin cici memanggang ayam. Bisa kan?”
“Bisa ci. Aku sering bantuin tante kalau dia ada yang pesan ayam bakar atau ikan bakar.”
“Ku bantu yah..” pintaku
Sementara Jones mempersiapkan arang, aku membantu Jones mempersiapkan bumbu olesan yang akan dioles ke ayam ketika sudah setengah matang.
“Nes, gimana ayam bakarnya, sudah matang belum?” tanya cici.
“Sedikit lagi ci, tinggal empat potong lagi kok.” jawabku
“Namamu sudah berubah jadi Jones, de?”
“Iya ci.” jawabku sambil tersenyum
Akhirnya ayam sudah selesai dibakar semuanya. Aku membawa piring berisi potongan ayam bakar ke dalam, dan meletakkannya di meja makan.
“Ayo kita makan.”
Kami bertiga makan dengan lahap, karena memang sedang lapar. Setelah selesai makan, aku dan Jones membantu cici membereskan meja makan dan mencuci piring. Makan sudah, beres-beres pun sudah, kami bertiga duduk-duduk di ruang tengah sambil ngobrol-ngobrol. Banyak hal yang kami bicarakan, tentang sekolah kami, pelajaran kami masing-masing.
“Ci, besok kereta yang jam berapa?” tanya Jones tiba-tiba.
“Jam satu siang, Nes.” jawab cici
“Oh iya.. aku mau besok kalian yang antar ya.” katanya lagi
“Lho, om dan tante gimana ci?” tanya Jones
“Papa dan mama kan pasti capek baru pulang dari Bandung. Jadi biar mereka istirahat, dan kalian berdua yang antar cici ya.”
“Cici boleh ga tidak usah pergi lagi…?” pintaku
“De, cici kan kerja di sana.” Jawab Jones
Kupeluk tubuh cici. “Aku mau cici selalu di dekat aku.” kataku
“Sini, sini… kapanpun kamu butuh cici, telfon cici, pasti cici jawab telfonmu.”
“Udah, jangan sedih-sedih dong.” ujar cici
“De, ada gitar ga? Kita nyanyi-nyanyi yuk.” usul Jones
“Ada di kamarku, sebentar ya kuambil.” kataku
“Ayo Nes, mainkan lagu-lagi yang enak dan ceria. Hibur kami berdua malam ini.” pinta cici
“Oke ci…”
Ya, aku memiliki sebuah gitar di rumah. Itu adalah gitar pemberian Jones di hari ulang tahunku yang ke lima belas. Dari Joneslah aku menjadi tertarik untuk bermain musik. Dia memang pandai bermain gitar. Semua chord gitar sudah dia hapal di luar kepala. Hampir tidak ada lagu yang tidak bisa dimainkan oleh Jones. Namun dia orang yang amat pendiam ketika pertama kali aku mengenalnya di bangku SMP.
0
49
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan