bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Tepi Stasiun | Short Story [Kompetisi KGPT]
Quote:




Gemuruh kereta berdatangan silih berganti kala aku duduk di tepi stasiun. Roda 'Bogie' menggilas rel tanpa ampun hingga getarannya menjalar ke peron penumpang di samping laju kereta. Pun halnya atap stasiun yang melindungi kami dari teriknya siang sempat tergoncang, sampai akhirnya gerbong demi gerbong melambat tepat di muka penumpang. Sesaat aku berpegangan pada kursi stasiun, gemuruh kereta itu mengingatkanku pada masa-masa lampau kala pesawat Belanda datang menukik dari langit untuk membombardir kampung halamanku dulu.

Bising dan gerah. Ramai-ramai orang berjejal menunggu gerbong terhenti total. Penjaga stasiun dengan sigap menahan gelombang manusia yang berdesakan, mereka seolah tak sabar untuk duduk ke dalam bilik kereta.

Akhirnya ereta berhenti tepat di depan wajahku disusul riuhnya kaki para penumpang yang berhamburan.

"Sabar ya Pak jangan berdesakan, Ibu yang di sana tolong jangan melewati garis kuning," ucap petugas yang terlihat kelelahan.

"Pritt...pritt...utamakan yang hendak ke luar dari gerbong! Tolong dahulukan yang hendak ke luar!" di ujung peron, Polsuska dengan seragam khas militer berteriak lantang, menghadang dengan pentungan hitam.

Sebenarnya untuk apa pula kita berdesakan jikalau mereka sudah memesan tiket, mereka sudah pasti mendapat tempat duduk bukan? Atau mungkin mereka resah jika kursi yang mereka pesan direbut orang lain? Entahlah, manusia-manusia sekarang mudah panik dengan keadaan. Siapapun yang masuk akan berangkat bersamaan, karena cepat atau lambat kereta ini akan tepat waktu di tujuan, begitu logikanya bukan?

Lihat saja, ada seorang Pria tua seumuranku membawa kardus bekas mie instant yang rela berlomba dengan gerombolan Ibu-ibu, demi membuktikan siapa yang masuk terlebih dahulu masuk ke dalam gerbong.

"Mau kemana? Hendak kemana?" Pikirku dengan menggelengkan kepala.

"Prittt...Pak dahulukan yang hendak ke luar!" Polsuska itu terpaksa mengangkat pentungan demikian tinggi.

"I...iya...pak...saya hanya lelah ingin segera duduk,"

"Iya bapak sabar dulu!" Teriaknya tegas.

Sesaat diriku merasa iba, aku bisa merasakan letihnya karena sejak pagi tadi Bapak itu tidak menemukan tempat duduk, ia hanya tertidur selonjoran di pelataran peron. Mungkin dirinya hendak pulang kampung bertemu keluarganya dengan membawa beberapa buah tangan dalam kardus. Duduk termenung sampai rautnya memelas datar melihat orang yang lalu lalang. Wajar saja ia berdiri girang kala kereta tujuannya tiba.

Aku dan dirinya hanyalah orang tua yang ingin segera pulang. Dengan sabar dan dengan segala upaya pria itu akhirnya bisa masuk di tengah kerumunan.

"Selamat siang Pak, boleh saya lihat tiket tujuan bapak kemana?" tetiba perempuan muda dengan seragam rapih menepuk lenganku. Ia berbicara demikian lembut, dari lencananya aku tahu jika ia seorang Prami Stasiun Kereta.

"Eh iya, duh..." Dalam benak sebenarnya diriku tak tahu kemana tujuan stasiunku, "saya hendak ke Semarang," ucapku ragu.

Ia hanya tersenyum dan berlalu ke orang sekitar yang sama-sama menunggu di peron seperti diriku. Mungkin ia memeriksa penumpang yang terlewat, utamanya orang orang yang lanjut usia.

Aku masih duduk.

Menunggu di tengah keramaian.

Stasiun Gambir adalah salah satu stasiun di pusat kota Jakarta yang selalu ramai bahkan sejak orde baru. Aku masih ingat saat pertama kali datang ke stasiun ini dengan membawa segenap harapan dan cita-cita. Dulu Gambir adalah stasiun megah dengan hiasan aksen khas era-Soeharto, aku sedikit lupa tentang kisah kejayaan orang tua dulu karena yang kuingat stasiun ini adalah gerbang awal dan akhir di jalan hidupku. Stasiun Gambir memiliki ciri khas dengan bel bersuara lagu instrumental "Kicir-Kicir" yang sering diputar setiap kali ada kedatangan kereta api antarkota. 

Sekarang wajah Gambir sudah berubah, peron calon penumpang lebih tertata rapi. Tidak seperti dahulu, kala para pengamen, karyawan, pengasong, copet, pedagang kain tumpah ruah di pelataran stasiun. Ricuh tak terkendali. Bahkan gerbong-gerbong kereta diisi ternak bercampur dengan barang-barang dari tanah abang.

Katanya stasiun ini sudah tua, pejabat-pejabat di istana memoles Gambir sedemikian rupa agar stasiun ini lebih modern. Gambir sudah berubah, memaksa orang tua sepertiku hanya mampu duduk menggenggam tas untuk pulang. Begitu mewah, bersih dan 'keras' seolah aroma tua dan kotor dilarang masuk ke Gambir. Sedih, ringkih dan kikuk di tengah ibu kota.

Beberapa belas menit kemudian Polsuska, Prami serta PKD (red. Petugas Keamanan Dalam) memberi sinyal jika kereta tadi hendak berangkat. Kondektur memberi aba-aba dari depan disusul sinyal Polsuska dari belakang yang mengangkat lampu rambu. Aku tak tahu persis kode yang mereka lempar, yang ku tahu kereta mulai 'menancap gas' dengan suara gemuruh yang memaksaku kembali memegang tepian kursi. Aku masih gentar pada getar.

Mereka berlalu, Gambir masih ramai lalu lalang dalam pandanganku sekarang.

Di kursi ini aku masih duduk sendirian, sempat ada Pria berkemeja necis duduk di sampingku dengan gawai di telinganya. Menelpon seseorang dari jauh sana untuk bercengkerama, kemudian berlalu pergi yang membuatku kembali pada sepi.

Dari kejauhan kulihat ada perempuan muda umur 30-an dengan wajah cemas menghampiri kursiku. Berkali-kali ia membenarkan tas di tangannya dengan kaki yang tertatih-tatih. Aku membenarkan kacamata kemudian menoleh lebih dalam, aku tersadar jika ia sedang mengandung. Ia seperti terengah-engah dengan perutnya yang memaksanya untuk berjalan lebih lambat.

Ia duduk tepat di sampingku, mengeluarkan selembar tisu kemudian menggesut keringatnya yang tercucur. Kami hening bersama angin yang terhembus di peron stasiun. Masih terdiam di tengah hirup pikuk orang-orang.

"Hendak kemana mbak?" Perasaan bosan memberiku keberanian untuk menyapa.

"Karawang," jawabnya singkat, ia hanya tertunduk sambil mengelus perutnya.

"Mbak, baik-baik saja?"

"Iya," ia kembali menggesut keringatnya hingga ke bagian leher.

"...Jadi berapa usia kandungannya?"

"..." ia menoleh padaku dengan wajah tak percaya. Apakah mungkin aku bertanya berlebihan?

"Saya hanya ingin tahu berapa usia kandungan..." Dengan perlahan aku menenangkan namun semakin aku berbicara semakin wajahnya terlihat tak menyukainya, "Mmm...Tidak jadi maafkan saya mbak," jawabku terhenti. Canggung sekali rasanya duduk bersama orang yang menganggap kita hanya gangguan.

"Usia kandunganku 21 minggu...Di hari selasa ini," jawabnya lirih.

"...Wah berarti sebentar lagi ternyata," aku berusaha menghiburnya dengan nada gembira.

"Ya, sebentar lagi, namun semua itu tak mudah seperti yang dikatakan orang" Ia terlihat semakin sedih.

"Maaf, apa mbak sedang dalam masa sulit?
Seharusnya mbak antusias bukan dengan kedatangan buah hati?"

"Aku...aku hanya takut," jawabnya datar.

"Takut karena apa?"

"Segalanya, aku takut dengan banyak hal yang akan terjadi di depan,"

"Saya yakin mbak akan baik-baik saja," ucapku menghiburnya.

"Banyak yang bilang begitu, tapi...bagaimana jika mereka keliru?" Tepisnya dengan tegas, seolah ia sudah melalui banyak lara.

"Kamu pasti bisa melaluinya, semua orang bisa, begitupula denganmu mbak,"

"Baiklah..."

"Bagaimana dengan keluargamu?"

Perlahan air matanya mengalir jatuh dari pipi menuju dagu, ia semakin menunduk hingga tetes air jatuh ke perutnya yang besar, ia mengelusnya dalam tangis.

"Ini rumit, suamiku...meninggalkanku, lalu sekarang...hanya tersisa diriku dan Ayahku," ucapnya terbata-bata, perkataannya tercekik oleh kesedihan yang teramat dalam. Aku memalingkan wajah ke depan, takut jika pandanganku mengganggunya. Perempuan yang terbilang muda yang berusaha tabah dengan segala beban di pundaknya. Ingin sekali aku menghibur rasa sedihnya, tapi dengan cara apa? Aku takut jika perkataanku semakin memperkeruh perasaan kalutnya. Lelaki tua seperti diriku bisa apa?

"Ayahku sedang sakit, ia...ia sakit parah, aku dipecat dari pekerjaanku, setidaknya dengan sisa tabunganku sekarang--aku bisa membuka warung kecil di kampungku, demi anak dan ayahku,"

"Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," tak banyak yang bisa aku ucapkan, ia hanya membalas dengan senyum seadanya.

Dalam suasana sedih, rel kereta kembali bergetar bersamaan dengan orang-orang yang berdiri tepat di pinggiran rel stasiun. Mereka menjinjit kaki menadah pandangan ke ujung sana demi melihat moncong 'lokomotif' menggerus rel hingga sampai di stasiun. Perempuan di sampingku mengelap matanya sambil meregangkan punggungya untuk sesaat, dalam posisi apapun aku tahu jika perempuan hamil selalu merasa lelah. Ia membenarkan tasnya lalu berusaha berdiri.

"Ayah,"

"..." Aku terkejut dengan panggilannya padaku.

"Ayah..."

Ia memegang tanganku, Ayah? Apa maksudnya? Aku ayahnya?

"Itu kereta kita, kita akan pulang ke Karawang,"

"Ta...pi...saya...ke Semarang,"

Walau perutnya besar, ia berusa berjongkok di hadapanku. Menjelaskan dengan mata sembab.

"Ayah...Ayah sedang sakit, setidaknya di Karawang sana dekat dengan makam Ibu, tiada siapapun di kampung halaman Ayah," ucapnya kembali dengan mengalirkan air mata.

"Jadi..."

"Walau Ayah sering lupa, sering pikun untuk sekedar mengenalku, kita harus tetap bersama,"

Aku beranjak dari kursi peron, terhimpit dari orang-orang yang ingin segera naik, berlomba demi tempat duduk yang nyaman. Pun halnya dengan perempuan yang menggandeng lenganku, ia masih sembab dengan keringat karena teriknya siang serta desakan tubuh orang-orang yang berusaha masuk terlebih dahulu ke dalam kereta.

Perempuan itu menggenggam tanganku dengan erat...tunggu, aku lupa, aku benar-benar lupa, sungguh lupa...kemana tujuanku? Siapa diriku? Apa yang terjadi? Aku hanya orang tua yang digandeng seorang perempuan dengan segala cerita getirnya.

Apa aku seorang beban? Diriku sekedar nyawa yang terbungkus daging renta.

"Tolong beri jalan!" Polsuska kembali mengangkat tongkatnya dengan buas.

Ia menyeret tubuh orang-orang hingga perempuan...tidak! Ia menyeret tubuh kami dan orang-orang. Anakku berusaha kuat untuk melindungi perutnya.

Kereta tiba dengan gerbong-gerbongnya yang sekejap menggetarkan stasiun, membuat traumaku kembali terhentak kencang.

Getir.

Di tepi stasiun, kami beranjak untuk pulang.


THE END


Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 30-08-2023 00:31
eynymawar675644Avatar border
citraresmi8359Avatar border
n.citraAvatar border
n.citra dan 23 lainnya memberi reputasi
24
1.2K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan