bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Kepala | Thriller Short Story [Kompetisi KGPT]
Quote:




Kepala itu berusaha sembunyi diantara batang pohon. Aku tahu jika ia mencoba untuk tak terlihat. Tubuh gempalnya tergesa-gesa, berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Sambil tertawa pelan dia terlihat menghampiriku di pinggiran sungai. Aku yang menyadarinya sejak awal, hanya tertunduk berpura-pura tak melihatnya.

"Kejutan!"
"Maya?! Wah Ibu sampai kaget," ucapku menyenangkan kejutan darinya.
"Hihi, ibu kaget ya?" Tanya Maya polos terkekeh.
"Ibu sampai tak bisa berkata apa-apa," jawabku memeluknya.

Lembayung petang menyinari di batas sungai, memberi cahaya temaram bagi kami.

"Ibu...sekarang udah sore, udah waktunya pulang," rautnya tetiba sendu dalam pelukan, mungkin merindukan ku yang sejak pagi bekerja di ladang padi milik Pak Sugeng.

Maya yang sejak tadi riang jenaka kembali ke wajah aslinya yang selalu merasa kesepian. Dalam pelukan ini, Aku memahami betul perasaan gundah dari anak seusianya yang menagih akan sebuah perhatian.
Perlahan aku usap kepalanya.

"Wah Maya udah gede ya? Lihat kepalanya sudah sepantar dengan Ibu,"
"..." Maya tak bergeming, kepalanya jatuh menyandar di dekapanku.

Minggu lalu dia berulang tahun ke-28. Bagiku usia hanyalah angka, Maya tetap sama sejak dulu yang gemar bermanja di pusara hari-hariku. Bahkan sejak aku memeluk Maya ketika tangisan pertamanya pecah lahir ke dunia. Aku memahami betul dia akan tumbuh jadi perempuan yang selalu haus akan kehadiran orang tuanya. Aku masih mengingat saat jemari mungilnya mengeratkan genggaman di payudaraku. Hangat tak ingin lepas.

Orang-orang menganggap Maya berkembang tidak normal. Sungguh aku tak terima jika ada yang berkata demikian. Seperti kemarin-kemarin, saat gerombolan anak kecil merundung Maya dengan sebutan Perempuan idiot. Maya hanya mampu berjongkok membenamkan wajah di kedua telapaknya. Parahnya, anak-anak itu menghujam tubuh Maya dengan dahan serta kerikil jalanan. Jikalau tetangga kami--Pak Sarimin tidak segera memberitahuku, mungkin saja Maya tersungkur sendirian. Menangis berdarah-darah di sepinya jalanan.

Terkadang, aku merindukan untuk berdiam di rumah. Mengurus kebutuhan Maya saat suamiku membanting tulang. Setidaknya Maya tidak akan lepas dari perhatianku. Namun sekarang, realita kehidupan mencambuk ku untuk tersadar jika lelaki tak lebih dari sekedar benalu bagi perempuan.
Karyo, melamarku berpuluh-puluh tahun yang lalu. Walau aku tak pernah tertarik olehnya, namun lelaki itu diberi restu oleh Bapak untuk meminang ku.

Kini dia telah menjadi debu. Perempuan dari kampung sebelah merenggut lelaki itu dari pangkuan rumah kami. Bagiku dia sudah hilang, lenyap bersama cerita yang tak ingin ku ingat.
Keadaan itu seperti halnya sekarang, menyisakan aku yang memeluk Maya di pinggiran sungai yang diapit bentangan sawah. Angin lembah mulai menyusur, di kala matahari mengatup hari di petang ini. Dan aku masih menepuk-nepuk punggung Maya menabahkan pelamunan takdir kami.

Maya masih bersedih dengan kondisi ku. Berjibaku dari siang hingga sore, demi sesuap nasi untuk mengisi perut hari-hari kami. Dia sedikit lebih tenang, kemudian menatapku.
"Ibu kapan kita pulang?"
"Sebentar ya nak, Ibu sedang mencari keong sawah untuk malam ini, kamu suka keong rebus bukan?"
"Ah iya suka bangetttt," jawabnya kembali menyungging senyum.

Maya menyingkap celana lusuhnya sampai ke lutut, berniat membantuku mencari 'daging' diantara kerikil yang terbenam di pinggiran sungai. Keong sawah hidup di kedalaman lumpur, bersembunyi di sudut sawah atau aliran air. Tak begitu sukar untuk mencarinya.

"Jbur..." Tangan Maya menyusur sela bebatuan. Tentu dengan tawa khasnya.
"Hati-hati Maya," ucapku terenyuh. Di ujung sore ini, kami masih bertaruh pada kehidupan.

Maya, maafkan ibu nak. Pakaianmu koyak disana-sini, kepala mu berdebu, dan sekarang harus tercampur aroma pesing aliran sungai. Di peraduan petang. Aku harus bertahan, bukan hanya untuk diriku sendiri. Kan kulakukan semua ini hanya untuknya, darah dagingku. Kuberi segalanya untuk Maya.

"Ah ketemu keong!" Teriak Maya, "Hap, sruttt... nyam-nyam,"
"Maya hentikan," aku terpogoh di aliran sungai, berusaha menghentikan Maya yang melahap keong mentah.
"Hentikan!"
"Ga mau, aku laper,"
"Maya!" Tanganku bersikeras merebut keong itu di mulutnya.
"Ga mauuu...!" Maya menggigit tanganku dengan kencang.
"Maya! Hentikan, Ibu kesakitan!" Aku tersadar jika lenganku mulai sobek, berdarah.

Aku berusaha melepaskan gigitan Maya. Namun giginya yang tertancap di jemariku bersikeras tak lepas. Darah tercucur, mengotori mulut Maya. Dari sana ia mulai mengendorkan gigitannya, hingga lepas.

"Ah...Ibu..." Maya pucat pasi.
"..." Aku terdiam, menahan sakit yang tak tertahan. Darah masih keluar. Mengalir ke sikut lalu jatuh menetes ke aliran sungai.
Maya tertegun melihatku. Ia hanya mengusap mulutnya yang penuh darah dengan kerah baju.
"Maafin Ibu ya nak, tapi keong ini harus direbus dahulu," ucapku sambil memasukannya ke bejana.

Aku tersenyum sambil mengusap kepalanya beberapa kali, Maya mulai tenang menyeringai. Ia kembali menunduk ke aliran sungai, mengangkat batu-batu kecil di pinggiran. Sedangkan aku membasuh luka di genangan air, berharap membaik seiring waktu. Mungkin jelang malam nanti mengering.

Setelahnya, Maya tak banyak bicara. Namun ia melompat kegirangan saat menemukan keong seukuran bola ping-pong. Meloncat tertawa menghampiriku lalu memasukannya ke wadah. Senyumku menyungging penuh ketika melihatnya, sambil menyeka tangan yang masih terasa perih.

"Bu Damar...Bu Damar..."
"Bu..."
Terdengar lengkingan dari kejauhan, sepertinya aku mengenal suaranya.
"Eh Mas Rian?! Aku di bawah sini," ucapku melambai tangan padanya. Pemuda itu terhenti di sempadan. Diantara rerumputan bantaran sungai.

Aku menggerus arah aliran sungai untuk menghampirinya, Maya mengikutiku dari belakang. Aku menepis-nepis lumpur yang masih menempel di tangan.
"Loh Bu Damar jam segini masih di sungai?" ucapnya prihatin.
"Tak apa Mas, kebetulan kami pun sedang mencari satu-dua suap untuk makan malam nanti," ucapku melirih dengan senyum.
Rian adalah anak Pak Sugeng. Perangainya hangat ditopang postur tubuh yang memikat. Wajahnya tampan dengan kulit yang bersih. Tak salah jika anak majikan ku ini didamba banyak perempuan desa.

Ia melihatku dengan tatapan iba dan perhatian. Kemudian dia merogoh saku bajunya, mengambil sepucuk amplop coklat yang dilipat.
"Dari siang menjelang sore tadi, aku disuruh Bapak untuk mengantarkan gaji Bu Damar pekan ini," seraya menyodorkan tangannya padaku. Aku menoleh ke belakang tatkala Maya menarik-narik kain bajuku. Mungkin pesan untuk segera mengambil amplop dari Mas Rian.
"Bu Damar? Ayo diterima," aku meraih amplop itu. Sungguh, aku benar-benar lupa jika hari ini adalah hari upahku dibayar Pak Sugeng.
Juragan sawah di desaku biasanya memberi upah harian untuk pekerja lepas. Namun khusus untuk ku, Pak Sugeng memberi upah seminggu atau dua Minggu sekali. Karena sudah mengabdi bertahun-tahun.

Akhir-akhir ini, aku sering kali lupa, sedikit pikun untuk hal-hal yang penting. Terlebih tentang upah mingguan. Aku benar-benar tak ingat sama sekali. Pikiranku dipenuhi tentang anak semata wayangku, Maya. Uang ini akan kubelikan kebutuhan Maya, beras yang enak atau membeli kue manis yang dia suka di warung Pak Sarimin.
Maya sejak tadi, tak berbicara sedikit pun. Ia hanya menatap Rian dengan senyum.
"Maya? Pulang ya, soalnya udah mau malam. Lekas pulang, biar ga masuk angin," ucap Rian pada anak ku.
"Umm...iya...euh...mas," ucap Maya pelan menundukkan tatapannya. Ia masih bersembunyi di belakang ku.
"Maya sedikit...malu-malu mas dan...Loh Maya jangan dorong-dorong badan ibu," ucapku dengan tawa kecil.
"Hehe...Ya udah, karena amanat dari Bapak sudah aku sampaikan, aku mau pulang dulu ya Bu?" Ucap Rian berpamitan. Menepuk pundak ku untuk segera menutup hari yang sudah mulai gelap.

Rian berlalu, postur badannya masih terlihat gagah walau terlihat dari belakang. Rumah Pak Sugeng memang dekat dari sawahnya. Namun aku tak habis jika sejak siang, ia mengunjungi rumahku yang terbilang cukup jauh. Betul, hanya untuk kami. Rian mungkin bisa saja naik kendaraan mahal miliknya. Tapi aku tahu jika Pak Sugeng dan keluarganya selalu tampil sederhana. Kaya raya, santun, berpendidikan. Andaikata Pak Sugeng adalah...ah apa yang aku pikirkan? Sudah syukur aku bisa mendapat pekerjaan darinya.

Aku dan Maya menyusul pulang berlawanan arah. Keong sawah yang kami ambil seadanya cukup untuk malam ini. Maya pasti akan menyukainya. Namun, sepanjang jalan ia hanya menunduk terus menerus. Entahlah, aku penasaran apa yang dipikirkan Maya. Padahal kami punya 'daging' untuk makan malam, terlebih bekal yang cukup untuk beberapa hari ke depan.

"Ibu, Mas Rian tampan juga ya? Kulitnya bersih, terlebih dagunya sedap dipandang..." Ucap Maya tersipu. Ternyata Maya memikirkan Rian.
"Maya 'mau' sama Mas Rian yaaa?"
"Ih engga kok," bantah Maya, lalu melangkah kencang meninggalkan ku.

Tingkah Maya menjelaskan satu hal. Segala kekurangannya sebagai Perempuan, tetap saja ia seorang Perempuan yang mendamba Lelaki. Aku tertegun senang bercampur sedih melihatnya dari belakang. Orang-orang sering kali mengatakan jika perempuan 'idiot' seperti Maya tak mungkin menyukai Lelaki. Lebih mustahil lagi jika ada Lelaki yang menyukai Maya.
"Jadi gimana? Suka sama Mas Rian?"
Maya berhenti tertegun, menoleh ke arahku.
"Iya mau..." Ucapnya singkat, kemudian berlari genit. Aku hanya menggelengkan kepala memakluminya.

Gelap mulai berjinjit mengatup langit yang kemerahan. Kami masih menyusur jalan setapak pinggiran sawah, tentu dengan perasaan kalut. Kabut lembah melilit dingin tubuh Maya. Pandanganku nanar padanya. Pekat menyedihkan.


***


"Nak ayo makan, sedikit saja,"
"..."
"Maya...?"
"..."
"Kalo Maya sakit, Ibu sedih loh,"

Sudah berhari-hari ini Maya tak mau makan, entah apa sebabnya. Aku habiskan seluruh uang hasil upah Minggu lalu hanya untuk Maya. Membeli segala makanan yang ia suka. Segala daging dan bumbunya aku beli. Namun, mulutnya tak bergeming. Apa yang terjadi?
Aku tak ada bekal lagi. Jikalau aku bekerja sekarang, Maya akan tersungkur sendirian di gubuk. Tanpa mau melahap sedikitpun makanan. Jika tanpa aku, siapa yang mau menyuapi Maya?

"Maya...tolong ibu..." Ucapku mulai menangis.
"..."
Maya akhirnya melirik ku walau dengan tatapan kosong, sendu dengan bibir yang mengering. Pecah dan pucat.
"Ibu..."
"Iya nak, mau apa? Mau daging?"
"Aku hanya ingin Mas Rian," ucapnya sederhana. Matanya menatap kembali ke pintu luar.

Aku meletakan piring di atas meja, lalat kebun beterbangan di gubuk kami. Berjingkrak jika ada makanan sisa lagi yang bisa mereka santap.
Diriku sedih melihatnya. Ternyata ia masih memikirkan Rian, anak tampan Pak Sugeng. Orang tua mana yang tak sedih jika anak perempuannya memikirkan lelaki sedemikan dalam, hingga lupa dengan dirinya sendiri.

"Aku ingin Rian!!!" Maya berteriak secara tiba-tiba.

Tangannya mengepal, terlipat gumpalan lemak. Menggebrak meja dengan keras. Lalat yang hinggap kembali berterbangan mencari perlindungan. Maya tak berhenti. Wajahnya yang pucat pasi terlihat kontras dengan emosinya. Siang ini menjadi ricuh. Tetangga kami mungkin terbiasa dengan keadaan Maya yang sekali-kali mengamuk. Acuh tak acuh.

"Rian!!! Aku ingin Rian!!!" Aku memeluknya erat dengan tangisan yang pecah. Berharap ia bisa tenang sesaat.

Cinta adalah bencana bagi orang miskin yang 'idiot'seperti kami. Duri-durinya menyayat nalar kami yang ingin hidup bahagia seperti biasanya. Seperti mereka, seperti tetangga kami, seperti keluarga Pak Sugeng. Mungkin, aku harus membawa Rian pada Maya. Betul, aku harus membawanya. Tapi mana mungkin? Bagaimana caranya? Apa Rian sudi?

"Aku ingin kepala Mas Rian disini!"

Maya mendorong tubuhku. Tangganya menggebrak meja dengan kerasnya hingga piring-gelas tadi berjatuhan. Nasi dan daging untuk Maya tersebar bersama pecahan piring. Aku masih berusaha keras menahan Maya.
Ayam tetangga terlihat malu-malu di daun pintu. Si induk dan anak-anaknya menunggu amarah Maya reda. Berharap butiran nasi yang bercecer di bawah meja segera mereka lahap.

Aku melihat Maya menjambak rambutnya sendiri. Air liurnya menetes. Berteriak nama Rian beberapa kali. Sedangkan aku berdiri terpojok, menutup mulut dengan tangisan yang tak terperi. Pedih.

"Aku harus membawa Rian,"
"Mungkin dia mau,"
"Untuk Maya,"
"Iya untuk Maya,"
"Permata berharga ku,"


Aku menggesut air mata lalu melangkah keluar. Meninggalkan Maya yang masih dalam pesakitan, meracau tak jelas. Aku harus membawa Rian pada Maya! Segera!


***


Sejak siang awan sudah tergulung mendung, menampakan tanda-tanda hujan akan lebat. Benar saja, sore tadi derasnya air melibas penduduk desa untuk berteduh lebih cepat. Sempat aku terseok dalam perjalanan menuju rumah karena jalan setapak berubah sesaat menjadi sungai. Licin sekali. Namun dengan segala rintangan itu, aku berhasil membawa Rian.

Kepala Maya menyambutku di muka pintu. Dia senang tak kepalang. Aku yakin pengorbananku tak sia-sia. Walau kuyup, senyum dan tawa Maya membuat badan yang penuh gigil kembali hangat. Aku memeras badan di depan Maya yang masih menari kegirangan, hingga air dalam kebaya ku berjatuhan. Untungnya, lantai dalam gubuk ini berupa tanah, air menyerap dengan cepat. Tangis Maya akhirnya reda.

"Sekarang, baru aku mau makan," ucapnya.

Suasana dalam gubuk reyot ini sederhana dan jauh dari kata mewah. Namun, di balik keadaan yang serba terbatas ini, aku dan Maya berbagi kehangatan yang tak ternilai harganya. Terdapat sebuah kasur yang menjadi tempat tidur utama. Meski tanpa sprei dan pakaian yang berserakan di sekitarnya, kami dapat tidur dengan nyenyak. Sering kali terdapat bau amis dan lalat yang mengerubungi mimpi kami.

Gubuk ini-pun berfungsi sebagai dapur. Terkadang asap dari tungku mengisi ruangan kecil ini saat aku memasak. Seperti halnya sekarang, Maya melihatku memanaskan tungku perapian untuk menyiapkan hidangan luar biasa. Kobaran api terpancar besar, memanaskan kuali hingga kemerahan. Mendidihkan segala bumbu yang aku masak berikut dengan hidangan utama. Rian sepertinya senang melihat kami.

Satu-dua jam berlalu, aku mengangkat kuali yang tercium pekat. Diikuti langkah Maya yang duduk di meja makan.

"Sudah jadi nih Maya," ucapku dengan bangga.

"Ibu memang hebat, coba Bu aku ingin lihat Rian," timpal Maya penasaran.

Aku membuka tutup kuali, hingga asap mengepul dan mengisi seisi ruangan. Terlihat kepala Rian yang melepuh dengan lidahnya yang menjulur. Kulitnya yang putih tak sukar untuk dibersihkan. Terlebih saat aku memotongnya di tengah perjalanan tadi, air hujan membersihkan darahnya seketika. Aku potong kembali bagian kesukaan Maya, yaitu kepalanya. Maya sangat suka kepala Manusia. Apalagi kepala Manusia yang masih muda.

Seperti halnya anak-anak yang merundung Maya. Aku potong kepala mereka bertiga, dimasukan ke kuali bersamaan. Anak-anak gila seperti mereka lebih baik dimasak saja agar tidak kembali menganggu Maya. Aku puas saat Maya mengunyah enam biji mata anak-anak itu bersama bumbu spesial yang aku buat. Maya memang sangat suka daging. Apapun jenis daging itu.

"Halo Mas Rian hihi..." Ucap Maya sambil menggigit pipi Rian. Mengunyahnya demikian lembut.

Aku tersenyum melihat Maya, ia makan dengan lahap. Aku tak ingin mengganggu bagian Maya. Untuk itu, aku melahap bagian empuk, bahu dan betisnya Rian. Betul saja, daging muda memang terasa mudah untuk dikunyah. Tak seperti suamiku dulu, saat dikunyah justru alot. Maya-pun tak suka, hingga daging suamiku membusuk karena kami berdua enggan memakannya. Dia membusuk bersama debu tungku api. Betul, memang sudah lebur menjadi debu.

"Wah daging Mas Rian enak sekali Bu, lalu Pak Sugeng gimana ya rasanya?"

"Pastinya alot," ucapku mengejek. Dibalas tawa Maya.

Kami terbalut bahagia di malam ini. Mungkin juga tertawa bahagia juga di malam-malam selanjutnya. Cadangan daging cukup untuk sebulan ini. Sungguh, aku ingin seperti ini terus, menikmati setiap momen bersamanya. Maya, anak ku.

"Maya, ibu sayang kamu nak,"

"Maya pun sayang...banget sama Ibu," ucap Maya lantang.

Kami meneruskan makan malam di gubuk sederhana ini. Hangat walau di luar sana begitu dingin, begitu deras menghantam rumah kami.

THE END


Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 29-07-2023 16:23
krian8471070Avatar border
eynymawar675644Avatar border
hamdani01721986Avatar border
hamdani01721986 dan 36 lainnya memberi reputasi
37
1.5K
26
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan