- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tentang Kebenaran dan Ilmu


TS
stereobrain
Tentang Kebenaran dan Ilmu
Quote:
Sebentar lagi, salah satu universitas kondang di Amerika Serikat, Stanford University, akan kehilangan presidennya karena sebuah kasus yang berkaitan dengan publikasi penelitian. Marc Tessier-Lavigne mengumumkan secara publik bahwa ia akan mundur dari jabatannya setelah investigasi internal SU menghasilkan bukti-bukti mengenai manipulasi data yang ia lakukan pada publikasi penelitiannya. Meskipun manipulasi ini tidak serta merta bisa dilabeli sebagai pemalsuan, namun manipulasi yang beliau lakukan tetap dianggap menciderai jati diri SU sebagai salah satu institusi penelitian terbaik di dunia.

Marc Tessier-Lavigne
Manipulasi yang dilakukan Tessier-Lavigne ini berkaitan dengan beberapa gambar yang ditampilkan pada publikasi beliau.

Salah satu hasil terduga manipulasi
Salah satunya adalah gambar di atas, di mana seorang perintas anonim menemukan kejanggalan dari hasil Western Blot yang dicantumkan Tessier-Lavigne. Menurut perintas tersebut, gambar yang ditampilkan ada indikasi copy-paste, dan anggapan perintas ini juga dibenarkan beberapa perintas anonim lain.
Ekor dari penemuan ini adalah nama Tessier-Lavigne menjadi keruh. Beliau adalah seorang ilmuwan, jadi kenapa bisa beliau melakukan manipulasi terhadap hasil penelitian? Kemudian, pasti akan ada pertanyaan lain seperti:
Quote:
Publikasi mana lagi yang ternyata hasilnya dimanipulasi? 

Quote:
Siapa lagi peneliti yang kerap memanipulasi hasil tanpa ketahuan? 

Quote:
Itu baru manipulasi gambar, bagaimana dengan hasil berupa angka dan perhitungan? 

Quote:
Bagaimana mungkin kita bisa percaya dengan sains jika ternyata hasil penelitian bisa dimanipulasi?
Kondisi akademia dan profesi ilmuwan yang notabene tertutup membuat pertanyaan seperti itu terasa justified, atau terasa wajar. Padahal ada banyak sekali anggapan keliru tentang ilmuwan dan keilmuan sains yang datang baik dari kasus seperti Tessier-Lavigne dan tanggapan terhadap berita tersebut. Untuk mendapat titik terang dari masalah ini, kita harus menarik benang merah mengenai definisi dari apa yang disebut sebagai seorang ilmuwan.

Sebelum lanjut cendolnya dulu 

Quote:
Etimologi Kata Ilmuwan
Sebelum mendefinisikan ilmuwan, ada baiknya kita mengulik dulu sejarah kata "ilmuwan" atau "scientist". Istilah ini pertama kali digunakan pada abad ke-19. Sebelum istilah "ilmuwan", individu yang terlibat dalam pengejaran ilmiah sering disebut dengan berbagai gelar tergantung pada bidang studinya, contohnya orang yang berilmu dalam hal alam disebut filsuf alam.
Kata "ilmuwan" dikreditkan ke seorang polymath bernama William Whewell, yang adalah seorang ilmuwan, filsuf, dan sejarawan sains Inggris. Dia memperkenalkan istilah tersebut dalam ulasannya pada tahun 1834 tentang buku Mary Somerville "On the Connexion of the Physical Sciences." Dalam ulasannya, Whewell berpendapat bahwa harus ada kata yang berbeda untuk menggambarkan mereka yang mempelajari dan mempraktikkan sains, seperti "seniman" untuk mereka yang berkecimpung di bidang seni dan "ekonom" untuk mereka yang berkecimpung di bidang ekonomi. Dia mengusulkan "ilmuwan" sebagai istilah baru untuk mengisi celah ini.

William Whewell
Whewell menuliskan kata "ilmuwan" (scientist) dari kata Latin "scientia," yang berarti "pengetahuan" atau "keterampilan." Ia menambahkan akhiran “-ist” untuk menunjukkan seseorang yang berkecimpung dalam pencarian ilmu atau terampil dalam bidang tertentu.
Jadi bisa dikata, definisi kata ilmuwan secara etimologi adalah seseorang yang "terampil dalam ilmu". Jika dilihat kondisi akademia sekarang, maka sudah cocok saja dengan definisi ini. Para ilmuwan yang bekerja 24/7 untuk mencari penemuan-penemuan baru memang terampil dalam ilmu mereka masing-masing.
Permasalahan muncul ketika kita melihat kasus seperti Tessier-Lavigne. Apa yang membuat seorang ilmuwan seperti beliau sampai harus mengubah gambar hanya untuk publikasi?
Quote:
Ilmuwan dan Publikasi
Hubungan antara ilmuwan dan publikasi hasil penelitian terdapat pada kaidah metode saintifik yang dianut oleh seluruh ilmuwan di dunia. Metode saintifik didesain agar terjadi pengulangan eksperimen yang terus terjadi, dan setiap pengulangan eksperimen diberitahukan melalui presentasi dan publikasi. Hal ini terjadi untuk menyokong fungsi dari seorang ilmuwan: mencari kebenaran saintifik.
Sejatinya seorang ilmuwan memang harus mempublikasi penemuannya. Ia harus mencantumkan dasar pikir yang membuatnya melakukan eksperimen, dan menguraikan langkah yang ia ambil dalam eksperimennya. Setelah eksperimen dilakukan, maka seorang ilmuwan juga harus secara jujur menampilkan hasil dari eksperimen tadi dalam publikasinya.

Metode saintifik didesain untuk terus berulang
Metode ini sudah cukup memadai untuk mencari kebenaran saintifik selama bertahun. Bagaimana jika ternyata eksperimen gagal? Tidak apa-apa, karena metode saintifik menyatakan setelah publikasi, seorang ilmuwan harus bertanya lagi mengenai eksperimen yang barusan dipublikasi.
Setiap publikasi sebenarnya akan menimbulkan banyak pertanyaan tambahan. Satu judul saja, dengan berbagai variabel yang terdapat di judul tersebut, menimbulkan pertanyaan turunan bagi seorang ilmuwan. Masalah datang saat ada orang awam yang tidak paham tentang metode ini masuk ke ranah eksperimen.
Maksudnya, ada seseorang (mau itu investor, perusahaan, atau siapapun yang meminta ilmuwan meneliti tentang sesuatu) yang tidak memahami bahwa hasil nol dari sebuah eksperimen adalah hasil juga. Pertanyaan selanjutnya bukan "apakah eksperimen bisa diulang hingga tidak lagi hasil nol?", melainkan "mengapa hasil nol terjadi?". Perbedaan antara dua pertanyaan ini sangat signifikan.

Di ilmu sosial, hasil nol jarang dipublikasikan
Hasil nol bukan berarti eksperimen gagalmelainkan pertanda bahwa ada variabel di eksperimen tersebut yang perlu diubah. Sayangnya, ilmuwan yang kadang perlu dukungan eksternal biasanya tidak bisa meyakinkan para investor akan hal tersebut. Makanya terbentuk anggapan bahwa hasil nol dari sebuah eksperimen berarti eksperimen harus diulang hingga terdapat hasil.
Itu, atau hasil harus ada, bagaimanapun caranya.
Sebenarnya apa sih ilmuwan itu, dalam konteks sumbangsihnya terhadap masyarakat? Kita sering mendengar mungkin sumbangsih seorang politikus atau pejabat terhadap khalayak umum, dan sumbangsih mereka terlihat di mata. Apapun bentuknya, baik itu berupa materi, infrastruktur, atau kepemimpinan yang baik, semuanya dapat diukur dengan data kontinu yang memberikan gambaran umum terhadap apa yang dicapai.
Ilmuwan tidak memiliki kemewahan itu. Pekerjaan ilmuwan seharusnya dinilai berdasarkan kebaruan dan pembaruan penelitiannya, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan penghitungan sekilas. Harus ada rembuk dan diskusi antar para ahli pada suatu bidang dulu, barulah bisa diputuskan hasil kerja ilmuwan pada judul tertentu bisa diterima sebagai sebuah sumbangsih yang berarti.
Versi kecilnya mungkin adalah konsep persidangan pada akhir masa kuliah mahasiswa. Mahasiswa membawa sebuah judul yang disidangkan kepada para ahli di kampus terkait judul itu, dan bila dianggap bahwa judul itu memadai barulah mahasiswa dihadiahi dengan publikasi dan gelar. Bayangkan hal seperti itu, dilakukan setiap saat dan setiap waktu, dengan ribuan keahlian dari bidang ilmu yang beragam.
Tapi hal seperti itu tidak diketahui mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di ranah sains.
Itu, atau hasil harus ada, bagaimanapun caranya.
Sebenarnya apa sih ilmuwan itu, dalam konteks sumbangsihnya terhadap masyarakat? Kita sering mendengar mungkin sumbangsih seorang politikus atau pejabat terhadap khalayak umum, dan sumbangsih mereka terlihat di mata. Apapun bentuknya, baik itu berupa materi, infrastruktur, atau kepemimpinan yang baik, semuanya dapat diukur dengan data kontinu yang memberikan gambaran umum terhadap apa yang dicapai.
Ilmuwan tidak memiliki kemewahan itu. Pekerjaan ilmuwan seharusnya dinilai berdasarkan kebaruan dan pembaruan penelitiannya, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan penghitungan sekilas. Harus ada rembuk dan diskusi antar para ahli pada suatu bidang dulu, barulah bisa diputuskan hasil kerja ilmuwan pada judul tertentu bisa diterima sebagai sebuah sumbangsih yang berarti.
Versi kecilnya mungkin adalah konsep persidangan pada akhir masa kuliah mahasiswa. Mahasiswa membawa sebuah judul yang disidangkan kepada para ahli di kampus terkait judul itu, dan bila dianggap bahwa judul itu memadai barulah mahasiswa dihadiahi dengan publikasi dan gelar. Bayangkan hal seperti itu, dilakukan setiap saat dan setiap waktu, dengan ribuan keahlian dari bidang ilmu yang beragam.
Tapi hal seperti itu tidak diketahui mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di ranah sains.
Quote:
Mencari Kebenaran atau Hilang
Para pelaku sains pasti pernah mengecap diskusi mengenai kebenaran. René Descartes berpendapat bahwa kita dapat mengetahui keberadaan Tuhan karena gagasan tentang Tuhan begitu sempurna sehingga tidak mungkin datang dari kita. Pendapat Descartes tersebut menjelaskan mengenai salah satu sumber kebenaran: wahyu. Kebenaran ini adalah kebenaran mutlak, absolut, tidak bisa diubah.
Kebenaran lainnya adalah kebenaran konsensus. Kebenaran berdasarkan pemahaman bersama atau konsensus adalah teori kebenaran yang berpendapat bahwa suatu pernyataan benar jika secara umum diterima benar oleh sekelompok orang. Contohnya kebenaran grammardan urutan kalimat (SPOK). Bisa saja seseorang menuliskan kalimat yang melanggar SPOK, tapi secara konsensus kita menyatakan bahwa hal tersebut seakan salah.
Sementara yang dicari oleh orang seperti Tessier-Lavigne dan ilmuwan lainnya seharusnya adalah kebenaran saintifik. Kebenaran saintifik bersifat tidak tetap dan cair, mengikuti penemuan terbaru. Sudah dijelaskan di atas bahwa sains adalah proses penyelidikan, bukan kumpulan pengetahuan. Para ilmuwan harus selalu mengajukan pertanyaan dan mencari bukti baru untuk mendukung atau menyangkal teori mereka.
Bisa kita lihat bahwa definisi ilmuwan dan kenyataan di lapangan bertolak belakang. Proses penyelidikan yang dilakukan ilmuwan itu berarti menerima kesalahan dan tetap mempublikasi hasil nol, tapi kenyataannya, hasil nol yang diterima Tessier-Lavigne dimanipulasi hanya demi publikasi.
Mentalitas “Publish or Perish” mengacu pada tekanan di dunia akademis untuk mempublikasikan karya akademis secara cepat dan terus-menerus guna mempertahankan atau memajukan karier seseorang. Tekanan ini dapat menimbulkan berbagai masalah, termasuk manipulasi data penelitian, seperti yang terlihat pada kasus Marc Tessier-Lavigne. Tekanan untuk mempublikasikan juga dapat menyebabkan masalah lain seperti jalan pintas, plagiarisme, dan bentuk pelanggaran akademis lainnya.
Ada beberapa alasan mengapa budaya "Publish or Perish" merupakan racun terhadap kebenaran saintifik. Pertama, budaya ini menciptakan tekanan untuk mempublikasikan penelitian, meskipun penelitian tersebut belum siap untuk dipublikasikan. Hal ini dapat menyebabkan peneliti mengambil jalan pintas atau mempercepat penelitiannya, sehingga meningkatkan kemungkinan kesalahan. Kedua, budaya ini mendorong peneliti untuk fokus pada kuantitas dibandingkan kualitas; peneliti menerbitkan banyak paper dengan temuan kecil, dibandingkan berfokus pada tulisan berkualitas tinggi dengan hasil signifikan. Ketiga, budaya ini dapat membuat peneliti enggan mempublikasikan hasil nol. Hasil nol sering kali dianggap kurang dapat dipublikasikan dibandingkan hasil positif, dan peneliti mungkin takut dikenakan sanksi karena mempublikasikannya, mengakibatkan tertutupnya informasi ilmiah yang penting.
Kebenaran lainnya adalah kebenaran konsensus. Kebenaran berdasarkan pemahaman bersama atau konsensus adalah teori kebenaran yang berpendapat bahwa suatu pernyataan benar jika secara umum diterima benar oleh sekelompok orang. Contohnya kebenaran grammardan urutan kalimat (SPOK). Bisa saja seseorang menuliskan kalimat yang melanggar SPOK, tapi secara konsensus kita menyatakan bahwa hal tersebut seakan salah.
Sementara yang dicari oleh orang seperti Tessier-Lavigne dan ilmuwan lainnya seharusnya adalah kebenaran saintifik. Kebenaran saintifik bersifat tidak tetap dan cair, mengikuti penemuan terbaru. Sudah dijelaskan di atas bahwa sains adalah proses penyelidikan, bukan kumpulan pengetahuan. Para ilmuwan harus selalu mengajukan pertanyaan dan mencari bukti baru untuk mendukung atau menyangkal teori mereka.
Bisa kita lihat bahwa definisi ilmuwan dan kenyataan di lapangan bertolak belakang. Proses penyelidikan yang dilakukan ilmuwan itu berarti menerima kesalahan dan tetap mempublikasi hasil nol, tapi kenyataannya, hasil nol yang diterima Tessier-Lavigne dimanipulasi hanya demi publikasi.
Mentalitas “Publish or Perish” mengacu pada tekanan di dunia akademis untuk mempublikasikan karya akademis secara cepat dan terus-menerus guna mempertahankan atau memajukan karier seseorang. Tekanan ini dapat menimbulkan berbagai masalah, termasuk manipulasi data penelitian, seperti yang terlihat pada kasus Marc Tessier-Lavigne. Tekanan untuk mempublikasikan juga dapat menyebabkan masalah lain seperti jalan pintas, plagiarisme, dan bentuk pelanggaran akademis lainnya.
Ada beberapa alasan mengapa budaya "Publish or Perish" merupakan racun terhadap kebenaran saintifik. Pertama, budaya ini menciptakan tekanan untuk mempublikasikan penelitian, meskipun penelitian tersebut belum siap untuk dipublikasikan. Hal ini dapat menyebabkan peneliti mengambil jalan pintas atau mempercepat penelitiannya, sehingga meningkatkan kemungkinan kesalahan. Kedua, budaya ini mendorong peneliti untuk fokus pada kuantitas dibandingkan kualitas; peneliti menerbitkan banyak paper dengan temuan kecil, dibandingkan berfokus pada tulisan berkualitas tinggi dengan hasil signifikan. Ketiga, budaya ini dapat membuat peneliti enggan mempublikasikan hasil nol. Hasil nol sering kali dianggap kurang dapat dipublikasikan dibandingkan hasil positif, dan peneliti mungkin takut dikenakan sanksi karena mempublikasikannya, mengakibatkan tertutupnya informasi ilmiah yang penting.
Quote:
Siapa Menyalahkan Siapa
Kasus Tessier-Lavigne ini adalah buntut dari budaya racun yang sudah menjalar di dunia akademik sejak entah kapan. Dampak dari ilmuwan dan investor yang tidak memahami kebenaran santifik yang harusnya dicari oleh para ilmuwan. Tentunya adayang salah di sini, dan sudah jadi kebiasaan kita untuk mencari siapa yang salah.
Dalam kasus ini jelas yang salah adalah Tessier-Lavigne. Beliau sudah melakukan pelanggaran berat terhadap kode saintifik yang mengedepankan kejujuran dalam publikasi data. Tapi ada latar belakang dari perilaku beliau, entah itu posisi, uang, atau faktor lain.
Terbukanya hal seperti ini jelas akan membuat komunitas di luar komunitas saintifik bertanya tentang penelitian yang selama ini dilakukan. Bukan hanya oleh Stanford, tapi juga oleh para ilmuwan secara umum. Apakah hal ini baik atau buruk? Tergantung.
Publik yang skeptis terhadap data dan hasil penelitian itu secara konseptual baik, karena akan memberikan insentif bagi para ilmuwan untuk jujur terhadap penelitian mereka. Carilah hasil publikasi di Indonesia, dan telaah berapa banyak yang melakukan manipulasi data.
Tapi belajar dari sejarah dan keadaan ranah saintifik sekarang, di masa depan skeptisisme publik terhadap sains ini justru perlu diwaspadai. Budaya "Publish or Perish" itu datang dari konsekuensi metode saintifik, yang harus mempresentasikan penemuannya. Sesuatu yang berawal baik tetapi dirusak dan dipelintir oleh waktu.

Dalam kasus ini jelas yang salah adalah Tessier-Lavigne. Beliau sudah melakukan pelanggaran berat terhadap kode saintifik yang mengedepankan kejujuran dalam publikasi data. Tapi ada latar belakang dari perilaku beliau, entah itu posisi, uang, atau faktor lain.
Terbukanya hal seperti ini jelas akan membuat komunitas di luar komunitas saintifik bertanya tentang penelitian yang selama ini dilakukan. Bukan hanya oleh Stanford, tapi juga oleh para ilmuwan secara umum. Apakah hal ini baik atau buruk? Tergantung.
Publik yang skeptis terhadap data dan hasil penelitian itu secara konseptual baik, karena akan memberikan insentif bagi para ilmuwan untuk jujur terhadap penelitian mereka. Carilah hasil publikasi di Indonesia, dan telaah berapa banyak yang melakukan manipulasi data.
Tapi belajar dari sejarah dan keadaan ranah saintifik sekarang, di masa depan skeptisisme publik terhadap sains ini justru perlu diwaspadai. Budaya "Publish or Perish" itu datang dari konsekuensi metode saintifik, yang harus mempresentasikan penemuannya. Sesuatu yang berawal baik tetapi dirusak dan dipelintir oleh waktu.

Diubah oleh stereobrain 28-08-2023 03:38






fan.kay dan 3 lainnya memberi reputasi
4
886
Kutip
29
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan