kelaslogisAvatar border
TS
kelaslogis
Atheism and Theism: Kebetulan dan Kekompleksitasan - kelaslogis
Atheism and Theism: Kebetulan dan Kekompleksitasan - kelaslogis

"Tahun segini masih percaya TUHAN?🥴". Sebuah ucapan yg sering saya dengar dari pengikut Atheis. Ada berbagai pandangan tentang eksistensi Tuhan, termasuk teisme, ateisme, agnostisisme, dan pandangan2 religius yg berbeda. Atheisme merupakan pandangan yg menekankan bahwa keberadaan atau eksistensi Tuhan merupakan hal yg tidak logis, dan alam semesta terbentuk secara kebetulan tanpa campur tangan sang ilahi. Agnostisme merupakan ajaran tengah atau netral, yg berpandang ada tidaknya Tuhan tidak akan diketahui secara pasti. Sementara Theisme, sebuah aliran yg mempercayai bahwa Tuhan merupakan entitas tertinggi. Mereka percaya, alam semesta terjadi akibat adanya tangan cerdas yg bercampur mengenai kekompleksitasan ruang-waktu.
Theisme sering membuat bantahan untuk pengikut Atheisme, yaitu bagaimana kekompleksitasan bisa terjadi secara kebetulan, atom yg tidak bisa melihat bisa tersusun menjadi mata, atom yg tidak bisa mendengar bisa tersusun menjadi telinga, atom yg tidak bicara bisa tersusun menjadi mulut. Faktanya dalam tubuh organisme, atom2 membentuk molekul, molekul membentuk sel, sel membentuk jaringan, jaringan membentuk organ, dan organ2 ini bekerja bersama untuk membentuk sistem dan organisme yg hidup. Semua struktur dan fungsi kompleks ini terbentuk melalui interaksi kompleks antara unsur2 dasar seperti atom dan molekul. Namun jawaban ini sepenuhnya masih tidak diterima oleh Theisme, karena kurang menjawab.

Disisi lain, Atheisme pun sering mengatakan sebuah pertanyaan paradox tentang Tuhan kepada kaum Theisme. "Apakah tuhan bisa membuat batu yg maha besar, sampai ia tidak bisa mengangkatnya?" Pertanyaan ini mengacu pada paradoks yang dikenal sebagai "paradoks batu berat" atau "paradoks omni-potent," yang telah menjadi topik perdebatan filosofis dan teologis selama berabad2. Pertanyaan tersebut bertujuan untuk mengeksplorasi kemampuan Tuhan yg dianggap memiliki kekuatan tanpa batas atau ominipoten. Jika Tuhan memiliki kekuatan tanpa batas, maka seharusnya dia dapat membuat batu seberat apapun. Namun jika Tuhan tidak dapat mengangkat batu itu sendiri, maka tampaknya ada sesuatu yg tidak dapat dilakukan Tuhan, yg menimbulkan pertanyaan mengenai kemahakuasaannya. Ada Theisme yg berpendapat bahwa pertanyaan itu sendiri tidak memiliki dasar yg konsisten dan mungkin terjadi karena ketidakjelasan dalam konsep kekuatan yang mutlak. Beberapa juga menganggap paradoks ini sebagai cara untuk menunjukkan keterbatasan manusia dalam memahami hakikat Tuhan. Ada contoh lain dari pertanyaan2 paradox yg sering dilontarkan oleh atheisme, salah satu contoh paradoks tentang penciptaan Tuhan adalah "Paradoks Tanpa Penyebab". Paradoks ini bertanya mengapa Tuhan harus ada tanpa ada penyebab yg menciptakannya. Argumen ini dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan seperti "Jika segala sesuatu memiliki penyebab, lalu apa penyebab Tuhan?" Pertanyaan ini mengajukan dilema, karena jika kita mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki penyebab, maka berarti ada sesuatu yg tidak bergantung pada penyebab, yg bertentangan dengan asumsi bahwa segala sesuatu memiliki penyebab. Disisi lain, jika kita mengatakan bahwa Tuhan memiliki penyebab, maka muncul pertanyaan tentang siapa atau apa yang menciptakan Tuhan tsb. Paradoks semacam ini memunculkan perdebatan filosofis yg kompleks tentang asal usul Tuhan, sifat-Nya, dan hubungannya dengan penciptaan. Beberapa orang berpendapat bahwa pertanyaan semacam ini mungkin di luar cakupan pemahaman manusia atau bahwa Tuhan mungkin eksis di luar batas2 konsep yg kita kenal. Karena sejatinya, Tuhan tidak bisa difikirkan lewat nalar dan logika kita sebagai manusia ciptaannya (menurut pandangan Theisme). Pertanyaan2 paradox tadi sendiri adalah sebagai bukti, bahwa pemikiran manusia hanyalah 1/∞, artinya tidaklah mungkin manusia mengetahui sifat Tuhan sebenarnya hanya bermodalkan logika dan nalar yg terlalu luas untuk pemikiran kita yg terbatas.

Secara etimologis, kata "ateis" berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata "atheos" (ἄθεος) terdiri dari dua elemen, yaitu "a-" yg berarti "tidak" atau "tanpa," dan "theos" (θεός) yang berarti "Tuhan" atau "dewa." Jadi, "atheis" berarti "tidak percaya pada Tuhan" atau "tanpa kepercayaan pada Tuhan.

Dalam era informasi ini, kecerdasan menjadi salah satu hal yg diidamkan oleh banyak orang. Namun terkadang ada kelompok individu, termasuk di kalangan atheis, yg terlalu fokus untuk terlihat pintar tanpa cukup pemahaman yg memadai. Menunjukkan kecerdasan tidak tergantung pada keyakinan agama atau ketidakpercayaan. Yang penting adalah memiliki pengetahuan yang baik, berbicara dengan bijaksana, dan mendengarkan dengan empati. Selalu hormati keyakinan orang lain sambil tetap mempertahankan integritas diri. Bisa dibilang, sekarang 2023 merupakan Tahun serba modern. Manusia jaman sekarang lebih mengedepankan logika ketimbang nafsu belaka, contoh seperti on the subject of the existence of god. Karena logika itu bisa membawa kita ke ranah Atheisme, maka munculah trend2 out of date if you still believe in God. Ada yg tidak percaya Tuhan, karena alasan2 sepele, yaitu "Tuhan tidak bisa dilihat" "Tuhan tidak bisa raba" "Buktikan Tuhan ada secara langsung". Lebih parahnya lagi, ada anak remaja atau awam, yg ikutan trend2 begituan hanya ingin dibilang "tokoh intelektual" atau orang "cerdas", karena dia mengikuti gaya2 ilmuwan Atheis, ada juga yg mengaku dirinya Agnostik, tanpa alasan yg jelas kenapa dia menolak atau menyangkal eksistensi Tuhan. Sementara ilmuwan yg mereka ikuti gayanya, ada alasan yg pasti dan konkrit kenapa mereka menolak atau menyangkal eksistensi Tuhan.

Orang ini mungkin mengaku sebagai Atheis karena mereka percaya bahwa menyatakan diri sebagai seorang ateis akan membuat mereka terlihat lebih cerdas atau rasional dimata orang lain. Mereka mungkin merasa bahwa memiliki pandangan skeptis terhadap agama menandakan tingkat kecerdasan atau ketajaman berpikir yg lebih tinggi.

Dan juga, seseorang bisa mengaku sebagai ateis karena mereka mengagumi ilmuwan atau tokoh2 terkenal yg menyatakan diri sebagai Atheis. Mereka mungkin ingin mengikuti jejak para ilmuwan tsb dan mengidentifikasi diri dengan pandangan mereka agar terlihat sejalan dengan kalangan intelektual.

Selain itu Individu ini mungkin menjadi Atheis sebagai bentuk pemberontakan terhadap norma2 atau ajaran agama yg dominan dalam masyarakatnya. Mereka mungkin percaya bahwa menolak keyakinan keagamaan akan membuat mereka terlihat lebih kritis dan independen secara berpikir. Ada juga orang yg mengaku sebagai Atheis karena mereka sangat mementingkan rasionalitas dan bukti ilmiah. Mereka mungkin merasa bahwa tidak ada cukup bukti empiris untuk mendukung keberadaan Tuhan, dan oleh karena itu, menjadi ateis adalah konsekuensi logis dari pandangan mereka tentang dunia.

Selain matematika, standar kepintaran orang akan dinilai ketika ia belajar filsafat, orang yg belajar filsafat biasanya dianggap sebagai orang yg cerdas karena filsafat adalah disiplin ilmu yg melibatkan pemikiran kritis, analisis mendalam, dan refleksi filosofis tentang berbagai masalah fundamental dalam kehidupan dan dunia. Belajar filsafat melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi argumen2 yg kompleks, serta mempertimbangkan berbagai pandangan yang berbeda terhadap topik2 seperti etika, epistemologi, logika, metafisika, dan lainnya. Sebenarnya, artikel ini dikhususkan untuk orang yg merasa tersindir atau tersinggung ketika mereka melihat thumbnailnya.

Orang yg belajar filsafat sering kali terlatih dalam kemampuan berpikir analitis, logis, dan kritis, serta memiliki pemahaman yg mendalam tentang sejarah pemikiran manusia. Mereka juga sering terbiasa dengan pertanyaan2 yg kompleks dan sulit yg dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam pemecahan masalah dan mengambil keputusan yg baik. Atheis awam yg menjadikan ilmu disiplinnya, agar orang melihat dia terlihat cerdas maka dia belajar filsafat agar terlihat seperti penganut Atheis Cerdas (padahal awam). Kalau mau pintar ya belajar, tidak perlu jadi Atheis. Setetes filsafat membuatmu kufur.

Rasionalitas menjadi puncak pemikiran logis dan kritis, rasionalitas mengacu pada kemampuan untuk menggunakan akal sehat dan penalaran secara bijaksana untuk mencapai kesimpulan yg masuk akal dan berdasarkan bukti atau alasan yg kuat. Rasionalitas melibatkan proses berpikir yang sistematis, obyektif, dan berdasarkan data yg ada. Atheis cenderung mencari bukti empiris dan argumen yg kuat sebelum menerima suatu keyakinan atau gagasan. Mereka dapat merujuk pada ilmu pengetahuan, logika, data, dan fakta dalam mengembangkan pandangan mereka tentang dunia dan eksistensi Tuhan.

Secara umum, Atheis merupakan ajaran paling logis untuk Tuhan yg tidak logis. Walaupun dia sangat logis, namun terdapat kelemahan didalamnya, seperti halnya agnostisisme, atheisme tidak dapat memberikan bukti definitif tentang tidak adanya Tuhan. Keberadaan atau ketidakberadaan Tuhan adalah pertanyaan filosofis yg sangat kompleks dan sulit untuk dijawab secara tuntas. Beberapa kritikus juga menyatakan bahwa atheisme gagal memberikan landasan moral yg objektif tanpa adanya keberadaan Tuhan. Mereka berpendapat bahwa moralitas tidak dapat dijelaskan atau dijustifikasi dengan cukup kuat tanpa keberadaan entitas ilahi yg menetapkan aturan moral.

Beberapa penganut atheis cenderung memiliki pandangan yg negatif atau membenci agama, rata2 ya. Sikap ini bisa memicu konflik dan ketegangan dalam masyarakat yang beragam keyakinan agama. Dan juga Beberapa orang mungkin merasa kesulitan mencari tujuan hidup atau makna eksistensi tanpa keyakinan pada Tuhan atau entitas ilahi. Ini dapat menimbulkan perasaan kebingungan atau hampa dalam hidup mereka.

Alvin Plantinga dibukanya yg berjudul Warranted Christian Belief. Dalam buku ini, Plantinga menyajikan teori epistemologi tentang keyakinan keagamaan yg dapat dijustifikasi secara rasional. Ia mengajukan "alasan pembenaran kepercayaan teistik," yg berpendapat bahwa keyakinan teistik tidak memerlukan bukti empiris yg kuat untuk dianggap rasional. Ia menekankan bahwa kepercayaan teistik dapat didasarkan pada kondisi epistemologi yang memadai yg disebut "warrant," yg memungkinkan seseorang meyakini keberadaan Tuhan tanpa harus membuktikannya. Selain itu, William Lane Craig juga yg berjudul Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics. Dalam buku ini ada argumen yg mendukung keberadaan Tuhan, termasuk argumen kosmologis, teleologis, dan moral. Argumen kalamnya berpendapat bahwa alam semesta memiliki awal dan harus ada penyebab pertama yg mendasarinya (Tuhan). Ia juga menggunakan argumen teleologis untuk menunjukkan bahwa kompleksitas dan keteraturan alam semesta menunjukkan adanya desain dan panduan yang mengarah pada keberadaan Tuhan.

Kemudian Thomas Aquinas, karyanya yg berjudul Summa Theologica. Dalam karyanya yg monumental ini, Aquinas menyajikan lima jalan (argumen) yg mencoba membuktikan keberadaan Tuhan. Diantara argumen2 tsb adalah argumen kosmologis, teleologis, dan moral. Argumen kosmologisnya berpendapat bahwa ada penyebab pertama yang tidak disebabkan oleh apa pun, dan argumen teleologisnya menyatakan bahwa ketertiban dan desain alam semesta menunjukkan adanya sebab akhir (Tuhan).

Sementara itu C.S. Lewis menerbitkan buku yg berjudul Mere Christianity. Dalam bukunya, Lewis menyajikan argumen2 untuk keyakinan Kristen dan mengajak pembaca untuk mempertimbangkan rasionalitas keyakinan teistik. Ia berpendapat bahwa moralitas dan penilaian etis manusia menunjukkan adanya hukum moral yg objektif dan keberadaan realitas transenden (Tuhan). Lewis juga mencermati implikasi etis dan filosofis dari pandangan teistik dan ateistik. Mortimer J. Adler, membuat buku yg berjudul How to Think About God: A Guide for the 20th-Century Pagan Dalam gagasanya, Adler menantang pandangan ateistik modern dan mengajak pembaca untuk mempertimbangkan landasan rasional dari keyakinan teistik. Ia berpendapat bahwa agama dan keyakinan teistik menyediakan fondasi yg lebih kokoh bagi etika dan nilai manusia daripada pandangan ateis. Adler menekankan pentingnya mempertimbangkan implikasi filosofis dari pandangan agama dan mengajak pembaca untuk berpikir secara kritis tentang Tuhan dan eksistensi-Nya.

Disisi lain, Theis pun memiliki kelemahan tersendiri. Seperti halnya atheisme, pandangan theisme juga memiliki beberapa kelemahan yg perlu diperhatikan. Theisme biasanya mengajarkan keyakinan pada keberadaan Tuhan, yg merupakan konsep yg sangat mendasar dan substansial. Namun bukti empiris yg kuat untuk mendukung keyakinan ini belum ada, sehingga menimbulkan beban bukti yg berat bagi para penganut theisme. Dan juga eksistensi penderitaan, kejahatan, dan ketidakadilan dalam dunia sering menjadi tantangan bagi pandangan theisme, terutama ketika mencoba menjelaskan mengapa Tuhan yg baik dan mahakuasa mengizinkan hal2 negatif ini terjadi. Pertanyaan mengenai teodise ini telah menjadi subjek debat dan pemeriksaan filosofis yg mendalam dan menimbulkan sebuah pertanyaan paradox. Tapi Einstein pernah menjawabnya, bahwa kejahatan merupakan ketiadaan dari kebaikan.

Keberagaman keyakinan agama didunia menimbulkan pertanyaan tentang mengapa ada berbagai pandangan tentang Tuhan atau entitas ilahi. Theisme harus menghadapi pertanyaan tentang bagaimana menetapkan keyakinan agama tertentu sebagai benar dan yg lainnya sebagai salah. Pengalaman pribadi dan spiritualitas yg mengarah pada keyakinan pada Tuhan adalah hal yg sangat subyektif dan berbeda2 bagi setiap individu. Ini dapat menyebabkan perbedaan pandangan dan penafsiran tentang keberadaan Tuhan. Beberapa elemen keyakinan theisme dapat bertentangan dengan ilmu pengetahuan atau penjelasan ilmiah tentang dunia. Ini menciptakan ketegangan antara pandangan agama dan penemuan ilmiah yg dapat menimbulkan tantangan bagi kepercayaan theisme.

Richard Dawkins dalam bukunya The God Delusion, Dawkins menyajikan argumen yg kuat untuk ateisme dan menantang gagasan keberadaan Tuhan. Ia berpendapat bahwa Tuhan adalah sebuah hipotesis yg tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dan menjadi tidak relevan dalam menjelaskan fenomena alam dan evolusi. Dawkins juga mengkritik keberagaman agama, menggambarkan agama sebagai sumber konflik dan ketidakadilan di dunia. Christopher Hitchens dibukunya God Is Not Great menyajikan kritik yg tajam terhadap agama dan meyakinkan pembaca bahwa agama bukanlah sumber kebaikan atau kebijaksanaan, melainkan sumber masalah. Ia mengeksplorasi sejarah agama dan menunjukkan dampak negatif dari pengaruh agama terhadap masyarakat dan peradaban. Hitchens juga menantang keyakinan agama yang tidak dapat dibuktikan dan berpendapat bahwa dunia bisa lebih baik tanpa pengaruh agama.

Sam Harris: "The End of Faith" menyelidiki sumber masalah dari fanatisme keagamaan dan mengkritik dogma agama yg menghalangi kemajuan dan kebijaksanaan. Harris berpendapat bahwa kepercayaan berdasarkan iman tanpa bukti empiris dapat menyebabkan tindakan ekstrem dan kekerasan. Ia juga menyoroti konflik antara nilai2 keagamaan dengan nilai2 ilmiah dan rasionalitas. Daniel Dennett dalam bukunya Breaking the Spell, Dennett menyelidiki asal-usul agama dan mencari jawaban atas pertanyaan mengapa manusia cenderung memiliki keyakinan agama. Ia berpendapat bahwa agama dan keyakinan teistik mungkin berasal dari evolusi kognitif manusia dan bukan karena keberadaan entitas ilahi. Dennett menantang gagasan tentang Tuhan sebagai entitas yg mengontrol alam semesta dan menyatakan bahwa agama mungkin dapat dijelaskan sebagai produk dari evolusi budaya manusia. Bertrand Russell: "Why I Am Not a Christian" berisi kritik yg mendalam terhadap argumen2 teistik, seperti argumen ontologis dan kosmologis. Russell menyajikan argumen2 filosofis untuk mendukung pandangan ateisnya dan menunjukkan bahwa keyakinan teistik tidak dapat dijustifikasi secara logis. Juga mencatat adanya masalah2 etis dalam teologi tradisional yg menyatakan keberadaan Tuhan yg baik dan mahakuasa.

Tapi, sebagai manusia sudah wajar berbeda pendapat, karena berbeda pendapat menandakan ia seorang manusia. Ingin terlihat cerdas tanpa belajar? Berkumpulah dengan orang2 bodoh. Jadilah diri sendiri, jangan lepaskan isi hatimu dengan suara mulutmu... Hati beriman, mulut atheis karena hanya ingin sebuah pengakuan dari orang2. Kebebasan beragama sudah menjadi bagian dari HAM atau Hak Asasi Manusia, dan agama bukan kewajiban, melainkan hak pribadi individu sebagai manusia. Apapun agama kalian, apapun keyakinan kalian, itu akan kembali kepada diri kalian masing2, apakah yg kalian anut sesuatu yg benar?. Perlu diingat, tidak ada kebenaran yg mutlak, melainkan perspektif yg relatif. Jadi, pendapat kamu akan berbeda jauh dipandangan orang yg bertentangan. Itulah yg dinamakan perspektif relatif.

#KebebasanBeragama#KebebasanKeyakinan#HakAsasiBeragama #PluralismeAgama#ToleransiBeragama #PencarianKebenaran#HarmoniSosial #HakAsasiManusia#KerukunanAgama #HakMemilihAgama
0
77
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan