

TS
amekachi
Mati Ketawa Ala Tegal
Semacam mati ketawa ala Rusia, yang menggambarkan susahnya warga Uni Soviet dulu dalam melawan ketidakadilan hukum, orang Tegal pun mempunyai yang sama bahkan telah diadakan acara bedah bukunya, termasuk yang hadir kala itu adalah budayawan Atmo Tan Sidik, Imawan Sugiharto, Leli Triana dan turut hadir pula wakil wali kota tegal Jumaji di aula YPP 22 Desember 2022

Di kota ini, virus corona yang kecil berubah menjadi kambing hitam yang gemuk. Katanya covid sudah reda, tapi kok warga masih dikerangkeng. Katanya juga ada ancaman varian baru omicron, tapi kok orang-orang diizinkan berjubel menyaksikan senam massal. Katanya mau membangun ekonomi kota, tapi kok pedagang mukimin dimatikan.
Ada jalan sempit yang diperlebar tapi tidak boleh dilewati kendaraan. Sebaliknya, jalan yang sudah lebar dipersempit.
Sekali-kali lewatlah di Jalan Pancasila. Jalan di pusat kota ini sekarang sudah dilebarkan menjadi 30 meter. Kanan-kirinya trotoar masing-masing selebar 5 meter. Tapi jangan kaget. Anda harus muter terus di jalan itu, tidak boleh berhenti, karena di kanan-kiri jalan terpasang rambu larangan parkir.
Dasar orang Indonesia. Sudah dilarang pun tetap nekat. Tiap hari tetap saja banyak mobil dan sepeda motor yang parkir di bahu jalan. Persis di bawah rambu larangan parkir itu! Mirip pemandangan yang sering kita jumpai di beberapa kantor pelayanan publik. Di bawah banner bertuliskan “Calo Dilarang Masuk” duduk berjejer para calo. Jadi mestinya rambu larangan parkir itu dibuat lebih tegas: “Dilarang Parkir di Sini Kecuali Anjing”.
Tapi, nanti dulu. Orang nekat ada sebabnya. Mereka terpaksa memarkir kendaraannya di depan warung makan atau toko di Jalan Pancasila itu karena tidak ada tempat parkir lain. Ada tempat parkir depan stasiun kereta api, tapi jauh. Mana ada orang yang mau jalan kaki di siang hari yang terik atau di bawah guyuran air hujan. Belum lagi orang yang sudah sepuh atau ibu-ibu hamil tua atau anak-anak yang baru belajar berjalan.
Kenekatan itu ternyata bukan langgam orang umum saja. Banyak pejabat, termasuk juga dari kepolisian, yang memarkir mobilnya di bawah rambu sial itu. Lha bagaimana lagi. Masa sih mau makan nasi padang di Ombilin harus parkir depan stasiun? Ingin menikmati bakso Rudal mesti parkir di halaman Hotel Kencana? Mau beli sajadah di La Tansa harus parkir di Jalan Slamet? Mau potong rambut madura di Pak Soleh harus parkir di Jalan Tentara Pelajar?
Pungli dan Odong-Odong
Ironis, memang. Larangan dibuat untuk dilanggar. Beruntunglah orang-orang yang pandai memanfaatkan situasi. Misalnya, oknum Polantas yang memungut pungli atas kendaraan yang parkir di situ. Konon, “tarif” damai agar tidak ditilang untuk mobil antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Seorang kepala kantor BUMN di Tegal bercerita, dia hampir kena pungli itu kalau saja tidak menyebutkan jati dirinya sebagai pejabat pemerintah. Dia memarkir mobilnya di depan Ombilin.
Pihak lain yang juga pandai “menyelam sambil minum air” adalah oknum Dishub. Sebagaimana diketahui, Jalan Pancasila ditutup tiap malam mulai pukul 17.30 hingga pukul 00.00. Ini dilakukan justru setelah covid mereda. Tidak ada kendaraan bermotor yang bebas keluar-masuk, karena trotoar pun dihalangi besi stainless. Hanya sebangsa kambing, kucing, dan tikus yang tidak merasa terhalang.
Anehnya, odong-odong (mobil wisata yang dihias lampu warna-warni) beroperasi bebas pada “jam-jam SOB” itu. Usut punya usut, ternyata mereka setor tiap bulan ke oknum Dishub. Tidak perlu disebut di sini berapa setorannya. Tapi tiap malam ada puluhan odong-odong yang beroperasi. Saat mereka harus pulang sekitar pukul 21.00, gembok portal seperti bisa membuka sendiri lho. Ajib!
Menghalangi Ibadah
Rupanya, di dunia ini odong-odong lebih dihormati daripada jamaah masjid. Sekarang ini orang tidak mudah untuk shalat maghrib dan isya di Masjid Agung Tegal. Bagi jamaah yang rumahnya agak jauh dari masjid, mereka harus jalan kaki. Orang dari luar kota terpaksa mencari masjid lain yang bisa memarkir mobilnya dekat masjid. Seorang pengurus Masjid Agung Tegal menyatakan sangat prihatin dengan kondisi ini.
Bagi jamaah yang sudah terlanjur berada di dalam masjid saat adzan maghrib berkumandang, mereka harus bergegas pulang seusai shalat maghrib agar mobilnya bisa keluar dari alun-alun. Itu karena menjelang pukul 17.30 sudah meraung-raung sirene dari mobil Dishub, yang mengingatkan semua pemilik kendaraan untuk keluar dari kawasan alun-alun sebelum ditutup.
Sepertinya, petugas di dalam mobil Dishub sangat menikmati pekerjaannya. Berputar-putar sambil berseru lewat speaker, dia bunyikan sirene mengusir para pengendara. Mungkin dia tidak tahu kalau suara sirene yang keras itu amat mengganggu kenyamanan warga sekitar. Suasananya mirip seperti di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) ketika para napi diseru oleh suara sirene untuk kembali ke sel masing-masing.
Keprihatinan pengurus Masjid Agung sangat beralasan, karena masalah ini sudah menyentuh perkara yang sensitif. Perkara yang menyangkut syariat agama, khususnya peribadatan. Mengusir jamaah dari masjid bisa dianggap mencegah atau menghalangi orang untuk shalat.
Dalam Surat Al-‘Alaq disindir kaum yang menghalangi orang untuk shalat. Mereka adalah kaum pendosa yang sombong, yang merasa berkuasa, yang berbuat jahat kepada orang-orang baik dan jujur. Allah mengancam akan mencabut ubun-ubunnya dan memanggil malaikat Zabaniyah.
Jangan lupa, masih ada Masjid Baitul Muttaqin di sebelah barat Gedung Birao (bekas Kantor SCS). Karena kawasan alun-alun ditutup, maka orang-orang dari luar yang mau mampir shalat maghrib dan isya di masjid ini juga terhalang.
Korban Anak-Anak
Selain menjadi koridor ekonomi rente – tempat orang memungut setoran ilegal dan pungli, Jalan Pancasila juga acapkali memakan korban anak-anak. Jalan yang gelap dan lengang di malam hari dimanfaatkan anak-anak sekitar untuk bermain sepakbola. Sudah ada beberapa anak yang mengalami luka, sampai ada yang patah tangan, akibat terserempet sepeda motor atau odong-odong.
“Ada tiga teman saya yang sudah ketabrak, Pak,” kata seorang anak yang biasa main sepakbola di situ, memberikan alasan kenapa main bola di trotoar tempat pejalan kaki, bukan di bahu jalan.
Karena banyak anak bermain, beberapa tandon air besar untuk cuci tangan tampaknya ditarik lagi. Tandon itu hanya untuk mainan anak-anak, dan air yang mengocor menggenangi badan jalan. Padahal, harga tandon-tandon dari plastik itu tentu tidak murah dan dibeli dari APBD.
Biaya Sosial Tinggi
Kita pindah kepada kelucuan lain di Jalan Ahmad Yani. Jalan yang semula lebarnya 15 meter ini, sekarang sedang dipersempit jadi 6 meter. Trotoar kanan-kirinya diperlebar untuk area kuliner. Di tengah kanan-kiri dibuat jalan masing-masing selebar 3 meter untuk parkir sejumlah food truck (mobil lapak). Proyek ini diperkenalkan sebagai “Malioboro”-nya Tegal.
Mobil-mobil lapak itu semula jatah portofolio untuk para PKL yang tergusur. Namun, santer terdengar desas-desus tentang siapa yang mampu membelinya dan dari pihak mana, karena harganya yang mahal. Bisa ratusan juta rupiah per unitnya. Mana PKL mampu beli?
Para pemilik toko di situ, lewat kuasa hukumnya, menggugat pemkot ke pengadilan. Gugatan akhirnya dicabut setelah Pemkot Tegal bersedia mengubah desain agar mobil bisa parkir depan pertokoan.
Seperti halnya proyek alun-alun, proyek “Malioboro” ini juga tidak bebas dari demo dan keributan. Ada drama penentangan dari masyarakat. Artinya, setelah proyek-proyek ini jadi, kalkulasi kerugiannya tidak sepadan dengan manfaatnya.
Selain anggaran yang bertambah, biaya sosialnya juga tinggi. Keramik trotoar yang belum berumur lima tahun sudah harus diganti lagi. Toko-toko dijauhi pembeli. PKL harus menutup lapak. Gokar, gojek, petugas parkir, kuli angkut, bakul gendong harus menyingkir.
Kekesalan, kekecewaan, dan kemarahan warga menambah beban kerugian moril. Bahkan pohon-pohon pun menangis setelah ditebang habis. Apa pun jadinya nanti, warga setempat sudah menanggung kerugian lebih dulu. Itu seperti tragedi “piramida korban manusia” menurut Peter L. Berger.
Jalan Ahmad Yani atau “Jalan Abdul Butun”?
Lalu, di mana letak keanehannya?
Pertama, pada logika penggagasnya. Jalan sudah lebar kok dipersempit! Maaf ya, saya terpaksa baca-baca lagi teori pertumbuhan kota-kota di dunia.
Di situ disebutkan bahwa pemicu pertumbuhan kota adalah pertambahan penduduk atau urbanisasi. Karena penduduk kota bertambah, mereka butuh lebih banyak sandang-pangan-papan. Maka, berdirilah pabrik-pabrik tekstil dan pedagang pakaian, peningkatan produktivitas pangan beserta teknologinya, dan pembangunan perumahan.
Selain kebutuhan dasar itu, penduduk kota yang bertambah juga membutuhkan kebebasan bergerak (aksesabilitas) dan percepatan pergerakan (mobilitas). Untuk itu, pemerintah kota membuat jalan-jalan baru dan melebarkan atau meningkatkan jalan-jalan yang sudah ada untuk mendukung aksesabilitas dan mobilitas warganya. Perumahan-perumahan baru dibangun untuk memenuhi kebutuhan hunian.
Pembangunan infrastruktur jalan dan perumahan akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kota akan berkembang lebih cepat. Terjadi multiplier effect alias efek saling menumbuhkan bidang-bidang kehidupan warga kota. Produksi, konsumsi, distribusi, jasa, dan perdagangan meningkat.
Jadi kalau Jalan Ahmad Yani dipersempit, itu pakai teori yang mana dan apa tujuan sebenarnya ya?
Kedua, menurut Perda Nomor 1 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal Tahun 2011-2031, Jalan Ahmad Yani itu ditetapkan sebagai jalan primer kota alias jalan protokol. Namanya jalan protokol mesti dipelihara agar tertib, lancar, tidak macet. Kalau jalan ini dipersempit, apa yang akan terjadi? Itu seperti pembuluh darah dalam tubuh yang dipenuhi plak, sebentar lagi jantungan!
Jika perda tidak dijadikan pijakan dalam pembangunan kota, lalu apa yang menjadi dasarnya? Siapa yang harus mengingatkan inkonstitusionalitas ini? Anda lebih tahu dari saya.
Dalam perda itu juga ditetapkan peruntukan Kawasan Alun-Alun. Dari Jalan K.H. Mansyur sampai bundaran alun-alun dan jembatan Kaligung ditetapkan sebagai kawasan perdagangan. Jembatan Kaligung hingga gang Masjid Baitul Muttaqin sebagai kawasan wisata. Taman Pancasila dan Gedung Birao sebagai kawasan cagar budaya.
Sekali lagi, Anda lebih tahu, kalau aksesabilitas dan mobilitas orang dari dan ke kawasan ini ditutup, bisakah kawasan-kawasan itu berkembang?
Ketiga, nama Jalan Ahmad Yani itu sakral lho. Jadi sudah betul kalau jalan besar itu ditetapkan sebagai jalan primer, untuk mengabadikan dan menghormati Jenderal Anumerta Ahmad Yani sebagai Pahlawan Revolusi.
Kalau kemudian jalan yang mulia itu mau diubah menjadi kawasan kuliner, baiknya nama Ahmad Yani dipakai untuk jalan lain yang sama besarnya atau lebih besar lagi. Kemudian jalan kuliner ini diberi nama “Jalan Abdul Butun” alias “Jalan Hamba Perut”. Bisa juga diberi nama “Jalan Sumber Wareg” atau sejenisnya yang pas dengan fungsinya.
Ini serius, bukan guyon. Kadang kita kurang memperhatikan nama jalan sesuai dengan kehormatan pemilik namanya dan fungsinya. Maaf ya, coba dicermati berapa banyak jalan di negeri ini yang memakai nama pahlawan nasional atau ulama terhormat dihuni bangunan untuk maksiat.
Mati Ketawa Bersama
Kita akan dibuat mati ketawa bersama-sama jika menyebut penampakan-penampakan yang lain. Misalnya, wali kota dan wakilnya yang kembali bentrok. Alun-alun yang, lagi-lagi, dibongkar-pasang. Setahu saya, konsep awal alun-alun sesuai fungsinya adalah sebagai open space alias ruang terbuka hijau.
Zaman Wali Kota Ikmal Jaya, seputar alun-alun dijadikan arena road race. Pada era Siti Masitha, alun-alun disulap jadi arena olahraga. Ada jalan beton setapak untuk jogging. Ada pula lapangan bola voli. Kini muncul bangunan mirip arena gladiator (koloseum) di tengah alun-alun. Katanya sih itu arena tempat bermain.
Kasihan betul nasib Alun-Alun Kota Tegal ya, hanya dijadikan objek eksperimen. Anda pun, kalau jadi wali kota, bisa menjadikan alun-alun sesuai keinginan Anda. Anggaran tersedia kok.
Kalau saya sih, kalau jadi wali kota, ingin jadikan alun-alun semuanya untuk lapangan tenis, karena saya suka tenis. Mungkin bisa dibikin 10 lapangan tenis ya. Hahaha…
—
A Zaini Bisri, Jurnalis Senior & Dosen Universitas Pancasakti Tegal
Sumber 1
Sumber 2

Di kota ini, virus corona yang kecil berubah menjadi kambing hitam yang gemuk. Katanya covid sudah reda, tapi kok warga masih dikerangkeng. Katanya juga ada ancaman varian baru omicron, tapi kok orang-orang diizinkan berjubel menyaksikan senam massal. Katanya mau membangun ekonomi kota, tapi kok pedagang mukimin dimatikan.
Ada jalan sempit yang diperlebar tapi tidak boleh dilewati kendaraan. Sebaliknya, jalan yang sudah lebar dipersempit.
Sekali-kali lewatlah di Jalan Pancasila. Jalan di pusat kota ini sekarang sudah dilebarkan menjadi 30 meter. Kanan-kirinya trotoar masing-masing selebar 5 meter. Tapi jangan kaget. Anda harus muter terus di jalan itu, tidak boleh berhenti, karena di kanan-kiri jalan terpasang rambu larangan parkir.
Dasar orang Indonesia. Sudah dilarang pun tetap nekat. Tiap hari tetap saja banyak mobil dan sepeda motor yang parkir di bahu jalan. Persis di bawah rambu larangan parkir itu! Mirip pemandangan yang sering kita jumpai di beberapa kantor pelayanan publik. Di bawah banner bertuliskan “Calo Dilarang Masuk” duduk berjejer para calo. Jadi mestinya rambu larangan parkir itu dibuat lebih tegas: “Dilarang Parkir di Sini Kecuali Anjing”.
Tapi, nanti dulu. Orang nekat ada sebabnya. Mereka terpaksa memarkir kendaraannya di depan warung makan atau toko di Jalan Pancasila itu karena tidak ada tempat parkir lain. Ada tempat parkir depan stasiun kereta api, tapi jauh. Mana ada orang yang mau jalan kaki di siang hari yang terik atau di bawah guyuran air hujan. Belum lagi orang yang sudah sepuh atau ibu-ibu hamil tua atau anak-anak yang baru belajar berjalan.
Kenekatan itu ternyata bukan langgam orang umum saja. Banyak pejabat, termasuk juga dari kepolisian, yang memarkir mobilnya di bawah rambu sial itu. Lha bagaimana lagi. Masa sih mau makan nasi padang di Ombilin harus parkir depan stasiun? Ingin menikmati bakso Rudal mesti parkir di halaman Hotel Kencana? Mau beli sajadah di La Tansa harus parkir di Jalan Slamet? Mau potong rambut madura di Pak Soleh harus parkir di Jalan Tentara Pelajar?
Pungli dan Odong-Odong
Ironis, memang. Larangan dibuat untuk dilanggar. Beruntunglah orang-orang yang pandai memanfaatkan situasi. Misalnya, oknum Polantas yang memungut pungli atas kendaraan yang parkir di situ. Konon, “tarif” damai agar tidak ditilang untuk mobil antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Seorang kepala kantor BUMN di Tegal bercerita, dia hampir kena pungli itu kalau saja tidak menyebutkan jati dirinya sebagai pejabat pemerintah. Dia memarkir mobilnya di depan Ombilin.
Pihak lain yang juga pandai “menyelam sambil minum air” adalah oknum Dishub. Sebagaimana diketahui, Jalan Pancasila ditutup tiap malam mulai pukul 17.30 hingga pukul 00.00. Ini dilakukan justru setelah covid mereda. Tidak ada kendaraan bermotor yang bebas keluar-masuk, karena trotoar pun dihalangi besi stainless. Hanya sebangsa kambing, kucing, dan tikus yang tidak merasa terhalang.
Anehnya, odong-odong (mobil wisata yang dihias lampu warna-warni) beroperasi bebas pada “jam-jam SOB” itu. Usut punya usut, ternyata mereka setor tiap bulan ke oknum Dishub. Tidak perlu disebut di sini berapa setorannya. Tapi tiap malam ada puluhan odong-odong yang beroperasi. Saat mereka harus pulang sekitar pukul 21.00, gembok portal seperti bisa membuka sendiri lho. Ajib!
Menghalangi Ibadah
Rupanya, di dunia ini odong-odong lebih dihormati daripada jamaah masjid. Sekarang ini orang tidak mudah untuk shalat maghrib dan isya di Masjid Agung Tegal. Bagi jamaah yang rumahnya agak jauh dari masjid, mereka harus jalan kaki. Orang dari luar kota terpaksa mencari masjid lain yang bisa memarkir mobilnya dekat masjid. Seorang pengurus Masjid Agung Tegal menyatakan sangat prihatin dengan kondisi ini.
Bagi jamaah yang sudah terlanjur berada di dalam masjid saat adzan maghrib berkumandang, mereka harus bergegas pulang seusai shalat maghrib agar mobilnya bisa keluar dari alun-alun. Itu karena menjelang pukul 17.30 sudah meraung-raung sirene dari mobil Dishub, yang mengingatkan semua pemilik kendaraan untuk keluar dari kawasan alun-alun sebelum ditutup.
Sepertinya, petugas di dalam mobil Dishub sangat menikmati pekerjaannya. Berputar-putar sambil berseru lewat speaker, dia bunyikan sirene mengusir para pengendara. Mungkin dia tidak tahu kalau suara sirene yang keras itu amat mengganggu kenyamanan warga sekitar. Suasananya mirip seperti di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) ketika para napi diseru oleh suara sirene untuk kembali ke sel masing-masing.
Keprihatinan pengurus Masjid Agung sangat beralasan, karena masalah ini sudah menyentuh perkara yang sensitif. Perkara yang menyangkut syariat agama, khususnya peribadatan. Mengusir jamaah dari masjid bisa dianggap mencegah atau menghalangi orang untuk shalat.
Dalam Surat Al-‘Alaq disindir kaum yang menghalangi orang untuk shalat. Mereka adalah kaum pendosa yang sombong, yang merasa berkuasa, yang berbuat jahat kepada orang-orang baik dan jujur. Allah mengancam akan mencabut ubun-ubunnya dan memanggil malaikat Zabaniyah.
Jangan lupa, masih ada Masjid Baitul Muttaqin di sebelah barat Gedung Birao (bekas Kantor SCS). Karena kawasan alun-alun ditutup, maka orang-orang dari luar yang mau mampir shalat maghrib dan isya di masjid ini juga terhalang.
Korban Anak-Anak
Selain menjadi koridor ekonomi rente – tempat orang memungut setoran ilegal dan pungli, Jalan Pancasila juga acapkali memakan korban anak-anak. Jalan yang gelap dan lengang di malam hari dimanfaatkan anak-anak sekitar untuk bermain sepakbola. Sudah ada beberapa anak yang mengalami luka, sampai ada yang patah tangan, akibat terserempet sepeda motor atau odong-odong.
“Ada tiga teman saya yang sudah ketabrak, Pak,” kata seorang anak yang biasa main sepakbola di situ, memberikan alasan kenapa main bola di trotoar tempat pejalan kaki, bukan di bahu jalan.
Karena banyak anak bermain, beberapa tandon air besar untuk cuci tangan tampaknya ditarik lagi. Tandon itu hanya untuk mainan anak-anak, dan air yang mengocor menggenangi badan jalan. Padahal, harga tandon-tandon dari plastik itu tentu tidak murah dan dibeli dari APBD.
Biaya Sosial Tinggi
Kita pindah kepada kelucuan lain di Jalan Ahmad Yani. Jalan yang semula lebarnya 15 meter ini, sekarang sedang dipersempit jadi 6 meter. Trotoar kanan-kirinya diperlebar untuk area kuliner. Di tengah kanan-kiri dibuat jalan masing-masing selebar 3 meter untuk parkir sejumlah food truck (mobil lapak). Proyek ini diperkenalkan sebagai “Malioboro”-nya Tegal.
Mobil-mobil lapak itu semula jatah portofolio untuk para PKL yang tergusur. Namun, santer terdengar desas-desus tentang siapa yang mampu membelinya dan dari pihak mana, karena harganya yang mahal. Bisa ratusan juta rupiah per unitnya. Mana PKL mampu beli?
Para pemilik toko di situ, lewat kuasa hukumnya, menggugat pemkot ke pengadilan. Gugatan akhirnya dicabut setelah Pemkot Tegal bersedia mengubah desain agar mobil bisa parkir depan pertokoan.
Seperti halnya proyek alun-alun, proyek “Malioboro” ini juga tidak bebas dari demo dan keributan. Ada drama penentangan dari masyarakat. Artinya, setelah proyek-proyek ini jadi, kalkulasi kerugiannya tidak sepadan dengan manfaatnya.
Selain anggaran yang bertambah, biaya sosialnya juga tinggi. Keramik trotoar yang belum berumur lima tahun sudah harus diganti lagi. Toko-toko dijauhi pembeli. PKL harus menutup lapak. Gokar, gojek, petugas parkir, kuli angkut, bakul gendong harus menyingkir.
Kekesalan, kekecewaan, dan kemarahan warga menambah beban kerugian moril. Bahkan pohon-pohon pun menangis setelah ditebang habis. Apa pun jadinya nanti, warga setempat sudah menanggung kerugian lebih dulu. Itu seperti tragedi “piramida korban manusia” menurut Peter L. Berger.
Jalan Ahmad Yani atau “Jalan Abdul Butun”?
Lalu, di mana letak keanehannya?
Pertama, pada logika penggagasnya. Jalan sudah lebar kok dipersempit! Maaf ya, saya terpaksa baca-baca lagi teori pertumbuhan kota-kota di dunia.
Di situ disebutkan bahwa pemicu pertumbuhan kota adalah pertambahan penduduk atau urbanisasi. Karena penduduk kota bertambah, mereka butuh lebih banyak sandang-pangan-papan. Maka, berdirilah pabrik-pabrik tekstil dan pedagang pakaian, peningkatan produktivitas pangan beserta teknologinya, dan pembangunan perumahan.
Selain kebutuhan dasar itu, penduduk kota yang bertambah juga membutuhkan kebebasan bergerak (aksesabilitas) dan percepatan pergerakan (mobilitas). Untuk itu, pemerintah kota membuat jalan-jalan baru dan melebarkan atau meningkatkan jalan-jalan yang sudah ada untuk mendukung aksesabilitas dan mobilitas warganya. Perumahan-perumahan baru dibangun untuk memenuhi kebutuhan hunian.
Pembangunan infrastruktur jalan dan perumahan akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kota akan berkembang lebih cepat. Terjadi multiplier effect alias efek saling menumbuhkan bidang-bidang kehidupan warga kota. Produksi, konsumsi, distribusi, jasa, dan perdagangan meningkat.
Jadi kalau Jalan Ahmad Yani dipersempit, itu pakai teori yang mana dan apa tujuan sebenarnya ya?
Kedua, menurut Perda Nomor 1 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal Tahun 2011-2031, Jalan Ahmad Yani itu ditetapkan sebagai jalan primer kota alias jalan protokol. Namanya jalan protokol mesti dipelihara agar tertib, lancar, tidak macet. Kalau jalan ini dipersempit, apa yang akan terjadi? Itu seperti pembuluh darah dalam tubuh yang dipenuhi plak, sebentar lagi jantungan!
Jika perda tidak dijadikan pijakan dalam pembangunan kota, lalu apa yang menjadi dasarnya? Siapa yang harus mengingatkan inkonstitusionalitas ini? Anda lebih tahu dari saya.
Dalam perda itu juga ditetapkan peruntukan Kawasan Alun-Alun. Dari Jalan K.H. Mansyur sampai bundaran alun-alun dan jembatan Kaligung ditetapkan sebagai kawasan perdagangan. Jembatan Kaligung hingga gang Masjid Baitul Muttaqin sebagai kawasan wisata. Taman Pancasila dan Gedung Birao sebagai kawasan cagar budaya.
Sekali lagi, Anda lebih tahu, kalau aksesabilitas dan mobilitas orang dari dan ke kawasan ini ditutup, bisakah kawasan-kawasan itu berkembang?
Ketiga, nama Jalan Ahmad Yani itu sakral lho. Jadi sudah betul kalau jalan besar itu ditetapkan sebagai jalan primer, untuk mengabadikan dan menghormati Jenderal Anumerta Ahmad Yani sebagai Pahlawan Revolusi.
Kalau kemudian jalan yang mulia itu mau diubah menjadi kawasan kuliner, baiknya nama Ahmad Yani dipakai untuk jalan lain yang sama besarnya atau lebih besar lagi. Kemudian jalan kuliner ini diberi nama “Jalan Abdul Butun” alias “Jalan Hamba Perut”. Bisa juga diberi nama “Jalan Sumber Wareg” atau sejenisnya yang pas dengan fungsinya.
Ini serius, bukan guyon. Kadang kita kurang memperhatikan nama jalan sesuai dengan kehormatan pemilik namanya dan fungsinya. Maaf ya, coba dicermati berapa banyak jalan di negeri ini yang memakai nama pahlawan nasional atau ulama terhormat dihuni bangunan untuk maksiat.
Mati Ketawa Bersama
Kita akan dibuat mati ketawa bersama-sama jika menyebut penampakan-penampakan yang lain. Misalnya, wali kota dan wakilnya yang kembali bentrok. Alun-alun yang, lagi-lagi, dibongkar-pasang. Setahu saya, konsep awal alun-alun sesuai fungsinya adalah sebagai open space alias ruang terbuka hijau.
Zaman Wali Kota Ikmal Jaya, seputar alun-alun dijadikan arena road race. Pada era Siti Masitha, alun-alun disulap jadi arena olahraga. Ada jalan beton setapak untuk jogging. Ada pula lapangan bola voli. Kini muncul bangunan mirip arena gladiator (koloseum) di tengah alun-alun. Katanya sih itu arena tempat bermain.
Kasihan betul nasib Alun-Alun Kota Tegal ya, hanya dijadikan objek eksperimen. Anda pun, kalau jadi wali kota, bisa menjadikan alun-alun sesuai keinginan Anda. Anggaran tersedia kok.
Kalau saya sih, kalau jadi wali kota, ingin jadikan alun-alun semuanya untuk lapangan tenis, karena saya suka tenis. Mungkin bisa dibikin 10 lapangan tenis ya. Hahaha…
—
A Zaini Bisri, Jurnalis Senior & Dosen Universitas Pancasakti Tegal
Sumber 1
Sumber 2
Diubah oleh amekachi 20-03-2023 07:23






putrakomang dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.4K
20


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan