- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
RUMAH - KUNCEN


TS
jurigciwidey
RUMAH - KUNCEN

Quote:
“Kak Raka!”
“Kakkk, Kakak Raka!”
“Bangunn kakkk!”
Aku yang masih memejamkan mata tiba-tiba mendengar sebuah suara yang entah darimana datangnya, sebuah suara yang tampak tidak asing di telingaku. Bersamaan dengan tubuhku yang sedang diguncang-guncangkan oleh sesuatu.
“Kak!”
“Kak Raka, ayo makan malam dulu Kak!”
“Bapak udah nyiapin makan malam untuk kita.”
Tidurku yang terganggu akan hal itu akhirnya membuka mataku, meskipun masih mengantuk, namun aku berusaha membuka mataku untuk mengetahui siapa yang membangunkanku pada saat itu.
Terlihat, seorang anak gadis yang masih belia kini berada tepat di dekat ku.
Dia adalah Nina, adik bungsu ku yang masih SMP. Dengan tersenyum kecil, dia terus-menerus mengguncang-guncangkan tubuh ku dan menyuruhku ikut makan malam bersama dirinya dan bapak yang sudah menunggu di ruang tengah.
“Hmmmm, Iya, iya Na, kamu duluan aja kesana ya, nanti aku menyusul ke meja makan!” kataku yang masih pusing karena dibangunkan oleh adikku sendiri.
Nina hanya tersenyum kepadaku, dia tidak menjawab atas perkataan yang aku lontarkan kepadanya. Dia hanya mengangguk dan berlari ke arah pintu kamar dan menghilang seketika ketika dirinya sudah keluar kamar.
Aku yang awalnya duduk di atas kasur kini berdiri dan berjalan keluar dari dalam kamarku. Kamar yang sudah aku tempati dari aku kecil hingga sekarang, sebuah kamar yang terletak paling ujung di rumah ini.
Tak lama setelah aku berjalan, aku melihat sebuah meja makan kecil di ruangan tengah, bersamaan dengan makanan-makanan yang ada di meja. Makanan-makanan itu terlihat sangat menggugah selera.
Di salah satu kursi di meja tersebut terlihat seseorang yang sedang duduk dengan kacamata baca dan koran pagi yang belum sempat dia baca, dia terlihat sangat serius membaca koran tersebut.
Terlihat pula dari depan sebuah berita mencengangkan, yang menceritakan tentang sebuah Kebakaran hebat sehingga menjadi headline di berita-berita pada saat itu.
Sedangkan di sebelahnya, ada Nina yang sibuk dengan HP yang dia pegang, dia terlihat sangat serius mendengarkan sesuatu dengan kedua headset yang dia tempelkan di telinganya.
“Eh Raka, ayo duduk!” katanya sambil mempersilahkan aku untuk duduk diatas kursi yang ada di sebelahnya. Dia melambai tangannya seperti menyuruhku untuk duduk bersamanya pada saat itu.
“Kamu itu kalau tidur jangan terlalu sore, jadi kan ketika makan malam harus di bangunin seperti ini.”
“Ya sudah, ayo makan, Bapak udah masakin makanan buat kalian nih.”
“Raka, Nina ayo makan!” Katanya sambil mempersilahkan untuk makan kepadaku dan Nina pada saat itu.
“Iya Pak!” Aku dan Nina serentak menjawab.
Akhirnya kita bertiga makan malam bersama, sebuah tradisi yang selalu dilakukan oleh masyarakat kalangan menengah ke atas pada saat itu. Makan bersama dalam satu meja sambil membicarakan hal-hal yang sudah terjadi di hari itu, sebuah kebersamaan yang bisa mengikat mereka agar menjadi lebih erat untuk sebuah keluarga.
“Oh Iya, kalau sudah beres makan, tolong buangin sampah-sampah yang ada di bawah wastafel ya, soalnya besok tukang sampahnya mau datang untuk mengambil sampah kita, bersamaan dengan sampah-sampah para penghuni kontrakan yang ada di depan,” Kata Bapak sambil menunjuk sampah yang sedikit menumpuk di dapur pada saat itu.
Aku hanya mengangguk, dan tak lama setelah aku makan dan membereskan semua piring dan gelas kotor yang ada di meja makan, aku mengambil sampah yang ada disana untuk aku buang keluar.
Rumahku memang sedikit agak unik. Karena selain ada rumahku, ada juga dua bangunan lain yang disulap menjadi sebuah kontrakan yang memanjang dan saling berhadapan satu sama lain di depan rumahku.
Kontrakan itu sengaja dibangun oleh kedua orang tua ku untuk bekal masa depanku dan Nina, Bapak berencana membagi kontrakan dengan total sepuluh pintu itu ketika dirinya sudah meninggal kelak.
Sehingga, apabila Aku dan Nina berdua tidak bekerja pun, aku masih bisa mempunyai penghasilan dari para penghuni kontrakan yang mengontrak disana.
Bapak dan Almarhum Ibu memang terkenal akan kerja kerasnya, Ibu ketika dulu masih hidup, beliau berusaha keras untuk menyekolahkan aku dan Nina hingga akhirnya harus meregang nyawa karena penyakit yang dideritanya.
Sedangkan Bapak yang merupakan chef di hotel berbintang kini memilih untuk membangun dua kontrakan ini agar dia bisa lebih banyak menyempatkan waktu bersama kedua anaknya.
Haahhhhh
“Dari kecil ampe sekarang paling males kalau buang sampah malem-malem gini,” kataku sambil sedikit menggerutu ketika aku harus membuang sampah.
Aku yang sering menghabiskan diri di dalam kamar dan larut akan buku-buku pengetahuan yang sering aku baca, merasa malas apabila harus berinteraksi dengan dunia luar.
Rumahku yang paling belakang membuatku harus berjalan melewati beberapa rumah kontrakan yang memanjang dengan lampu lima watt yang berwarna kuning yang redup dari atas pintu kontrakan yang harus aku lewati.
Apalagi, karena bapak membebaskan penghuninya untuk tinggal disana. Sehingga aku sendiri bisa melihat banyak sekali orang dengan background berbeda yang tinggal di kontrakan itu, dan aku sangat malas sekali apabila bertemu dengan mereka.
Pintu nomor sepuluh di huni oleh sepasang suami istri yang belum mempunyai anak, sehingga ketika usianya sudah mulai tua pun mereka masih hidup berdua di kontrakan tersebut.
Pintu nomor sembilan di isi oleh preman pasar, aku seringkali melihat dia sedang duduk dan merokok di salah satu kursi di dalam kontrakannya.
Meskipun wajahnya menyeramkan, tapi dia menghormati Aku, Nina dan Bapak selaku pemilik kontrakan.
Pintu nomor delapan di isi oleh seorang wanita yang berprofesi sebagai penghibur di salah satu club malam. Sehingga ruangannya tampak kosong dengan beberapa foto dirinya yang terpangpang di setiap sudut kamarnya.
Pintu nomor tujuh hingga dua, diisi oleh sebuah keluarga kecil yang salah satu dari mereka bekerja di pabrik dan pusat perbelanjaan yang ada di dekat rumahku pada saat itu.
Sedangkan nomor satu, di isi oleh anak-anak kecil gelandangan yang patungan untuk menyewa satu petak kontrakan untuk mereka tinggal dan tidur disana.
Aku melangkahkan kakiku secara perlahan, melewati pintu-pintu kontrakan tersebut dengan sebuah kresek sampah yang aku bawa.
Namun, kali ini ada sesuatu yang tampak berbeda. aku merasakan hawa dingin yang menusuk ketika aku berjalan melewati kontrakan itu.
Tidak seperti biasanya, beberapa tubuhku menggigil kedinginan ketika aku melangkah kearah tempat sampah yang ada di depan kontrakan.
Bahkan, hal aneh yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Ketika lampu depan kontrakan yang menyala di depan rumah tiba-tiba mati dan menyala dengan sendirinya. Dan itu terjadi tepat ketika aku melangkahkan kaki.
“Ada apa ini? Kenapa perasaanku tidak enak,” gumamku.
Aku benar-benar merasakan hawa yang mencekam ketika aku melewati kontrakan ini, sehingga aku pun akhirnya mempercepat langkahku agar aku segera sampai di depan tempat sampah yang ada di pinggir jalan.
Tap, tap, tap
Tak lama, aku akhirnya sampai. Di sebuah tempat sampah yang biasa digunakan oleh keluarga ku dan para penghuni kontrakan.
Sampah-sampah yang menumpuk pun terlihat, bersamaan dengan banyaknya serangga yang menggerubungi sampah-sampah itu.
Malam yang gelap dengan cahaya lampu jalan yang menyala di atasnya, membuatku semakin merasa waspada. Karena ketika aku sedang berdiri disana, suasana begitu sepi.
Jalan raya yang seharusnya ramai meskipun malam kini mendadak hening, tidak ada satupun kendaraan yang melintas pada malam ini.
Tubuhku seperti merasakan sesuatu yang tidak beres sekarang, karena jantungku mendadak berdetak kencang, napasku terasa sangat berat.
Bahkan,
Tubuhku kini mengeluarkan keringat dingin yang membanjiri baju yang aku pakai pada malam itu.
Apalagi, bau busuk sampah yang harusnya tercium kini tidak terasa olehku.
Malah, aku mencium bau yang berbeda, bau wangi yang tiba-tiba muncul entah darimana.
Seperti angin tipis yang berhembus secara perlahan ke arahku dengan bau wewangian yang membuatku semakin ketakutan.
Wangi itu semakin lama semakin menyengat, bahkan dengan jelas aku bisa menebak bau dari wewangian ini karena salah satu penghuni kontrakan seringkali memakai bau ini di dalam kontrakannya.
Namun, entah mengapa, aku merasa ketakutan sekarang, seperti ada sebuah perasaan berbeda ketika aku mencium bau ini.
Aku pun langsung waspada, tubuhku yang masih berdiri disana pun merasa kaku dan tidak bisa bergerak.
Apalagi, ketika wangi itu semakin tercium oleh hidungku..
Aku tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah suara yang terdengar seperti sedang memanggilku dari belakang.
Sebuah suara wanita yang tepat berada di belakangku pada saat itu.
“Ka… Raka!”
“Ka… Raka!”
Suara itu memanggilku dengan nada sangat pelan, bersamaan dengan wangi melati yang masih tercium olehku.
Jujur, aku ketakutan ketika mendengar hal itu, aku takut ada sesuatu yang mengerikan disana.
Tubuhku ini sepertinya tidak bisa berkompromi dengan pikiranku lagi, karena setelah aku mendengar suara itu, secara perlahan aku merasakan tubuhku seperti berbalik ke asal suara yang berada di belakangku.
Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan tubuhku.
Namun, ketika aku berbalik badan…
Aku tidak menemukan apapun disana, yang ada hanyalah sebuah gerbang kecil yang merupakan pintu masuk ke kontrakan dan rumahku pada saat itu.
Aku yang ketakutan pada saat itu, langsung menghela nafas panjang. Karena apa yang aku takutkan sepertinya tidak terjadi. Aku bahkan mengusap-usap dada ku, karena tidak ada apapun disana.
Meskipun,
Sepertinya, rasa lega itu hanya sesaat.
Karena…
Tiba-tiba,
Aku mendengar kembali sebuah suara, sebuah suara yang sama seperti yang aku dengar tadi. Dan kali ini, suara itu tepat berada di telinga sebelah kiriku.
“Ka… Raka!”
Sontak, aku langsung memalingkan wajahku ke arah kiri. Dan betapa terkejutnya aku, ketika aku melihat ada yang berdiri tepat di sampingku pada saat itu.
Sesosok wanita berambut panjang yang tertunduk sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, wanita itu memakai baju berwarna merah, dengan rok selutut berwarna hitam dan sepatu hak tinggi berwarna merah yang dia kenakan di kedua kakinya.
Aku tahu wanita ini, wanita yang tampaknya tidak asing. Dia adalah wanita penghuni kontrakan nomor delapan, yang mungkin saja baru pulang dari pekerjaan malamnya.
Namun, kenapa dia tertunduk di depanku ya? Juga, kenapa bau melati yang aku cium semakin kuat ketika wanita ini muncul?
“Aa Raka!”
“Aa Raka, mohon maaf, bulan ini, aku gak bisa bayar kontrakan.”
“Karena…”
Wajah yang tertunduk itu secara perlahan-lahan dia angkat, sehingga wajahnya yang awalnya tidak terlihat dengan jelas, perlahan aku dengan jelas bisa melihat wajahnya.
Namun, aku benar-benar tercengang ketika aku melihat wajahnya dari dekat.
Wajahnya itu terlihat hancur, wajahnya menghitam dengan banyaknya kulit yang terkelupas di sekitar wajahnya. Terlihat pula daging-daging yang berwarna merah dan terlihat membusuk di sekitar wajahnya, sehingga aku benar-benar ngeri melihatnya.
Mulutnya yang tampak menghitam masih terlihat berusaha untuk berbicara pada saat itu, giginya yang menghitam dengan lidah yang sudah tidak berbentuk lagi. Membuatku ketakutan setengah mati ketika melihatnya.
“Aku belum mendapatkan pelanggan Aa Raka, jadi mohon maaf ya!”
Hihihihi
Hihihihi
HIHIHIHIHI
Wanita itu, tiba-tiba tertawa setelah selesai berkata seperti itu, dan hal itu membuat rasa takutku semakin memuncak.
Sehingga,
Brak
Aku langsung berlari meninggalkan dirinya yang masih berdiri di dekat tempat sampah yang ada di depan kontrakan, bahkan sampah yang berada di dekatku aku tabrak karena aku ingin sekali menjauhi wanita yang mengerikan itu.
Namun,
Teror yang muncul secara tiba-tiba ternyata belum selesai.
Karena,
Aku melihat suasana kontrakan yang aku lewati tiba-tiba berubah, apa yang aku lihat di setiap pintu kontrakan yang terbuka dengan sendirinya, membuatku semakin ketakutan.
Kamar nomor sepuluh, yang dihuni oleh sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak, kini terlihat menggantung dengan tali yang mengikat di leher mereka berdua.
Mereka menggantung dengan tubuh mereka yang hitam legam seperti terkena sesuatu yang membuat mereka mati secara bersamaan.
Kamar nomor sembilan, yang dihuni oleh preman pasar kini mendadak berubah dengan penuh darah.
Sebuah tangan yang putus terlihat tergeletak di dekat pintu kamar kontrakan dengan darah yang menempel di dinding. Bahkan tercium bau anyir yang bercampur dengan bau gosong di dalam kamar tersebut.
Sedangkan kamar nomor tujuh hingga dua, terlihat banyak sekali mayat yang sedang dikafani yang terbaring di dalam ruangan tersebut, dan semuanya sedang dipersiapkan untuk proses pemakaman yang dikerjakan oleh anak-anak gelandangan yang berada di kamar nomor satu.
Ibu, Bapak dan anak-anaknya terlihat terbujur kaku di dalam sana, ada yang sedang dimandikan, ada yang sedang dikafani, ada juga yang sudah tertutup dengan kain jarik dan tinggal di makamkan.
Namun, anak-anak gelandangan itu seperti tidak utuh, sebagian tubuh mereka tidak berdaging, namun hanya tulang belulang dengan di beberapa bagian tubuhnya.
Mereka hanya melihat ku yang sedang berlari melewati mereka dengan tatapan yang kosong, lalu kepala mereka kembali berbalik dan mulai mengkafani para mayat-mayat yang terbujur kaku di ruangan nomor tujuh hingga nomor dua pada malam itu.
Aku benar-benar panik sekarang, kenapa semuanya berubah menjadi menyeramkan, sebenarnya. Ada apa sebenarnya dengan tempat ini?
Aku terus mempercepat langkahku, hingga tak lama, aku pun sampai ke depan pintu rumah. Dan dengan tergesa-gesa, aku akhirnya membuka pintu rumahku dan masuk ke dalam rumah dengan kondisi tubuhku yang ketakutan setengah mati.
Blag
klak, klak, klak,
Aku langsung menutup pintu setelah aku masuk, tak lupa aku langsung menguncinya karena aku takut mereka mengejarku hingga ke dalam rumah.
Jantungku berdegup kencang, napasku terasa sangat berat ketika aku masuk ke dalam rumah.
“Kenapa?”
“Kenapa, kenapa semuanya jadi menyeramkan ini?”
“Kenapa mereka semua jadi mengerikan?”
“Sebenarnya, ada apa dengan semua ini?”
Aku benar-benar bingung, aku tidak tahu kenapa hal mengerikan itu terjadi di kontrakan depan. Apa yang menyebabkan mereka tiba-tiba berubah menjadi mengerikan.
Aku hanya berdiri di dekat pintu rumah, tubuhku sengaja aku senderkan ke arah pintu agar mereka tidak masuk ke dalam rumah.
Namun, sepertinya aku merasakan bahwa teror itu tidak berhenti disini.
Karena, aku melihat pemandangan rumahku kini benar-benar berbeda, rumahku tiba-tiba penuh akan asap dengan bau gosong di seluruh rumah.
Bau itu tercium dengan sangat jelas oleh hidungku pada saat itu. Seperti ada sesuatu yang terbakar di rumah ini. Dan benar saja, ketika aku melangkahkan kaki secara perlahan untuk masuk lebih dalam.
Tiba-tiba…
Brrrttt
Aku melihat sesuatu yang menyala, sebuah nyala kecil dari titik-titik api dari segala sisi rumah yang sedang membakar sesuatu.
Semakin lama, titik-titik api itu semakin banyak, dari arah dapur, dari arah kamar mandi, dari arah kamar bapak, bahkan dari arah kamar Nina.
“Astaga Api!!!”
“Kebakaran Pak!! Kebakaran Nina!!”
“Kalian dimana? Cepetan keluar!”
Ditengah-tengah kepanikan itu, aku tiba-tiba terdengar suara, sebuah suara dari dalam api yang menyala semakin besar di depan mataku pada saat itu.
“Raka!”
“Raka, sini duduk Raka!”
Tiba-tiba, di tengah kobaran api tersebut, aku melihat dua orang yang duduk di meja makan yang diselimuti api, mereka berdua duduk dengan tubuhnya yang terbakar hebat. Sehingga aku bisa melihat kulitnya yang menghitam karena kobaran api yang ada di sekitarnya.
“Raka, sini duduk, kita duduk bersama-sama disini Raka, sama seperti tadi, makan malam bersama.”
Aku benar-benar tidak percaya atas apa yang aku lihat, itu adalah bapak, dengan tubuhnya yang terbakar oleh api sehingga tubuhnya menghitam.
Dan, disebelahnya, itu adalah Nina, yang menatapku dengan senyumannya yang mengerikan.
Aku benar-benar tidak percaya, ada apa ini, kenapa semuanya jadi seperti ini. Aku benar-benar ingin berlari kembali keluar, namun tubuhku masih belum bisa bergerak sama sekali.
Bahkan, api itu kini secara perlahan menjalar ke tubuhku, aku merasakan panas secara perlahan. Bersamaan dengan suara bapak yang terus-menerus memanggil diriku dengan kondisi tubuhnya yang terbakar habis.
“Raka, sini Raka, gabung sama kita!”
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku, di saat api itu terus menjalar dan membakar habis seluruh rumah.
Kedua tanganku seketika menutupi wajahku, aku benar-benar ketakutan, aku takut dengan apa yang terjadi kepada mereka.
Hingga, akhirnya aku teriak sekencang-kencangnya.
Aku takut.
Aku bingung.
Aku gelisah.
Sehingga hal ini yang bisa aku lakukan, berteriak hingga aku pasrah akan keadaan pada saat itu.
ARGGGGGHHHHHH….
***
Hah hah hah,
Jantungku berdetak kencang, bersamaan dengan kedua mataku yang tiba-tiba terbuka.
“Dimana aku?” pikirku.
Tiba-tiba aku kini berada di dalam sebuah ruangan yang sangat asing, dan tubuhku kini terbaring lemas tidak berdaya, rasa panas dari api yang menyambar secara perlahan pada saat itu masih terasa olehku.
Bahkan, ketika aku melihat tubuhku sendiri, aku melihat seluruh tubuhku penuh perban, seperti ada sesuatu yang terjadi kepadaku pada saat itu.
Aku masih merasa pusing dan bingung atas apa yang terjadi, satu-satunya yang aku tahu, bahwa aku kini terbaring di atas ranjang Rumah Sakit dengan luka bakar yang memenuhi tubuhku pada saat itu.
Aku sendirian di dalam ruangan ini sekarang, satu-satunya yang menemaniku hanyalah sebuah televisi yang menyala dengan sebuah berita yang mengejutkan disana.
Sebuah kebakaran hebat yang membakar satu rumah dan dua kontrakan, dan menewaskan sebagian besar penghuni yang ada disana. Sebuah kebakaran yang masih diselidiki penyebabnya, dan hanya menyisakan satu orang yang selamat dalam kondisi kritis.
Aku benar-benar tercengang ketika aku melihat berita itu, karena aku dengan sangat jelas melihat bahwa itu adalah rumahku, dan dua kontrakan yang ada di depannya.
“Ja, ja, jadi bau gosong, wajah mereka yang menghitam, itu karena mereka meninggal dalam kebakaran itu?”
“Dan, dan, aku dari semuanya hanya aku yang selamat, Nina, bapak juga penghuni kontrakan yang lain meninggal semua?”
“Ja, ja, jadi apa yang aku lihat?”
“Enggak, enggak.”
“Jadi mimpi yang aku rasakan tadi, adalah jiwa-jiwa yang sudah meninggal disana?”
Aku baru tersadarkan sekarang, semua yang aku alami tadi hanyalah mimpi, sebuah mimpi yang mengerikan dan gambaran atas mereka yang meninggal dari kebakaran di tempatku itu.
Namun, ketika aku memikirkan itu.
Aku tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu, sesuatu yang berbisik dari telinga sebelah kiriku.
“Kata siapa itu mimpi Kak Raka, memang semua itu jiwa kita semua kok, yang ingin mengajak Kak Raka ke dunia kita sekarang, namun rupanya Kak Raka lebih memilih untuk melanjutkan hidup.”
“Meskipun mungkin, Kak Raka akan hidup dalam kecacatan seumur hidup Kak Raka.”
Hihihihi
Hihihihi
HIHIHIHI
“Kakkk, Kakak Raka!”
“Bangunn kakkk!”
Aku yang masih memejamkan mata tiba-tiba mendengar sebuah suara yang entah darimana datangnya, sebuah suara yang tampak tidak asing di telingaku. Bersamaan dengan tubuhku yang sedang diguncang-guncangkan oleh sesuatu.
“Kak!”
“Kak Raka, ayo makan malam dulu Kak!”
“Bapak udah nyiapin makan malam untuk kita.”
Tidurku yang terganggu akan hal itu akhirnya membuka mataku, meskipun masih mengantuk, namun aku berusaha membuka mataku untuk mengetahui siapa yang membangunkanku pada saat itu.
Terlihat, seorang anak gadis yang masih belia kini berada tepat di dekat ku.
Dia adalah Nina, adik bungsu ku yang masih SMP. Dengan tersenyum kecil, dia terus-menerus mengguncang-guncangkan tubuh ku dan menyuruhku ikut makan malam bersama dirinya dan bapak yang sudah menunggu di ruang tengah.
“Hmmmm, Iya, iya Na, kamu duluan aja kesana ya, nanti aku menyusul ke meja makan!” kataku yang masih pusing karena dibangunkan oleh adikku sendiri.
Nina hanya tersenyum kepadaku, dia tidak menjawab atas perkataan yang aku lontarkan kepadanya. Dia hanya mengangguk dan berlari ke arah pintu kamar dan menghilang seketika ketika dirinya sudah keluar kamar.
Aku yang awalnya duduk di atas kasur kini berdiri dan berjalan keluar dari dalam kamarku. Kamar yang sudah aku tempati dari aku kecil hingga sekarang, sebuah kamar yang terletak paling ujung di rumah ini.
Tak lama setelah aku berjalan, aku melihat sebuah meja makan kecil di ruangan tengah, bersamaan dengan makanan-makanan yang ada di meja. Makanan-makanan itu terlihat sangat menggugah selera.
Di salah satu kursi di meja tersebut terlihat seseorang yang sedang duduk dengan kacamata baca dan koran pagi yang belum sempat dia baca, dia terlihat sangat serius membaca koran tersebut.
Terlihat pula dari depan sebuah berita mencengangkan, yang menceritakan tentang sebuah Kebakaran hebat sehingga menjadi headline di berita-berita pada saat itu.
Sedangkan di sebelahnya, ada Nina yang sibuk dengan HP yang dia pegang, dia terlihat sangat serius mendengarkan sesuatu dengan kedua headset yang dia tempelkan di telinganya.
“Eh Raka, ayo duduk!” katanya sambil mempersilahkan aku untuk duduk diatas kursi yang ada di sebelahnya. Dia melambai tangannya seperti menyuruhku untuk duduk bersamanya pada saat itu.
“Kamu itu kalau tidur jangan terlalu sore, jadi kan ketika makan malam harus di bangunin seperti ini.”
“Ya sudah, ayo makan, Bapak udah masakin makanan buat kalian nih.”
“Raka, Nina ayo makan!” Katanya sambil mempersilahkan untuk makan kepadaku dan Nina pada saat itu.
“Iya Pak!” Aku dan Nina serentak menjawab.
Akhirnya kita bertiga makan malam bersama, sebuah tradisi yang selalu dilakukan oleh masyarakat kalangan menengah ke atas pada saat itu. Makan bersama dalam satu meja sambil membicarakan hal-hal yang sudah terjadi di hari itu, sebuah kebersamaan yang bisa mengikat mereka agar menjadi lebih erat untuk sebuah keluarga.
“Oh Iya, kalau sudah beres makan, tolong buangin sampah-sampah yang ada di bawah wastafel ya, soalnya besok tukang sampahnya mau datang untuk mengambil sampah kita, bersamaan dengan sampah-sampah para penghuni kontrakan yang ada di depan,” Kata Bapak sambil menunjuk sampah yang sedikit menumpuk di dapur pada saat itu.
Aku hanya mengangguk, dan tak lama setelah aku makan dan membereskan semua piring dan gelas kotor yang ada di meja makan, aku mengambil sampah yang ada disana untuk aku buang keluar.
Rumahku memang sedikit agak unik. Karena selain ada rumahku, ada juga dua bangunan lain yang disulap menjadi sebuah kontrakan yang memanjang dan saling berhadapan satu sama lain di depan rumahku.
Kontrakan itu sengaja dibangun oleh kedua orang tua ku untuk bekal masa depanku dan Nina, Bapak berencana membagi kontrakan dengan total sepuluh pintu itu ketika dirinya sudah meninggal kelak.
Sehingga, apabila Aku dan Nina berdua tidak bekerja pun, aku masih bisa mempunyai penghasilan dari para penghuni kontrakan yang mengontrak disana.
Bapak dan Almarhum Ibu memang terkenal akan kerja kerasnya, Ibu ketika dulu masih hidup, beliau berusaha keras untuk menyekolahkan aku dan Nina hingga akhirnya harus meregang nyawa karena penyakit yang dideritanya.
Sedangkan Bapak yang merupakan chef di hotel berbintang kini memilih untuk membangun dua kontrakan ini agar dia bisa lebih banyak menyempatkan waktu bersama kedua anaknya.
Haahhhhh
“Dari kecil ampe sekarang paling males kalau buang sampah malem-malem gini,” kataku sambil sedikit menggerutu ketika aku harus membuang sampah.
Aku yang sering menghabiskan diri di dalam kamar dan larut akan buku-buku pengetahuan yang sering aku baca, merasa malas apabila harus berinteraksi dengan dunia luar.
Rumahku yang paling belakang membuatku harus berjalan melewati beberapa rumah kontrakan yang memanjang dengan lampu lima watt yang berwarna kuning yang redup dari atas pintu kontrakan yang harus aku lewati.
Apalagi, karena bapak membebaskan penghuninya untuk tinggal disana. Sehingga aku sendiri bisa melihat banyak sekali orang dengan background berbeda yang tinggal di kontrakan itu, dan aku sangat malas sekali apabila bertemu dengan mereka.
Pintu nomor sepuluh di huni oleh sepasang suami istri yang belum mempunyai anak, sehingga ketika usianya sudah mulai tua pun mereka masih hidup berdua di kontrakan tersebut.
Pintu nomor sembilan di isi oleh preman pasar, aku seringkali melihat dia sedang duduk dan merokok di salah satu kursi di dalam kontrakannya.
Meskipun wajahnya menyeramkan, tapi dia menghormati Aku, Nina dan Bapak selaku pemilik kontrakan.
Pintu nomor delapan di isi oleh seorang wanita yang berprofesi sebagai penghibur di salah satu club malam. Sehingga ruangannya tampak kosong dengan beberapa foto dirinya yang terpangpang di setiap sudut kamarnya.
Pintu nomor tujuh hingga dua, diisi oleh sebuah keluarga kecil yang salah satu dari mereka bekerja di pabrik dan pusat perbelanjaan yang ada di dekat rumahku pada saat itu.
Sedangkan nomor satu, di isi oleh anak-anak kecil gelandangan yang patungan untuk menyewa satu petak kontrakan untuk mereka tinggal dan tidur disana.
Aku melangkahkan kakiku secara perlahan, melewati pintu-pintu kontrakan tersebut dengan sebuah kresek sampah yang aku bawa.
Namun, kali ini ada sesuatu yang tampak berbeda. aku merasakan hawa dingin yang menusuk ketika aku berjalan melewati kontrakan itu.
Tidak seperti biasanya, beberapa tubuhku menggigil kedinginan ketika aku melangkah kearah tempat sampah yang ada di depan kontrakan.
Bahkan, hal aneh yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Ketika lampu depan kontrakan yang menyala di depan rumah tiba-tiba mati dan menyala dengan sendirinya. Dan itu terjadi tepat ketika aku melangkahkan kaki.
“Ada apa ini? Kenapa perasaanku tidak enak,” gumamku.
Aku benar-benar merasakan hawa yang mencekam ketika aku melewati kontrakan ini, sehingga aku pun akhirnya mempercepat langkahku agar aku segera sampai di depan tempat sampah yang ada di pinggir jalan.
Tap, tap, tap
Tak lama, aku akhirnya sampai. Di sebuah tempat sampah yang biasa digunakan oleh keluarga ku dan para penghuni kontrakan.
Sampah-sampah yang menumpuk pun terlihat, bersamaan dengan banyaknya serangga yang menggerubungi sampah-sampah itu.
Malam yang gelap dengan cahaya lampu jalan yang menyala di atasnya, membuatku semakin merasa waspada. Karena ketika aku sedang berdiri disana, suasana begitu sepi.
Jalan raya yang seharusnya ramai meskipun malam kini mendadak hening, tidak ada satupun kendaraan yang melintas pada malam ini.
Tubuhku seperti merasakan sesuatu yang tidak beres sekarang, karena jantungku mendadak berdetak kencang, napasku terasa sangat berat.
Bahkan,
Tubuhku kini mengeluarkan keringat dingin yang membanjiri baju yang aku pakai pada malam itu.
Apalagi, bau busuk sampah yang harusnya tercium kini tidak terasa olehku.
Malah, aku mencium bau yang berbeda, bau wangi yang tiba-tiba muncul entah darimana.
Seperti angin tipis yang berhembus secara perlahan ke arahku dengan bau wewangian yang membuatku semakin ketakutan.
Wangi itu semakin lama semakin menyengat, bahkan dengan jelas aku bisa menebak bau dari wewangian ini karena salah satu penghuni kontrakan seringkali memakai bau ini di dalam kontrakannya.
Namun, entah mengapa, aku merasa ketakutan sekarang, seperti ada sebuah perasaan berbeda ketika aku mencium bau ini.
Aku pun langsung waspada, tubuhku yang masih berdiri disana pun merasa kaku dan tidak bisa bergerak.
Apalagi, ketika wangi itu semakin tercium oleh hidungku..
Aku tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah suara yang terdengar seperti sedang memanggilku dari belakang.
Sebuah suara wanita yang tepat berada di belakangku pada saat itu.
“Ka… Raka!”
“Ka… Raka!”
Suara itu memanggilku dengan nada sangat pelan, bersamaan dengan wangi melati yang masih tercium olehku.
Jujur, aku ketakutan ketika mendengar hal itu, aku takut ada sesuatu yang mengerikan disana.
Tubuhku ini sepertinya tidak bisa berkompromi dengan pikiranku lagi, karena setelah aku mendengar suara itu, secara perlahan aku merasakan tubuhku seperti berbalik ke asal suara yang berada di belakangku.
Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan tubuhku.
Namun, ketika aku berbalik badan…
Aku tidak menemukan apapun disana, yang ada hanyalah sebuah gerbang kecil yang merupakan pintu masuk ke kontrakan dan rumahku pada saat itu.
Aku yang ketakutan pada saat itu, langsung menghela nafas panjang. Karena apa yang aku takutkan sepertinya tidak terjadi. Aku bahkan mengusap-usap dada ku, karena tidak ada apapun disana.
Meskipun,
Sepertinya, rasa lega itu hanya sesaat.
Karena…
Tiba-tiba,
Aku mendengar kembali sebuah suara, sebuah suara yang sama seperti yang aku dengar tadi. Dan kali ini, suara itu tepat berada di telinga sebelah kiriku.
“Ka… Raka!”
Sontak, aku langsung memalingkan wajahku ke arah kiri. Dan betapa terkejutnya aku, ketika aku melihat ada yang berdiri tepat di sampingku pada saat itu.
Sesosok wanita berambut panjang yang tertunduk sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, wanita itu memakai baju berwarna merah, dengan rok selutut berwarna hitam dan sepatu hak tinggi berwarna merah yang dia kenakan di kedua kakinya.
Aku tahu wanita ini, wanita yang tampaknya tidak asing. Dia adalah wanita penghuni kontrakan nomor delapan, yang mungkin saja baru pulang dari pekerjaan malamnya.
Namun, kenapa dia tertunduk di depanku ya? Juga, kenapa bau melati yang aku cium semakin kuat ketika wanita ini muncul?
“Aa Raka!”
“Aa Raka, mohon maaf, bulan ini, aku gak bisa bayar kontrakan.”
“Karena…”
Wajah yang tertunduk itu secara perlahan-lahan dia angkat, sehingga wajahnya yang awalnya tidak terlihat dengan jelas, perlahan aku dengan jelas bisa melihat wajahnya.
Namun, aku benar-benar tercengang ketika aku melihat wajahnya dari dekat.
Wajahnya itu terlihat hancur, wajahnya menghitam dengan banyaknya kulit yang terkelupas di sekitar wajahnya. Terlihat pula daging-daging yang berwarna merah dan terlihat membusuk di sekitar wajahnya, sehingga aku benar-benar ngeri melihatnya.
Mulutnya yang tampak menghitam masih terlihat berusaha untuk berbicara pada saat itu, giginya yang menghitam dengan lidah yang sudah tidak berbentuk lagi. Membuatku ketakutan setengah mati ketika melihatnya.
“Aku belum mendapatkan pelanggan Aa Raka, jadi mohon maaf ya!”
Hihihihi
Hihihihi
HIHIHIHIHI
Wanita itu, tiba-tiba tertawa setelah selesai berkata seperti itu, dan hal itu membuat rasa takutku semakin memuncak.
Sehingga,
Brak
Aku langsung berlari meninggalkan dirinya yang masih berdiri di dekat tempat sampah yang ada di depan kontrakan, bahkan sampah yang berada di dekatku aku tabrak karena aku ingin sekali menjauhi wanita yang mengerikan itu.
Namun,
Teror yang muncul secara tiba-tiba ternyata belum selesai.
Karena,
Aku melihat suasana kontrakan yang aku lewati tiba-tiba berubah, apa yang aku lihat di setiap pintu kontrakan yang terbuka dengan sendirinya, membuatku semakin ketakutan.
Kamar nomor sepuluh, yang dihuni oleh sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak, kini terlihat menggantung dengan tali yang mengikat di leher mereka berdua.
Mereka menggantung dengan tubuh mereka yang hitam legam seperti terkena sesuatu yang membuat mereka mati secara bersamaan.
Kamar nomor sembilan, yang dihuni oleh preman pasar kini mendadak berubah dengan penuh darah.
Sebuah tangan yang putus terlihat tergeletak di dekat pintu kamar kontrakan dengan darah yang menempel di dinding. Bahkan tercium bau anyir yang bercampur dengan bau gosong di dalam kamar tersebut.
Sedangkan kamar nomor tujuh hingga dua, terlihat banyak sekali mayat yang sedang dikafani yang terbaring di dalam ruangan tersebut, dan semuanya sedang dipersiapkan untuk proses pemakaman yang dikerjakan oleh anak-anak gelandangan yang berada di kamar nomor satu.
Ibu, Bapak dan anak-anaknya terlihat terbujur kaku di dalam sana, ada yang sedang dimandikan, ada yang sedang dikafani, ada juga yang sudah tertutup dengan kain jarik dan tinggal di makamkan.
Namun, anak-anak gelandangan itu seperti tidak utuh, sebagian tubuh mereka tidak berdaging, namun hanya tulang belulang dengan di beberapa bagian tubuhnya.
Mereka hanya melihat ku yang sedang berlari melewati mereka dengan tatapan yang kosong, lalu kepala mereka kembali berbalik dan mulai mengkafani para mayat-mayat yang terbujur kaku di ruangan nomor tujuh hingga nomor dua pada malam itu.
Aku benar-benar panik sekarang, kenapa semuanya berubah menjadi menyeramkan, sebenarnya. Ada apa sebenarnya dengan tempat ini?
Aku terus mempercepat langkahku, hingga tak lama, aku pun sampai ke depan pintu rumah. Dan dengan tergesa-gesa, aku akhirnya membuka pintu rumahku dan masuk ke dalam rumah dengan kondisi tubuhku yang ketakutan setengah mati.
Blag
klak, klak, klak,
Aku langsung menutup pintu setelah aku masuk, tak lupa aku langsung menguncinya karena aku takut mereka mengejarku hingga ke dalam rumah.
Jantungku berdegup kencang, napasku terasa sangat berat ketika aku masuk ke dalam rumah.
“Kenapa?”
“Kenapa, kenapa semuanya jadi menyeramkan ini?”
“Kenapa mereka semua jadi mengerikan?”
“Sebenarnya, ada apa dengan semua ini?”
Aku benar-benar bingung, aku tidak tahu kenapa hal mengerikan itu terjadi di kontrakan depan. Apa yang menyebabkan mereka tiba-tiba berubah menjadi mengerikan.
Aku hanya berdiri di dekat pintu rumah, tubuhku sengaja aku senderkan ke arah pintu agar mereka tidak masuk ke dalam rumah.
Namun, sepertinya aku merasakan bahwa teror itu tidak berhenti disini.
Karena, aku melihat pemandangan rumahku kini benar-benar berbeda, rumahku tiba-tiba penuh akan asap dengan bau gosong di seluruh rumah.
Bau itu tercium dengan sangat jelas oleh hidungku pada saat itu. Seperti ada sesuatu yang terbakar di rumah ini. Dan benar saja, ketika aku melangkahkan kaki secara perlahan untuk masuk lebih dalam.
Tiba-tiba…
Brrrttt
Aku melihat sesuatu yang menyala, sebuah nyala kecil dari titik-titik api dari segala sisi rumah yang sedang membakar sesuatu.
Semakin lama, titik-titik api itu semakin banyak, dari arah dapur, dari arah kamar mandi, dari arah kamar bapak, bahkan dari arah kamar Nina.
“Astaga Api!!!”
“Kebakaran Pak!! Kebakaran Nina!!”
“Kalian dimana? Cepetan keluar!”
Ditengah-tengah kepanikan itu, aku tiba-tiba terdengar suara, sebuah suara dari dalam api yang menyala semakin besar di depan mataku pada saat itu.
“Raka!”
“Raka, sini duduk Raka!”
Tiba-tiba, di tengah kobaran api tersebut, aku melihat dua orang yang duduk di meja makan yang diselimuti api, mereka berdua duduk dengan tubuhnya yang terbakar hebat. Sehingga aku bisa melihat kulitnya yang menghitam karena kobaran api yang ada di sekitarnya.
“Raka, sini duduk, kita duduk bersama-sama disini Raka, sama seperti tadi, makan malam bersama.”
Aku benar-benar tidak percaya atas apa yang aku lihat, itu adalah bapak, dengan tubuhnya yang terbakar oleh api sehingga tubuhnya menghitam.
Dan, disebelahnya, itu adalah Nina, yang menatapku dengan senyumannya yang mengerikan.
Aku benar-benar tidak percaya, ada apa ini, kenapa semuanya jadi seperti ini. Aku benar-benar ingin berlari kembali keluar, namun tubuhku masih belum bisa bergerak sama sekali.
Bahkan, api itu kini secara perlahan menjalar ke tubuhku, aku merasakan panas secara perlahan. Bersamaan dengan suara bapak yang terus-menerus memanggil diriku dengan kondisi tubuhnya yang terbakar habis.
“Raka, sini Raka, gabung sama kita!”
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku, di saat api itu terus menjalar dan membakar habis seluruh rumah.
Kedua tanganku seketika menutupi wajahku, aku benar-benar ketakutan, aku takut dengan apa yang terjadi kepada mereka.
Hingga, akhirnya aku teriak sekencang-kencangnya.
Aku takut.
Aku bingung.
Aku gelisah.
Sehingga hal ini yang bisa aku lakukan, berteriak hingga aku pasrah akan keadaan pada saat itu.
ARGGGGGHHHHHH….
***
Hah hah hah,
Jantungku berdetak kencang, bersamaan dengan kedua mataku yang tiba-tiba terbuka.
“Dimana aku?” pikirku.
Tiba-tiba aku kini berada di dalam sebuah ruangan yang sangat asing, dan tubuhku kini terbaring lemas tidak berdaya, rasa panas dari api yang menyambar secara perlahan pada saat itu masih terasa olehku.
Bahkan, ketika aku melihat tubuhku sendiri, aku melihat seluruh tubuhku penuh perban, seperti ada sesuatu yang terjadi kepadaku pada saat itu.
Aku masih merasa pusing dan bingung atas apa yang terjadi, satu-satunya yang aku tahu, bahwa aku kini terbaring di atas ranjang Rumah Sakit dengan luka bakar yang memenuhi tubuhku pada saat itu.
Aku sendirian di dalam ruangan ini sekarang, satu-satunya yang menemaniku hanyalah sebuah televisi yang menyala dengan sebuah berita yang mengejutkan disana.
Sebuah kebakaran hebat yang membakar satu rumah dan dua kontrakan, dan menewaskan sebagian besar penghuni yang ada disana. Sebuah kebakaran yang masih diselidiki penyebabnya, dan hanya menyisakan satu orang yang selamat dalam kondisi kritis.
Aku benar-benar tercengang ketika aku melihat berita itu, karena aku dengan sangat jelas melihat bahwa itu adalah rumahku, dan dua kontrakan yang ada di depannya.
“Ja, ja, jadi bau gosong, wajah mereka yang menghitam, itu karena mereka meninggal dalam kebakaran itu?”
“Dan, dan, aku dari semuanya hanya aku yang selamat, Nina, bapak juga penghuni kontrakan yang lain meninggal semua?”
“Ja, ja, jadi apa yang aku lihat?”
“Enggak, enggak.”
“Jadi mimpi yang aku rasakan tadi, adalah jiwa-jiwa yang sudah meninggal disana?”
Aku baru tersadarkan sekarang, semua yang aku alami tadi hanyalah mimpi, sebuah mimpi yang mengerikan dan gambaran atas mereka yang meninggal dari kebakaran di tempatku itu.
Namun, ketika aku memikirkan itu.
Aku tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu, sesuatu yang berbisik dari telinga sebelah kiriku.
“Kata siapa itu mimpi Kak Raka, memang semua itu jiwa kita semua kok, yang ingin mengajak Kak Raka ke dunia kita sekarang, namun rupanya Kak Raka lebih memilih untuk melanjutkan hidup.”
“Meskipun mungkin, Kak Raka akan hidup dalam kecacatan seumur hidup Kak Raka.”
Hihihihi
Hihihihi
HIHIHIHI
Terima kasih sudah membaca cerita saya
saya membuat cerita ini untuk kompetisi KUNCEN yang ada disini
KUNCEN
Mohon vote dan baca cerita saya yang lainnya ya di SFTH ini
saya membuat cerita ini untuk kompetisi KUNCEN yang ada disini
KUNCEN
Mohon vote dan baca cerita saya yang lainnya ya di SFTH ini
Diubah oleh jurigciwidey 29-08-2023 06:04






rachmanitara754 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
1.5K
Kutip
31
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan