Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

anasaufarazi810Avatar border
TS
anasaufarazi810
Permainan Kematian
Sabtu setempat di bulan April 1980 sebuah mobil melintas memasuki kampung Ketapang, konon kata kabar; sebuah kampung yang punya banyak Kamboja atau Ketapang. Itulah kenapa begitu banyak pohon-pohon hampir seperti komplek kuburan. Tetapi tidak demikian. Rumah-rumah penduduk masih seperti dukuh-dukuh petani, dirimbuni banyak belukar sana-sini termasuk telekan-telekan. Pemandangan luas terhampar saling berjabatan kemudian hilang ke dalam ketiadaan. Titik-titik hijau pohon tertutup nyiur lembab dan sempit. “Makanya kau tak lihat!” sergah Santi mengambil kijker milik Boni. “Habis ini kakak gak mau kasih uang.”

“Itu kan emang punya aku.” katanya menuding teropong miliknya.

“Eh, kalian pada tau gak?” Drarso menimpali.
“Hampir setiap malem banyak anjing keluar masuk hutan terus mati.”

“Terus?” Santi semakin maju ke depan.

“Terus, mereka gak pernah balik lagi, udah ilang gitu aja.”

“Ngaco kamu,”

“Itu sih katanya,”

“Mereka ke hutan bukannya urusan makan? Terus apalagi?” Boni melirik-lirik minta pertimbangan.

“Tau gak selain itu?” Drarso memelankan suaranya. “Benih lalang.”

“Maksudmu? Ilalang?”

“Bukan, telur iblis ....” mobil mogok dengan tiba-tiba. Mereka terheran-heran seperti bocah tersesat di tengah-tengah hutan. “Aku lihat dulu.” Drarso menyingkir keluar mobil. Sampai diluar badan itu membungkuk mengacak pinggang. Berdiri mengetuk-ngetuk kaca kemudi. “Gak bisa jalan, Pak. Woi turun! Turun!” katanya balik badan membuka coupe penumpang. Pintu mobil menganga mengeluarkan Santi dan Boni.

“Panas,” Boni memandang umah serupa gubuk di persimpangan jalan.

“Kita istirahat di situ.” Drarso berjalan duluan sesekali menyibuki diri dengan bersiul.

Mereka duduk-duduk di gardu samping belokan jalan masuk desa. “Kan tadi sudah aku bilang, sebelum naik kita jangan sompral.”

“Masuk desa terus mau ke mana?”

“Jangan belaga pilon, kau tidak mau ketemu nenek?”

“Ibu udah gak ada.” Drarso meletakan tangan-tangan mencangkumi tepian gardu.

“Nenek juga kan, udah gak ada.”

“Kakak di sini sama kalian.” Santi menepuk-nepuk pundak sudaranya. “Jangan jadikan beban masa lalu, kalau tak sudi jadi pembantu. Itu kata ibu.”

“Kalian ke sini!” panggil seseorang dari kejauhan. Mereka bergantian lompat hindar dari pos kampling. Mendatangi berduyun ke dalam kejauhan. Martono menunjuk sesuatu dengan telunjuk, tangan kirinya menarik jaket polos menutupi hidung.

“Astaga,” Santi menganga menyembunyikan mulutnya ke dalam setangan.

Mereka baru saja menabrak batu cadas kuningan, sementara Drarso jongkok mendungkil andesit sekuat-kuat mungkin, seketika lalat-lalat dengung mengerumun hebat. Boni muntah ke samping Santi.

“Anjing, ini bangkai anjing.” Drarso mengubur anak anjing itu. Masih di bawah ban mobil matanya semakin menjauh akibat jijik. “Siapa bikin kuburan di tengah jalan?”

“Mungkin pengendara lain.” Martono melinting daun kaung untuk merokok. Menggigitnya, menyalakan. “Mungkin mereka takut dituduh sudah bunuh hewan.”

“Harusnya anjing ini dikubur ke pinggir, bukan di tengah jalan.” Santi menyorong gundukan tanah dengan sepatu putihnya.

“Sebaiknya, kita pergi sekarang.” Martono memundurkan mobil dengan ketiga ponakan sudah pada duduk kembali ke sana.

Pekarangan itu luas dengan gerbang kayu melowong menyambut. Satu persatu barang sudah diangkut ke dalam kediaman. Santi memandang bangunan seluruhnya kayu itu. Boni menduduki kursi goyang, sedangkan Drarso membuka jendela lebar-lebar.
Santi mengamati pajangan-pajangan, banyak bertugur perabotan dengan etiket-etiket Tionghoa, lampu-lampu dinyalakan di atas lukisan-lukisan kumal dan bau, penerangan gas minyak itu menerangi seluruh rumah.
Drarso membersihkan meja bilyard kosong tanpa bola di atasnya. Penerangan di tengahnya masih menyala. Santi mengambil jagang sodok meniru-nirukan sedang membidik sasaran.

“Siapa bikin ruangan sebagus ini?” Santi berhenti main-main tongkat. Menekuk kedua tangan ke pinggang.

“Bapak bantu kakek, katanya nih, katanya kantor rapat.”

“Maksudmu? Kantor perundingan?”

“Dari mana tau?”

“Aku temukan koran sudah lecek tadi.” Santi melempar bungkus koran Warta Bhakti.

Drarso buru-buru mencomot suratkabar itu dan duduk di pinggir meja. Membuka-bukanya, semakin cepat-semakin cepat, “TTSnya kosong,”

“Lupakan, mau makan? Atau nanti?” Santi bicara ketika ketiganya sudah di dapur.

“Masak?” Boni mengangkat tangan kebingungan.

“Masak jengkol, di sini gada warung, padang.”

“Kalian berolok-olok, awas loh, nanti cepat tua gigi kamu putus, ompong.” Santi mengacak-acak rambut Boni.

Selesai makan-makan mereka mendapatkan surat dari seberang. “Kita seminggu di sini. Bapak belum bisa pulang. Kita harus bersihin rumah ini terus.” Santi selesai bacakan surat di meja makan. Kedua adiknya merundukan muka kurang senang. “Kakak bikin kalian seneng dan betah di sini.”

“Ada yang gak seneng nih.” Drarso melirik Boni. “Ciye yang baru cium amplop pacarnya.”

“Orang aku gak pernah pacaran kok!” Boni sebal bersungut-sungut.

“Kalian malam ini jangan keluar, bahaya, dingin, sekarang tutup dan kunci semua pintu kecuali kamar.” Martono berpesan sekaligus hindar.

“Aneh, kalo mau main, ya main aja kali, gausah nakutin.” Boni cemungut memainkan sendok ke cangkir susu.

“Itu kau tahu sendiri. Sana ke sawah, banyak tuh orang-orangan sawah nungguin.”

“Hus! Drarso! Boni!” Santi mencuci piring sambil mendumel.

Drarso putuskan masuk ke kamarnya, sendirinya badan itu menggeret tas, menyetel radio mungil miliknya, mati, “perasaan masih baru baterenya.”

Drarso mendekati breaker lalu mengatur frekuensi, merasa penat Drarso menemukan sobekan kertas, secepat mungkin dirinya menunduk meraih kertas lisut dan kusut itu bawah sepatu kumal. Matanya melebar, menyipit setipis lidi, membaca huruf-huruf saling bergandeng membentuk tulisan latin, La via de Satan.

“Ada apa?” Santi hadap Drarso dibawah lampu meja makan.

“Liat deh, apa barusan kutemuin?”

Santi meraih secabik kertas belang bonteng itu. Memerhatikan lebih dalam dan lebih jauh. “Semacam kertas opera?”

“Penemunya Victor Hugo, seniman Prancis abad 19.”

“Terus?”

“Terus, kita ikutin permainan ini, berani?”

“Siapa takut!” Boni nimbrung.

Mereka bertiga menyorot senter ke atas kertas geripis bekas cokotan wirog itu. “Ada naga dina di sini, atau tanggal-tanggal tertentu kalendar Jawa.”

“Ya,” Santi mendekatkan senter. “Bisa dibilang hari pasaran umat Jawa.”

“Tahu? Apa harus kita lakuin?” Drarso mengambil sesuatu dari sakunya. “Aku ada ini,” Santi terperangah kedapati buku sampul merah kecil. “Di sana ada arahan.”

“Jadi? Aku harus cari jangka?”

“Seperti gambar ini.” jawab Drarso. “Lihat? Bukan cuma angka, kita bisa masukin nama kita sendiri-sendiri ke sini.”

“Siapa duluan?” Santi menawarkan gonta-ganti.

“Aku masih bocah, kakak dulu deh.” Drarso senyam-senyum.

“Baik,” Santi membuat piramida berlawanan arah di selembar kertas minyak. “Terus?”

“Tulis nama kakak di bawah panah.”

Santi menuliskan namanya, “Lalu?”

“Kanan kiri piramid ditulis cita-cita kakak.”

“Sekarang dan nanti.” Santi meneruskan tulisan lalu meletakan botol tinta osch indische inkt. “Sekarang?”

“Gores telunjuk kakak.”

Santi meragukan tetapi ditusuk juga dengan jarum. Tetesan darah menetes menembusi namanya, kelahiran, kelamin, profesi, kemauan.

“Kalian?”

“Kami? Menurut buku catatan, kami tinggal gores darah ke titik tolak berlawanan.”

“Apa akan terjadi?”

“Kakak akan panen hasilnya.”

Santi hanya anggap kekanak-kanakan permainan itu. Mana mungkin keinginan bisa ditebus hanya dengan darah? Santi kebetulan sedang punya urusan di kantor produksi dan niaga. Mengajukan diri untuk melamar. Aku tahu tidak mungkin bos besar percaya. Katanya gusar, matanya melirik liar panorama sepuluh pagi itu. “Selamat, kamu sudah kami terima, ingat jangan telat, siapkan proposal lanjutan.”

Santi bergirang hati mendengar itu. Nyatanya tidak sia-sia kerjanya selama ini, padahal sudah lima belas perusahaan menolaknya. Anehnya kali ini dia lolos, meski lima puluh pegawai tidak diluluskan di sana ....

***

Boni yang baru pulang sekolah putuskan duduk di atas kursi malas. Wajahnya mendongak ke langit-langit, matanya mengantuk. Kursi goyang miliknya semakin ke belakang seperti ditarik sangat, sangat lambat. Dan menggoyang luarbiasa ke depan sampai badannya tersungkur ke lantai. Boni memaling cepat-cepat ke kursi tua tinggi yang barusan menjengkang dirinya. Lelaki itu berdiri menuju kulkas pojok ruangan, tidak dia sadar kursi itu sudah di belakangnya! Boni terkejut. Didorongnya kursi ke ruangan tengah, lelaki itu menidurkan diri di ranjang, tahu-tahu kursi itu sudah di depannya. Boni terlonjak. Kursi goyang melayang hantam cermin sampai keping. Boni berteriak melarikan diri.

***

Drarso sedang membetulkan radio di dalam mobil. Tahu-tahu gelumbang telesonik menyala tiba-tiba. Pemuda itu melempar radio. Seseorang berdiri memandangnya. “Santi?”

“Aku sudah diterima. Besok kita bakal makan enak terus.” katanya hilang melengos masuk ke belakang pawon.

Drarso tidak mengerti ada apa dengan sudarinya. Malamnya mereka kumpul kembali ke meja makan. Selesai santap malam itu motor milik Martono datang. Lelaki empat puluh itu pulang bawa keranjang anjing pomerania. “Kebetulan, paman minta kalian rawat baik-baik hewan ini.”

Santi menyetujui pun dengan adik-adiknya. Sampai sana mereka putuskan tidur ke kamar masing-masing. Jam satu dini hari Boni bangun kebelet kencing. Pemuda itu menutup pintu putih dengan gopah-gapah. Rampung dari sana samar-samar kamar pojok terbuka.

Boni mengintip dibalik kiraian lawang kamar mandi. Matanya menganga sempurna. Dilihatnya Drarso keluar dengan gerak-gerik mencurigakan. Pemuda tinggi berambut gondrong itu berangkat entah ke mana. Boni memutuskan mengikutinya. Sampai ke halaman rumah, rerumputan serasa riuh rendah dengan angin menembusi sekujur kaki basahnya. Boni tetap meneruskan langkah menguntitnya.

Drarso hilang membawa lampu togok, bayangan abangnya terus mengecil memasuki perkampungan. Boni menyembunyikan diri di belakang beringin tua. Jauh di seberang, jauh ke tengah-tengah jalanan sepi dan senyap itu, Drarso memukul-mukul sesuatu sampai lolongan pilu padam ke dalam ketiadaan. Boni menggigil ketakutan. Anjing? Drarso meninggalkan gundukan dengan batu bekas darah di jalanan. Boni sekali lagi meremang ....

***

Santi pagi-paginya menengok anjing pamannya terkejut. Kandang itu kosong belaka. Ke mana? Batinnya berkecamuk. Bagaimana harus dia katakan nanti pada pamannya? Boni bergegas sekolah duluan. Drarso hampir tidak bicara seharian penuh. Ada apa dengan mereka? Santi penasaran mengamati perubahan semenak keduanya.

Malamnya Martono kembali bertamu, mengatakan, kalian boleh ambil anjing itu, katanya di depan anak-anak. Santi yang tidak bisa tidur merasa sesuatu konyol menyasar keluarganya. Ia mondar-mandir gusar seperti beruang di kerangkeng. Perempuan itu putuskan mencuri diam-diam buku tebal kecil milik Drarso, sudahnya ia mengunci pintu kantor rekreasi, menyalakan lampu di atas meja bilyard. Mukanya bergerak-gerak mengamati coretan demi coretan, sampai mana gambar anjing kepala tiga ditemukannya. Serberus. Katanya menutup mulut dengan tangan. Seseorang memanggil di depan pintu. “Santi, santi, buka pintunya sayang.” suara itu begitu dikenalnya. Suara itu juga yang sudah membesarkannya penuh kasih sayang. “Buka! Atau kamu mati!” suaranya berubah besar mengerikan.

“Tidak mungkin, tidak, ibuku sudah mati!”

Santi tersadar dari mimpinya, perempuan itu beranjak bangun dari depan meja bilyard, sayup-sayup jam dinding sudah pukul dua pagi. “Santi! Buka! Adik kamu tidak ada di kamar!” Martono gemetar memanggil-manggil.

Santi langsung membuka engsel buru-buru. Mereka berdua lekas mencari-cari Drarso dan Boni. Santi memanggil-manggil ke ladang tebu sampai ladang-ladang jagung. Kosong. Martono berlari beritakan Drarso sudah kembali dengan badan tercabik-cabik. Mereka kembali ke dalam rumah mengobati luka-luka adiknya.

“Katakan jujur, permainan apa kemarin?” Santi gugup memegangi wajah adiknya.

“Jujur!” suaranya nyalang menyambar-nyambar.

“Nu, numerian ....”

“Apa?”

“Angka kematian.” Drarso melarikan diri mencari Boni. Sedangkan Martono mendampingi Santi. Lelaki itu terus menenangkannya, sampai mereka mendengar sesuatu diseret diam-diam di ruangan belakang. Santi penasaran begitu pun Martono. Mereka berombongan memasuki pintu penghubung dapur, sayup-sayup dibawah penerangan lampu minyak, berdiri kursi goyang sedang didorong seseorang. “Ibu!” Santi berteriak keras menjulurkan tangan. Martono mencegahnya. “Ibumu sudah mati!”

“Tidak! Paman bohong!”

Martono menyeret Santi ke ruangan rekreasi. Di dalam sana perempuan itu didudukan paksa. “Kamu harus tenang,” Martono berdiri membelakangi Santi. Santi menangis tersedu sedan. “Kamu sayang ibumu kan?” Martono semakin menjauh. “Mau ketemu ibu?”

Santi menengok. “Maksud paman?”

Martono sudah mengisi peluru ke dalam pistol miliknya. “Tenang, paman antar kamu ketemu ibu dengan ini, lihat? Sebutir peluru berarti tiket ke baka ....” katanya menyeringai.

Santi memukau menganga menyaksikan kedua tangan Martono sudah menarik tinggi-tinggi pistolnya. Sebelum itu, sebelum itu sesuatu membuat Martono jatuhkan pestol miliknya, matanya memandang kedua tangannya, semua syaraf-syaraf tangan miliknya tegang, keras tiba-tiba. Semakin keras. Semakin putus. Kulitnya melepuh mengeluarkan asap kemudian mukanya mencair mendekati busuk. Santi melotot menyaksikan Martono semakin mengkerut kehilangan daging dan menyusut mati jadi pasir.

“Kak! Bukain! Kak!” Boni menggedor pintu keras-keras.

Santi menyambut terharu adik-adiknya. Drarso datang menyampaikan. “Kita kuburkan anjing-anjing itu!”

Mereka bertiga bebarengan menggali tanah di tengah ladang luas dan sepi. Drarso melempar bangkai-bangkai anjing. Santi menimbun tanah kuburan semakin cepat dan cepat. Boni menyerok tanah demi tanah dengan sekop keras-keras. Drarso tergelincir masuk ke dalam liang lahat. Drarso cepat-cepat naik dibantu Santi. Kuburan itu mengeluarkan api kemudian tanah lubang kubur itu hilang menimbun semua bangkai. Mereka mendudukan diri di tengah ladang. “Apa anjing dan kursi itu?”

“Aku selamat digigit anjing, aku kuburkan anjing itu untuk ganti nyawa kakak, kursi itu tempat ibu suka duduk dulunya.”

“Memang dasarnya dunia ini hanya berporos pada satu sumber, kejahatan dan kebaikan, kebaikan diwakili ketuhanan dan nilai-nilanya, sementara kejahatan tidak mengenal ampun dan Tuhannya.”

Tamat

Catatan: Numerian artinya Niu Liebe Manifesto Luciferian
Warta Bhakti adalah koran yang terbit antara 1960 sampai 1965
La via de Satan salah satu karya Victor di tahun 1886, judul asli la fin de satan (akhir dari setan)

Diubah oleh anasaufarazi810 04-07-2023 04:27
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
207
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan