Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

drhansAvatar border
TS
drhans
Dilema
DILEMA

Sebagai seorang ayah, aku merasa gagal menjadi seorang bapak yang baik untuk anakku. Kesibukan dan kekikukanku membuat jarak semakin jauh dari dirinya, terutama semenjak ibunya meninggal. Putraku seakan menyalahkanku dengan kepergian ibunya.

Ada satu peristiwa tak termaafkan, menurut putraku, yang membuat aku benar-benar kehilangan kontak dengan dirinya. Peristiwa kematian kekasihnya. Dia menyalahkanku karena tak bisa menolong teman wanitanya itu.

Masalahnya, dia tak pernah bertanya kepadaku dan aku tak memiliki kesempatan untuk menjelaskan. Ahh, andai waktu bisa kuputar ulang.

***

Sepuluh tahun lalu ...

"Papi! Cepat pulang! Cepat tolong Mami! Mami pingsan!"

Pesan singkat yang terlambat kubaca dan telepon berulang kali dari anakku, Sam, yang tak dapat kuterima menjadi awal kesalah-pahaman Sam terhadapku.

Saat ia menelepon dan mengirim pesan singkat itu, aku sedang berada di dalam ruang operasi. Operasi pasien bedah jantung yang memakan waktu selama lebih dari enam jam.

Aku bergegas ke ruang ICU begitu membaca pesan itu dan semuanya sudah terlambat. Isteri yang kucintai, telah tiada. Sam yang berada di luar ruang ICU tampak terpukul dan tak mengacuhkan panggilanku. Kubiarkan. Kupikir, ia sedang kalut dan membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Aku sendiri, juga kalut, tetapi sebagai dokter dan bapak, aku mencoba menguatkan diri dan terlihat tegar. Aku tak tahu bahwa, sikapku disalah-artikan Sam sebagai sikap tak peduli seorang suami dan bapak. Sam membenciku karenanya.

Sejak Sam kecil, aku tak dekat dan jarang berbicara dengan Sam. Semua urusan Sam kuserahkan kepada ibunya.

Aku seorang yang pendiam dan jarang bicara. Selain itu, pekerjaanku sebagai dokter bedah jantung terkenal banyak menyita keseluruhan waktuku sehingga aku jarang bertemu Sam, berbicara atau bermain dengannya dan kematian ibunya, semakin membuat Sam merasa asing denganku.

Sam pun sepertinya merasa lebih nyaman dengan kesendiriannya. Ia jarang menegurku, bahkan hanya sekedar mengirim pesan singkat pun hampir tak pernah dilakukan. Ia hanya menghubungiku bila memerlukan uang atau sesuatu. Itu pun singkat saja waktunya.

Aku mencoba lebih aktif berkomunikasi dengannya, tetapi aku merasakan ia menanggapi dingin saja. Sampai aku bosan dan mundur sendiri. Lagi-lagi aku menjadikan kesibukan pekerjaan sebagai alasan.

Tahu-tahu, Sam sudah tumbuh dari remaja menjadi pemuda tinggi tegap. Dari pesan singkatnya, aku tahu dia masuk fakultas kedokteran. Itu saja.

Informasi keseharian Sam, justeru kudapat dari para pembantuku dan supirku. Mereka yang melapor kepadaku bila terjadi hal-hal yang luar biasa, seperti saat Sam berkelahi dengan teman sekolahnya atau saat Sam memiliki teman dekat wanita.

Aku sebenarnya ingin tahu lebih banyak mengenai keseharian kehidupan Sam, tetapi dia tak pernah bercerita padaku bahkan untuk urusan yang menurutku penting untuk kuketahui. Mau bagaimana lagi? Aku hanya dapat mengawasinya dari jauh dan meminta bantuan para pembantuku agar sering-sering memantau kegiatan Sam dan membantunya sebisa mungkin.

Pernah suatu kali, aku sengaja menunggunya pulang dan bermaksud makan malam bersama. Sam terlihat enggan, tetapi setelah sedikit kupaksa, ia akhirnya mau menemaniku. Sepanjang acara makan malam itu, kami makan dalam diam. Dia sama sekali tak berusaha bercakap denganku walau sudah kupancing-pancing. Terakhir, ketika kutanyakan kapan ia akan memperkenalkan teman wanitanya, Sam hanya menjawab kapan-kapan. Setelah acara makan malam itu, Sam selalu menolak ajakanku untuk makan malam bersama lagi.

***

Lima belas tahun lalu ...

Aku baru saja menyelesaikan operasi seorang pasien bedah jantung ketika petugas kamar operasi mengabari bahwa ada dua pasien gawat darurat yang sedang menuju kamar operasi dan harus segera ditangani.

Pasien pertama, seorang pria berusia 40 tahun dengan luka robek terbuka di daerah dada kiri, kemungkinan terjadi pecah pembuluh darah koroner* jantung. Pasien yang kedua, seorang nona muda berusia 24 tahun, kemungkinan terjadi perdarahan dalam abdomen* akibat benturan benda tumpul.

Saat itu, dokter bedah yang bertugas tinggal aku dan seorang junior dokter bedah yang baru lulus. Sebagai kepala bagian bedah, aku tentu mengambil kasus pertama, pasien pria berusia 40 tahun itu dengan pertimbangan kasus ini lebih berat dan berbahaya.

Aku tak memperhatikan detail mengenai pasien lagi dan tak jadi keluar ruang operasi, langsung bersalin dan bersiap untuk melakukan operasi baru. Operasiku berlangsung sukses, pasien terselamatkan.

Di ruang operasi lain masih berlangsung operasi pasien yang satu lagi. Aku sempat melongok sebentar dari kaca pintu kamar OK* dan sepertinya operasi berlangsung lancar. Aku kemudian bersalin dan keluar ruang OK untuk menemui keluarga pasien, mengabarkan jalannya operasi dan hasilnya.

Saat berada di dalam ruang tunggu keluarga, aku sempat terkejut karena melihat Sam duduk di pojokan. Sam tak melihatku.

Aku menghampiri keluarga pasien yang kuoperasi dan kujelaskan bahwa operasi berlangsung sukses dan pasien terselamatkan.

Tiba-tiba, Sam berlari menghampiriku dan menanyakan bagaimana kondisi Sizy, pasien wanita yang sedang dioperasi.

Aku menjawab operasi sedang berlangsung dan ada hubungan apakah Sam dengan pasien itu. Dia menatapku tajam, lalu berkata bahwa Sizy adalah kekasihnya.

Setelah terdiam sesaat, Sam mendadak berubah marah. Marah kepadaku. Aku tak mengerti, mengapa Sam marah kepadaku?

Sam hanya menyuruhku untuk melihat handphone-ku. Handphone yang kutinggal di loker di ruang kerjaku selama aku melakukan operasi.

Aku segera ke kamar kerjaku, mengambil handphone dan melihat ada 13 kali panggilan tak terjawab dan 13 kali pesan yang belum terbaca. Semuanya berasal dari Sam.

Ternyata, Sizy, kekasih Sam mengalami kecelakaan. Ditabrak oleh mobil yang dikendarai ugal-ugalan oleh seorang supir. Supir itu juga terluka dan dilarikan ke rumah sakit bersamaan dengan Sizy. Supir itu, pasien yang kuoperasi.

Dalam pesan yang masuk, Sam mengabarkan bahwa kekasihnya mengalami kecelakaan dan meminta tolong kepadaku untuk menanganinya secara pribadi. Ia memintaku dan memohon untuk menolong dan menyelamatkan Sizy. Hal yang tak kulakukan.

Celakanya, operasi Sizy tak berjalan baik. Sizy mengalami perdarahan abdomen* hebat dan tidak tertolong.

Sam menyalahkanku dan tak mau memaafkanku. Sejak itu, ia tak pernah menghubungiku lagi.

****

Teman sejawatku, dr. Bella, seorang neurologis*, memintaku segera berkonsultasi dan berobat kepada seorang neurologis muda yang sedang naik daun karena berhasil menangani pasien Alzheimer* yang berat dan aku di-diagnosa menderita Alzheimer.

Dr. Bella memberikanku surat pengantar dan hari ini aku berjanji temu dengan dokter itu.

Aku mengetuk pintu kamar praktek dengan lambat, Alzheimer sudah mulai menggangguku dan ketika kubuka pintu, seorang dokter muda berdiri di depanku. Dia, Sam. Anakku.

Setelah itu, aku tak dapat berpikir lagi, semuanya seperti tertutup kabut.

Salam semua. Be happy. Gbu.

Catatan:
- Koroner : pembuluh darah utama jantung.
- OK : ruang / kamar operasi.
- Abdomen : perut.
- Neurologis : spesialis saraf.
- Alzheimer : pikun progresif.
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
262
0
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan