KOMUNITAS
Pengumuman! Telah hadir KASKUS GPT: Fitur yang membantu Gan/Sis menulis thread dengan Cepat. Daftar Beta Tester
KASKUS
51
244
https://www.kaskus.co.id/thread/64270f056fc3ff69252aa384/amurti

AMURTI

AMURTI

Season 2 dari Awakening : Sixth Sense


Sinopsis : 


Di saat Rama telah pulih kembali dari kecelakaan yang menimpanya, semesta seakan belum puas untuk menguji dirinya. Masalah yang baru satu-persatu menghampiri dan menghantamnya secara bertubi-tubi. Menimbulkan keretakan pada sisi keluarga, cinta, dan pertemanan dalam hidupnya. Dekapan kegelapan pun tak bisa terelakkan oleh batin Rama.

Diterpa kerasnya realita hidup akhirnya membuat Rama memutuskan untuk mengikuti Mahendra. Sesosok pria misterius yang acap kali mendorong Rama sampai ke titik nadirnya. Sebuah anomali yang intensinya tak bisa diterka oleh Rama.

Pengalaman demi pengalaman yang dialami Rama pun seakan menuntun dirinya pada rentetan kisah yang sudah lama terkubur, berharap untuk segera dihidupkan kembali. Menghadapkan Rama pada sebuah takdir yang tak akan pernah bisa dihindari.




INDEKS :














UPLOAD SETIAP JAM 12 MALAM.
KECUALI SABTU & MINGGU

Wattpad : @vikrama_nirwasita
Karyakarsa : vikrama
Instagram : @vikrama_nirwasita

profile-picture
profile-picture
profile-picture
key.99 dan 12 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh watcheatnsleep
Halaman 1 dari 3

CHAPTER 1

Dengungan yang melekit di telinga diselingi oleh suara gemuruh tiba-tiba menghamparkanku di tengah kerumunan manusia berseragam putih hitam. Mereka tampak duduk manis di kursi besi dengan mulut yang berkomat-kamit. Ada juga beberapa pria dan wanita yang mondar-mandir sembari melirik kanan-kiri. Mereka mengenakan jas biru dongker yang rasanya tampak tak asing bagiku.

Pelan-pelan aku memandang setiap sudut ruang tempatku terdampar. Aku pun menyadari bahwa tempat ini adalah aula kampus. Terbesit di benakku bahwa manusia yang serempak memakai setelan putih hitam ini adalah para mahasiswa yang sedang melakukan ospek. Sedangkan beberapa orang yang mondar-mandir itu adalah para panitia penyelenggara.

Sejenak kemudian, pintu yang berada tak jauh dari podium tiba-tiba terbuka. Semua peserta secara serempak menutup mulut, seiring munculnya seorang pria paruh baya dari balik pintu. Seorang pria berkacamata yang mengenakan jas almamater berwarna biru dongker.

Yang setelah kulirik dengan seksama, adalah dekan dari fakultas ekonomi kampusku. Beliau berjalan diiringi oleh beberapa dosen yang tampak tersenyum dan bertingkah canggung. Seperti biasanya, mereka pun memulai acara dengan kata sambutan secara bergantian di atas podium.

Semua gerak-gerik dan situasi yang terjadi berjalan dengan sangat cepat. Bagaikan video yang diputar dua sampai tiga kali lebih cepat dari kecepatan normal. Saking cepatnya situasi berjalan, aku bahkan tak sempat untuk memberi reaksi apa pun. Hingga beberapa saat kemudian, muncul satu persatu keanehan di sekitarku.

Bermula dari berbagai macam suara aneh yang muncul dari segala penjuru arah. Seperti campuran dari suara tawa yang dibalut dengan isak tangis. Ada pula suara teriakan kemarahan dibalik rintihan kesakitan. Aku merasakan emosi dan energi negatif perlahan membesar hingga berhasil menyelimuti seisi ruangan.

Sebuah gumpalan bayangan besar secepat kilat menyambar seorang Pria bertubuh mungil yang sedang duduk bengong di kursi. Gumpalan bayangan besar itu dalam sekejap mata menembus tubuh pria itu, lalu melayang di belakangnya.

Perlahan bayangan itu samar-samar membentuk dan memperlihatkan wujudnya. Makhluk bertubuh layaknya seorang manusia, tetapi di bagian kepalanya hanya ada api merah yang membara. Mungkin kebanyakan orang mengenal makhluk itu dengan sebutan Banaspati.

Lalu aku memperhatikan Pria mungil itu beranjak dari kursi yang didudukinya dan berdiri tegap di tengah kerumunan. Orang yang berada di sekitarnya pun kian menatapnya dengan bingung.

Dia tiba-tiba mengacungkan jari telunjuknya kepada pembicara yang berdiri di podium.

“PENDUSTA!” teriaknya yang seketika memecah keheningan ruangan.

Suara tawa menggelegar pun keluar dari mulutnya, di tengah reaksi heboh kerumunan di sekelilingnya. Situasi seketika menjadi kacau. Dosen pembicara dan panitia berusaha menenangkan para peserta, tapi usaha mereka sia-sia, hanya ada kebisingan yang memenuhi ruangan.

Semakin kacau situasi, semakin menjadi-jadi pula tawa dari Pria bertubuh mungil itu. Anehnya, walau dia sedang tertawa, aku bisa mendengar suara Banaspati yang menyusupi tubuhnya di benakku.

“Dasar manusia-manusia munafik!” ucapnya geram. “Ucapannya semanis gula, tapi hati dan kelakuannya sebusuk bangkai.”

Di sisi lain, tampak tiga orang pria beralmamater biru dengan tergopoh-gopoh mencoba untuk mengamankan situasi yang kacau. Mereka pun mencoba menarik paksa tubuh mahasiswa mungil tersebut.

Di saat ketiga pria itu mencoba untuk menarik mahasiswa itu keluar, seketika tertempel ekspresi panik dan ketakutan pada wajah mereka. Alasannya karena tubuh mahasiswa mungil itu tak bergeming sedikit pun, kendati mereka sudah mengerahkan segenap tenaga untuk mengangkatnya. Mahasiswa bertubuh mungil itu tetap berdiri tegak dan tertawa lepas seakan mencemooh usaha mereka yang sia-sia.

Kekacauan itu seakan mengundang entitas-entitas yang sudah lama mengintai. Terbukti dari semakin banyaknya sekelebat bayangan hitam yang muncul dan menyambar para peserta ospek lainnya. Tak tahu kenapa, kebanyakan dari bayangan itu mengincar para peserta perempuan.

Bayangan hitam itu tampak memasuki tubuh para peserta, tetapi anehnya, jika kuperhatikan, bayangan itu lalu muncul melayang di bagian belakang para korban. Hingga pelan-pelan, bayangan yang mulanya tampak samar mulai menunjukkan sosok aslinya dengan berbagai rupa yang menyeramkan. Mulai dari siluman, kuntilanak, genderuwo, pocong dan banyak jenis lainnya lengkap hadir untuk memeriahkan acara.

Kepanikan lekas menyebar layaknya setitik api yang disandingkan dengan kertas. Satu-persatu peserta mulai jatuh pingsan. Beberapa kembali bangkit, tapi dengan persona yang berbeda.

Ada yang melotot sembari berteriak murka kepada semua orang. Ada yang menangis histeris dan tersedu-sedu seakan menjadi makhluk paling menderita di dunia ini. Ada pula yang tertawa dan memaki para panitia yang mencoba menahannya.

Tingkah kacau mereka pun merefleksikan emosi dari suara yang kudengar sejak awal tadi. Emosi negatif terpendam, yang tak tahu kapan berakhirnya.

“Kesurupan massal ….” Dua kata itu yang seketika muncul di benakku.

Pintu demi pintu terbuka dan orang-orang berlarian untuk keluar dari sana. Meninggalkan para panitia yang sibuk berperang menaklukkan para peserta kesurupan, yang ditunggangi musuh tak kasat mata.

Aku diam mematung di tengah situasi kacau itu. Aku hanya bisa menyaksikan pemandangan aneh itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Hingga tiba-tiba, sang Banaspati berhenti tertawa dan mengalihkan pandangannya ke arahku. Di balik api yang berkobar itu, tampak pandangan mata sinis yang seakan mengartikan kehadiranku sebagai tamu yang tak di undang.

Tiba-tiba, suasana hening seketika. Para makhluk tak kasat mata lainnya secara serempak menghentikan aksinya. Mata mereka yang bersinar merah, kini terpusat kepadaku, layaknya sedang memandangi seekor mangsa yang empuk.

Tanpa aba-aba, sang Banaspati diikuti oleh para makhluk halus lainnya seketika menerjangku posisiku.

<><><>


Aku pun terperanjat dari penglihatan itu dan bangun kembali pada realita, dengan nafas yang tergesa-gesa. Suasana hening, tiada bunyi selain suara keran air yang sedang mengucuri tumpukan gelas dan piring.

Kuseka keringat dingin yang mengalir di dahiku. Sejenak aku memperbaiki pola nafasku yang tak teratur. Lalu perlahan aku menoleh ke samping. Di saat itu juga, tatapanku tertancap pada seorang pria bertampang muda yang mengenakan setelan jas hitam formal layaknya seorang CEO.

Pandangan matanya sibuk memelototiku. Raut wajahnya yang dingin pun menjawab alasan kenapa dapur yang biasanya berisik tiba-tiba menjadi hening bagai kuburan. Detik itu juga aku tersadar, bahwa aku sedang dalam masalah.

“Woi!” Bentakan Pria itu seketika memenuhi seisi ruangan. “Dari tadi kamu dengar apa yang saya omongin, gak!”

“Maaf pak…,” balasku spontan sembari menundukkan wajahku.

“Coba kamu ulangin apa yang saya omongin tadi!” perintahnya.

Sialnya, pria judas yang ada di hadapanku adalah seorang manager restoran bernama Viktor. Selain owner, dia adalah atasan berpangkat paling tinggi di restoran ini. Entah kenapa, aku merasa dia tak senang akan keberadaanku di restoran ini.

Beberapa detik berlalu, tapi aku hanya diam tak bisa menjawab. Saat itu, aku hanya bisa pasrah menerima nasib sialku. Semua itu gara-gara penglihatan sialan yang belakangan ini selalu muncul secara acak.

Seingatku, sebelumnya aku sedang mencuci tumpukan piring di dapur. Anehnya, pandanganku tiba-tiba berubah menjadi gelap, dan mendapati diriku berada di kerumunan tadi. Aku sendiri tak habis pikir, kenapa aku bisa-bisanya mendapat penglihatan itu.

“Bener-bener kamu, ya!” Viktor mengacungkan jari telunjuknya ke wajahku. “Masih anak baru tapi udah berani bertingkah kamu!”

Selanjutnya aku tetap diam tak berkutik, menerima omelan panjang atas kelalaian yang tak bisa kukendalikan. Terbesit di batinku untuk membabarkan alasan, tetapi otakku segera menyangkalnya. Aku sadar menjawab bukanlah tindakan yang bijak, sebab itu hanya akan memperburuk keadaanku.

Viktor tampaknya sadar, bahwa kegiatan di dalam dapur mulai terhambat akibat konflik ini. Dia pun mau tak mau harus menyudahi ceramah panjangnya. Walau tampak belum puas untuk mempermalukanku di depan para rekan kerja lainnya, dengan terpaksa dia harus melepaskan mangsanya.

Viktor menepuk pundakku sembari berbisik di telingaku, “Ingat lo cuma anak baru, jangan macem-macem kalau masih mau kerja di sini.” Lalu dia tersenyum sinis dan pergi berlalu meninggalkan area dapur.

Terjangan para makhluk halus dengan rupa menyeramkan tadi, rasanya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kenyataan yang harus kuhadapi. Rupa seseram apa pun tak akan lebih berbekas daripada sebuah kalimat yang menyakiti hati.

<><><>


Langit kian gelap dan jarum jam dinding telah mengarah pada angka sepuluh, artinya bahwa saatnya untuk restoran tutup. Waktunya para pekerja untuk membereskan seisi restoran.

Dimulai dari bagian terdepan yaitu pintu masuk, kursi dan meja para pengunjung, hingga bagian dapur hingga toilet harus dibersihkan dan di cek satu persatu. Jika ada salah satu yang terlupa, maka sanksi dan denda akan dijatuhkan kepada semua pekerja. Termasuk aku juga.

Sebelum tengah malam tiba, semua karyawan berusaha secepat mungkin untuk membereskan restoran agar cepat pulang. Dari dapur, seorang pria berseragam batik hitam bercorak parang, datang mendekatiku yang sedang membersihkan meja bundar restoran. Pria itu adalah Aryo, rekan kerjaku yang juga baru saja bergabung ke dalam restoran ini.

Dengan secarik kain lap di genggamannya, Aryo berdiri di sampingku sembari berpura-pura membantuku membersihkan meja.

“Tadi lo kenapa bengong doang sih, Ram?” bisiknya pelan.

“Emangnya gua bengongnya selama apa, sih?” tanyaku heran.

Aryo berpikir sejenak. “Hmmm … sekitar lima menitan kayaknya nyampe, deh.”

Bukan pertama kalinya hal itu terjadi padaku. Semenjak kecelakaan itu, hal seperti ini terus-menerus terjadi. Layaknya rekaman yang diputar secara acak, aku dipaksa untuk menontonnya.

“Lo lagi banyak pikiran, ya?” tukas Aryo.

“Nggak, kok. Mungkin karena kecapekan doang,” balasku mengelak.

“Yah … padahal baru mau gua ajakin nongkrong, nih. Mumpung besok lagi libur kerja loh,” gerutu Aryo.

Sudah beberapa kali Aryo mengajakku nongkrong, tetapi jadwalku tak pernah sesuai untuk menerimanya. “Lain kali deh, Yo. Soalnya besok gua lagi ada banyak kelas di kampus.”

“Iya deh, si paling sibuk,” ejek Aryo. “Si paling sibuk pacaran.”

Aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Hingga tiba-tiba, terdengar ucapan seseorang dari belakang kami.

“Lagi asik ngomongin apa, nih?”

Kami spontan menoleh kebelakang, dan menunduk seketika. Ternyata, suara itu berasal dari seorang pria paruh baya yang ternyata manajer kami. Pria itu berwajah ramah dan berdandan serba rapi, mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dia memakai setelan jas hitam pekat, selaras dengan warna celana panjang yang dikenakannya.

Pria paruh baya itu adalah pak Eka. Selain Viktor, dia adalah pemegang jabatan manajer di restoran ini. Dia juga karyawan paling tua dan paling lama bekerja di sini.

Dia pun tertawa kecil melihat kepanikan kami. “Santai saja, nggak usah takut. Nggak ada pak Viktor, kok.”

“Iya, Pak,” ucapku dan Aryo bersamaan.

Pak Eka pun tersenyum melihat respon tegang kami.

“Omongan pak Viktor jangan dimasukin ke hati ya, Rama.” ucap Pak Eka halus. “Pak Viktor mah dari dulu juga udah galak sama karyawan lain.”

Aku pun tersenyum tipis, memahami usaha beliau untuk menghiburku. “Iya gapapa kok, Pak. Lama-lama juga nanti saya terbiasa, kok.”

“Nah, gitu dong, jangan patah semangat, ya,” ucapnya hangat sembari menepuk pundakku. Persis dengan apa yang dilakukan oleh Viktor, walau makna dan rasanya berbanding terbalik. Setelah itu, beliau berlalu pergi meninggalkan kami, membiarkan kami menyelesaikan sisa pekerjaan malam itu.

Pembicaraan itu berhasil membuatku merasa sedikit lega. Keberadaan Aryo dan pak Eka setidaknya dapat sekilas membuatku lupa akan tekanan hidup yang kualami saat ini.

Bersambung ….
profile-picture
profile-picture
profile-picture
erman123 dan 17 lainnya memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
Spertinya pertamax ada sama gue ini..emoticon-Ngakak
profile-picture
watcheatnsleep memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
oyyee..akhirnyaemoticon-2 Jempol
keduaxx
profile-picture
profile-picture
arya56 dan watcheatnsleep memberi reputasi
Lihat 2 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 2 balasan

CHAPTER 2

Tepat pada jam sebelas malam, akhirnya shift kerjaku berakhir. Sebelum pulang, aku pamit dengan Aryo dan pak Eka terlebih dahulu, lalu mengendarai motorku menuju destinasi yang selama ini kukunjungi rutin. Tempatku bersinggah sebelum pulang ke kos.

Kisaran lima belas sampai dua puluh menit kemudian, akhirnya aku sampai di depan sebuah gedung bertingkat dengan nuansa klasik bangunan belanda.

Di bagian depan, tampak beberapa pengunjung sedang duduk menikmati segelas kopi di kursi dan meja jati yang telah tersusun rapi. Menembus ke dalam, terpampang banyak bingkai foto dengan berbagai macam figur yang menempel di dinding bangunan.

Tampaknya malam itu tak banyak pengunjung yang bersinggah di sana. Mungkin karena malam sudah semakin larut dan cafenya juga tak lama lagi akan closing.

Dari luar, aku melihat sesosok wanita dengan gaya rambut messy bun alias cepol. Garis hitam putih bagaikan zebra menjadi corak kemejanya. Tatapan matanya yang tajam dibalut dengan senyuman tipis di bibirnya, kerap kali membuat para kaum adam berpaling hanya untuk sekedar mencuri pandang.

Sosok wanita itu adalah Melissa, teman dekatku yang terkesan galak dan tomboy. Padahal sebenarnya dia memiliki sifat asli yang lembut. Cuma saja, dia hanya menunjukkan sifat itu kepada orang terdekatnya saja.

Saat itu, Melissa sedang memegang satu set bolpoin dan memo. Dia tampak bersiap untuk mencatat pesanan dari seorang pria yang sedang sibuk membolak-balik buku menu.

Sementara itu, pintu cafe terbuka dan seorang pria mengenakan setelan yang sama dengan Melissa, kini tersenyum dan mengangguk ke arahku. Sambutan yang selama ini hampir setiap hari kudapatkan, dari orang yang sama.

Aku pun memutuskan untuk menunggu Melissa di luar dan duduk di kursi pelataran. Menyaksikan kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan sembari menghirup senyapnya udara malam.

Hingga tak lama kemudian, pandanganku terjatuh pada cincin yang melekat di jari manisku. Terukir huruf inisial pertama dari nama seseorang di sana. Dia … wanita yang dulu pernah mengukir kenangan manis di dalam hidupku. Kenangan yang tak dapat dibendung. Kenangan yang selalu memaksa muncul untuk kembali ke permukaan.

<><><>


Entah kenapa, heningnya malam itu terasa berbeda. Timbul segelintir kerisauan yang menjadi gejolak di dalam batin. Gejolak batin yang tiba-tiba muncul tanpa deklarasi, memaksa pikiran untuk bekerja lebih.

Muncul siluet dari kaca pintu kamar di rumah sakit yang kutempati. Diikuti dengan suara gagang pintu yang tertekan, pintu terbuka dan menampilkan sesosok pria tegap layaknya seorang atlit. Wajah blasteran bule yang hampir setiap hari kupandang. Siapa lagi kalau bukan pria yang bernama Steven. Kehadirannya pun seakan menjadi jawaban atas firasat yang terbesit di batinku.

Raut wajahnya murung, sikapnya kaku, tak seperti Steven yang biasanya kukenal. Dia berjalan menghampiriku sambil memegang sebuah amplop putih. Setiap langkahnya seakan memperkuat sinyal darurat yang semakin mengacaukan situasi batinku.

“Titipan Adel buat lo.” Steven menjulurkan amplop putih ke arahku.

Seketika jantungku berdebar dengan kencang. Walau tangan sudah serasa dingin membeku, perlahan aku memberanikan diri membuka amplop itu. Di dalamnya, terdapat secarik kertas dan sebuah cincin dengan ukiran huruf berinisial A. Sejenak, kuhiraukan cincin itu dan pelan-pelan, aku mulai mengangkat secarik kertas di dalamnya.

Sejenak aku memejamkan kedua mata sembari menarik nafas dalam-dalam. Kucoba untuk menenangkan diri dan menghimpun seluruh keberanianku, lalu perhatianku pun terjatuh ke dalam tulisan di balik secarik kertas itu.

<><><>


Sebelum baca surat ini lebih lanjut, aku harap kamu nggak coba nyariin aku lagi, Ram. Mungkin kamu bingung kenapa aku tiba-tiba menghilang. Tapi yang pasti, aku udah pindah kota dan kemungkinan besar gak akan pernah kembali lagi.

Kamu berhak untuk marah dan kecewa, tapi aku berharap kamu bisa lupain semua tentang aku. Jangan tanya alasannya kenapa. Cukup salahkan aku yang tak mampu mengubah jalannya takdir. Lebih baik kamu membuka lembaran baru, dengan mereka yang selama ini tulus dengan kamu.

Walau pertemuan kita cuma singkat, makasih karena udah ngajarin aku arti cinta. Seumur hidupku, kamu satu-satunya orang yang bisa membuatku merasakan perasaan itu. Aku akan selalu ingat perasaan itu, walau kita tak berakhir bersama.

Semoga kamu dapat wanita yang jauh lebih pantas dari aku. Dan yang paling penting, semoga kamu cepat pulih kembali. Jaga diri dan kesehatan kamu baik-baik. Jangan lupa untuk selalu berbuat baik dan memegang prinsip. Tetaplah jadi Rama yang selama ini aku kenal.

Untuk terakhir kalinya, aku hanya mau bilang …

Aku cinta sama kamu.
Selamat berpisah,
Sekilas kisah kasih yang tak akan pernah terlupakan.

-Adellia


<><><>


Membaca setiap kata yang tertulis di surat itu membuat terasa sesak di dada. Pertahananku kian goyah, derasnya kekecewaan selaras dengan jatuhnya tetesan air mata yang membasahi pipi ini. Aku pun tersadar, betapa lemahnya diri ini, yang tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya telah pergi.

Steven hanya diam berdiri tanpa berucap apa pun. Dia hanya menepuk pelan pundakku berkali-kali, seakan berharap agar aku bisa sabar dan bisa melalui semua ini.

Secarik surat itu berhasil membuatku gagal untuk memejamkan mata pada malam itu. Sepanjang malam itu, seluruh otakku terngiang akan dua kata yang tercantum di dalam surat itu.

“Selamat berpisah.”

<><><>


“RAMAAAA!”

Aku kaget dan refleks menoleh ke belakang. Ternyata ada Melissa yang sedang berulang kali menusuk pelan leherku dengan jari telunjuknya.

“Eh, kerjanya udah kelar, Mel?” tanyaku spontan.

“Baru aja kelar, Ram,” jawab Melissa singkat tetapi tatapan matanya berfokus pada cincin yang terpasang di jariku.

“Masih belum ada kabar dari dia, Ram?”

“Maksudnya siapa, Mel?” tanyaku balik, berpura-pura tak mengerti.

Melissa seketika diam membisu. Sebuah diam yang tak kupahami maknanya. Aku penasaran, apa sebenarnya yang sedang terbesit dipikirannya saat itu. Aku berharap, semoga dia tak bertanya lebih lanjut, sebab aku juga tak ingin membahas tentang orang yang dimaksudnya.

Seakan bisa membaca pikiranku, raut wajah Melissa yang tadinya tampak dingin seketika berubah menjadi tersenyum.

“Pulang yuk, Ram. Kayaknya kamu udah capek karena kelamaan nungguin aku,” ucap Melissa mengalihkan pembicaraan.

Aku mengangguk tanpa membalas perkataannya. Sebenarnya aku bingung akan pergantian suasana yang terjadi dalam sekejap mata. Bahkan sampai detik ini pun, sesungguhnya aku masih sulit untuk memahami perasaan mereka, para wanita.

<><><>


Larutnya malam seakan meredam aktivitas para manusia. Di sisi lain, larutnya malam malah menjadi saksi, akan adanya para eksistensi lain yang juga sibuk menjalani dunianya sendiri. Tak jarang, mereka berani menyeberangi dunia sebelah, hanya semata iseng ataupun untuk memenuhi orderan dari mereka yang berani membayar.

Di balik kegelapan gang-gang, mata-mata merah bermunculan. Bayang demi bayang berkeliaran. Tetapi tak satu pun dari mereka berani mendekatiku, sebab aku bukanlah lagi manusia yang sama.

Usai mengantarkan Melissa pulang, Aku kembali ke kos. Setelahnya, aku langsung bergegas mandi untuk menghilangkan lengket bekas keringat yang telah seharian menempel di badanku.

Semua pintu kamar penghuni kos tampak tertutup rapat. Sepertinya mereka sudah terlelap dalam tidurnya. Aku pun masuk ke kamarku sendiri dan langsung berbaring di atas kasur. Kurasa, berbaring di atas kasur adalah hal paling nikmat setelah mandi dan pulang kerja. Sejuknya tubuh seketika melenyapkan beban yang selama ini telah menumpuk.

Tatapan mata yang tertuju pada langit-langit kamar kian membebaskan pikiran. Telinga dan otakku mencoba untuk bersinkronisasi, menghayati perpaduan antara keheningan malam dan bisingnya suara pikiranku. Hingga tanpa kusadari, aku tenggelam di dalam naungan memori.

<><><>


Sudah hampir setahun kecelakaan itu berlalu. Kecelakaan berlandaskan inisiatifku, yang pada akhirnya merenggut nyawa Putra. Berminggu-minggu berbaring di tempat tidur, membuat memori itu kerap muncul dan selalu menghantuiku.

Walau sudah dinyatakan pulih oleh dokter, tapi nyatanya aku kerap menderita sakit. Bukan sakit fisik, tetapi sakit yang muncul dari serpihan memori kecelakaan itu. Timbul rasa bersalah yang menggerogotiku dari dalam.

Syukurnya, ada Steven, Melissa, Riska dan Nadia yang sering berkunjung menjengukku. Mereka masih menyempatkan datang walau di tengah-tengah kesibukan mereka.

Di saat keadaan tubuhku mulai pulih, aku pun kembali pada rutinitasku yang semula. Kembali ke lingkungan yang sama. Merasakan pengapnya udara kamar kos yang sempit, sembari sesekali menangkap bermacam jenis suara yang muncul dari bilik penghuni kos lainnya. Baik itu penghuni manusia ataupun mereka penghuni tak kasat mata.

Selain itu, aku juga telah kembali bertemu dan berinteraksi dengan teman-teman kampus, walau hanya sekedar berbasa-basi. Pribadiku yang introvert ditambah lagi dengan situasiku yang telah kelamaan menyendiri di kamar, menambah kecanggunganku untuk berinteraksi kembali dengan mereka.

Sebelum kembali ke rutinitas kehidupan kampus, seminggu sebelumnya aku meninggalkan kos dan kembali tinggal di rumah. Malam ketiga, di saat aku ingin ke dapur untuk mengambil air minum, tak sengaja aku mendengar suara samar dari arah kamar orangtuaku.

“Udah … aku coba hubungin saudaraku dulu, ya. Mereka pasti bisa bantu masukin kamu di perusahaan mereka, kok,” bujuk Ibu halus.

“Jangan, mereka ga perlu tahu,” tolak Bapak mentah-mentah.

Suara Ibu seketika meninggi, tak kuasa untuk membendung emosinya. “Keadaan sudah begini, tapi kamu masih lebih milih mentingin harga diri kamu ketimbang masa depan keluarga kita?”

“Aku masih bisa coba cari pekerjaan lain,” balas Bapak tegas. “Kasih aku waktu untuk pulih sebentar. Aku pasti bisa bangkit secepatnya.”

“Jalan ke depan rumah aja kamu udah sempoyongan. Memang seharusnya udah waktunya kamu untuk pensiun,” sanggah Ibu. “Gak usah maksain diri kamu. Kamu tau sendiri kan, kondisi badan kamu udah kayak apa sekarang.”

Tetapi Bapak masih tak mau menyerah, dia tetap coba meyakinkan Ibu. “Percaya sama aku.”

Ibu frustasi dan spontan membalasnya dengan setengah berteriak. “Kamu masih aja bersikeras memuaskan ego kamu! Padahal taruhannya adalah keluarga kita! Masa depan anak kita!”

“Iya, aku tau ini memang salahku. Tapi daripada harus menyusahkan keluargamu, aku tetap memilih pendirianku.”

Percakapan terhenti sampai disitu saja. Sejenak kemudian, hanya ada isak tangis Ibu yang muncul dari balik pintu.

Bersambung …
profile-picture
profile-picture
profile-picture
erman123 dan 17 lainnya memberi reputasi
Lihat 2 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 2 balasan
Ane pertamax lagi 🤣🤣
profile-picture
watcheatnsleep memberi reputasi
Lihat 5 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 5 balasan
Newbie keduax
profile-picture
watcheatnsleep memberi reputasi
Akhirnya ada update terbaru...matur suwun gan
profile-picture
watcheatnsleep memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
Post ini telah dihapus

CHAPTER 3

Sekelebat angin riuh menerpa hangatnya senja kala itu. Mengusik dedaunan yang telah gugur digerus oleh musim. Tak ada pilihan lain untuk hidup selain dari mengikuti arus, atau mati dibawa arus. Begitulah takdir, kata mereka.

Suara langkah kaki mendekat. Menampakkan sosok wanita berkacamata bulat dengan wajah yang mungil sedang berjalan menghampiri posisiku. Kemeja loose-fit tosca yang dipadu dengan celana jeans biru memancarkan sebuah pesona elegan dari sosoknya. Bahkan tanpa pernak-pernik dan sentuhan make-up yang berlebih, dia telah memancarkan kesan yang berkelas. Sosok wanita yang kumaksud itu adalah Riska.

“Mau omongin apa, Kak?” tanyaku bingung.

“Kamu lagi butuh kerjaan, Ram?”

Aku cukup kaget, tak menyangka informasi telah menyebar secepat itu. “Tahu dari mana, Kak?”

“Dari Steven,” jawab Riska. “Aku ada lowongan nih, di restoran punya bokap.”

“Duh, aku gak mau ngerepotin, Kak,” balasku enggan.

Riska menggelengkan kepala. “Kita emang lagi butuh karyawan, Ram. Soalnya ada beberapa karyawan yang resign.“

“Tapi ini beneran gak bakal nyusahin kakak, kan?” tanyaku memastikan.

Riska menghela nafasnya. “Sekalipun nyusahin, bakal tetep aku bantu kok, Ram.“

“Ga perlu sungkan-sungkan, deh. Kayak orang baru kenal aja,” ucap Riska sembari menyikut pelan tubuhku.

Aku hanya bisa menggaruk rambutku yang sebenarnya tak gatal, karena merasa canggung dan tak enak. Muncul perasaan ingin menolak di batinku, namun mulutku tak bisa menolak, karena saat ini aku memang membutuhkannya.

“Omong-omong, posisi kerjanya apa ya, Kak?” tanyaku penasaran.

“Setauku, pelayan atau penerima tamu sih, Ram. Nanti detailnya bakal dijelasin sama manager,” jelas Riska.

“By the way, kapan kamu siap masuk kerjanya, Ram?”

Aku berpikir sejenak. “Hmmm … kalau bisa sih secepatnya, Kak.”

Belum sempat Riska menanggapi, tiba-tiba ponsel di kantong celanaku bergetar. Aku segera menariknya dan melihat tulisan Ibu muncul di layar. Sejenak aku menatap Riska, dan dia pun meresponku dengan anggukan kecil sebagai persetujuan. Aku pun menerima panggilan itu dan mendekatkan ponsel ke telingaku.

“Ada apa, Ma?” tanyaku dengan suara pelan.

Ada jeda beberapa detik, sebelum Ibu membalas.

“Nak … pulang,” ucap ibu dengan suara yang serak.

Aku merasa ada yang tidak beres dari suara Ibu. Suara serak Ibu yang kudengar terkesan seperti orang yang sudah lelah untuk menangis.

“Kenapa, Ma?” tanyaku dengan perasaan was-was.

“Bapak masuk rumah sakit.”

<><><>


Lorong dingin itu berhasil membangkitkan kenangan buruk di benakku. Kenangan yang sudah kucoba untuk menguburnya dalam-dalam. Trauma itu muncul dalam bentuk kucuran keringat yang membasahi seluruh tubuhku, hasil dari jantung yang terpacu akibat lari terburu-buru.

Tampak seorang perempuan yang duduk di seberang pintu. Wajahnya pucat, matanya sembab dan membengkak. Dia menoleh ke arahku dan seketika bibirnya bergetar menahan tangis.

Tak perlu berkata-kata, kupeluk tubuhnya dengan erat. Berharap secercah ketenangan muncul di batinnya. Tapi nyatanya aku cuma manusia lemah, yang juga tak bisa menahan kesedihanku. Air mata pun jatuh menetes hingga mengalir deras di luar kendaliku.

Malam itu, kuputuskan untuk menunggu di sana. Walau Ibuku menolak, aku tetap memaksanya untuk pulang. Aku yakin, panik dan tangisan yang dialaminya sudah menguras energi dari tubuhnya yang mulai renta. Biarlah aku yang menggantikannya untuk bermalam dan menunggu hasil.

Sepanjang malam itu, kuhabiskan waktuku untuk duduk merenung dan menyepi di lorong itu. Berharap supaya tak terjadi musibah di keluarga kecil kami. Detik demi detik hati kecilku memberontak. Pikiranku kian berandai-andai akan kemungkinan yang terburuk. Namun, batinku selalu membantahnya sembari berkata bahwa.

Aku belum siap.


<><><>


Derap langkah kaki terdengar samar. Rasa pegal di sekujur tubuh lantas membangunkanku. Saat aku membuka mata, tampak orang-orang yang sudah berlalu lalang di sekitarku. Terang telah menyambangi lorong ini, tak seperti malam kemarin, hanya ada kegelapan yang merasuki diri.

Dari sekian banyaknya orang yang berlalu lalang, seorang perawat masuk ke dalam ruang di mana Bapak dirawat. Tak lama kemudian, dia keluar dan akhirnya memperbolehkanku masuk.

Dinding putih menyambutku, lengkap dengan peralatan medis yang terpasang di dekat kasur. Tampak seorang pria paruh baya dengan wajah pucat sedang bersandar sambil memandangiku.

Kuangkat pelan kursi di sudut ruangan dan meletakkannya di dekat Bapak. Kududuki kursi itu dan kupandang wajahnya dengan seksama.

“Hasilnya gimana, Pak?” tanyaku khawatir.

Dengan raut wajah datar Bapak menjawab, “Belum ada hasil pasti dari Dokter, tapi tenang aja, Bapak cuma butuh istirahat aja, kok.”

Aku mengangguk lalu lanjut bertanya, “Bapak sebenarnya selama ini sakit apa?”

“Hipertensi,” jawab Bapak dengan santai bahkan terkesan tak peduli.

Aku heran sendiri, apa penyakit itu tergolong ringan atau memang Bapak yang anggap sepele. Reaksi Bapak berbanding terbalik dengan reaksi dari Ibu kemarin. Aku segera membuka ponselku, dan mengetik hipertensi di google. Membaca tulisan-tulisan yang tertera di berbagai artikel di sana, membuatku bergidik seketika.

Hipertensi merupakan pemicu dari berbagai macam penyakit. Serangan jantung, stroke, gangguan ginjal dan banyak penyakit lainnya. Aku pun seketika memandang Bapak dengan khawatir.

“Jangan ngelihat Bapak kayak gitu. Bapak belum mau mati, kok,” ucapnya santai.

Aku diam tak membalas ucapannya. Perasaanku masih kacau, menyadari betapa lalainya aku selama ini.

“Gak usah banyak mikirin Bapak. Fokus pikirin diri kamu dulu. Jaga kesehatan dan jaga pergaulan.”

Sejenak, aku hanya diam sembari menatapnya lesu. Hingga perlahan, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya.

“Bapak dipecat, ya?” tanyaku pelan.

Bapak diam sesaat, lalu dia malah balik bertanya. “Kamu tahu dari Ibu?”

“Aku gak sengaja dengar obrolan Bapak sama Ibu,” jawabku.

Bapak menghela nafas sejenak, lalu menjawab, “Bapak bukan dipecat, tapi mengundurkan diri.”

Jawabannya tidak dapat memungkiri bahwa saat ini dia tak mempunyai pekerjaan. Sejujurnya aku bingung, kenapa Bapak mengundurkan diri. Padahal dia sudah lumayan lama bekerja di sana, seharusnya dia mendapat kompensasi yang cukup jika memilih untuk dipecat.

“Pasti Ibu marah karena Bapak gak dapat pesangon, ya?”

Bapak mengangguk pelan lalu membalas, “Kenapa? kamu mau ngikut omelin Bapak juga?”

Aku menggeleng kepala sembari lanjut bertanya, “Alasannya?”

Bapak diam sejenak, raut wajahnya tampak enggan untuk menjawab.

“Udah … kamu gak perlu tahu,” jawabnya pelan, seakan menutup sebuah rahasia.

“Rama udah dewasa, Pak. Mau sampai kapan Bapak nanggung semuanya sendirian?” ucapku frustasi.

Aku sadar bahwa diriku bukan anak yang penuh perhatian dan punya segudang prestasi untuk dibanggakan. Oleh karena itu, setidaknya aku ingin meringankan bebannya walau dengan hanya mendengarkan curhatan kecil yang terlepas dari bibirnya.

“Bapak tahu kalo niat kamu baik, tapi ini tanggungan Bapak, gak perlu dibagi-bagi sama siapa pun,” ucap Bapak tegas.

Pembicaraan seketika terhenti. Lagi-lagi, aku hanya bisa menyerah atas keras kepalanya sifat dari Bapak. Ia selalu menanggung semua beban dan menyembunyikannya dariku. Ia sudah terbiasa menjadikanku sebagai penonton. Menyaksikannya memilih pilihan yang sulit, agar tidak menodai prinsipnya.

Aku pun menghela nafas panjang, dan perlahan beranjat dari kursi yang kududuki. Bapak hanya memejamkan kedua matanya dan tampaknya tak menghiraukan ucapanku. Aku pun menyerah dan pergi keluar kamar untuk sekedar mencari udara segar.

Baru saja keluar kamar, tak jauh dariku tampak seorang pria paruh baya sedang menenteng sebuah bingkisan buah. Dia memandang ke arahku dan segera menghampiri posisiku.

“Keluarganya Pak Adi, ya?” tanyanya sembari mengulurkan tangan ke arahku.

Dengan wajah bingung aku membalas uluran tangannya. “Iya benar, kalau Bapak sendiri?”

“Saya rekan kerjanya Pak Adi. Kalo boleh tahu, keadaan pak Adi bagaimana, ya?”

Dengan sopan aku membalas ucapannya, “Sudah mulai pulih kembali, Pak. Makasih udah mau datang berkunjung ya, Pak.”

Dia menganggu sembari tersenyum lebar, seakan bersyukur atas informasi yang kuberikan.

Dia lalu memberikan bingkisan buah itu kepadaku. “Titip buat pak Adi, ya.”

“Oh, makasih, Pak. Gak mau langsung masuk ke dalam aja, Pak?” tawarku.

“Nggak usah,” balasnya dengan cepat. “Takutnya malah ngeganggu. Ini saya mau langsung pulang.”

“Oh, ya udah Pak, akan saya sampaikan,” ucapku sembari berniat untuk kembali masuk ke dalam ruangan.

Belum sempat aku kembali masuk ke kamar, aku langsung berbalik badan seraya berkata, “Maaf Pak, saya belum nanya nama Bapak dari tadi.”

Sesaat tampak keraguan di raut wajah pria paruh baya itu, tapi seketika tergantikan oleh senyuman tipis di bibirnya.

“Nama saya Iwan, tapi ga usah repot-repot kasih tahu ke Pak Adi, ya. Saya cuma mampir berhubung lagi dekat dari lokasi,” ucapnya ramah.

Dia lalu pamit dengan melambaikan tangannya. Dia pun pergi menjauh dan perlahan menghilang dari pandangan mataku. Aku pun masuk kembali ke kamar dan meletakkan bingkisan buah titipan dari Pak Iwan di meja.

“Titipan dari teman Bapak. Namanya Pak Iwan,” ucapku tanpa bertele-tele.

Seketika pandangan matanya berubah menjadi tajam. Suasana ruangan seperti membeku, hingga membuatku enggan untuk bergerak sedikit pun.

Bapak mengacungkan jarinya pada buah titipan yang kubawa masuk. “Buang ke tong sampah,” perintahnya.

Walau muncul banyak pertanyaan di benakku, aku pun tetap menuruti perintahnya. Sesuai dengan harapannya, aku tak mau mengorek lebih dalam lagi. Melihat kondisi emosinya yang tak stabil, aku tak ingin semakin memperburuk kondisi kesehatannya. Biarlah semua terkuak dengan sendirinya.

<><><>


Beberapa hari telah berlalu dan kondisi Bapak kian membaik. Hingga pada akhirnya Bapak diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Dengan catatan harus mengonsumsi obat dan mengikuti seluruh anjuran dokter.

Aku pun cukup lega dan akhirnya bisa kembali menjalani hidupku seperti semula. Setelahnya, aku mulai bersiap-siap untuk menerima dan menjalani tawaran pekerjaan dari Riska.

Hingga pada suatu siang, di saat aku berniat keluar kos untuk sekedar membeli makanan. Aku bertemu dengan orang yang tak kusangka-sangka. Saat membuka gerbang, tatapanku tak bisa lepas dari sebuah lamborghini merah yang terparkir, persis di seberang kos.

Tampak seorang pria mengenakan setelan serba hitam. Mulai dari kacamata, kaos, jaket kulit, dan celana ketat yang digunakannya mirip dengan musisi rock. Rambutnya yang panjang tergerai sampai ke leher, wajahnya putih pucat bagaikan kekurangan darah. Ia bersandar di mobil sembari menghisap sebatang rokok di mulutnya.

Kehadirannya berhasil mencuri semua perhatian orang di sana, termasuk diriku sendiri. Dia yang sedang sibuk menghisap sebatang rokoknya, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arahku. Dia menjauhkan rokok dari mulutnya dan tersenyum sembari melambaikan tangannya.

Orang-orang yang sedang berlalu-lalang pun spontan menengok ke arahku. Aku terdiam kaku, canggung akan situasi yang terjadi. Samar-samar, aku merasa ada yang familiar dari orang tersebut, tetapi aku tak bisa mengingatnya.

“Kamu masih belum ingat wajah saya?” ucapnya santai sembari memegang rokok dengan dua jari.

“Maaf, pernah ketemu di mana, ya?” balasku bingung.

Dia memasang ekspresi kecewa sambil menggelengkan kepalanya. “Saya kasih satu kata petunjuk.”

“Kelelawar.”

Aku berpikir sejenak dan seketika sadar siapa orang yang ada di hadapanku saat itu. Dia adalah eksekutor dari siluman kelelawar yang telah mencelakaiku dan Putra. Hawa yang terpancar dari pria yang ada di hadapanku mirip dengan sosok yang kutemui saat melakukan proyek astral terdahulu.

“Hendri … Hendra?” tanyaku memastikan, sebab aku telah lupa dan hanya ingat samar-samar tentang kejadian itu.

“Mahendra,” jawabnya singkat.

Tapi tak berhenti disitu saja, dia lanjut berbicara. “Sesuai perintah Mbah Gumelar, saya disuruh buat ngajarin kamu. Jadi, kapan kamu siap?”

Aku juga mengingat ucapan mereka pada saat itu. Sayangnya, sejak kematian Putra, aku memilih untuk tidak berkecimpung di dalam dunia mereka lagi.

“Maaf, saya gak berminat, Pak. Lagian saya lagi banyak urusan kedepannya,” jawabku datar.

“Kenapa? Kamu lagi butuh duit, kah? Kalo iya, tinggal ikut saya saja, beres,” ucap Mahendra lalu menghisap kembali rokoknya.

“Saya gak mau berurusan sama dunia sebelah lagi, Pak. Saya udah sibuk di dunia saya sendiri,” balasku kekeuh.

“Hah … hanya orang bodoh yang menolak bakat nalurinya,” cibirnya sambil tersenyum tipis.

Aku tak begitu peduli dengan omongannya, sebab hidupku sudah terlalu sibuk dengan banyak hal lain. “Terserah Bapak mau bilang apa, yang pasti saya tetap menolak.”

Dia menatapku iba, lalu mengucapkan kalimat misterius yang tak kumengerti. “Kamu persis seperti sebuah ukiran yang menempel di batu karang.”

“Maksudnya?” tanyaku spontan sembari mengernyitkan dahi.

Mahendra hanya tersenyum kecil. “Suatu saat kamu pasti mengerti akan maksud saya.”

“Cholilah, nanti kalau sudah butuh, hubungi saja nomor ini,” ucapnya sembari memberiku sebuah kartu nama berwarna hitam.

Mahendra tersenyum dan menepuk pundakku pelan. Tepukan itu seperti aliran listrik yang membuatku seketika kejang dan mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. Entah kenapa, batinku terasa terancam hingga spontan mengaktifkan ajian yang sudah lama tak kupakai. Ajian Gembala Geni.

Seketika energi berbentuk api yang membara keluar dari tubuhku. Api merah ganas tak terkendali yang langsung menyambar ke arah Mahendra.

Belum sampai menyentuh tubuhnya, tiba-tiba muncul kabut gelap yang dalam sekejap melahap habis, api merah itu sampai tak tersisa. Dari dalam kabut gelap itu, muncul sebuah ekor bersisik hitam yang meliuk-liuk.

Sejenak ekor itu berhenti meliuk, ekor itu lalu berdiri dan seketika melayang cepat menuju arahku. Aku bahkan tak sempat bereaksi, karena dalam sekejap mata, ujung ekor yang tajam seperti tombak itu berhenti tepat di depan bola mataku.

Nafas dan jantungku mendadak terhenti dalam beberapa saat. Perlahan, ekor itu mulai bergerak kembali ke dalam kabut gelap. Setelah ekor itu sepenuhnya masuk, kabut gelap itu kian memudar dengan sendirinya. Di sisi lain, Mahendra hanya tersenyum menyeringai, lalu dia perlahan melepas kacamata hitamnya.

Mahendra berjalan mendekatiku lalu berbisik, “Ditunggu kehadirannya.”

Mahendra lalu pergi melewatiku dan masuk ke dalam lamborghini merahnya. Dia pun pergi meninggalkanku yang masih membeku dalam posisi yang sama. Mulai kusadari, ternyata punggungku sudah banjir oleh keringat dingin.

Bersambung …
profile-picture
profile-picture
profile-picture
erman123 dan 20 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh watcheatnsleep
Lihat 2 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 2 balasan
Mantap gan...di tunggu kelanjutannya..semoga sehat selalu👍
profile-picture
watcheatnsleep memberi reputasi
wih rumah baruu,, mantap gan
profile-picture
watcheatnsleep memberi reputasi

CHAPTER 4


Malam demi malam berlalu tanpa bisa kunikmati. Hampir sepanjang waktu aku berdiri di depan wastafel, membilas piring-piring kotor yang tak kunjung habis. Tak ada jeda sedikit pun, bahkan setelah piring bersih menumpuk, aku harus bergerak mondar-mandir untuk meletakkan pada tempatnya.

Badanku seakan terprogram untuk bergerak lebih cepat daripada otakku. Membuatku tersadar, bahwa pekerjaan simple seperti mencuci piring ternyata tak pantas dipandang dengan sebelah mata.

Gemuruh petir bersamaan dengan jatuhnya rintik hujan mengiringi sibuknya pekerjaan malam itu. Cuaca yang tak mendukung tampaknya tak berefek pada banyaknya jumlah tamu yang berkunjung ke restoran. Terangnya lampu disertai dengan hiasan pernak-pernik kian mengubah suasana restoran menjadi lebih nyaman.

Ada yang aneh pada malam itu, sebab tak biasanya Pak Eka memanggilku di saat jam sibuk seperti sekarang. Apa boleh buat, aku lekas meninggalkan tumpukan piring di wastafel dan segera bergerak menemui Pak Eka di area lobby.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Tanpa aba-aba, Pak Eka lantas berkata, “Hari ini kamu jadi waiter, ya.”

Mataku membelalak seketika dan berpikir apa aku sedang salah dengar.

“Waiter?” ucapku dengan mulut setengah menganga.

Pak Eka hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas keraguanku.

Aku merasa kaget sebab sejak awal di sini, aku tak pernah bekerja sebagai pelayan restoran. Lantas timbul pertanyaan dalam benakku. Kenapa Pak Eka tiba-tiba mengganti posisi pekerjaanku.

Lantaran sejak awal aku bekerja, Viktor lah yang memutuskan posisiku untuk bekerja sebagai bagian dishwasher. Walau diprotes oleh Riska, dia tetap bersikeras dengan beralasan bahwa hanya itu posisi yang sedang tersisa.

Riska tak terima dan tampak masih ingin berdebat lebih lanjut, tetapi aku menghentikannya, sebab aku justru lebih nyaman bekerja mulai dari posisi paling bawah. Walau pada akhirnya itu sia-sia, sebab tersebar rumor tentangku, bahwa dasarnya aku tak memiliki kemampuan dan hanya bermodalkan koneksi jalur orang dalam. Tapi tak ada yang bisa kuperbuat, sebab apa yang mereka katakan tak bisa kubantah dan di satu sisi ada benarnya juga.

Gunjingan itu diperkuat oleh rutinnya sosok Riska berada di restoran. Dari desas-desus Aryo dan senior lainnya, bahwa sebelum aku bekerja di sini, sebenarnya Riska sangat jarang berada di restoran.

Walau dia anak dari pemilik dari restoran ini, dia tampak tak begitu tertarik berkecimpung di dalamnya. Kehadiran Riska membuat para pekerja berspekulasi bahwa Riska memiliki perasaan terhadapku. Sejak saat itu, aku pun memutuskan untuk menjaga jarak dengan Riska.

<><><>


Walau merasa cemas, aku tetap menerima permintaan Pak Eka. “Baik, Pak. Saya langsung ganti seragam sekarang, Pak?”

Pak Eka mengangguk pelan lalu berkata, “Ambil di atas loker, ya. Kalau sudah, nanti balik ke sini lagi, ada yang mau di briefing dulu.”

Aku menuruti perintah pak Eka dan segera mengganti pakaianku menjadi seragam hitam batik khusus pelayan. Rasa cemas yang saat itu kurasakan kian tertutupi oleh semangat untuk mengambil kesempatan yang muncul di depan mata.

Kupandang cermin sembari merapikan seragam baruku. Dengan sebuah hentakan nafas, kukumpulkan seluruh keberanianku. Kutepuk kedua pipiku beberapa kali lalu aku pun bergegas kembali menuju lobby.

“Kamu layanin tamu reservasi ruangan VIP, ya.”

Sebuah kalimat yang diucapkan Pak Eka seketika berhasil merobohkan keberanianku. Aku tak habis pikir, kenapa aku harus melayani tamu VIP di hari pertamaku bekerja sebagai waiter. Belum sempat aku mengajukan protes, tampaknya Pak Eka telah membaca pikiranku dan segera membungkamku dengan telak.

“Gak perlu panik, nanti dibantu sama senior kamu yang lain, kok.”

Baru saja Pak Eka selesai berbicara, pintu masuk restoran terbuka dan tampak sebuah rombongan yang segera dipandu oleh seorang resepsionis. Rombongan itu tampak kian mencolok karena kesan mewah dan elegan yang terpancar dari sosok mereka. Pancaran yang biasa tampak pada pejabat dan pebisnis kelas kakap. Sebuah pancaran aura high class yang tak bisa dipungkiri.

Aku tertegun seketika. Bukan karena penampilan mereka yang gemerlap, tetapi karena aku melihat beberapa orang yang kian tak asing lagi bagiku. Mereka yang kumaksud adalah Riska dan kedua orang tuanya.

Tak sampai di situ saja, tampak wajah seseorang yang berhasil memunculkan firasat buruk di batinku. Orang yang tak lain dan tak bukan adalah Viktor. Sama seperti posisi Riska, saat itu dia juga didampingi oleh sepasang sosok paruh baya yang kemungkinan merupakan kedua orangtuanya.

“Antar appetizernya ke dalam,” perintah seniorku sembari memberiku satu robekan kertas lalu dia pergi menuju ruangan VIP dimana keluarga Riska dan Viktor berada.

Bitterballen, salad, lumpia dan soup, itulah menu pembuka yang mereka pesan. Kuperhatikan satu persatu piring dan mangkuk yang dioper oleh bagian dapur ke server. Setelah kupastikan tak ada yang salah, dengan hati-hati kupindahkan semuanya ke wadah troli yang bertingkat. Sesampainya di depan pintu, sejenak aku berdoa di dalam hati, semoga nantinya tidak ada kendala yang terjadi di dalam.

Dinding putih bertabur dengan ukiran batik sogan asal solo adalah pemandangan pertama saat aku memasuki ruangan itu. Meja persegi panjang beralaskan taplak warna putih bercampur emas menjadi wadah tangan mereka bertumpu.

Mereka duduk di kursi jati yang disusun dengan formasi berhadap-hadapan. Warna penerangan diatur kuning untuk menciptakan suasana cozy di dalam ruangan. Tampak keluarga Riska duduk berseberangan dengan keluarga Viktor.

Riska tersenyum memandangku, begitu juga dengan Ayah beserta Ibunya. Di sisi lain, Viktor hanya memasang ekspresi datar saat menatapku. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya saat itu.

Kuangkat dan kuletakkan satu persatu piring di meja. Karena merasa gugup, tremor di tangan pun tak terelakkan. Hingga tiba-tiba aku merasakan sentuhan hangat di area bahuku. Aku menoleh dan melihat senyuman hangat dari Ayah Riska. Sebuah senyuman yang seakan menyuruhku untuk rileks.

Aku pun membalas senyumannya dan bergerak mendekati sisi Riska sembari membawa sebuah sup. Di saat posisiku sedikit membungkuk untuk menaruh hidangan, tak kusangka Riska mendekatkan bibirnya ke telingaku.

“Semangat, Ram,” bisiknya halus.

Muncul perasaan riang di batinku, tetapi seketika lenyap saat menatap raut wajah Viktor yang mengeras. Aku segera bergerak menuju posisinya untuk menaruh hidangan pesanannya.

Belum sempat aku menaruh piring, dia menepuk-nepuk punggungku sembari tersenyum dan berkata, “Maaf ya, Om. Dia masih anak baru, nih.”

“Iya gapapa, kok. Namanya juga baru belajar,” balas Om Theo lalu dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku.

Setelah meletakkan hidangan Viktor, aku hanya bisa berdiri canggung di dekatnya. Posisi tangannya yang masih menempel di punggungku bagaikan sinyal agar aku tak boleh pergi kemana-mana.

Sementara itu, pria paruh baya di samping Viktor menatapku bingung, lalu perlahan dia melontarkan pertanyaan, “Pak Theo kok keliatannya udah kenal?”

“Iya, Nak Rama kan temannya Riska. Soalnya dulu lumayan sering main ke rumah.”

Ekspresi heran seketika timbul di wajah sepasang paruh baya yang duduk di samping Viktor. Tampaknya mereka heran, kenapa seorang pelayan sepertiku bisa berteman dengan seorang Riska.

“Wah, ngapain aja tuh, Om?” tanya Viktor sembari melirikku sinis.

Om Theo tertawa kecil lalu menjawab, “Tanya Riska, dong. Jangan tanya sama, Om.”

Viktor menggeser pandangannya menuju Riska, seakan sedang menagih jawaban darinya. Naasnya, Riska sama sekali tak menghiraukannya dan mulai mengalihkan pembicaraan.

“Riska udah laper, nih. Makan aja yuk, sebelum keburu dingin,” celetuknya.

Jerat tangan Viktor pun terlepas dari punggungku. Tanpa berpikir panjang, kuletakkan sisa hidangan di meja, lalu aku pamit sembari menunduk dan bergegas keluar dari ruangan itu.

Sesampainya di luar, aku hanya bisa menghela nafas yang panjang. Bukan karena lega, tapi karena aku sadar, bahwa malam masih akan panjang. Walau aku bisa beristirahat di saat jeda antara sesi hidangan pembuka dengan sesi hidangan utama, tapi untuk kali ini aku lebih memilih bekerja tanpa jeda. Tak apa-apa tubuh remuk dibanding harus merasa tertekan batin sepanjang malam.

Beberapa saat kemudian, seniorku yang bernama Yudi menatapku sembari menunjuk jam yang menempel di tangannya sebagai tanda untuk memulai sesi hidangan utama. Aku mengangguk dan kembali memindahkan piring hidangan ke troli. Hidangan seperti steak, salmon, spaghetti dan berbagai jenis olahan ayam serta udang.

Saat aku masuk, tampak mereka sedang berada dalam suatu pembicaraan. Wanita paruh baya yang duduk di sebelah Viktor sedang berbicara sambil menatap sosok Riska.

“Omong-omong, Riska kan udah mau kelar nih kuliahnya. Kira-kira udah kepikiran buat nikah belum?”

“Duh, nikah mah gak usah buru-buru. Kalo nikah cepet-cepet, kapan buat nikmatin masa mudanya dong?” sahut Ibu Riska sembari tersenyum.

Tetapi Ibu Viktor tampaknya tak mau kalah, dia lalu membalas. “Bisa nikmatin masa muda bareng suami kan bisa. Hidup berdua pasti lebih romantis, ya, kan?”

Kedua wanita paruh baya itu pun tertawa bersamaan. Mulai terasa percikan pertikaian antar mereka yang duduk berseberangan. Di sisi lain, Riska hanya bisa menunjukkan sebuah senyum canggung sebagai respon.

“Viktor, rencana ke depannya gimana?” tanya om Theo, “Apa masih betah ngurusin restoran, Om?”

“Masih betah dong, Om, tapi bakal jauh lebih betah lagi kalo ada yang bantuin saya,” ucapnya sembari melirik sosok Riska.

Om Theo hanya tertawa kecil, lalu sesaat kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah pria yang berada di samping Viktor.

“Kalo dari Pak Daus sendiri bagaimana?”

Pria paruh baya bernama Daus itu pun dengan santai menjawab, “Beberapa kali saya tanya ke dia, tapi jawabannya selalu mau belajar ngurus yang kecil dulu.”

Om Theo tersenyum lalu kembali merespon. “Iya kecil sih, tapi dulunya banyak banget yang coba-coba niru.

“Meski ujung-ujungnya bangkrut,” ucapnya perlahan sembari menatap lelaki yang duduk tepat di seberangnya.

Suasana hening seketika, waktu seakan berhenti dalam beberapa detik. Aku yang sedang meletakkan piring pun ikut diam mematung. Hingga kemudian, kedua pria itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak secara bersamaan, seakan ada pertunjukan lawak di depan mata mereka.

Aku yang mendengar percakapan mereka ikut merasa tidak nyaman. Namun apa boleh buat, mungkin selera humor pengusaha berbeda dengan humor rakyat jelata. Mungkin genre favorit mereka adalah dengan cara saling roasting.

Hingga pada sesi makanan penutup, aku mengantarkan cake dan ice cream sesuai pesanan mereka ke dalam. Syukurnya, kali itu mereka tak terlalu memperdulikanku karena sedang sibuk bercakap-cakap.

Selesai menyantap semua hidangan, Ayah dan Ibu Riska tersenyum dan mengucapkan beberapa kata untuk menyemangatiku, begitu juga dengan Riska. Tak hanya itu saja, mereka juga meninggalkan tip dengan nominal yang tergolong besar untukku di meja.

Sebaliknya, keluarga Viktor pergi keluar tanpa memperdulikanku layaknya angin yang berlalu. Di saat semua orang sudah keluar dari pintu dan cuma Viktor yang tersisa, dia perlahan berjalan mendekatiku, lalu dengan erat dia mencengkeram pundakku.

Dia berbisik pelan di telingaku.

“Semoga betah kerja di sini, ya.”

Bersambung …
profile-picture
profile-picture
profile-picture
erman123 dan 19 lainnya memberi reputasi
Lihat 5 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 5 balasan
Sepertinya akan ada prahara baru ini antara rama dan viktor..🤣
profile-picture
profile-picture
SENSORajaib dan watcheatnsleep memberi reputasi
Mohon bantuannya buat follow wattpad & karyakarsa dong agan-agan sekalian emoticon-Wow

Kemungkinan besar, ke depannya, episode 11 ke atas hanya akan di posting di karyakarsa.
Masih dalam proses pertimbangan hehe emoticon-Big Grin

Wattpad : @vikrama_nirwasita
Karyakarsa : vikrama

profile-picture
profile-picture
profile-picture
erman123 dan 2 lainnya memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan

CHAPTER 5

Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu berganti, hingga bulan demi bulan terlewatkan. Tak kusangka rutinitasku selama ini seakan berhasil mengelabui waktu. Tak terasa sudah tiga bulan aku bekerja di restoran ini.

Semenjak melayani pertemuan antar keluarga Riska dan Viktor, aku resmi diangkat menjadi waiter di restoran itu. Sifatku yang introvert awalnya membuatku sulit untuk ramah dengan orang asing. Ada pepatah yang mengatakan, alah bisa karena biasa. Karena sudah terbiasa berjumpa dengan orang asing setiap harinya, aku pun perlahan bisa menyesuaikan dan membuka diri.

Hubunganku dengan karyawan lain pun kian membaik. Rasa tak nyaman yang kurasakan semenjak dulu telah berubah menjadi sebuah semangat. Tampaknya aku mulai bisa menikmati pekerjaan ini.

Di sisi lain, Viktor sudah jarang menegurku. Sejak pertemuan antara keluarganya dengan Riska, raut wajahnya selalu seperti tampak banyak pikiran. Di dalam hati aku berdoa, semoga dia tetap seperti itu saja, agar aku bisa bekerja dengan plong dan tanpa distraksi.

Gelapnya malam lantas tak mengurangi beratnya beban pekerjaan para karyawan di restoran. Malam itu, semua karyawan terpaksa menjalani kerja lembur, sebab harus menjamu tamu khusus yang tiba-tiba hadir. Walau para karyawan merasa jengkel, mereka tak memiliki nyali untuk mengungkapkannya, sebab para tamu itu adalah rombongan pejabat-pejabat elit yang bersemayam di negeri ini.

Aku panik karena aku sudah berjanji untuk menjemput Melissa malam ini. Tanpa berpikir panjang, kukirim sebuah pesan singkat ke nomor whatsapp Steven.

“Tolong jemput Melissa sekarang dong, Ven. Gua lagi lembur, nih.”

Tak lupa aku melantunkan sebuah missed call di ponselnya, berharap agar dia memperhatikan notifikasi yang muncul. Belum sempat aku memastikan persetujuan Steven, terdengar panggilan urgent dari arah dapur. Aku pun segera memasukkan ponselku ke dalam loker dan kembali bekerja.

“Antar ke private room nomor tiga,” perintah seniorku yang sedang sibuk mengecek hidangan.

Kalutnya malam itu membuatku tak sempat untuk mengecek ponsel. Aku sibuk mengantar hidangan demi hidangan serta melayani permintaan para tamu. Hingga pada saat mereka pulang, ternyata kami sudah bekerja lembur lebih dari dua jam. Samar-samar terdengar beberapa karyawan yang mengumpat karena harus pulang di waktu dini hari.

Saat membuka loker, aku terkejut melihat notifikasi yang telah memenuhi layar ponselku. Notifikasi itu berisikan puluhan missed call dari Steven. Selain itu, ada sebuah pesan singkat darinya yang berisikan ….

“CEPET BALIK!”

<><><>


Sesampainya di kos, aku segera memarkirkan motorku dengan buru-buru. Setelahnya, aku langsung bergegas berlari menuju kamar Steven. Saat posisiku sudah dekat, sekilas terdengar isak tangis seorang wanita dari dalam kamarnya. Jantungku berdebar semakin kencang dan kuberanikan diriku untuk melirik ke dalam.

Di dalam kamar Steven, tampak seorang wanita sedang duduk di pinggir kasur sembari menunduk dan mengusap air matanya. Wanita yang kupandang itu adalah Melissa. Aku menatap Steven dengan raut wajah bingung, seakan bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Steven menghela nafasnya sembari memasang ekspresi menahan emosi.

“Melissa kena jambret,” ucap Steven datar.

Bagai ada petir yang menyambar, aku kaget seketika. Yang pertama kali muncul di pikiranku saat itu adalah, ini pasti terjadi karena kelalaianku.

“Lo gak ada luka apa-apa kan, Mel?” tanyaku panik sembari berlutut mengecek apa ada luka di sekujur tubuhnya.

Melissa cuma bergeleng, masih dalam keadaan tangis sesenggukan.

Dia tiba-tiba memelukku dengan erat. “Tasku hilang, Ram. Semua barang-barang pentingku ada di dalam sana.”

Kuelus rambutnya dengan halus dan kutepuk pelan pundaknya, berharap itu bisa sedikit membantu menenangkan batinnya.

“Nanti aku ganti ya, Mel. Sekarang yang penting kamu tenangin diri dulu.”

Melissa mengangguk pelan. Tampaknya kejadian itu sangat mengejutkan baginya. Begitu juga dengan diriku yang mulai merasakan sesak di dada, yang telah penuh dengan rasa penyesalan.

Tiba-tiba Steven berceletuk, “Mulai seterusnya, gua aja yang antar jemput Melissa.”

Aku sadar bahwa aku salah dan tak ingin masalah ini semakin besar, aku pun menyetujui perkataannya. “Iya, seterusnya lo aja, Ven, tapi jangan sekarang omonginnya,”

“Jadi harus kapan? Waktu lo lembur lagi?” hardik Steven.

Emosiku seketika memuncak, sebab sejujurnya aku merasa situasi ini berada di luar kendaliku.

“Lo pikir gua sengaja lembur?”

“Kenapa gak lo tolak aja lemburnya!” bentak Steven. “Emang lebih penting lembur ketimbang temen lo sendiri?”

“Gua bukan orang tajir kayak elo!” Perlahan kulepaskan pelukan dari Melissa dan berdiri membalas bentakannya. “Gampang banget lo ngocehnya!”

Tangisan Melissa menjadi semakin menjadi-jadi. Samar-samar, terdengar suara pintu kamar lain yang mulai terbuka, tampaknya suara kami telah mengundang rasa penasaran, juga sekaligus menciptakan gangguan terhadap mereka.

Aku dan Steven pun seketika menghentikan pertikaian kami. Suasana menjadi canggung seketika. Berhubung sudah larut malam, aku pun menawarkan opsi bermalam bagi Melissa.

“Kamu tidur di kamarku aja, Mel,” bujukku halus. “Udah kemaleman, nih.”

“Aku mau pulang aja, Ram,” tolak Melissa.

Sambil memandang Melissa, Aku berpikir sejenak. Lantaran, keluar dini hari pastinya akan rawan. Aku sebenarnya ingin menolak dan memaksanya tidur di sini, tapi kurasa dia merasa lebih aman dan nyaman berada di rumah Nadia.

Mungkin karena otakku sedang tidak berpikir rasional, aku pun mengangguk dan bersedia mengantarnya pulang. Belum sempat aku keluar dari kamar, tiba-tiba Steven memegang tangan Melissa.

“Gua aja yang antar, Mel.”

Langkahku terhenti dan Melissa seketika menatap wajahku. Aku menghela nafas dan mengangguk pelan ke arah Melissa. Aku sadar, bahwa dia akan lebih aman dan tenang di mobil Steven, daripada harus kedinginan dan merasa terancam dibonceng oleh motor cicilanku.

Muncul ekspresi rumit di wajah Melissa, tapi dengan sekuat tenaga kukerahkan sebuah senyuman di bibirku, berharap agar dia tak merasa sedih, karena sesungguhnya aku lah yang salah, akibat tak bisa menepati sebuah janji.

<><><>


Semalaman mataku terjaga, tak bisa tidur akibat pikiran yang berkecamuk. Daripada aku lama-lama menjadi gila, jam enam pagi itu aku memutuskan pergi menuju kediaman Nadia.

Tiba di depan rumahnya, aku langsung menelpon nomornya. Syukurnya dia sudah bangun pagi itu. Dia mengangkat telponku dan tak lama kemudian, dia muncul di pandanganku.

Bukan hanya figur Nadia saja, tetapi ada figur wanita bercadar yang juga muncul mengikutinya. Dia adalah Lala, yang selama ini kutugaskan untuk menjaga Nadia, kapan pun dan di mana pun dia berada.

“Pagi banget datangnya, Ram,” ucap Nadia sembari menguap kecil. “Melissa masih bobok, tuh.”

Aku mengulurkan sebuah amplop ke arahnya. “Gua nitip dong, buat Melissa.”

“Kenapa gak kasih sendiri aja, Ram?” tanya Nadia heran.

“Dia bakal nolak kalau gua yang ngasih,” jawabku. “Tolong dong, Nad.”

Nadia menerima amplop yang kuulurkan. “Ya udah, seandainya kalo udah gue kasih tapi dia nolak juga, gimana?”

“Bantu bujuk atau paksa dong, Nad. Soalnya dia lagi bener-bener butuh,” pintaku memohon.

“Butuh kenapa, sih? Apa ada hubungannya sama dia nangis kemarin?”

Aku mengangguk dalam kebingungan. “Emangnya kemarin dia ga ngomong apa-apa ke lo?”

Nadia menggelengkan kepalanya. “Nggak sempat, soalnya dia langsung tiduran. Kayaknya udah kecapekan.”

“Oh, kalo gitu biar dia aja yang jelasin nanti. Soalnya gua lagi buru-buru nih, mau masuk ke kampus,” ucapku mengeles, sebenarnya aku hanya tak ingin membahasnya saja.

Nadia menatapku ragu. “Oke deh, bakal gue usahain.”

“Omong-omong, kalau lo gimana, Nad?”

Nadia malah bertanya balik. “Gimana apanya, nih?”

“Keadaan lo. Apa ada kebutuhan atau sesuatu yang bisa gua bantu?” ucapku dengan rasa canggung.

“Lo mau jadi sugar daddy gua, Ram?” tanya Nadia.

Mataku membelalak seketika, tak menyangka ucapan itu keluar dari bibirnya.

“Ha? Maksud gua bukan gitu, Nad.”

Nadia pun tersenyum melihat raut wajahku yang panik.

“Ga usah pikirin janji lo sama kakak gue, Ram. Gue bisa jaga diri sendiri kok,” ucap Nadia. “Jangan membebani diri sendiri, Ram. Hidup untuk memuaskan harapan semua orang itu capek loh, Ram. Kita ini cuma manusia yang sama-sama rapuh.”

Aku tertegun sejenak, mencerna isi perkataan dari Nadia. Muncul pertanyaan di benakku. Apakah selama ini aku sedang membebani diriku sendiri, atau sebaliknya, beban yang datang bertubi-tubi menghantam hidupku. Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalaku, bagaikan sebuah lagu yang berputar terus-menerus di telinga.

<><><>


Memori kemarin malam masih terngiang-ngiang di kepalaku. Bahkan saat sedang berada di kelas dan bekerja di restoran, pikiranku masih terpaku akan tangisan Melissa dan setiap ucapan Steven.

Syukurnya malam ini, pengunjung restoran tak seramai biasanya. Aku jadi bisa bekerja lebih santai, sebab sejujurnya tubuhku mulai terasa lemas, akibat tak tidur seharian. Saat aku berdiri di sudut lobby, muncul sosok Aryo yang mulai berjalan menghampiri posisiku.

“Muka lu kayak orang abis diputusin aja, Ram,” celetuk Aryo.

Aku hanya bisa tersenyum kecil dan menggelengkan kepala.

“Yaelah, Ram … masih banyak ikan di laut kali, bro.” Aryo berseloro sembari merangkulku.

Kutinju pelan perutnya. “Nih, ikan bogem!”

“Nah gitu dong, jangan bengong doang lo, entar kesurupan.”

Aku tertawa kecil. “Kebalik, malah hantunya yang kesurupan gua.”

“Bisa aje lu. Eh, besok malam ikut gua nge-club yok, entar gua yang jemput,” ajak Aryo.

“Duh, gua jarang ke tempat gituan,” balasku. “Lagian gua bokek juga, nih.”

“Tenang aja, gua banyak sponsor yang rela bayarin, kok. Lo tinggal ikut duduk cantik dan have fun aja,” ucap Aryo sembari mengedipkan matanya.

Aku berpikir sejenak lalu membalas, “Tapi gua gak bisa janji, Yo. Kalo pun bisa, gua datang belakangan, boleh?”

“Iya dah, kalo gak bareng gua, entar gua kasih alamatnya,” ucap Aryo. “Jangan lupa safety, Ram.”

“Safety apaan?” tanyaku bingung.

Aryo menunjuk ke arah selangkanganku. “Siapa tau lo mau ngebungkus,”

“Kampret!”

<><><>


Belum sempat aku memarkirkan motorku, aku terkejut oleh kehadiran seseorang di sana. Tak jauh dariku juga tampak mobil yang sepertinya tak asing. Toyota Agya adalah merek dan varian mobil itu. Walau warnanya silver yang sudah pasaran, aku mengenal mobil itu, mobil yang selalu terparkir di kos.

Dari kejauhan, tampak Steven yang sedang duduk meminum kopi di bagian outdoor. Pandangan matanya sibuk menatap figur seorang Melissa. Pandangan mata itu tak bisa berbohong, bahwa sang pemilik mata telah memendam rasa.

Tampak Melissa menyuguhkan piring kecil berisikan cake di meja Steven. Mereka berdua lantas bercakap-cakap dan melepas tawa. Dunia serasa milik berdua, mereka pun tak menyadari kehadiranku.

Dengan perasaan yang campur aduk, aku menatap pemandangan itu. Di satu sisi, aku bersyukur ada sosok Steven di dekatnya. Namun di sisi lain muncul perasaan tak rela, padahal selama ini aku selalu mengaku bahwa Melissa hanya seorang teman bagiku. Aku tak tahu sebenarnya apa yang kurasakan saat itu. Apakah sebuah rasa cemburu karena ingin memiliki atau hanya sebatas emosi sesaat.

Sekilas aku menatap layar ponselku. Sembari menatap figur Steven dan Melissa, akhirnya kuputuskan untuk menelpon dan menerima tawaran Aryo.

“Yo, besok malam jemput gua, ya.”

Bersambung …
profile-picture
profile-picture
profile-picture
masbawor dan 19 lainnya memberi reputasi
Diubah oleh watcheatnsleep
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan

NOTICE

Terima kasih udah mampir di sini, agan-agan sekalian.
Semoga bisa menikmati cerita yang udah disuguhkan.

Alur ceritanya :
1. Awakening - Sixth Sense
2. Amurti
3. - (Coming Soon)

Bagi yang berkenan, mohon bantuan votenya di wattpad, ya. Untuk membantu ranking dan promosi cerita, supaya bisa kesebar ke lebih banyak orang.
@vikrama_nirwasita

Untuk yang berkenan donasi bisa ke Karyakarsa :
@vikrama

Ke depannya konten terbatas hanya akan di post di karyakarsa.
Sedikit support dan waktu dari kalian sangat berarti demi meningkatkan semangat TS.

Terima kasih emoticon-Wow emoticon-2 Jempol
profile-picture
profile-picture
mahmoedz99 dan und3rground memberi reputasi

CHAPTER 6

Dentuman musik kian bergema memenuhi setiap sudut. Mengisi kehampaan dengan memicu dopamin setinggi-tingginya. Berjoget ria untuk melupakan segenap masalah hidup yang ada. Cukup tersenyum, nikmati musik. Menyatulah pada kerumunan yang haus akan kebahagiaan.

“Tuh, namanya Fahri, bokapnya kontraktor besar di Riau. Malam ini dia yang bayarin kita.” Aryo menunjuk seorang pria gempal yang sedang dihimpit oleh lima sampai enam wanita berpakaian seksi.

“Emangnya udah pasti, Yo?” tanyaku ragu. “Dia kan gak kenal sama gua.”

Aryo menggelengkan kepalanya sembari tertawa kecil. “Yaelah, Ram … Ram. Kalo mau, satu club ini juga bisa dia bungkus malam ini. Bayarin kita mah geli-geli buat dia.”

“Oke, deh kalo gitu,” ucapku mempercayainya.

Kuteguk whiskey di dalam gelas kaca yang berukuran setinggi satu jari manis. Aku dan Aryo duduk di bar counter, tak terasa sudah dua sampai tiga gelas whiskey kami habiskan sembari bercakap-cakap.

Perhatianku pun tertarik pada kerumunan yang sedang berjoget di tengah. Ada yang menikmati irama musik dengan bergoyang pelan, ada juga yang sudah berjoget all-out sejak awal.

Aku penasaran, apa mereka datang bersenang-senang di sini untuk melupakan segenap masalah yang sedang mereka hadapi, atau ada tujuan lain. Pikiranku pun mulai melayang bertanya-tanya dan merenung akan banyak hal. Hingga akhirnya, celotehan Aryo pun berhasil membangunkanku dari lamunan.

“Banyak yang bening-bening tuh, Ram.” Matanya tampak sibuk menelusuri kerumunan.

“Di warteg banyak juga, tuh,” jawabku ngasal.

“Itu mah sayur bening, pret!” ucap Aryo. “Coba gua deketin ya ….”

“Terserah lo, tapi jangan pake bawa-bawa gua, ya.”

“Oke, meluncur!” ucap Aryo sambil mengulurkan kepalan tangannya, bergaya bak superman.

Dengan percaya dirinya dia melangkah mendekati wanita dengan dress merah yang sedang bergerak minim layaknya menikmati alunan musik. Tak terpaut lama, mereka tampak berbicara dengan akrab. Bahkan sesekali wanita itu tampak tertawa lepas. Aku tak tahu jurus apa yang dikeluarkan oleh Aryo, hingga wanita itu bisa menanggapinya secepat itu.

“Sendirian?” Tiba-tiba muncul suara halus di sampingku.

Aku menoleh dan melihat seorang wanita mengenakan crop top berpadu dengan rok mini berwarna hitam sedang berdiri di sebelahku. Wajahnya unik, tampak seperti blasteran western dengan timur tengah.

Pesonanya berhasil menarik perhatian orang-orang. Dari kejauhan banyak yang meliriknya, tetapi jarang ada yang kuat untuk menatapnya dari dekat. Begitu juga aku yang lebih merasa risih karena menjadi pusat perhatian.

Aku menggeleng lalu menjawabnya, “Berdua sama temen.”

“Gapapa, kan?” ucapnya sembari menunjuk bangku kosong di sebelahku.

“Ya, gapapa.” Aku mengangguk dengan canggung.

“Jomblo?” tanyanya dengan logat bule.

Aku kaget seketika, tak menyangka pertanyaan itu muncul dari wajah asing yang baru beberapa detik kutemui.

Sorry, I dont mean to offend,” ucapnya dengan cepat.
(Maaf, aku tak bermaksud menyinggung.)

Kugoyangkan telapak tanganku ke kiri dan kanan, sebagai tanda tak apa-apa.

Wanita itu lalu bertanya, “Boleh tau namanya?”

“Rama, kalau —“

Belum sempat aku bertanya, dia sudah terlebih dahulu memberi jawaban singkat.

“Beatrix.”

Did I bother you?” Beatrix tiba-tiba mendekatkan wajahnya dan menatapku dalam.
(Apakah aku menganggumu?)

No ….” Aku spontan memalingkan wajahku. Aku tak menyangka jika malam ini akan bertemu wanita seagresif dia.

Dia pun tertawa melihat reaksiku. “Then why your eyes keep looking to another side?
(Jadi, kenapa matamu selalu menoleh ke sisi lain?)

I just feel a little awkward.” Kugaruk rambutku yang tak gatal.
(Aku hanya merasa sedikit canggung.)

Beatrix memegang kedua tanganku. “Lets relax and play a little game.
(Mari rileks dan bermain sedikit permainan.)

Mungkin karena efek alkohol yang kukonsumsi. Entah kenapa, kepercayaan diriku meningkat saat itu. Tak ada rasa takut, malah muncul rasa tertantang.

What kind of game?” tanyaku penasaran.
(Permainan apa?)

Dia tersenyum nakal seakan ingin menjebakku. “You must answer the question when we lock our eyes.” (Kamu harus menjawab pertanyaan sembari mata kita bertemu.)

If your eyes move, you must finish this one,” ucapnya sembari mengangkat dan menggoyangkan gelas. (Kalau matamu bergerak, kamu harus menghabiskan satu gelas minuman.)

Okay, same rules for you too, right?”
(Ok, aturan yang sama untukmu juga, kan?)

“Yeah, of course. Me first, then.”
(Iya, tentu saja. Aku duluan kalau begitu)

Do you want to kiss my lips now?
(Apakah kamu ingin mencium bibirku sekarang?)

Mataku lepas kontrol dan sekilas menatap bibir tebalnya yang merah merona. Beatrix pun tertawa melihat reaksi spontanku.

Drink up,” ucapnya sembari mengangkat gelas ke arahku.
(Habiskan)

Aku pun cuma bisa menggelengkan kepala dan menghabiskan minuman itu dalam satu tegukan.

Your turn now.
(Giliranmu sekarang.)

“Why did you come to me? Do you like me?”
(Kenapa kamu mendekatiku? Apa kamu menyukaiku?)

Yeah, I like you at the first sight,” jawabnya santai.
(Iya, aku menyukaimu pada pandangan pertama.)

Mataku seketika membelalak dan hilang fokus.

One more,” Dia tertawa sembari mengangkat gelas.
(Satu lagi.)

Aku pun seketika memprotesnya. “I’m the one asking question tho.
(Aku yang bertanya, kok)

Are you gonna be like this?” ucapnya dengan bibir manyun.
(Apa kamu tega?)

Lagi-lagi, aku hanya bisa menggelengkan kepala karena tak dapat membantahnya. Aku pun dengan sekuat tenaga meneguk habis minuman di gelas itu. Nyali pun tak sanggup menuruti keangkuhan, sebab nalar sudah berada di ambang batas keambrukan.

I’m done playing. I think I can’t handle it anymore.” (Aku berhenti, aku gak kuat lagi.)

Aku menyerah karena aku mulai merasakan sensasi lemas dan keseimbanganku telah goyah. Seluruh badanku mulai terasa berat.

You only drink two sips.” Beatrix tertawa seakan meremehkanku.
(Kamu baru minum dua teguk saja)

It’s a fuckin two full glasses,” ucapku meracau. Emosiku tiba-tiba tak stabil, entah kenapa aku rasanya ingin marah saja. Tapi di sisi lain, aku juga merasakan sebuah kesedihan. Sungguh suatu perasaan yang aneh dan rumit untuk dijelaskan.
(Itu dua gelas penuh.)

Tiba-tiba Beatrix memelukku dengan erat sembari berbisik, “Sorry, my dear. Do you feel hurt inside?” (Maaf, sayang. Apa kamu sedang merasa sakit hati?)

Yes ….” Aku hanya bisa mengangguk pelan, layaknya seorang anak jatuh di pelukan sang ibu.

Just release it and hug me tightly.” (Keluarkan dan peluklah aku dengan erat.)

Tanpa memerdulikan semua orang di sekitarku, aku pun memeluk tubuhnya seerat-eratnya. Dia pun membalas pelukanku sembari mengusap-usap rambutku. Hingga samar-samar, terdengar sebuah desahan pelan di dekat telingaku.

Rasionalitas otakku buntu seketika. Aku merasakan suatu kebebasan mutlak, di mana diriku bebas akan suatu hal yang bernama pikiran. Muncul keinginan untuk menikmati sensasi ini untuk selama-lamanya.

Tiba-tiba kurasakan sebuah sentuhan dingin di daguku. Sentuhan itu mulai mengarahkan pandanganku pada wajah wanita berwajah blasteran itu. Wajahnya yang tampak sangat menggoda, membuat seluruh tubuhku menjadi terasa panas.

Are you a virgin?” (Apa kamu perjaka?)

Penglihatanku sudah kabur dan sempoyongan, tetapi suara halus itu terdengar sangat nyaring, seakan masuk ke rongga telingaku yang terdalam. Aku pun hanya bisa mengangguk pelan, berusaha tetap sadar, untuk menikmati sebuah sensasi nikmat yang baru pertama kali kurasakan.

Maybe, you’ll lose it tonight.” (Mungkin, kamu akan kehilangannya malam ini.)

Itulah kata-kata terakhir yang kudengar, sebelum seluruh kendali atas kesadaranku tenggelam dan sepenuhnya menghilang dari permukaan.

<><><>


Kegelapan yang senyap kian buyar oleh beberapa kicauan merdu. Dinding putih menjadi hal pertama yang tampak pada pandangan mataku yang sedang berkabut. Kepala terasa berdenyut layaknya sedang ditusuk-tusuk oleh jarum.

Terasa gerah dan lengket di sekujur badan. Sesaat aku merasakan suatu kejanggalan. Refleks aku menyentuh dadaku beberapa kali dan seketika aku memandang ke bawah. Ternyata tak ada sehelai benang pun yang menempel di badanku.

Aku terperanjat dan seketika mencari jejak pakaian di sekelilingku. Ternyata pakaianku sedang berserakan di lantai. Dengan panik aku cepat-cepat mengambilnya dan segera memakainya.

Kepanikanku tak kian mereda, sebab aku masih sibuk bertanya-tanya di batinku. Siapa pemilik ruangan asing ini, di mana aku sebenarnya berada dan bagaimana bisa aku terdampar ke ruangan ini.

Aku duduk di pinggir kasur dan mencoba sebisa mungkin untuk mengingat apa yang telah terjadi kemarin. Sialnya, tak ada satu pun memori yang muncul di otakku. Pikiranku ngeblank seakan orang yang lagi linglung.

Kuhimpun seluruh keberanianku untuk perlahan membuka pintu. Aku melangkah pelan, mencoba mengamati area sekitar. Di arah kiriku, tampak kompor dan kulkas, kusimpulkan itu adalah area dapur. Aku pun memutuskan melangkah ke arah kanan, ke arah yang tampaknya seperti ruang tamu. Ada sofa yang arahnya membelakangiku, dan di depannya terpampang sebuah televisi dengan ukuran berkisar 24 inch.

Suasana terasa sangat sepi. Lampu ruangan padam. Situasi seperti remang-remang karena hanya ada segelintir sinar matahari yang berhasil menembus masuk ke dalam ruangan. Oleh sebab itu, aku merasa agak was-was.

Hingga tiba-tiba suara tawa yang parau terdengar di telingaku. Perasaan ganjil pun seketika muncul di batinku, diikuti dengan fenomena bulu kuduk yang berdiri. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengolah nafasku dan mencoba untuk memagari diri dengan energi. Sebagai penutup, aku memusatkan perhatianku pada titik di antara kedua alis.

Perasaan ganjil yang kurasakan pun seketika terjawab oleh penampakan sesosok makhluk yang sedang menempel di langit-langit dengan posisi kayang, tepat di atas posisi sofa berada.

Tampak banyak kerutan di wajahnya yang pucat. Rambut putihnya panjang berantakan, darah mengalir dari lubang kedua matanya. Dia mengenakan kain berwarna coklat. Lidahnya menjulur sepanjang dagu. Dia menatapku dengan air liur yang menetes dari lidahnya.

Baru saja kuniatkan untuk mengaktifkan ajianku, tiba-tiba makhluk itu berteriak kencang dan tumbang menimpa sofa. Aku pun tertegun di dalam suasana yang seketika hening kembali.

Sejenak kemudian, muncul wajah Aryo yang masih setengah terpejam dari balik sofa, tepat pada posisi makhluk itu terjatuh.

Aryo menguap sembari mengusap-usap kedua matanya. “Wih, udah bangun, Ram,”

“Kenapa bengong doang lo?” ucapnya bingung. “Kayak abis liat setan aja.”

Aku hanya tersenyum, tak menyangka ucapannya tepat. Jika kupikir-pikir, dia tak mungkin akan percaya seandainya kukatakan ada nenek-nenek yang sedang kayang di atasnya, sewaktu dia tidur tadi.

Aryo tiba-tiba tersenyum sambil memicingkan matanya. “Enak gak, tadi malam?”

“Enak?” tanyaku sembari mengernyitkan dahi.

“Ah, gak usah pake pura-pura begolah.”

“Serius gua gak ngerti, Yo.”

Aryo menepuk jidatnya sendiri. “Jiah, malah black out si mamang!”

“Emangnya semalam gua ngapain aja, Yo?” tanyaku penasaran.

“Ingat Beatrix gak?”

“Beatrix …,” gumamku. “Fuck, semalam kita berdua ngapain?” Mataku membelalak seketika.

“Turnamen gulat.”

Aku langsung meninju perutnya. “Serius, Yo. Gua beneran panik, nih.”

“Hahahaha ….” Aryo malah tertawa terbahak-bahak.

“Turnamen gulatnya seru banget sih, sampe ada yang menjerit-jerit.”

“Jerit-jerit kenikmatan tapinya,” ucapnya sambil menahan tawa.

“Bangke lu! Kaga percaya gua!”

“Ikut gua sini.” Aryo lalu berjalan menuju kamar yang kutempati tadi.

Kedua matanya sibuk mengamati setiap sudut ruangan dengan teliti. Beberapa menit dia mondar-mandir mencari barang bukti untuk meyakinkanku.

“Udah, Yo. Ngaku bohong aja susah amat, sih,” ucapku dengan perasaan setengah cemas.

Aryo tak mau menyerah, dia mulai naik ke atas kasur yang berantakan. Dia membolak-balikkan selimut yang berantakan, tapi tak ada apa pun yang muncul. Bahkan dia sampai mengorek ruang sempit di ujung kasur. Hingga beberapa saat kemudian, gerakannya terhenti dan dia memandangku dengan tajam.

“Jadi, ini apaan?” Aryo memegang sebuah celana dalam berwarna hitam dengan sebuah lubang di posisi bawahnya.

Serasa di sambar petir, aku seketika tumbang hingga bersimpuh pada lantai.

“Mampus dah gua,” ucapku dalam batin.

Bersambung …
profile-picture
profile-picture
profile-picture
erman123 dan 15 lainnya memberi reputasi
Lihat 4 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 4 balasan
Terima kasih updatenya bang 👌
profile-picture
watcheatnsleep memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
Waduhh ilmunya luntur
profile-picture
watcheatnsleep memberi reputasi
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
Ku tunggu updatenya
profile-picture
watcheatnsleep memberi reputasi
Halaman 1 dari 3


×
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved
Ikuti KASKUS di