

TS
nanitriani
Dri

Mungkin sudah belasan tahun berlalu, aku masih saja tetap mengingatnya. Sebuah percakapan ringan namun menegangkan, berlangsung di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Pria tertampan yang pernah berbicara denganku, tubuhnya yang semampai, hidungnya yang mancung, bibirnya yang kecil dengan senyum tipis, mata coklatnya yang sendu nan teduh, aku menyukai setiap jengkal parasnya.
***
Dua cangkir kopi tersuguh di atas meja. Asap tipis mengepul dengan aroma khasnya.
Aku menatap cangkir kopiku lamat-lamat, lalu matanya. "Dri?" Sapaku canggung.
Dia menatapku, mata kami beradu tatap. "Ya?"
"Terlalu larut untuk ini, bukan?" Kataku sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela besar di samping meja.
Dia pun menatap apa yang sedang kutatap. Cahaya rembulan seolah menembus ruangan, menyoroti mata coklatnya. Aku terus menatap sosok di hadapanku, rambutnya yang hitam dan tertata rapi, dia mengenakan kemeja hitam dengan lengan baju yang digulung, dan celana panjang berwarna cream.
"Belum terlalu malam," dia masih menatap jendela kaca di sampingnya. "Memangnya apa yang akan kita bicarakan?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.
Aku terdiam sejenak, menatapnya, mengamati matanya, menghirup kopi hangatku dan meminumnya, menarik napas dan menghembuskannya berat. "Dri, kau tahu, kau terlalu sempurna untukku." Pahitnya kopi dengan campuran manisnya gula mulai mengarungi lidahku.
Dia tersenyum tipis, "Selalu seperti itu. Aku masih tidak mengerti." Ucapnya lirih.
Satu dua kendaraan melaju melewati jendela besar yang sedang kami pandangi. Malam beranjak. Dingin. "Dingin?" Tanyaku.
"Mungkin kopiku hangat," jelasnya singkat.
Aku kembali menatap matanya, "Maksudnya, kau," aku tak melepaskan tatapku.
"Aku? Tidak, di sini terasa hangat juga."
"Aku? Tidak, di sini terasa hangat juga."
***
"Apa yang ingin kau katakan?" Tanyanya tiba-tiba setelah beberapa menit berlalu dengan hening.
"Aku benci ketika merasa kurang," ungkapku sambil terus menatap mata coklatnya.
"Kurang?"
"Betul," aku terdiam sejenak, "kurang pantas."
"Kau tidak mencintaiku?"
"Aku..." Kedua bola mataku terasa panas, "Kau tahu, parasku tak seindah dirimu," air mataku mulai memaksa untuk keluar dari bendungannya.
Terlihat dia mengepalkan kedua tangannya yang dia letakkan di atas meja, dia menarik napas penuh tekanan, mencoba mengungkung emosi yang entah seperti apa, "Tidak hanya cantik ..." Kedua matanya kini memerah, "Bagiku, kau begitu mengagumkan."
Aku tertunduk, "Tapi, banyak yang bilang ..." Napasku tertahan, "Kau... maksudku, aku... tak pantas untukmu."
Pintu di belakangnya terbuka, sepasang tua memasuki kafe. Tampak gurat senyum yang mungkin sudah lama mendekap wajah tua mereka. Kami berdua memerhatikan sejenak sebelum akhirnya kembali berpandangan.
"Kau tak ingin seperti mereka?" Suaranya kini mulai tenang, "Waktu memang akan berlalu, bisakah kau melaluinya bersamaku?"
Senyumku terkulum, "Dri, menurut orang-orang..."
"Kita berdua! Kenapa harus ada orang lain?!"
"Aku tidak pantas." Ucapku menahan tangis.
Matanya memerah. Mungkin kesabarannya sudah semakin habis. Dia menarik napas dan mencoba menenangkan diri, "Baik, sekarang, apa yang kau mau?"
"Aku benci merasa lebih rendah."
"Apa yang kau mau?" Ulangnya dengan nada bicara yang lebih tinggi.
Aku tersenyum tipis, air mataku mengalir meski tatapku tak ada arti. Bibirku kelu, "Dan kurang."
Dia menghembuskan napas kencang, "Oh, baiklah! Aku ... Sungguh tak memahamimu"
"Aku hanya tak bisa menjelaskan apa yang mengganjal di hatiku, Dri."
"Jelaskan."
"Kau tahu, parasmu begitu rupawan ..."
Dia terkekeh, memotong ucapku.
"Aku tak pantas", aku tertunduk, "Aku kurang."
Dia menggelengkan kepala sembari tersenyum kecut.
"Dengarkan aku, kau begitu sempurna namun aku menyiksamu tanpa ampun."
"Maksudmu?"
"Aku dan keegoisanku."
"Kalau begitu, perbaiki."
"Aku tak yakin."
Kafe bernuansa putih itu terasa hening. Langit malam di luar semakin gulita. Hanya ada suara degup jantungku di telingaku dan mungkin degup jantungnya di telinganya.
"Kau benar," jawabnya menyetujui, "kau dan keegoisanmu mengulitiku. Bahkan sekarang!"
Aku terdiam sejenak lalu tersenyum yakin, "Mari saling meninggalkan."
Dia menatapku tajam, "Maksudmu?"
"Mari berjalan masing-masing," ucapku berat, "tanpa berpegangan tangan."
Dia menghela napas, sejenak termenung, sejenak matanya memerah, berair. Dia tak menatapku lagi. Mata indahnya memandang ke sembarang arah. Meski tanpa senyuman, hanya ada gurat luka, wajah tampannya masih membuat candu meski sendu. Dan sekali lagi, aku benci merasa lebih kurang darinya.
Dia bangkit, terlihat membayar pesanan kami. Mataku masih mengikuti wujudnya yang sempurna. Dia melangkah menuju pintu, keluar, tanpa melihat ke belakang, ke arahku. Dia meninggalkanku. Atau mungkin, aku yang mendorongnya pergi.
Dinginnya angin malam, lampu jalan yang meredup, lalu-lalang kendaraan, bintang yang tertelan cahaya kota, menemani langkahnya.
***
Mungkin sudah belasan tahun berlalu, aku masih saja tetap mengingatnya. Pria tertampan yang pernah menyapaku, tubuhnya yang semampai, hidungnya yang mancung, bibirnya yang kecil dengan senyum tipis, matanya yang sendu nan teduh, aku menyukai setiap jengkal parasnya.
Aku menatap langit kota, tak berbintang, bahkan bulan tertutup awan. Duduk termangu di halte bus setelah lelah bekerja, menjalani rutinitas yang sama, ingatan yang sama bertahun-tahun. Kendaraan berlalu-lalang, pun dengan bayangannya, menghantui bertahun-tahun. Dri, lelakiku dahulu, sosok sempurna bagiku, mungkin sudah bersanding dengan wanita lain, yang lebih pantas.
Aku memutuskan untuk mengingatnya saja, tak ingin mencari tahu tentang dirinya sekarang. Aku tidak menyesal dengan keputusanku dahulu, aku hanya merindukannya selalu. Dia berhak bahagia, aku dan keegoisanku, pantas untuk hidup sendiri menelan sepi.
~End~

Diubah oleh nanitriani 25-03-2023 13:10






mr..dr dan 2 lainnya memberi reputasi
3
359
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan